PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g 5/91 hlm. 23-25
  • Piala Dunia Sepakbola—Olahraga atau Perang?

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Piala Dunia Sepakbola—Olahraga atau Perang?
  • Sedarlah!—1991
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Olahraga atau Perang?
  • Pemberkatan Paus
  • ”Hooligan” dalam Olahraga
  • Pandangan yang Seimbang tentang Sepakbola
  • Apakah Piala Dunia Bisa Membuat Dunia Benar-Benar Bersatu?​—Apa Kata Alkitab?
    Topik Menarik Lainnya
  • Saya Pikir Saya Sudah Menikmati Hidup yang Memuaskan
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—2015
Sedarlah!—1991
g 5/91 hlm. 23-25

Piala Dunia Sepakbola—Olahraga atau Perang?

Oleh koresponden Sedarlah! di Italia

PERHATIAN dunia terpusat pada sepakbola. Mulai 8 Juni hingga 8 Juli 1990, ratusan juta pasang mata seakan melekat pada layar pesawat televisi untuk mengikuti peristiwa besar tahun itu—perebutan Piala Dunia Sepakbola yang diselenggarakan di Italia. Jumlah total pemirsa televisi yang menyaksikan 52 pertandingan tersebut adalah 30.000.000.000—enam kali lipat jumlah penduduk dunia!

Tontonan televisi terbesar ini dimungkinkan dengan digunakannya organisasi teknologi canggih yang belum pernah ada sebelumnya—sebuah pusat produksi TV yang melayani 147 jaringan mewakili 118 negara, menggunakan 180 kamera televisi, 37 unit produksi, dan 1.500 teknisi. Pada pertandingan yang diselenggarakan di 12 stadion sepakbola Italia, juga hadir 2.515.000 penonton dan 6.000 jurnalis dari segenap penjuru dunia. Namun, angka-angka itu tidak memberitakan seluruh kejadian. Untuk memberikan gambaran tentang peristiwa akbar ini, yang disebut-sebut sebagai ”pelarian dari kenyataan”, para penulis, sosiolog, psikolog, artis dan bahkan teolog ikut memberi komentar.

Akan tetapi, apakah Piala Dunia Sepakbola ikut menyumbang keselarasan internasional dan sportivitas? Dipersatukan oleh semangat olahraga ini, apakah jutaan orang yang menyaksikan pertandingan-pertandingan melalui satelit dapat mengatasi permusuhan nasionalistis selama 30 hari tersebut? Apakah sepakbola bertindak sebagai kekuatan untuk persatuan?

Olahraga atau Perang?

Marilah kita pertimbangkan satu segi saja yang menjadi ciri dari begitu banyak pertandingan olahraga—kekerasan. Fenomena ini sering terjadi dalam pertandingan-pertandingan sepakbola—di lapangan, di bangku penonton, dan di luar stadion. Para psikolog, sosiolog, dan jurnalis setuju bahwa dalam dunia yang penuh kekerasan ini, olahraga pun tidak terkecuali. Norma-norma moral yang mendasar tanpa ampun diinjak-injak. Sebagai upaya untuk menghapus kekerasan yang menjadi kenyataan dunia olahraga modern, penggunaan istilah-istilah seperti ”olahraga adalah pertemuan yang jujur”, ”semangat persahabatan”, atau ”persaudaraan” tidak mempan.

Perebutan Piala Dunia tidak terkecuali. Beberapa saat sebelum pertandingan dimulai, terdengar beberapa seruan peringatan ”Fanatisme Sepakbola yang Penuh Kekerasan Menakutkan dan Turis-Turis Meninggalkan Italia”, bunyi sebuah pokok berita di La Repubblica 18 hari sebelum pertandingan perdana. Yang paling ditakuti adalah para hooligan yang kondang, yaitu sebagian pecandu sepakbola Inggris yang terkenal di seluruh Eropa karena kebrutalannya sebelum, selama dan sesudah tiap pertandingan.a

Harian kota Turin La Stampa edisi 1 Juni 1990 menganalisa penyebab kekerasan di stadion-stadion dan kelakuan tidak senonoh kaum hooligan, berkomentar, ”Di tribune stadion, sekarang tidak ada kata setengah-setengah. Pendukung tim lawan bukan lagi sekedar lawan tetapi ’musuh’; perkelahian bukan lagi kekecualian tetapi keharusan, dan itu harus sengit, sesengit mungkin.” Namun mengapa? ”’Karena kami saling membenci,’ jawab seorang hooligan dari Bologna.” Dalam usaha untuk menjelaskan alasan yang logis di balik kebencian tersebut, sosiolog Antonio Roversi mengatakan, ”Anak-anak stadion dilanda ’sindrom orang badui [di Afrika]’. Mereka yang dilanda sindrom ini menganggap musuh teman mereka adalah lawan, teman musuh mereka adalah lawan juga, dan, begitupun sebaliknya, kawan dari teman mereka adalah teman dan musuh dari lawan adalah teman.”

Kebencian, kekerasan, persaingan, vandalisme, ”sindrom orang badui”—Piala Dunia Sepakbola belum lagi dimulai, namun suasana telah menjadi seperti saat diumumkannya perang. Untuk itu, Italia telah mempersiapkan peristiwa ini dengan semangat perayaan.

Pemberkatan Paus

Bahkan paus, yang tak mau ketinggalan dalam lautan pemirsa, mengunjungi Stadion Olympic di Roma yang telah didandani, ’kuil’ dari Piala Dunia, dan memberkatinya. Ia mengatakan, ”Selain dari pesta olahraga, Pertandingan Piala Dunia Sepakbola dapat menjadi pesta solidaritas antar umat manusia.” Ia menambahkan bahwa olahraga modern harus menghindari bahaya yang menakutkan, seperti mati-matian mengejar keuntungan materi, mengutamakan hal-hal yang spektakuler secara berlebihan, penggunaan obat perangsang, kecurangan, dan kekerasan. Ia berharap ”bahwa segala usaha dan pengorbanan yang telah dikerahkan akan membuat ’Italia ’90’ sebagai peristiwa berkembangnya persaudaraan bagi masyarakat Anda dan untuk seluruh umat manusia”. Jesuit Paride Di Luca, mantan pemain sepakbola, mengumandangkan perasaan paus dalam ”Doa Pecandu Sepakbola” ketika ia berkata ”Datanglah, Ya Allahku, dan saksikanlah Piala Dunia.”

Tetapi apakah pertandingan Piala Dunia benar-benar pesta besar? Apakah Allah semesta alam dimuliakan? Marilah kita melihat Olahraga sebagaimana adanya, norma-norma yang dijunjungnya.

”Hooligan” dalam Olahraga

Gara-gara para hooligan, kota-kota seperti Cagliari dan Turin berada dalam keadaan siaga penuh selama pertandingan putaran pertama. Inilah topik utama beberapa surat kabar, ”Rimini Diguncang oleh Peperangan”; ”Cagliari, Perang Meletus”; ”Kekerasan di Turin, Warga Jerman dan Inggris Ditusuk”; ”Hari Kerusuhan antara Suporter Inggris, Jerman dan Italia”; ”Selamatkanlah Kami dari Suporter Inggris—Walikota Turin Menyampaikan Imbauan”; ”Perkelahian antar Ekstremis. Walikota, Suporter Turin Benar-Benar Hooligan Sejati”. Inilah contoh yang menegangkan, ”’Inilah Cara Menikam Suporter Lawan’—Diterbitkan di Inggris, Pedoman bagi Hooligan Sejati.” Pokok-pokok berita ini cukup memberikan gambaran tentang situasinya. Namun, hal-hal tadi merupakan akibat wajar dari masyarakat yang makanan sehari-harinya adalah kekerasan.

Peristiwa olahraga yang besar ini tidak berakhir dengan keadaan yang baik. Seruan cemooh suporter Italia terhadap tim Argentina dan maha-bintangnya, Maradona, yang telah menyingkirkan tim Italia, mengotori kegembiraan pertandingan final dan merusak pertandingan penutup. Pada malam bulan Juli itu, tak terlihat ”persaudaraan olahraga yang besar” di Stadion Olympic; ’kuil’ Piala Dunia dinodai. Il Tempo tertanggal 10 Juli 1990 mengomentari, ”Di lapangan, mereka mencemooh pertandingan—di bangku stadion, mereka menodai olahraga.”

Ini merupakan penutup yang menyedihkan dari peristiwa yang diharapkan banyak orang untuk menjadikan dunia sebagai ”kampung besar” tanpa rintangan selama 30 hari. Namun, jika sepakbola tidak dapat mendatangkan perdamaian dan keharmonisan di dan di luar lapangan, apakah realistis untuk menganggap bahwa sepakbola dapat mempengaruhi perdamaian dunia?

Pandangan yang Seimbang tentang Sepakbola

La Stampa menyanjung sepakbola, dengan menyebutnya sebagai ”peninggalan suci dari perjuangan nenek moyang, sepakbola merupakan lambang dari hal-hal yang tak dapat diperkirakan, hakekat seluruh pertandingan olahraga”. Dengan mempertimbangkan cara berpikir sedemikian, bagaimana seharusnya seorang Kristiani yang berbakti memandang sepakbola? Sebenarnya, bagaimanakah seorang Kristiani memandang semua olahraga profesional?

”Mereka yang tidak menyukai sepakbola kehilangan sesuatu dalam kehidupan,” tulis Bertrand Russell. Tentu, main sepakbola atau olahraga apapun boleh jadi menyenangkan dan menyehatkan, khususnya bagi orang-orang yang hidup secara monoton. Tetapi, apakah ini berarti tidak ada bahaya yang terlibat?

Alkitab menyatakan, ”dan janganlah kita gila hormat, janganlah kita saling menantang dan saling mendengki”. (Galatia 5:26) Kejuaraan Piala Dunia terang-terangan mendemonstrasikan bagaimana kekerasan dan sikap harus menang dengan cara apapun sering kali tidak terpisahkan. Inilah sisi negatif dari olahraga profesional. Untuk menghindari semacam ”perbuatan daging”, orang Kristiani, baik pemain maupun penonton, harus tetap mengendalikan semangat mereka, terutama sehubungan dengan keinginan untuk menjadi nomor satu. (Galatia 5:19-21) Ingat pernyataan sebuah puisi, ”Saat Seorang Pencatat Hasil Pertandingan datang untuk mencatat nama Anda, ia menilai—bukan perihal Anda menang atau kalah—tetapi cara Anda bermain dalam pertandingan.”

Segi lain yang tidak boleh diabaikan adalah masalah waktu. Apakah Anda termasuk jutaan pemirsa televisi yang dengan tekun menghabiskan waktu berjam-jam menyaksikan acara-acara olahraga? Sebagai perbandingan, berapa banyak waktu yang anda habiskan untuk berolahraga? Seimbang—inilah kuncinya. Ini berarti mencari waktu untuk olahraga dan rekreasi, tanpa mengabaikan yang lebih penting yaitu kegiatan rohani. Rasul Paulus memberi Timotius muda suatu nasehat yang tetap berlaku saat ini, ”Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah itu berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun untuk hidup yang akan datang.”—1 Timotius 4:8.

[Catatan Kaki]

a Sebuah penjelasan tentang asal kata ”hooligan” menyatakan, ”Pria bernama Patrick Hooligan, yang berjalan mondar-mandir di antara rekan-rekannya, merampok mereka dan kadang-kadang menghajar mereka.”—A Dictionary of Slang and Unconventional English, oleh Eric Partridge.

[Keterangan Gambar di hlm. 23]

Photo Agenzia Giuliani

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan