PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g92 Mei hlm. 14-19
  • ”Saya Pernah Bertekad untuk Mati demi Kaisar”

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • ”Saya Pernah Bertekad untuk Mati demi Kaisar”
  • Sedarlah!—1992
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Keadaan yang Memprihatinkan di Cina
  • Menuju Singapura
  • Lebih Baik Mati daripada Menyerah
  • Merebut Singapura
  • Menyaksikan Tragedi di Hiroshima
  • Kepercayaan Akan Allah Sirna
  • Menemukan Allah Sejati
  • Sukacita karena Loyal Melayani Allah yang Mahatinggi
  • Bersukacita Seumur Hidup dalam Melakukan Kehendak Allah
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—2008
  • Singapura—Permata Asia yang Ternoda
    Sedarlah!—1997
  • Dari Ibadat kepada Kaisar Beralih ke Ibadat Sejati
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1998
  • Ayah Saya ”Keluar Penjara karena Dibom Atom”
    Sedarlah!—1994
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1992
g92 Mei hlm. 14-19

”Saya Pernah Bertekad untuk Mati demi Kaisar”

1. ”Prajurit harus menjadikan loyalitas sebagai kewajibannya.

2. Prajurit harus menjadikan kesusilaan sebagai jalan hidupnya.

3. Prajurit harus menjunjung tinggi keberanian militer.

4. Prajurit harus mempunyai penghargaan yang tinggi akan keadilan.

5. Prajurit harus menempuh kehidupan yang sederhana.”

LIMA pernyataan ini adalah butir-butir sumpah yang dirumuskan untuk mengilhami orang-orang yang baru masuk wajib militer di Angkatan Bersenjata Kekaisaran Jepang. Para perwira senior akan datang setiap hari untuk menyuruh setiap anggota baru mengucapkan kembali kelima butir sumpah tadi di bawah ancaman pukulan tinju apabila tidak menyebutkannya secara benar. Yang khususnya ditekankan adalah loyalitas yang tak terpatahkan kepada kaisar dan negara.

Saya masuk wajib militer tahun 1938, sewaktu Jepang terlibat Perang Cina-Jepang tahun 1937-45. Pada setiap kesempatan, kami dicekoki gagasan bahwa perang itu suci dan sebagaimana halnya ”angin ilahi” (kamikaze) yang menyapu bersih bangsa Mongol sewaktu mereka menyerang Jepang pada akhir abad ke-13, dewa-dewa Jepang, atau kami, akan memberi bangsa kami kemenangan.

Setelah mendapat pelatihan bela diri dan ”rohani”, kami berangkat ke medan perang pada tahun 1939. Orang-tua saya memberi saya sabuk seribu rajutan untuk mengikat pinggang saya. Sabuk itu dibuat dengan meminta seribu orang yang berbeda untuk merajutkan benang-benang merah sebagai doa kemenangan dan agar saya selalu beruntung sebagai seorang prajurit. Sewaktu bertolak menuju Cina dan mengucapkan selamat tinggal kepada negara saya, perasaan saya campur aduk. ’Mungkin inilah kali terakhir saya melihat tanah air saya,’ pikir saya. Pada waktu yang sama, saya bertekad untuk mati demi sang kaisar.

Keadaan yang Memprihatinkan di Cina

Selama bulan Juli 1939, di bawah panas terik yang khas di daratan Cina, kami dilibatkan dalam suatu operasi sapu bersih di Cina tengah. Saya berbaris membawa peralatan lengkap dengan ransel seberat 30 kilogram namun saya selalu mengenakan sabuk seribu rajutan. Setelah berbaris sepanjang hari, kira-kira 40 kilometer, saya dengan kaki lecet berjalan terseok-seok karena kecapaian. Dengan pedang, saya memecahkan kulit telapak kaki yang menggembung berisi air dan membubuhkan asam salicyl ke atasnya. Sengatan rasa perih hampir menghempaskan saya ke udara! Namun saya ulangi penyiksaan diri demikian sampai kulit luka di telapak kaki saya menebal dan saya tidak lagi merasa perih.

Berbaris di bawah terik matahari membuat saya kering seperti tulang. Saya menaruh air yang kecoklatan dari sebuah sungai kecil ke dalam botol minum, ditambah bubuk pemutih, dan memuaskan dahaga saya. Minuman apa pun segera menjadi keringat yang membasahi pakaian saya dan meninggalkan noda putih berupa garam di seragam saya. Kemudian saya merasa gatal-gatal dan perih di seluruh tubuh. Suatu hari, saya membuka seragam dan menemukan kutu-kutu merayap dan telur-telur kutu di mana-mana! Saya mematikan mereka satu demi satu, tetapi saya tidak mungkin membunuh semua kutu yang sangat banyak itu. Kami semua kena kutu. Maka sewaktu kami tiba di sebuah sungai kecil, kami turun mandi. Badan setiap orang penuh bintik-bintik merah yang membengkak karena gigitan kutu. Setelah mandi, kami merendam seragam kami di air mendidih untuk membunuh binatang-binatang kecil tersebut.

Belakangan, saya dipindahkan ke kantor pusat divisi di Shanghai dan menjadi bendahara prajurit berpangkat rendah. Pekerjaan saya sebagai bendahara adalah membuat pembukuan bagi pasukan dan mengurus kotak kas. Suatu hari, saya melihat dua kuli Cina mencoba melarikan kotak kas itu. Saya peringatkan mereka, menodongkan pistol dan menembak. Mereka berdua langsung mati. Belakangan, kejadian ini mengganggu hati nurani saya selama bertahun-tahun.

Menuju Singapura

Pada akhir tahun 1941, membawa peralatan lengkap, kami diperintahkan untuk naik ke kapal. Kami tidak diberi tahu apa-apa mengenai tempat tujuan kami. Setibanya di Hong Kong, sejumlah sepeda, tank dan meriam jarak jauh dimuati. Masker-masker gas dan seragam musim panas dibagi-bagikan, dan kami bertolak kembali ke laut. Beberapa hari kemudian, kami diberi tahu, ’Kita ditugaskan untuk melaksanakan peperangan ilmiah yang luar biasa banyak. Pastikan sekarang untuk meninggalkan kata-kata perpisahan kepada keluarga kalian.’ Saya menulis surat terakhir untuk orang-tua saya, memohon mereka memaafkan saya karena tidak melakukan apa-apa untuk memenuhi tugas saya sebagai anak. Saya mengatakan bahwa saya akan mengorbankan kehidupan saya demi kaisar dan mati untuk negara saya.

Di pagi buta tanggal 8 Desember 1941, hari yang sama sewaktu pesawat pengebom Jepang menyerang Pearl Harbor, kami mengadakan serangan amfibi ke pantai Propinsi Songkhla, Thailand, sewaktu hari masih gelap.a Laut mengamuk. Sebuah tangga tali dilemparkan dari kapal utama. Kami harus menuruni dua pertiga dari panjang tangga dan kemudian melompat ke sekoci penyerang, yang sedang berayun-ayun seperti daun diterbangkan angin. Dan kami melakukannya sambil menyandang ransel kami yang berat! Musuh mengebom kami, namun serangan kami berhasil. Langkah kami selanjutnya melewati hutan ke Singapura mulai.

Sebagai bendahara, pekerjaan utama saya selama manuver ini adalah mengamankan perbekalan pasukan. Kami harus mendapatkannya secara lokal, karena kami tidak dapat mengandalkan kiriman dari Jepang. Itu berarti bahwa bendahara harus bergerak maju bersama para prajurit di garis depan, mencari persediaan makanan dan mengamankan persediaan tersebut. Meskipun pada waktu itu saya tidak merasa bersalah ketika melakukannya, itu tidak bedanya dengan perampokan besar-besaran.

Lebih Baik Mati daripada Menyerah

Selama pertempuran yang sengit di Alor Setar dekat perbatasan Thailand dan Malaka, kami menemukan gudang besar penuh makanan. Saya berpikir, ’Kabar baik ini harus segera disampaikan kepada Kantor Bendahara di garis belakang.’ Saya berangkat dengan sebuah mobil yang kami rampas dari tentara Inggris, bersama seorang anak buah saya sebagai supir. Kami melaju dengan gembira hingga kami menoleh dan melihat barisan tank-tank Inggris. Kami telah salah jalan dan mendapati diri kami berhadapan dengan kira-kira 200 prajurit India dan Inggris! Inikah kekalahan kami? Jika kami tidak bisa meloloskan diri, kami akan menjadi tawanan yang hina. Sebagai prajurit Jepang, daripada hidup terhina sebagai tawanan perang, kami bertekad untuk mati. Saya menodongkan pistol ke pelipis supir, dan ia menghunus pisaunya ke perut saya. Saya memerintahkannya untuk maju terus. Kami melintasi berondongan peluru senapan mesin. Meskipun kami tidak terluka, kami benar-benar kehilangan arah. Kami tiba di sebuah jalan buntu, meninggalkan kendaraan dan mulai berjalan melewati hutan. Meskipun diserang ular dan dikejar-kejar musuh, kami berjuang berhari-hari untuk kembali ke pasukan kami. Sewaktu kami tiba, kami mendapati bahwa mereka telah membuat laporan tertulis, mengatakan bahwa kami telah tewas dalam peperangan.

Di Kuala Lumpur, Malaka, kami melihat banyak tawanan perang asal Inggris. Mereka sangat berbeda dengan tentara Jepang yang berpikir bahwa menjadi tawanan perang merupakan hal yang merendahkan martabat dan memalukan. Tentara-tentara Inggris tetap optimis dan mengatakan bahwa suatu hari situasi akan berbalik. Kami mengabaikan kata-kata mereka, seraya kami terus bergerak maju dengan semakin cepat.

Merebut Singapura

Segera kami menghadapi Pulau Singapura. Di sepanjang pantai terdapat ranjau-ranjau yang tak terhitung banyaknya dan pagar-pagar kawat yang dialiri listrik. Tembakan terarah dari meriam jarak jauh kami yang dipusatkan pada suatu sisi pantai membantu membuka peluang untuk masuk, dan kami pun mendarat.

Singapura adalah pulau yang relatif kecil, namun secara keseluruhan, 160.000 prajurit bertarung memperebutkannya. Sewaktu kami terus menyusuri jalan, kami tersandung mayat rekan-rekan kami. Inggris takut terhadap serangan malam kami. Kesshitai (Bertekad untuk Mati), pasukan-pasukan berani mati Jepang, masing-masing dengan kira-kira puluhan anggota, menyerang secara bertahap dengan pedang-pedang mereka yang terhunus. Sewaktu imbauan diserukan untuk menarik lebih banyak tenaga sukarela, setiap orang merelakan diri. Kami merasa suatu kehormatan untuk mati demi kaisar.

Sewaktu kami menyeberangi Selat Johor dari Semenanjung Malaka bulan Februari 1942, kami mendapati bahwa di kejauhan pihak musuh telah mengarahkan artileri Changi kebanggaan mereka, berpikir bahwa kami akan datang dari laut lepas. Akan tetapi, begitu artileri tersebut diarahkan kepada kami, mereka benar-benar menakutkan.

Peluru-peluru dari artileri musuh meninggalkan lubang-lubang besar di jalan yang terbentang di hadapan kami, membuat kendaraan militer tidak dapat melewatinya. Dua belas tawanan perang diperintahkan untuk berdiri di sekeliling lubang tersebut. Pasukan penembak menodongkan senapan-senapan mesin ke arah mereka dan menembaki mereka. Selusin tawanan lainnya diperintahkan untuk melemparkan mayat-mayat itu ke dalam lubang dan menimbunnya dengan tanah. Sesudah itu, dengan serangkaian tembakan senapan mesin, mereka menjadi penambal jalan yang berikutnya. Ini berlangsung terus sampai jalan benar-benar dapat dilewati. (Sekarang saya benar-benar merasa pedih bila mengenang beberapa kekejaman yang kami lakukan, namun hal-hal itu merupakan bagian dari kenyataan yang mengerikan dari perang yang buruk itu.) Pada waktu itu, hati nurani saya seolah-olah telah ”dicap . . . dengan besi panas”, sangat dikeraskan sehingga saya tidak tergugah oleh emosi apa pun melihat kekejaman ini.—1 Timotius 4:2, NW.

Tanggal 15 Februari 1942, perwira berpangkat tinggi Inggris dengan bendera putih menghampiri kami dengan beberapa anak buahnya. ”Itu Jenderal Percival!” teriak seorang rekan. ’Kami menang!’ kata saya dalam hati. Panglima tertinggi angkatan bersenjata Inggris di Malaka sudah menyerah. Saya ingat betul sewaktu hadir pada upacara ketika panglima Inggris menyerahkan pedangnya kepada panglima Jepang. Keyakinan saya akan kuasa dewa-dewa kuno Jepang semakin kuat.

Setelah kami merebut Singapura, saya dikirim ke berbagai tempat, termasuk Papua (New Guinea). Kemudian, tahun 1943, saya mendapat perintah untuk kembali ke Jepang. Saya begitu gembira karena dapat berjumpa kembali dengan orang-tua saya. Akan tetapi, kapal kami harus menunggu karena ada kapal-kapal selam musuh. Sesudah itu, kebanggaan karena menang perang segera berubah menjadi kekalahan. Saya ingat apa yang pernah dikatakan tawanan perang asal Inggris di Kuala Lumpur kepada kami. Ya, situasinya berbalik.

Menyaksikan Tragedi di Hiroshima

Sewaktu saya akhirnya mendarat di Jepang, saya menggenggam tangan, berdoa syukur kepada para dewa dan kepada Budha. ’Pasti ini karena kuasa pelindung sabuk seribu rajutan dan dewa-dewa purba yang menyertai saya,’ pikir saya. Karena kami bebas tugas, komandan di pos memerintahkan kami supaya punya anak. ”Jika Anda tidak punya keluarga,” katanya, ”Anda tidak patriotis.” Untuk melaksanakan perintah ini, saya memutuskan untuk menikah. Seorang sanak-saudara mengatur pernikahan untuk saya, dan saya mengambil Hatsuko sebagai istri saya pada bulan Desember 1943.

Saya bertugas sebagai penjaga penjara di pinggir kota Hiroshima sewaktu sebuah bom atom meledakkan kota itu tanggal 6 Agustus 1945. Dibutuhkan orang-orang untuk pergi dan membantu mereka yang ada di reruntuhan kota itu. ”Jika ada di antara kalian bersedia pergi dengan semangat juang, mari bergabung bersama kami,” imbau pengawas saya. Meskipun istri saya sedang mengandung anak kami yang pertama, mental militer saya yang terlatih mendesak saya untuk pergi. Kami menerima ikat kepala bergambar matahari terbit di tengah-tengahnya dan rangkaian huruf bertuliskan Kesshitai.

Misi kami adalah membebaskan para tawanan di penjara Hiroshima. Sewaktu menuju ke sana, kami melewati sungai-sungai yang dipenuhi mayat. Karena tidak tahan terhadap udara panas akibat ledakan, orang-orang terjun ke sungai. Setibanya kami di penjara, kami memberi pertolongan pertama kepada para tawanan dan mengangkut mereka dengan truk ke rumah sakit. Saya tidak menduga sedikit pun bahwa Katsuo Miura, seorang Saksi Yehuwa yang bertahan dalam kenetralan Kristennya di Jepang selama perang, pada waktu itu berada di penjara tersebut karena agamanya.

Kepercayaan Akan Allah Sirna

Seminggu kemudian, saya diharuskan melapor ke Kantor Bendahara Pasukan Teknik di Hiroshima. Seraya saya berjalan ke arah mobil yang akan membawa saya, sebuah sekolah setempat mengumandangkan siaran khusus melalui pengeras suara. Itulah kali pertama suara Kaisar Hirohito dikumandangkan melalui radio. Saya berdiri tegap dan mendengarkan pengumuman darinya. Air mata menggenangi mata saya dan mengalir membasahi pipi. Saya merasa seolah-olah seluruh kekuatan saya tersedot. Ia berkata bahwa ia akan ’menanggung yang tidak dapat ditanggung’. Ia dengan rendah hati akan minta maaf dan menyerah kepada Tentara Sekutu! Kata ”menyerah” yang tidak terampuni dari mulut seorang kaisar-dewa!

Angin ”ilahi” tidak pernah bertiup, dan Jepang, negeri ”ilahi”, sudah kalah. Kepercayaan saya kepada kaisar dan negara musnah. Hari-hari berlalu tanpa tujuan dan tanpa harapan. Karena berpikir bahwa Allah yang sejati tidak ada di antara dewa-dewa yang saya percayai, saya menyelidiki berbagai agama. Akan tetapi, agama-agama itu memberi peluang kepada sifat mementingkan diri, menampilkan penyembuhan iman dan tujuan-tujuan yang tamak. Saya akhirnya percaya kepada agama versi saya sendiri. Kesimpulan saya, tujuan utama kehidupan adalah untuk memperlihatkan kasih kepada sesama melalui pekerjaan seseorang. Karena saya bergerak di bidang sepeda, saya mencoba menjual sepeda-sepeda bermutu dengan harga yang pantas dan menyediakan reparasi kilat dengan cara yang baik. Pekerjaan mengambil alih tempat di dalam hati saya yang semula dihuni oleh dewa-dewa.

Menemukan Allah Sejati

Awal tahun 1959, sewaktu saya sedang bekerja di toko saya, dua orang mengunjungi saya dan menawarkan majalah Menara Pengawal dan Sedarlah!. Mereka adalah Saksi-Saksi Yehuwa, dan mereka kembali beberapa hari kemudian untuk menganjurkan saya belajar Alkitab. Karena saya selalu ingin tahu lebih banyak tentang Allah, saya langsung setuju. Saya juga mengundang istri saya untuk ikut belajar Alkitab setiap minggu.

Akhirnya, saya mulai mengerti bahwa saya telah percaya kepada sesuatu tanpa dasar sedikit pun. Saya sekarang dapat mengerti betapa tidak masuk akal mengabdikan diri saya dengan penuh semangat kepada seseorang yang tidak berkuasa menyediakan keselamatan. Mazmur 146, ayat 3 dan 4, menyapu bersih ikatan kasih kepada kaisar yang tersisa dalam hati saya. Di situ tertulis, ”Janganlah percaya kepada para bangsawan, kepada anak manusia yang tidak dapat memberikan keselamatan. Apabila nyawanya melayang, ia kembali ke tanah; pada hari itu juga lenyaplah maksud-maksudnya.” Loyalitas mutlak yang pernah saya berikan kepada kaisar dan negara selama perang sekarang ditujukan kepada Yang Berdaulat di Alam Semesta dan Pencipta kehidupan, Allah Yehuwa.

Akan tetapi, ada satu hal yang masih membebani hati saya. Itu adalah utang darah yang saya buat pada pertempuran di Cina—dan khususnya di Singapura. Bagaimana mungkin orang yang berutang darah seperti saya melayani Yang Berdaulat di Alam Semesta? Dilema ini terpecahkan pada tahun 1960, ketika kebaktian distrik diselenggarakan di Iwakuni, tempat kami tinggal. Kami menyediakan pemondokan bagi utusan injil Adrian Thompson dan istrinya, Norrine, sewaktu ia mengunjungi kota untuk mengawasi kebaktian. Saya memanfaatkan kesempatan ini untuk menyatakan kekhawatiran saya yang paling dalam dengan menceritakan pengalaman-pengalaman saya di Singapura. ”Saya telah banyak berutang darah. Apakah saya memenuhi syarat untuk mendapat perkenan ilahi?” tanya saya kepadanya. Ia menjawab pertanyaan saya, ”Saudara sedang menempuh haluan Kornelius, perwira Roma di abad pertama.” Kata-katanya menghapuskan keberatan saya yang terakhir, dan saya dibaptis hari berikutnya bersama istri saya.—Kisah 10:1-48.

Sukacita karena Loyal Melayani Allah yang Mahatinggi

Betapa sukacita untuk dapat melayani Pribadi Maha Agung di alam semesta, Yehuwa, yang melampaui semua allah lain yang pernah saya layani! Dan sungguh suatu hak istimewa untuk dapat ambil bagian dalam suatu peperangan rohani sebagai seorang prajurit Kristus Yesus! (2 Timotius 2:3) Saya mulai memperlihatkan kesetiaan saya kepada Allah dalam keluarga saya. Segera setelah saya dibaptis, saya mendengar Ayah berkata kepada Ibu, ’Tomiji tidak mau lagi memberi penghormatan kepada meja Budha, juga ia tidak mau lagi menyelenggarakan upacara peringatan tahunan di makam keluarga kita.’ Anda tahu, orang-orang Jepang menganggap hal itu sebagai tanda kasih apabila anak-anak menyelenggarakan upacara peringatan tahunan untuk menghormati orang-tuanya. Setelah mendengar kata-kata Ayah, saya terdorong untuk membagikan kebenaran dengannya. Ia belajar Alkitab bersama saya dan dibaptis pada musim gugur 1961, bersama dengan putri saya Eiko dan putra saya, Akinobu. Masako, putri bungsu saya, mengikuti teladan mereka. Ibu saya punya agama sendiri dan tidak ingin belajar pada mulanya, namun setelah beberapa tahun, ia juga menyertai kami dalam melayani Yehuwa.

Tahun 1975, saya menyertai istri saya dalam dinas sepenuh waktu sebagai perintis biasa. Sejak itu, saya dapat melayani sebagai prajurit Kristus Yesus di baris depan sidang. Apabila saya merasa sedikit lelah, saya mengenang kegairahan yang saya miliki semasa masih melayani kaisar dan negara, serta mengingatkan diri sendiri, ’Kalau dulu saya melayani kaisar dan negara dengan pengabdian yang sebegitu besar, masakan saya berbuat sedikit dalam melayani Yang Berdaulat di Alam Semesta yang agung?’ Dan saya mendapatkan kembali tenaga saya untuk terus bekerja. (Yesaya 40:29-31) Saya tidak lagi melayani manusia mana pun di bawah kewajiban lima butir sumpah prajurit, melainkan saya sedang melayani Allah Yang Mahatinggi, Yehuwa, dengan pengabdian sepenuh hati berdasarkan pengetahuan yang saksama. Ia berhak menerima loyalitas kita yang sepenuh jiwa.—Sebagaimana diceritakan oleh Tomiji Hironaka.

[Catatan Kaki]

a Serangan atas Pearl Harbor berlangsung tanggal 7 Desember 1941, waktu Hawaii, yang sama dengan tanggal 8 Desember di Jepang demikian pula di Thailand.

[Gambar di hlm. 15]

Tomiji Hironaka pada masa perang

[Gambar di hlm. 16]

Para pekerja pertahanan sipil memadamkan kebakaran pada pertempuran di Singapura

Jenderal Percival menyerah kepada Jepang

[Keterangan]

The Bettmann Archive

[Gambar di hlm. 17]

Hiroshima setelah bom atom jatuh tahun 1945

[Keterangan]

USAF photo

[Gambar di hlm. 18]

Saya dan istri saya bersama buku yang mengubah kehidupan kami—Alkitab

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan