PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g93 8/5 hlm. 15-22
  • Berkemenangan meskipun Menghadapi Maut

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Berkemenangan meskipun Menghadapi Maut
  • Sedarlah!—1993
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Kisah Ananii Grogul dari Ukraina
  • Penyiksaan yang Biadab terhadap Adik Perempuan Saya
  • Kembali ke Ukraina dan Lebih Banyak Penganiayaan
  • Integritas Diuji di Afrika
  • Di Hadapan Regu Tembak
  • ”Baumu Sudah seperti Bau Mayat”
  • Bertemu dengan Tentara Bayaran yang Simpatik
  • ”Pulanglah, Layani Allah Kalian”
  • Menolak Menyumbang bagi Angkatan Bersenjata
  • Gerombolan yang Dipimpin Imam
  • Mati Martir di Luar Dugaan
  • Dukungan Istri yang Setia
  • Mengapa Ada Begitu Banyak Martir?
  • Filipus—Penginjil yang Bergairah
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1999
  • Bertekad Menjadi Prajurit Kristus
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa (Edisi Pelajaran)—2017
  • Filipus
    Pemahaman Alkitab, Jilid 1
  • ”Menyampaikan Kabar Baik tentang Yesus”
    ”Memberikan Kesaksian yang Saksama tentang Kerajaan Allah”
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1993
g93 8/5 hlm. 15-22

Berkemenangan meskipun Menghadapi Maut

”Amat mengherankan, bagi Nazi, [Saksi-Saksi] tidak dapat juga dilenyapkan. Semakin keras mereka ditekan, semakin kuat mereka jadinya, sekeras berlian pertahanan mereka. Hitler mencampakkan mereka ke dalam pertempuran akhirat, dan mereka memelihara iman. . . . Pengalaman mereka merupakan materi berharga bagi semua yang meneliti keberhasilan untuk bertahan di bawah tekanan yang ekstrem. Karena mereka memang telah berhasil.”​—Dituturkan oleh Dr. Christine King, sejarawan, dalam jurnal Together.

DALAM sejarah abad ke-20 ini, Saksi-Saksi Yehuwa hendaknya dipandang sebagai kelompok agama yang secara universal paling sering difitnah dan dianiaya di atas bumi. Mereka telah disalah-mengerti dan sering diperlakukan sewenang-wenang hanya karena pendirian mereka sehubungan kenetralan Kristen dan penolakan untuk belajar atau berlatih perang. Keterpisahan mereka dari segala ikatan politik telah menimbulkan kemarahan atas diri mereka dari pemerintah totaliter di banyak negeri. Namun, salah satu sumbangan mereka kepada sejarah modern adalah catatan kenetralan yang teguh dan integritas yang tak terpatahkan.a

Sejarawan Inggris bernama Arnold Toynbee menulis pada tahun 1966, ”Pada zaman kita di Jerman, ada banyak martir Kristen yang benar-benar menyerahkan kehidupan mereka sebaliknya daripada memberikan pemujaan kepada Nasionalisme yang berlebihan yang diwakili oleh ilah manusia bernama Adolf Hitler.” Fakta memperlihatkan bahwa Saksi-Saksi Yehuwa menonjol di antara banyak martir tersebut. Beberapa pengalaman akan melukiskan bagaimana mereka menghadapi penindasan dan bahkan kematian karena integritas mereka​—dan ini bukan hanya selama periode Nazisme. Di banyak bagian dunia, catatan mereka yang berkemenangan meskipun menghadapi maut bersifat konsisten dan tak tertandingi.

Kisah Ananii Grogul dari Ukraina

”Orang-tua saya menjadi Saksi-Saksi Yehuwa pada masa Perang Dunia II, tahun 1942, ketika saya berusia 13 tahun. Tak lama kemudian, ayah saya ditangkap, dijebloskan ke dalam penjara, dan kemudian dipindahkan ke kamp-kamp Soviet di Pegunungan Ural. Ketika saya berusia 15 tahun, pada tahun 1944, pihak berwenang militer memanggil saya untuk mengikuti pelatihan dasar dalam angkatan bersenjata. Karena saya telah memiliki iman yang teguh kepada Yehuwa, saya menolak untuk belajar perang. Karena alasan ini, pada usia yang masih sangat muda, saya dijatuhi hukuman penjara selama lima tahun.

”Kemudian tibalah tahun 1950 yang amat sulit. Saya sekali lagi ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara selama 25 tahun karena kegiatan saya sebagai seorang Saksi. Saya berusia 21 tahun. Saya menjalani hukuman di kamp-kamp buruh selama tujuh tahun empat bulan. Saya melihat banyak orang tewas, busung karena kelaparan dan kehabisan tenaga karena bekerja terlampau keras.

”Setelah kematian Stalin pada tahun 1953, keadaan mulai berubah, dan pada tahun 1957, pihak berwenang membebaskan saya dari penjara. Sekali lagi saya mengalami ’kemerdekaan’. Namun kali ini, mereka membuang saya ke Siberia selama sepuluh tahun.”

Penyiksaan yang Biadab terhadap Adik Perempuan Saya

”Di Siberia, saya dipersatukan kembali dengan adik perempuan saya, yang telah menjadi cacat. Ia telah ditahan tepat dua minggu setelah saya, yaitu pada tahun 1950. Penyelidikan atas kasusnya dilaksanakan dengan cara yang benar-benar kejam. Mereka mengurungnya di sel terpisah dan membiarkan tikus-tikus berkeliaran di dalam sel bersamanya. Tikus-tikus ini menggigiti kakinya dan merayap di sekujur tubuhnya. Akhirnya, para penyiksanya menyuruh dia berdiri dalam air yang dingin sebatas dada seraya mereka menonton penderitaannya. Ia dijatuhi hukuman penjara selama 25 tahun karena kegiatan pengabarannya. Kedua kakinya menjadi lumpuh, namun tangan dan lengannya masih dapat berfungsi. Selama lima tahun, mereka merawatnya di sebuah rumah sakit kamp dan akhirnya menghapus namanya dari daftar seolah-olah ia sudah mati. Kemudian, mereka mengirimnya kepada orang-tua kami, yang menjalani pembuangan seumur hidup di Siberia pada tahun 1951.”

Kembali ke Ukraina dan Lebih Banyak Penganiayaan

”Di Siberia, saya berjumpa dengan Nadia, yang menjadi istri saya dan melahirkan anak-anak kami. Bahkan di Siberia, kami terus melakukan pekerjaan pengabaran kami. Saya dipercayakan untuk memproduksi dan memperbanyak lektur-lektur Alkitab. Setiap malam, saya dan adik lelaki saya Jacob, sibuk di tempat yang tersembunyi di lubang perlindungan bawah tanah, memperbanyak Menara Pengawal. Kami memiliki dua mesin ketik dan mesin stensil rakitan sendiri. Rumah kami digeledah secara tetap tentu oleh polisi. Setiap kali, mereka pulang dengan tangan hampa.

”Masa pembuangan saya berakhir. Bersama seluruh keluarga, saya pindah ke Ukraina, namun penganiayaan membuntuti kami. Saya ditugaskan untuk melayani sebagai pengawas keliling. Saya harus bekerja untuk menghidupi keluarga saya. Beberapa kali setiap bulan, agen rahasia Keamanan Negara datang ke tempat kerja saya dan berupaya membujuk saya agar mengkompromikan iman saya. Pernah, saya merasakan dukungan Yehuwa dengan cara yang sangat istimewa. Mereka menangkap saya dan membawa saya ke markas Keamanan Negara di Kiev, tempat mereka menahan saya selama enam hari. Selama waktu itu, mereka berupaya membingungkan saya dengan propaganda yang bersifat ateis. Secara tidak hormat, mereka mengomentari Menara Pengawal dan publikasi-publikasi lain dari Watch Tower Society. Tekanan itu nyaris tidak tertanggungkan. Di dalam kamar mandi, saya jatuh berlutut dan menangis, berseru kepada Yehuwa. Bukan, bukan kebebasan yang saya minta, melainkan kekuatan untuk bertekun dan agar tidak mengkhianati saudara-saudara saya.

”Kemudian kepala polisi datang untuk melihat saya, lalu duduk di hadapan saya, ia bertanya kepada saya apakah saya benar-benar yakin akan apa yang saya pertahankan. Saya memberinya kesaksian singkat dan memberi tahu kesediaan saya untuk mati demi kebenaran. Jawabannya adalah, ’Anda orang yang berbahagia. Seandainya saja saya yakin bahwa ini adalah kebenaran, saya bersedia bukan hanya untuk mendekam di penjara selama 3 atau 5 tahun, tetapi untuk berdiri di atas satu kaki di dalam penjara selama 60 tahun.’ Setelah diam sejenak, ia berkata, ’Ini masalah kehidupan kekal. Dapatkah Anda bayangkan apa arti kehidupan kekal?’ Ia duduk, merenung lagi, dan kemudian berkata, ’Pulanglah!’ Kata-kata tersebut memberi saya kekuatan tak terduga. Saya tidak merasa lapar lagi. Saya hanya ingin pergi. Saya merasa yakin bahwa Yehuwa-lah yang telah menguatkan saya.

”Dalam tahun-tahun terakhir ini, segala sesuatu telah berubah di daerah bekas Uni Soviet. Sekarang ada berlimpah lektur Alkitab. Kami dapat menghadiri kebaktian wilayah dan distrik, dan kami ambil bagian dalam setiap corak kegiatan pengabaran, termasuk pelayanan dari rumah ke rumah. Sungguh, Yehuwa telah memberi kami kemenangan meskipun menghadapi banyak ujian!”

Integritas Diuji di Afrika

Selama akhir tahun 1960-an, Nigeria diporak-porandakan oleh suatu perang sipil yang menghancurluluhkan. Karena kalah terus-menerus, tentara-tentara di daerah terpencil yang pada waktu itu bernama Biafra, memaksa pemuda-pemuda dengan kekerasan untuk wajib militer dalam angkatan bersenjata mereka. Karena Saksi-Saksi Yehuwa netral secara politik dan menolak untuk terlibat dalam peperangan, banyak Saksi di Biafra dikejar-kejar, diperlakukan dengan kejam, dan dibunuh. Salah seorang Saksi-Saksi Yehuwa berkata, ”Kami bagaikan tikus. Kami harus bersembunyi setiap kali mendengar tentara-tentara datang.” Sering kali tidak ada kesempatan untuk bersembunyi.

Pada suatu Jumat pagi tahun 1968, Philip, seorang rohaniwan sepenuh waktu berusia 32 tahun, berada di desa Umuimo, sedang mengabar kepada seorang pria lanjut usia sewaktu tentara Biafra menggemparkan kompleks perumahan dengan suatu kampanye wajib militer.

”Sedang apa kamu di sini?” desak pemimpin unit. Philip mengatakan bahwa ia sedang berbicara mengenai kedatangan Kerajaan Yehuwa.

”Sekarang bukan waktunya untuk mengabar!” bentak tentara lain. ”Sekarang masa perang, dan kami tidak suka melihat pria-pria sehat walafiat keluyuran.” Tentara-tentara itu kemudian menelanjangi Philip, mengikat kedua tangannya, dan membawanya pergi. Israel, seorang penatua Kristen berusia 43 tahun, juga tidak punya kesempatan untuk bersembunyi. Ia ditangkap sewaktu sedang mempersiapkan makanan untuk anak-anaknya. Hingga pukul 2.00 siang, para tentara telah mengumpulkan lebih dari seratus pria. Mereka memaksa para tahanan untuk lari sejauh 25 kilometer ke kamp militer di Umuacha Mgbedeala. Siapa pun yang lari terlalu lambat dicambuk.

Israel diberi tahu bahwa ia akan memanggul senapan mesin berat; Philip akan dilatih untuk menggunakan senapan mesin ringan. Sewaktu mereka menjelaskan bahwa mereka tidak dapat mengikuti dinas militer karena Yehuwa melarangnya, sang komandan memerintahkan agar mereka dikurung di ruang jaga. Pada pukul 4.00 sore, semua peserta wajib militer, termasuk mereka yang di ruang jaga, diperintahkan untuk berbaris. Para tentara kemudian menyuruh setiap orang menandatangani selembar kertas yang memperlihatkan bahwa ia telah setuju untuk masuk angkatan bersenjata. Ketika tiba gilirannya untuk menandatangani, Philip mengacu kata-kata di 2 Timotius 2:3, 4 dan berkata kepada sang komandan, ”Saya sudah menjadi ’tentara yang baik dari Kristus’. Saya tidak dapat berperang bagi Kristus dan juga berperang bagi pihak lain. Jika saya melakukannya, Kristus akan menganggap saya sebagai pengkhianat.” Komandan memukulnya di kepala, sambil berkata, ”Pengangkatan kamu sebagai tentara Kristus telah berakhir! Sekarang kamu seorang tentara Biafra.”

Philip menjawab, ”Yesus belum memberi tahu saya bahwa pengangkatan saya sebagai tentaranya telah berakhir, dan pengangkatan saya tetap berlaku hingga saya menerima pemberitahuan tersebut.” Karena jawaban itu, para tentara mengangkat Philip dan Israel ke udara dan membantingnya ke tanah. Dalam keadaan pusing dan bersimbah darah dari mata, hidung, serta mulut mereka, keduanya diseret ke luar.

Di Hadapan Regu Tembak

Kemudian pada hari itu, Israel dan Philip mendapati diri mereka berhadapan dengan regu tembak. Namun tentara-tentara itu tidak menembak mereka. Sebaliknya, tentara-tentara itu memukuli mereka dengan tinju dan gagang senapan. Lalu komandan kamp memutuskan untuk mencambuki mereka sampai mati. Ia menyuruh 24 tentara untuk melakukannya. Enam orang untuk mencambuk Philip, dan enam orang lagi untuk mencambuk Israel. Dua belas tentara lainnya ditugaskan untuk menyediakan tongkat cadangan dan menggantikan sewaktu tentara lain merasa lelah.

Philip dan Israel diikat tangan dan kakinya. Israel menuturkan, ”Saya tidak dapat katakan berapa banyak pukulan yang kami dapatkan malam itu. Bila satu tentara lelah, yang lain akan menggantikannya. Mereka mencambuki kami bahkan setelah kami pingsan.” Kata Philip, ”Matius 24:13, yang berbicara mengenai bertekun hingga akhir, terlintas dalam pikiran saya sewaktu penyiksaan, dan menguatkan saya. Saya merasakan nyeri karena pukulan hanya selama beberapa detik. Tampaknya seolah-olah Yehuwa mengirimkan salah seorang malaikatnya untuk membantu kami, sebagaimana dilakukan-Nya pada zaman Daniel. Kalau tidak, kami tidak dapat melewati malam yang mengerikan itu.”

Sewaktu tentara-tentara selesai, Israel dan Philip dibiarkan begitu saja karena disangka akan mati. Kala itu sedang hujan. Belum sampai keesokan hari, kedua orang Kristen tersebut mulai siuman. Sewaktu tentara-tentara melihat bahwa mereka masih hidup, mereka menyeretnya kembali ke ruang jaga.

”Baumu Sudah seperti Bau Mayat”

Pencambukan membuat tubuh mereka memar, dengan luka-luka di sekujur tubuh mereka. Israel mengenang, ”Kami tidak diperbolehkan membasuh luka kami. Setelah beberapa hari, lalat-lalat terus-menerus berpesta pora di luka-luka kami. Karena siksaan tersebut, kami tidak bisa makan. Baru setelah satu minggu kami bisa memakan sesuatu selain meminum air.”

Setiap pagi tentara-tentara itu mencambuki mereka dengan cemeti​—masing-masing 24 kali. Para tentara dengan sadis menyebut hal itu sebagai ”sarapan” atau ”teh hangat pagi hari”. Setiap malam, tentara-tentara membawa mereka ke ladang untuk menatap matahari tropis hingga pukul 1.00 siang. Setelah menerima perlakuan demikian selama beberapa hari, sang komandan memanggil mereka dan menanyakan apakah mereka telah mengubah pendirian mereka. Mereka mengatakan tidak.

”Kamu akan mati di dalam sel,” kata komandan. ”Sebenarnya, baumu sudah seperti bau mayat.”

Philip menjawab, ”Bahkan meskipun kami mati, kami tahu bahwa Kristus, yang baginya kami bertempur, akan membangkitkan kami.”

Bagaimana mereka melewati masa-masa yang mengerikan ini? Israel berkata, ”Saya dan Philip saling menganjurkan selama pencobaan kami. Pada mulanya, saya mengatakan kepadanya, ’Jangan takut. Apa pun masalahnya, Yehuwa akan membantu kita. Bagi saya, tidak ada satu pun yang dapat membuat saya masuk angkatan bersenjata. Bahkan sekalipun saya harus mati, saya tidak akan mengangkat senapan dengan tangan saya ini.’” Philip mengatakan bahwa ia telah mengambil keputusan yang sama. Mereka bersama-sama mengingat dan membahas berbagai ayat Alkitab.

Seorang komandan yang baru, memutuskan untuk memindahkan sekitar seratus peserta wajib militer ke Ibema, suatu kamp pelatihan di daerah Mbano yang sekarang merupakan Negara Bagian Imo. Israel menuturkan apa yang terjadi selanjutnya, ”Truk besar sudah siap, dan semua peserta berada di dalam. Istri saya, June, lari menghampiri tentara-tentara itu dan dengan berani memohon agar kami jangan dibawa. Karena tidak dikabulkan, ia berlutut di dekat truk, berdoa, dan menutup dengan kata amin sekeras-kerasnya. Kemudian truk pun berlalu.”

Bertemu dengan Tentara Bayaran yang Simpatik

Truk angkatan bersenjata sampai di kamp Ibema pada sore hari. Pria yang tampaknya bertugas di sana adalah seorang tentara bayaran asal Israel. Sewaktu ia melihat betapa lemah dan parahnya Philip dan Israel, ia menghampiri dan bertanya kepada mereka mengapa mereka dalam keadaan yang begitu menyedihkan. Mereka menjelaskan bahwa mereka adalah Saksi-Saksi Yehuwa dan telah menolak pelatihan militer. Dengan marah, ia berpaling kepada petugas-petugas militer di sana. ”Biafra pasti kalah dalam perang ini,” katanya. ”Negara yang sedang berperang mana pun pasti kalah jika mengganggu Saksi-Saksi Yehuwa. Kalian seharusnya tidak memanggil Saksi-Saksi Yehuwa untuk wajib militer. Jika seorang Saksi setuju untuk berperang, itu baik. Tetapi kalau ia menolak, jangan dipaksa.”

Dokter kamp menanyakan apakah kedua Saksi telah menerima suntikan dan surat keterangan sehat dari dokter. Karena mereka belum mendapatkannya, tentara bayaran menolak semua peserta wajib militer dan memerintahkan agar mereka dipulangkan ke Umuacha.

”Pulanglah, Layani Allah Kalian”

Kemudian, istri Israel dan ibu Philip memutuskan untuk mengunjungi kamp Umuacha, berharap mendapat kabar. Seraya mereka mendekat, mereka mendengar keributan di kamp. Di pintu gerbang, penjaga berkata, ”Saksi Yehuwa! Doamu terkabul. Rombongan yang dibawa tiga hari yang lalu telah dipulangkan.”

Pada hari yang sama, Philip dan Israel dibebaskan dari kamp. Komandan mengatakan kepada June, ”Tahukah kamu bahwa serangan kami gagal gara-gara doa yang kaupanjatkan?” Lalu ia berkata kepada Israel dan Philip, ”Pulanglah, layani Allah kalian dan teruslah pelihara integritas kepada Yehuwa kalian.”

Berkenaan Israel dan Philip, mereka sembuh dan terus melakukan kegiatan Kristen. Setelah perang, Israel memasuki dinas sepenuh waktu selama dua tahun dan terus melayani sebagai penatua Kristen. Philip melayani sebagai pengawas keliling selama sepuluh tahun dan masih berada dalam dinas sepenuh waktu. Ia juga seorang penatua sidang.

Menolak Menyumbang bagi Angkatan Bersenjata

Zebulan Nxumalo dan Polite Mogane adalah dua pemuda rohaniwan sepenuh waktu di Afrika Selatan. Zebulan menerangkan, ”Pada suatu hari Minggu pagi, sekelompok pria mendatangi rumah kami dan meminta uang sebesar R20 (sekitar $7, U.S. [Rp 14.000]) untuk membeli senjata. Dengan penuh respek, kami meminta mereka untuk datang lagi pada malam hari, karena jadwal kami hari Minggu itu begitu padat sehingga tidak dapat membahas masalahnya pada saat itu. Di luar dugaan, mereka setuju. Malam itu, 15 pria datang. Jelas dari ekspresi wajah mereka bahwa mereka tidak main-main. Setelah memperkenalkan diri dengan sopan, kami menanyakan apa yang mereka inginkan. Mereka menjelaskan bahwa mereka membutuhkan uang untuk membeli senjata lebih banyak dan lebih baik untuk melawan faksi politik oposisi.

”Saya bertanya kepada mereka, ’Dapatkah kalian memadamkan api dengan bensin?’

”’Tidak, itu tidak mungkin,’ jawab mereka.

”Kami menjelaskan bahwa sama halnya, kekerasan pun hanya akan menyulut kekerasan dan tindakan balas dendam.

”Pernyataan ini tampaknya menjengkelkan beberapa pria yang hadir. Tuntutan mereka sekarang menjadi ancaman yang menantang. ’Tukar pikiran ini hanya membuang-buang waktu saja,’ gertak mereka. ’Sumbangan wajib ini tidak dapat ditawar-tawar lagi. Mau berikan atau, tanggung sendiri akibatnya!’

”Pada saat itu,” kenang Zebulan, ”suasana mulai bertambah runyam, pemimpin mereka masuk. Ia ingin tahu apa masalahnya. Kami menjelaskan pendirian kami, dan ia mendengarkan dengan baik. Kami menggunakan pembaktian mereka kepada golongan politik mereka sendiri sebagai ilustrasi. Kami menanyakan apa yang mereka harapkan dari seorang tentara yang terlatih dari organisasi mereka seandainya ia ditawan dan dipaksa untuk mengkompromikan pendiriannya. Mereka berkata bahwa orang itu harus siap mati demi keyakinannya. Mereka tersenyum sewaktu kami memuji mereka atas jawaban itu; mereka tidak menyadari bahwa mereka telah memberi kami kesempatan emas untuk melukiskan kasus kami. Kami menjelaskan bahwa kami berbeda dengan gereja-gereja Susunan Kristen. Sebagai pendukung Kerajaan Allah, ’undang-undang dasar’ kami berdasarkan Alkitab, yang mengutuk segala macam pembunuhan. Karena alasan ini, kami tidak bersedia menyumbang satu sen pun untuk membeli senjata.

”Ketika itu, seraya diskusi ini mencapai klimaksnya, lebih banyak orang berdatangan ke rumah kami, sehingga kami akhirnya dapat berbicara kepada sejumlah besar hadirin. Mereka tidak tahu betapa khusyuknya kami mendoakan hasil yang baik dari pembahasan tersebut.

”Setelah kami menjelaskan pendirian kami, hening cukup lama. Akhirnya, pemimpin mereka berkata kepada kelompoknya, ’Saudara-saudara, saya mengerti pendirian orang-orang ini. Jika kita meminta uang untuk membangun panti wreda, atau jika salah seorang tetangga kita membutuhkan uang untuk berobat ke rumah sakit, orang-orang ini bersedia merogoh kantongnya. Tetapi mereka tidak bersedia memberi kita uang untuk membunuh. Secara pribadi, saya tidak menentang keyakinan mereka.’

”Mendengar kata-kata tersebut, mereka semua berdiri. Kami berjabatan tangan dan berterima kasih atas kesabaran mereka. Situasi yang berawal dengan sengit dan dapat merenggut kehidupan kami telah berakhir dengan kemenangan besar.”

Gerombolan yang Dipimpin Imam

Seperti diceritakan oleh Saksi asal Polandia, Jerzy Kulesza:

”Sejauh menyangkut gairah dan menempatkan kepentingan Kerajaan di tempat pertama, ayah saya, Aleksander Kulesza adalah teladan untuk diikuti. Baginya, dinas pengabaran, perhimpunan Kristen, dan pelajaran pribadi serta keluarga merupakan perkara-perkara yang benar-benar suci. Badai salju atau udara dingin menggigit atau angin kencang atau panas bukanlah rintangan baginya. Pada musim dingin, ia mengenakan pakaian ski, mengisi ranselnya dengan lektur Alkitab, dan berangkat ke beberapa daerah terpencil di Polandia selama beberapa hari. Ia biasa menghadapi berbagai bahaya, termasuk kelompok gerilya yang kejam.

Kadang-kadang, para imam menghasut perlawanan terhadap Saksi-Saksi, membentuk gerombolan. Mereka biasa mengejek, melempari dengan batu, atau memukuli. Namun Saksi-Saksi pulang ke rumah, bahagia karena dapat menanggung penghinaan demi Kristus.

”Selama tahun-tahun pertama setelah Perang Dunia II, kalangan berwenang tidak dapat menegakkan hukum dan ketertiban di negeri itu. Terdapat kekacauan dan pengrusakan. Polisi dan intelijen berkuasa pada siang hari, sedangkan kelompok gerilya dan berbagai gerombolan beroperasi pada malam hari. Pencurian dan perampokan merajalela, bahkan hukuman mati tanpa proses pengadilan sering dilakukan. Saksi-Saksi dari Yehuwa yang tidak memiliki perlindungan adalah mangsa yang empuk, khususnya bagi kelompok-kelompok yang dipimpin para imam yang dipusatkan kepada Saksi-Saksi. Mereka membenarkan aksi penyerangan ke rumah-rumah kami dengan dalih bahwa mereka membela iman Katolik nenek-moyang mereka. Pada kesempatan-kesempatan itu, mereka memecahkan jendela-jendela, mencuri ternak, serta merusak pakaian, makanan, dan lektur. Alkitab-Alkitab mereka buang ke sumur.”

Mati Martir di Luar Dugaan

”Suatu hari pada bulan Juni 1946, sebelum kami bersepeda ke beberapa daerah terpencil, seorang saudara muda, Kazimierz Kądziela, mengunjungi kami dan berbicara kepada ayah saya dengan suara rendah. Ayah saya menyuruh kami pergi ke tempat tujuan, tetapi ia sendiri tidak ikut, ini membuat kami heran. Kami mendengar alasannya kemudian. Setelah pulang, kami mengetahui bahwa semalam, keluarga Kądziela telah dipukuli dengan kejam, maka ayah saya pergi untuk merawat saudara-saudari yang luka parah.

”Sewaktu saya memasuki ruangan tempat mereka dibaringkan, pemandangannya membuat saya menitikkan air mata. Dinding dan langit-langit penuh percikan darah. Mereka berbalut perban dan berbaring di tempat tidur, dalam keadaan babak belur, bengkak, dengan rusuk dan punggung patah. Mereka hampir tidak bisa dikenali. Saudari Kądziela, ibu dari keluarga itu, dipukuli habis-habisan. Ayah saya membantunya, dan sebelum Ayah pergi, ia mengucapkan kata-kata yang mengesankan, ’Ya, Tuhanku, saya pria yang sehat walafiat [pada waktu itu ia berusia 45 tahun dan belum pernah sakit], dan saya belum mendapat hak istimewa untuk menderita demi Engkau. Mengapa ini harus dialami saudari yang lanjut usia ini?’ Ia tidak menyangka apa yang sedang menantinya.

”Sewaktu matahari terbenam, kami pulang ke rumah yang jaraknya tiga kilometer. Sekelompok 50 pria bersenjata telah mengepung rumah kami. Keluarga Wincenciuk juga dibawa masuk, sehingga ada sembilan orang di dalam rumah itu. Kami masing-masing ditanya, ’Apakah kamu Saksi dari Yehuwa?’ Sewaktu kami menjawab ya, kami dipukuli. Kemudian, secara bergiliran, dua dari antara orang-orang kejam tersebut memukuli ayah saya sambil menanyakan apakah ia akan berhenti membaca Alkitab dan memberitakannya. Mereka ingin tahu apakah ia akan pergi ke gereja dan mengaku dosa. Mereka mengejeknya, dengan berkata, ’Hari ini, kami menahbiskan kamu sebagai uskup.’ Ayah saya diam seribu bahasa, tidak mengeluh sedikit pun. Ia menanggung penyiksaan mereka, diam seperti seekor domba. Pada siang hari, kira-kira 15 menit setelah jagoan-jagoan beragama itu pergi, ia meninggal, dipukuli hingga sekarat. Tetapi sebelum mereka pergi, mereka memilih saya sebagai korban berikutnya. Kala itu, saya berusia 17 tahun. Sewaktu dipukuli, saya pingsan beberapa kali. Tubuh saya babak belur dari pinggang ke atas sebagai akibat pukulan mereka. Kami dianiaya selama enam jam. Semua ini karena menjadi Saksi-Saksi Yehuwa!”

Dukungan Istri yang Setia

”Saya termasuk di antara kelompok yang terdiri dari 22 Saksi yang selama dua bulan dikurung di sel yang gelap berukuran kurang dari sepuluh meter persegi. Pada akhir periode tersebut, jatah makanan kami dikurangi. Setiap hari, kami diberi seporsi kecil roti dan secangkir kopi pahit. Kami hanya dapat berbaring di lantai semen yang dingin untuk tidur, sewaktu seseorang dibawa ke luar dari sel untuk diinterogasi semalaman.

”Saya dipenjarakan lima kali karena kegiatan Kristen, seluruhnya delapan tahun. Saya diperlakukan sebagai tahanan istimewa. Ada catatan pribadi saya berkenaan pengaruh hal ini, ’Ganggulah Kulesza sebanyak-banyaknya sehingga ia kehilangan semangat untuk meneruskan kegiatan itu.’ Akan tetapi, setiap kali saya dibebaskan, saya menawarkan diri untuk pelayanan Kristen. Pihak yang berwenang juga mempersulit kehidupan istri saya, Urszula, dan dua putri saya yang masih kecil. Misalnya, selama sepuluh tahun, juru sita memotong upah yang didapat dengan susah payah oleh istri saya. Katanya ini sebagai pajak dari pekerjaan saya menerbitkan lektur Alkitab ilegal. Segala sesuatu disita kecuali barang-barang yang dianggap sebagai kebutuhan hidup. Saya bersyukur kepada Yehuwa atas keberanian istri saya, yang dengan sabar bertekun bersama saya di bawah penyiksaan dan menjadi dukungan nyata bagi saya setiap waktu.

”Kami telah melihat kemenangan rohani di sini di Polandia; kami sekarang memiliki kantor cabang resmi Lembaga Menara Pengawal di Nadarzyn, dekat Warsawa. Setelah penganiayaan selama berabad-abad, sekarang terdapat lebih dari 108.000 Saksi, tergabung dalam 1.348 sidang.”

Mengapa Ada Begitu Banyak Martir?

Catatan integritas Saksi-Saksi Yehuwa di abad ke-20 ini secara harfiah telah memenuhi berjilid-jilid buku​—ribuan telah meninggal sebagai martir atau menderita pemenjaraan dan penyiksaan, pemerkosaan, dan perampokan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, di tempat-tempat seperti Malawi dan Mozambik, di Spanyol di bawah Fasisme, di Eropa di bawah Nazisme, di Eropa Timur di bawah Komunisme, dan di Amerika Serikat selama Perang Dunia II. Pertanyaan yang timbul, Mengapa? Karena para pemimpin politik dan agama yang tidak fleksibel tidak bersedia merespek hati nurani yang dilatih oleh Alkitab dari umat Kristen yang tulus yang menolak untuk belajar membunuh dan yang tidak ambil bagian dari segala bentuk kegiatan politik. Halnya tepat seperti yang dikatakan Kristus, yang dicatat di Yohanes 15:​17-19, ”Inilah perintahKu kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain. Jikalau dunia membenci kamu, ingatlah bahwa ia telah lebih dahulu membenci Aku dari pada kamu. Sekiranya kamu dari dunia, tentulah dunia mengasihi kamu sebagai miliknya. Tetapi karena kamu bukan dari dunia, melainkan Aku telah memilih kamu dari dunia, sebab itulah dunia membenci kamu.”

Meskipun terdapat penganiayaan seluas dunia ini, Saksi-Saksi Yehuwa meningkat​—dari 126.000 orang di 54 negeri pada tahun 1943 menjadi hampir 4.500.000 orang di 229 negeri pada tahun 1993. Mereka telah mencicipi kemenangan bahkan meskipun menghadapi kematian. Mereka bertekad untuk meneruskan pekerjaan pendidikan mereka yang unik yaitu memberitakan kabar baik Kerajaan sampai Yehuwa menyatakan selesai.​—Yesaya 6:11, 12; Matius 24:14; Markus 13:10.

[Catatan Kaki]

a Integritas adalah ”kesetiaan yang teguh kepada aturan moral atau etika yang ketat”.​—The American Heritage Dictionary, Edisi Ketiga.

[Kotak/Foto di hlm. 16]

Mati Martir di Jerman

AUGUST DICKMANN berusia 23 tahun ketika pemimpin SS bernama Heinrich Himmler memerintahkan agar ia ditembak di hadapan Saksi-Saksi lainnya di kamp konsentrasi Sachsenhausen. Gustav Auschner, seorang saksi mata, melaporkan, ”Mereka menembak Saudara Dickmann dan memberi tahu kami bahwa semua akan ditembak apabila tidak menandatangani pernyataan penyangkalan iman kami. Kami akan dibawa ke daerah berpasir, 30 atau 40 orang sekaligus, dan mereka akan menembak kami semua. Keesokan harinya, SS memberi kepada kami secarik kertas yang harus kami tandatangani atau kalau tidak kami akan ditembak. Anda seharusnya melihat wajah masam mereka ketika mereka pergi tanpa mendapat satu tanda tangan pun. Mereka berharap dapat menakut-nakuti kami dengan hukuman mati di muka umum. Namun kami lebih takut untuk tidak menyenangkan Yehuwa, daripada peluru mereka. Mereka tidak lagi menembak salah seorang diantara kami di muka umum.”

[Kotak/Foto di hlm. 19]

Harga Termahal

KADANG-KADANG, kemenangan meskipun menghadapi kematian menuntut harga yang sangat mahal. Sepucuk surat yang diterima dari Sidang Nseleni, di bagian utara Propinsi Natal Afrika Selatan, menuturkan kisah yang tragis, ”Kami menulis surat ini kepada saudara untuk memberitahukan meninggalnya Saudara Moses Nyamussua yang kita kasihi. Pekerjaannya adalah mengelas dan mereparasi mobil. Pada suatu waktu, ia diminta suatu kelompok politik untuk mengelas senapan rakitan sendiri, tetapi ia menolak melakukannya. Kemudian, pada tanggal 16 Februari 1992, mereka mengadakan kampanye politik, dan mereka berkelahi dengan orang-orang dari kelompok oposisi. Pada malam hari yang sama sepulang baku hantam, mereka mendapati saudara ini sedang pergi ke pusat perbelanjaan. Mereka membunuhnya dengan tombak. Apa alasannya? ’Kamu tidak mau mengelas senapan kami, dan sekarang rekan seperjuangan kami meninggal dalam perkelahian.’

”Ini merupakan kejutan besar bagi saudara-saudara,” kata Saudara Dumakude, sekretaris sidang. ”Tetapi,” tambahnya, ”kami masih melanjutkan pelayanan kami.”

[Kotak/Foto di hlm. 21]

Mati Martir di Polandia

PADA tahun 1944, ketika pasukan Jerman mundur dengan cepat dan medan pertempuran semakin mendekati sebuah kota di bagian timur Polandia, petugas pemerintah memaksa penduduk sipil menggali parit-parit untuk merintangi tank. Saksi-Saksi Yehuwa menolak berpartisipasi. Stefan Kieryło, seorang Saksi muda​—baru dua bulan dibaptis—​dipaksa masuk brigade pekerja namun dengan tegas ia bersikap netral yang sama. Berbagai cara digunakan untuk mematahkan integritasnya.

Mereka mengikatnya telanjang di sebuah pohon di rawa-rawa agar ia menjadi mangsa nyamuk dan serangga lain. Ia menanggung itu dan siksaan-siksaan lainnya, maka mereka meninggalkannya seorang diri. Akan tetapi, sewaktu seorang perwira tinggi melakukan inspeksi terhadap brigade, seseorang memberitahukannya bahwa ada seorang pria yang sama sekali tidak mematuhi perintahnya. Stefan diperintahkan sampai tiga kali untuk menggali parit. Bahkan ia menolak untuk mengambil sekop dengan tangannya. Akhirnya ia ditembak mati. Ratusan yang menyaksikan peristiwa ini mengenalnya secara pribadi. Kemartirannya menjadi suatu kesaksian tentang kekuatan besar yang disediakan Yehuwa.

[Gambar di hlm. 17]

Ananii Grogul

[Gambar di hlm. 20]

Jerzy Kulesza

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan