PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g 3/91 hlm. 27-29
  • Filipi—Tempat Banyak Mata Air

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Filipi—Tempat Banyak Mata Air
  • Sedarlah!—1991
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Sumber Air
  • Sumber Logam Mulia
  • Sumber Pancaran Darah
  • Sumber Pancaran Kehidupan
  • Sumber Kemurahan Hati
  • Keberangkatan Kami
  • Filipi
    Pemahaman Alkitab, Jilid 1
  • ”Datanglah ke Makedonia”
    ”Memberikan Kesaksian yang Saksama tentang Kerajaan Allah”
  • Keterangan Tambahan Kisah—Pasal 16
    Kitab Suci Terjemahan Dunia Baru (Edisi Pelajaran)
  • Buku Alkitab Nomor 50​—Filipi
    “Segenap Alkitab Diilhamkan Allah dan Bermanfaat”
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1991
g 3/91 hlm. 27-29

Filipi—Tempat Banyak Mata Air

KAMI sedang meluncur persis di atas ombak Laut Aegea ketika mendekati Tesalonika. Tiba-tiba, bayangan landasan bandara udara muncul di tepi air dan kemudian demikian cepatnya berada di bawah kami—begitu dekat dengan kapal udara sehingga istri saya mengira kami telah menyentuh tanah. ”Ini pendaratan paling mulus yang pernah kita alami!” ia berkata. Kemudian, roda-roda menyentuh tanah dengan sedikit guncangan.

Makedonia, Yunani! Saya membayangkan dunia Iskandar Agung dan pertempuran yang belakangan terjadi di Dataran Filipi yang menentukan nasib Roma. Saya berpikir betapa besarkah pengaruh hal-hal itu atas kehidupan dan pelayanan Paulus rasul Kristen. Sebagai ”rasul untuk bangsa-bangsa bukan Yahudi”, Paulus memperkenalkan Kekristenan ke Eropa mulai dari Filipi. (Roma 11:13) Apakah kita akan melihat sesuatu di sana yang akan memberikan pencerahan kepada kita? Atau apakah sejarah telah menyapu dataran tersebut tanpa meninggalkan bekas apa pun?

Setelah dua jam perjalanan ke sebelah utara Tesalonika, bis yang kami gunakan bergerak di jalan pegunungan yang berliku-liku di atas pelabuhan Kaválla. Meskipun Kaválla terutama dikenal karena ekspor tembakaunya, para nelayan yang memperbaiki jala mereka di dermaga menciptakan jenis pemandangan yang kami duga dilihat oleh Paulus ketika Kaválla masih disebut sebagai Neapolis.—Kisah 16:11.

Meskipun Paulus tidak tinggal di Neapolis, beberapa meter di bawah kami, kami dapat melihat jalan curam terbuat dari batu yang ia lalui. Kemudian kami melalui terusan sempit yang lebat dengan pepohonan dan untuk pertama kali melihat tempat yang dahulu adalah kota Filipi. Dengan susah payah kami dapat melihat batu besar yang menandai tempat itu, hampir setengah jalan menaiki lembah itu.

Kami melihat ke bawah ke peladangan tembakau yang sudah matang. Paulus dulu melihat rawa-rawa, sedangkan para penduduk awalnya melihat hutan yang lebat. Kemungkinan sang rasul berhenti sewaktu-waktu seraya menahan napas ketika menuruni lembah ini. Namun, bisa jadi ia bergegas terus, mungkin karena tergugah sama seperti kami.

Sumber Air

Filipi sudah ada sebelum Philip II datang pada tahun 356 S.M. untuk merambah hutan, memperbesar kota, dan menamainya dengan namanya sendiri. Lima tahun sebelumnya, para penetap dari Thásos telah datang untuk bekerja di tambang-tambang yang kaya di Asyla dan Gunung Pangaeus. Mereka menamai desa mereka Krenides, ’tempat banyak mata air kecil’. Mengapa? Karena banyak mata air memancar di sana, sehingga lembah itu sebagian besar menjadi tanah rawa.

Hanya baru-baru ini saja tanah tersebut berhasil dikeringkan. Akan tetapi, sumber-sumber air itu masih ada di sana, dan sungai-sungainya masih mengalir. Pada suatu tempat, jalan Roma yang tua itu melintasi Sungai Gangit. Sungai itu istimewa bagi Paulus dan kami ingin melihatnya.

Sumber Logam Mulia

Philip membentengi Krenides untuk menyelamatkan orang-orang Thásia yang diancam oleh orang-orang Thrace. Ia ingin Krenides dijadikan pos militer terdepan. Akan tetapi, alasan utamanya adalah karena ia membutuhkan emas untuk membiayai rencana perangnya yang ambisius. Tambang-tambang emas itu memperkaya Philip dan Iskandar Agung sebanyak lebih dari seribu talenta setiap tahun. Setelah emasnya habis, kota Filipi semakin pudar dan tidak dikenal.

Sumber Pancaran Darah

Lebih dari satu abad berlalu. Yunani kalah kepada kuasa Roma. Imperium Roma memaksakan dibuatnya jalan-jalan, maka Via Egnatia dibangun melintasi Makedonia. Empat belas kilometer dari pantai, jalan ini melintas di tengah-tengah Filipi, sehingga membangunkan kota itu dengan lalu lintas komersial dan militer.

Filipi menjadi kota yang strategis. Pada tahun 42 S.M., banyak pertumpahan darah di sana dalam dua pertempuran sengit antara Roma dan para pemberontak yang ingin mengambil alih kekuasaan atas imperium itu. Namun persekongkolan untuk membentuk negara Republik itu gagal dan Imperium berbentuk Kekaisaran berhasil diselamatkan. Sebagai tanda peringatan, Oktavian yang berkemenangan menjadikan Filipi sebagai koloni Roma.—Kisah 16:12.

Sumber Pancaran Kehidupan

Tidak seorang pun tinggal di Filipi dewasa ini. Ia hanya suatu lokasi arkeologi. Seraya kami berjalan santai sepanjang Via Egnatia, kami memeriksa tanda-tanda bekas roda di trotoar. Kami menjelajahi pasar dan melihat ke dalam kakus umum dengan 50 tempat duduk. Di perpustakaan tidak ada satu pun buku, demikian pula tidak ada pegulat di gedung olahraga (sebenarnya suatu palaestra, atau sekolah pegulat). Kami melihat peninggalan kuil-kuil Roma, ceruk tempat barang seni Yunani, dan bahkan ruang tempat ibadat Mesir setengah jalan mendaki menuju akropolis. Seraya kami duduk di teater terbuka itu, kami mengagumi akustiknya yang baik. Kami berdiri di forum atau tempat peradilan dan membayangkan para pejabat pengadilan yang bersikap memerintah keluar dari bilik mereka, didahului para perwira yang membawa beberapa tongkat yang diikatkan pada kapak—tanda wewenang mereka. Dalam pikiran kami, kami mencoba membayangkan Filipi pada tahun 50 M. yang telah menjadi begitu Romawi.

Menurut Alkitab, Paulus dan rekan-rekannya ”tinggal beberapa hari” di kota itu. (Kisah 16:12) Tidak dilaporkan sesuatu yang menegangkan. Kemudian pada suatu hari Paulus mendengar adanya suatu kelompok kecil yang tidak mengikuti dewa-dewa lama maupun baru tetapi sangat berbakti. Mereka bertemu di luar kota setelah gapura lengkung kolonial dekat tempat jalan itu melintasi sungai.

”Pada hari Sabat,” Lukas menulis, ”kami ke luar pintu gerbang kota. Kami menyusur tepi sungai dan menemukan tempat sembahyang Yahudi, yang sudah kami duga ada di situ; setelah duduk, kami berbicara kepada perempuan-perempuan yang ada berkumpul di situ.” Pembahasan itu mengenai harapan keselamatan dan kehidupan kekal melalui Kristus Yesus. Terutama seorang perempuan ”bernama Lidia turut mendengarkan. Ia seorang penjual kain ungu . . . Tuhan membuka hatinya, sehingga ia memperhatikan apa yang dikatakan oleh Paulus”.—Kisah 16:13, 14; bandingkan Filipi 2:12, 16; 3:14.

Setelah beberapa hari, persinggahan Paulus di Filipi berakhir secara dramatis. Sementara berjalan kira-kira satu-dua kilometer menuju tempat sembahyang itu, ia bertemu dengan seorang perempuan yang dikuasai oleh roh jahat dan mengganggu mereka. Ketika Paulus mengusir roh jahat itu, para majikan perempuan itu sangat marah karena bisnis peramalan mereka dilenyapkan. Apa akibatnya?

”Mereka menangkap Paulus dan Silas, lalu menyeret mereka ke pasar untuk menghadap penguasa.” ’Mereka orang Yahudi,’ demikian mereka menuduh. (Semua orang tahu bahwa Klaudius baru saja mengusir semua orang Yahudi dari Roma.) Mereka menambahkan, ’Orang-orang ini sangat mengganggu kota kami dengan mengajarkan adat-istiadat yang tidak dibenarkan oleh hukum untuk kita terima atau praktikkan karena kita adalah orang Roma.’ Orang banyak berteriak menuntut; para pejabat pengadilan menjatuhkan hukuman. Maka para perwira melepas cambuk mereka dan Paulus serta Silas ”berkali-kali didera”. Kemudian mereka dilemparkan ke dalam penjara, dalam keadaan berdarah dan pingsan, dan membelenggu kaki mereka dalam pasungan. Pada malam yang sama itu juga terjadi suatu gempa bumi besar sehingga Paulus dan Silas dibebaskan dan Kekristenan diterima oleh kepala penjara dan rumah tangganya.—Kisah 16:16-34.

Pagi hari berikutnya, para penguasa merasa begitu sangat menyesal atas kesalahpahaman yang telah terjadi, tetapi apakah para pendatang ini dengan senang meninggalkan kota? Paulus dan Silas mengunjungi dahulu rumah Lidia untuk menganjurkan rekan-rekan seiman sebelum mereka berangkat menuju Tesalonika. Lukas tetap tinggal untuk menguatkan sidang yang baru itu.—Kisah 16:35-40.

Sumber Kemurahan Hati

”Ia mendesak sampai kami menerimanya” untuk datang ke rumahnya, demikian Lukas menulis mengenai Lidia. Bahkan kepala penjara yang mengawal Paulus menjadi sangat murah hati segera setelah ia memahami dengan benar duduk persoalannya. (Kisah 16:15, 33, 34) Selama persinggahan Paulus di Tesalonika, dua kali teman-teman di Filipi mengirim hal-hal yang ia butuhkan.

Belakangan ketika ia dengan gigih melayani Allah di Korintus, orang-orang Filipi kembali mencarinya. Bahkan beberapa tahun kemudian, ketika Paulus dipenjarakan di Roma, utusan dari Filipi datang dengan pemberian dan menawarkan pelayanan pribadi kepada sang rasul. Paulus merasa terharu. Ia tahu bahwa umat di Filipi tidak kaya secara materi. Maka ia menulis, ”Meskipun mereka sangat miskin, namun mereka kaya dalam kemurahan.”—2 Korintus 8:1, 2; 11:8, 9; Filipi 2:25; 4:16-18.

Keberangkatan Kami

Kami agak lama berada di dekat Sungai Gangit, dan saya mengayunkan tangan saya dalam air. Airnya lebih dingin dari yang saya duga. Kami melihat sekeliling. Di dekat sinilah ”tempat sembahyang” yaitu tempat bertemunya Paulus dan yang lainnya untuk beribadat.

Namun kemudian saya bertanya kepada diri sendiri, Apa yang membuat Filipi begitu istimewa bagi saya? Apakah tempat dekat sungai itu? Mungkinkah pasar dengan perpustakaannya yang tanpa buku, gedung olahraga yang kosong, kuil-kuil tanpa dewa, dan toko-toko tanpa barang jualannya?

Apakah mata-airnya? Memang, Filipi benar-benar suatu ”tempat banyak mata air”. Ia masih mengalirkan air. Pernah ia mengalirkan emas, dan dalam masa yang menyedihkan mengalirkan darah. Akan tetapi, ada juga masa baik ketika sumber pancaran kehidupan, kasih dan kemurahan mengalir dari beberapa orang yang sangat istimewa seperti Paulus, Lidia, kepala penjara itu, dan yang lainnya. Memang orangnya yang penting, bukan? Orang-orang istimewa itu membuat Filipi istimewa bagi saya. Mereka membuat saya tafakur. Mereka membuat saya merenung. Andaikan—istri saya menyentuh tangan saya. ”Ayolah,” katanya dengan perlahan. ”Sudah waktunya untuk pergi.”—Disumbangkan.

[Peta/Gambar di hlm. 27]

Kiri atas: Bema (kursi pengadilan) Filipi kuno; kanan atas: tempat Via Egnatia melintasi Sungai Gangit; bawah: Forum

[Peta Yunani/Filipi]

(Untuk keterangan lengkap, lihat publikasinya)

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan