PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g89_No30 hlm. 19-22
  • Bagian 3: 1942-1513 S.M.—Mesir—Medan Perang Dewa-Dewa

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Bagian 3: 1942-1513 S.M.—Mesir—Medan Perang Dewa-Dewa
  • Sedarlah!—1989 (No. 30)
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Tidak Konsisten dan Saling Bertentangan
  • Sepuluh Tulah dalam Perhitungan Mundur menuju Kehancuran
  • Apakah Semua Ini Benar-Benar Terjadi?
  • Siapakah Yehuwa?
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1993
  • Mesir
    Pemahaman Alkitab, Jilid 2
  • Mesir Purba​—yang Pertama dari Kuasa-Kuasa Dunia Termasyhur
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1988 (s-45)
  • Dewa dan Dewi
    Pemahaman Alkitab, Jilid 1
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1989 (No. 30)
g89_No30 hlm. 19-22

Masa Depan Agama Ditinjau dari Masa Lalunya

Bagian 3: 1942-1513 S.M.—Mesir—Medan Perang Dewa-Dewa

”Yang terutama dan yang mendasari segala sesuatu di Mesir adalah agama.”—Will Durant, penulis dan sejarawan abad ke-20.

PENDUDUK asli negeri Mesir adalah keturunan Ham, putra Nuh, kemungkinan besar melalui Mizraim putra Ham, paman dari Nimrod. (Kejadian 1:6-8) Setelah bahasa-bahasa dikacaukan di Babel, para pembangun menara yang gagal itu menyebar dan membuat permulaan yang baru, sambil membawa agama mereka dari Babel. Beberapa dari antara mereka bermukim di daerah yang kemudian dikenal sebagai Mesir.

Dalam The Story of Civilization, Will Durant menulis tentang asal mula ”unsur-unsur spesifik dari kebudayaan Mesir [yang berasal] dari Sumeria dan Babel”. Jadi, agama Babel meninggalkan bekas yang dalam atas Mesir, dan agama menjadi faktor yang dominan dalam kehidupan Mesir. The New Encyclopædia Britannica mengatakan, ”Gagasan-gagasan agama begitu mempengaruhi kehidupan budaya dan sosialnya sehingga kita tidak mungkin mengerti kebudayaan Mesir tanpa memahami agama Mesir, dan sebaliknya.”

Tidak Konsisten dan Saling Bertentangan

Agama Mesir bersifat politeistis, dicirikan oleh lebih dari 500 allah atau dewa, dan mungkin dua kali sebanyak itu. ”Di seluruh Mesir biasanya rangkaian dewa-dewa dari suatu kota berjumlah tiga,” kata E. A. Wallis Budge, seorang ahli Mesir purbakala. Lambat laun berkembanglah tiga serangkai yang utama, keluarga suci yang terdiri dari Osiris, sang bapa; Isis, sang ibu; dan Horus, sang anak.

Politeisme membuahkan pengakuan sejumlah dewa sebagai ’satu-satunya allah’. Namun para imam dan ahli teolog tampaknya tidak sukar untuk percaya kepada satu allah dan pada waktu yang sama menganggap allah tersebut ada dalam banyak bentuk. Penulis B. Mertz mengomentari bahwa ini ”hanya merupakan contoh lain dari pertentangan yang sudah dianggap biasa dan menjadi ciri khas agama Mesir”.

Binatang sering digunakan untuk melambangkan sifat dewa-dewa atau bahkan dewa-dewa itu sendiri. Namun penulis Perancis Fernand Hazan menyatakan bahwa binatang-binatang ini bukan hanya lambang, tetapi dianggap layak dihormati ”karena mereka adalah titik pusat dari kekuatan ilahi yang baik dan jahat”. Jadi, tidaklah mengherankan bahwa seorang warga Roma, menurut laporan, dihukum mati tanpa pemeriksaan karena membunuh seekor kucing dan bahwa mumi dari anjing, kucing, buaya, burung elang, dan sapi jantan telah ditemukan dalam kuburan-kuburan Mesir.

Upacara-upacara agama, sistem-sistem ibadat misteri, dan praktik-praktik sihir berurat berakar dalam agama Mesir. Demikian juga penggunaan patung dan lambang agama, seperti lambang kehidupan, yaitu crux ansata. Benda-benda itu dianggap begitu penting, kata The New Encyclopædia Britannica, sehingga ”iman perorangan (yaitu, kesalehan pribadi) tidak pernah dianggap sangat penting”. Juga ditambahkan bahwa di antara patung-patung, ”patung Isis dengan sang anak Horus di pangkuannya, yang mungkin adalah bentuk asli dari Madona dengan sang Anak, adalah yang paling penting”.

Orang-orang Mesir percaya akan kehidupan setelah kematian. Mereka membuat mumi dari orang-orang mati dan mengawetkan mayat-mayat firaun dalam piramid-piramid yang megah. Sebagaimana dikatakan seorang penulis, makam-makam kuno berisi ”barang-barang yang tak berharga yang menimbulkan rasa iba tetapi penting, seperti palet-palet kosmetik, manik-manik, dan periuk-periuk yang dulu berisi makanan dan minuman”.

Sepuluh Tulah dalam Perhitungan Mundur menuju Kehancuran

Pada tahun 1728 S.M., sesuatu terjadi yang membawa akibat yang mengerikan bagi Mesir dan agamanya. Kira-kira dua abad setelah seorang pria bernama Abraham mengunjungi Mesir, keturunannya pindah ke sana untuk menyelamatkan diri dari bahaya kelaparan yang hebat. (Kejadian 12:10; 46:6, 7) Mereka dikenal sebagai orang-orang Israel dan mereka tinggal di sana selama 215 tahun. Perpindahan merupakan persiapan dari pertempuran antara allah-allah, dewa-dewa orang Mesir yang banyak jumlahnya di satu pihak melawan satu-satunya Allah orang Israel, Yehuwa. Ketika orang-orang Israel minta izin meninggalkan Mesir untuk menyembah Dia, pertikaian dengan cepat mencapai puncaknya.

Penguasa Mesir, firaun,a gelar yang diambil dari kata Mesir untuk ”rumah agung”, menolak permohonan mereka. Kemudian Yehuwa menyatakan maksud-Nya untuk memperlihatkan kuasa-Nya dengan cara yang menakjubkan demi kepentingan umat-Nya. (Keluaran 7:1-6; 9:13-16) Dengan menimpakan sepuluh tulah ke atas Mesir, Ia menantang dewa-dewa Mesir dalam suatu adu kekuatan langsung.—Keluaran 12:12.

Tulah pertama mengubah Sungai Nil, sumber hidup Mesir, menjadi darah, membunuh ikan-ikan dan memaksa orang-orang Mesir menggali tanah untuk mendapatkan air minum. (Keluaran 7:19-24) Penghinaan yang luar biasa besar untuk Hapi, dewa Sungai Nil!

Katak adalah lambang kesuburan, dan dari buku The Gods of the Egyptians kita mengetahui bahwa ”dewa Katak dan dewi Katak dianggap memegang peranan yang sangat penting dalam penciptaan dunia”. Maka tulah katak, selain mempermalukan dewa-dewa kesuburan seperti Osiris, Ptah, dan Sebek, juga merendahkan dewa-dewa penciptaan dari Mesir.—Keluaran 8:1-6.

Imam-imam sihir Mesir tidak dapat meniru tulah ketiga sebagaimana mereka berhasil meniru dua tulah pertama. (Keluaran 8:16-18) Tot, dewa kegaiban, telah kehilangan kekuatannya. Dan Geb, dewa bumi, tidak dapat mencegah ”debu tanah” menjadi nyamuk yang mengganggu.

Mulai dari tulah keempat, dibuatlah suatu garis pemisah antara Gosyen, tempat pemukiman orang-orang Israel di Dataran Rendah Mesir, dengan bagian lain dari negeri itu. Sementara Gosyen terlindung dari tulah lalat pikat, bagian-bagian lain dari Mesir mengalami kerusakan. (Keluaran 8:20-24) Buto, dewi pelindung, dan dewa Horus sama sekali tidak dapat lagi mengendalikan apa yang terjadi di daerah kekuasaan mereka—Dataran Rendah Mesir.

Hator adalah dewi berkepala lembu. Nut, dewi langit, juga digambarkan sebagai seekor lembu. Betapa memalukan bagi mereka ketika penyakit sampar mengakibatkan ”segala ternak . . . mati” dalam tulah kelima!—Keluaran 9:6.

Tot dikenal sebagai dewa yang mengetahui ”semua resep sihir yang diperlukan untuk menyembuhkan orang sakit”. Dan Amon-Ra, menurut bait ke-70 dari syair yang ditulis untuk memujanya, adalah dokter ”yang menangkal kejahatan dan mengusir semua penyakit”. Namun kedua dukun itu tidak mampu mencegah ”barah, yang memecah sebagai gelembung pada manusia dan binatang”, bahkan menimpa ”ahli-ahli [sihir]”, dalam tulah yang keenam.—Keluaran 9:10, 11.

Dewa Shu, Respu, dan Tefnut membantu mengendalikan cuaca. Namun, sama seperti peramal cuaca dewasa ini mereka tidak dapat mencegah guntur dan hujan es yang dalam tulah ketujuh menimpa manusia, binatang dan tanaman dan yang ”menimpa binasa segala sesuatu yang ada di padang”. (Keluaran 9:25) Apa yang masih tertinggal setelah hujan es dimakan habis oleh belalang pada tulah kedelapan. (Keluaran 10:12-15) Betapa besar kekalahan bagi Min, dewa panen, yang, dengan memegang halilintar di tangan kanannya, seharusnya mengendalikan guntur dan kilat! Keduanya gagal selama kedua tulah ini.

”Datanglah gelap gulita di seluruh tanah Mesir selama tiga hari,” yaitu tulah kesembilan. (Keluaran 10:21, 22) Ra, dewa matahari; Sekmet, dewi yang mengenakan piringan matahari; dan Tot, dewa bulan, secara aksara dipadamkan terangnya.

Dan betapa besar tangis kedukaan yang terdengar ketika putra-putra sulung orang Mesir dibunuh, ”tidak ada rumah yang tidak kematian”, bahkan ”rumah agung” dari Firaun! (Keluaran 12:29, 30) Karena Firaun dianggap keturunan dewa matahari Ra, kematian mendadak dari putra sulungnya sama dengan kematian seorang dewa. Betapa telak kekalahan bagi Bes, pelindung keluarga raja, dan Buto, pembela raja!

Dipermalukan dan direndahkan—bukan satu kali tetapi sepuluh kali—dengan penuh rasa dendam, Firaun dan tentaranya secepat kilat mengejar orang-orang Israel yang baru berangkat. (Keluaran 12:37, 41, 51; 14:8) Untuk menghormati Firaun Ni-maat-Re yang kurang terkenal, sebuah syair kuno pernah menyatakan dengan sombong, ”Berperanglah demi namanya . . . Tidak ada kuburan bagi orang yang memberontak melawan yang berdaulat dan mayatnya akan dilemparkan ke laut.” Namun sehubungan dengan Firaun yang mengalami perhitungan mundur menuju kemusnahan, mayatnya sendirilah yang tenggelam di laut. ”Firaun, penjelmaan dewa Horus di bumi, pewaris singgasana Atum, putra dewa matahari Re [Ra],” demikian sebutan baginya dalam sebuah buku referensi, telah binasa di Laut Merah di tangan Allah orang Israel yang kedaulatan-Nya ia tantang.—Keluaran 14:19-28; Mazmur 136:15.

Apakah Semua Ini Benar-Benar Terjadi?

Dengan jelas, The New Encyclopædia Britannica, sekalipun menyatakan bahwa catatan dalam kitab Keluaran mengandung ”unsur-unsur legenda”, mengakui bahwa ”para ilmuwan dewasa ini cenderung mempercayai bahwa di balik dongeng-dongeng tersebut ada dasar fakta yang kuat”. Pada waktu membicarakan sukarnya menentukan tahun dinasti-dinasti Mesir dari daftar raja-rajanya, Britannica juga mengatakan, ”Kelemahan dari daftar-daftar ini sebagai catatan sejarah adalah bahwa daftar-daftar ini hanya memuat nama raja-raja yang dianggap layak dihormati; banyak penguasa yang bersahaja dan kurang terkenal telah dilewatkan—dihapus dari catatan.”

Menghadapi ketidaksaksamaan sejarah dan manipulasi kenyataan seperti itu, apakah mengherankan jika kekalahan total bagi Mesir dan dewa-dewa palsu mereka juga telah ”dihapus”. Ini nyata sekali jika kita ingat bahwa mereka yang mencatat sejarah mengerjakannya di bawah pengawasan imam-imam, yang minat utamanya jelas adalah mempertahankan kedudukan mereka dan menjunjung kemuliaan dewa-dewa mereka.

Kejadian-kejadian kuno itu, merupakan pertanda buruk bagi mereka yang memeluk imbangan modern dari agama Mesir. Hanya mereka yang mempraktikkan ibadat sejati—orang-orang Israel dan sejumlah orang Mesir rekan-rekan mereka—selamat dari peperangan para dewa tanpa cedera. Perkara-perkara besar kini tersedia bagi mereka, yaitu ”Suatu Bangsa yang Dipisahkan, Tidak seperti Semua Bangsa Lain” ini. Silakan anda baca mengenai hal ini dalam bagian ke-4 dari seri ini.

[Catatan Kaki]

a Kita tidak dapat menyatakan dengan pasti firaun mana yang memerintah pada saat tersebut. Para ahli peradaban Mesir kuno menyatakan bahwa ada kemungkinan ia adalah, antara lain, Tutmose III, Amenhotep II, atau Ramses II.

[Kotak di hlm. 20]

Bagaimana Jawaban Anda?

Selama mereka di Mesir, apakah hanya orang-orang Israel yang mempraktikkan ibadat sejati?

Tidak, karena ”seseorang yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan”, tinggal di sekitar Uz, sekarang Arab. Namanya adalah Ayub. Ia mengalami ujian-ujian integritas yang hebat, kira-kira antara waktu kematian Yusuf pada tahun 1657 S.M. dan munculnya Musa sebagai hamba Yehuwa yang setia.—Ayub 1:8.

[Gambar di hlm. 21]

Firaun dianggap penjelmaan dewa

[Keterangan]

Courtesy of Superintendence of Museo Egizio

[Gambar di hlm. 22]

Beberapa piramida dari para firaun merupakan makam yang sangat mewah

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan