PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g93 8/6 hlm. 12-13
  • Bekerja Keras—Apa Akibatnya?

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Bekerja Keras—Apa Akibatnya?
  • Sedarlah!—1993
  • Bahan Terkait
  • Apakah Kerja Keras Menghasilkan Kebahagiaan?
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1989
  • Bekerja Keras—Bila Merupakan Kebajikan
    Sedarlah!—1993
  • Bekerja Keras—Membahayakan Kesehatan Anda?
    Sedarlah!—1993
  • Cara Menikmati Kerja Keras
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—2015
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1993
g93 8/6 hlm. 12-13

Bekerja Keras—Apa Akibatnya?

Oleh koresponden Sedarlah! di Jepang

”’MINUMAN penambah tenaga’ telah menjadi sangat populer, dengan lebih dari 200 merek tersedia dan total penjualannya 900 juta yen per tahun,” demikian laporan Mainichi Daily News, surat kabar Jepang yang terkemuka. Popularitas produk-produk ini, yang katanya dapat memberikan energi seketika untuk memacu para pekerja yang kelelahan, ”menyokong orang-orang Jepang untuk terus bekerja meskipun mengalami stres, kurang tidur dan lemas karena udara musim panas”, kata laporan tersebut melanjutkan.

Di sisi lain dari Pasifik, ”hampir satu dari delapan orang Amerika dilaporkan bekerja 60 jam atau lebih dalam satu minggu”, menurut Biro Statistik Tenaga Kerja AS. Orang-orang yang menjabat manajemen madya merasa perlu untuk mengabdikan begitu banyak waktu dan energi mereka untuk bekerja sehingga pekerjaan kadang-kadang menjadi faktor pengendali dalam kehidupan mereka.

Dalam hampir setiap kebudayaan, orang-orang yang rajin, teliti, dan bekerja keras dipuji sebagai pelaku kebajikan. Bahkan seorang penulis Alkitab zaman dahulu mengatakan, ”Tak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada makan dan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya. Aku menyadari bahwa ini pun dari tangan Allah.” (Pengkhotbah 2:24) Pada umumnya, masyarakat di mana-mana masih percaya kepada nilai-nilai demikian. Tidak soal mereka menganggap hal itu kebajikan atau bukan, kebanyakan orang bekerja dari pagi hingga malam, lima, enam, atau bahkan tujuh hari seminggu.

Namun, apa yang telah dicapai melalui semua kerja keras ini? Di negara-negara seperti Jepang dan Jerman, ”mukjizat” ekonomi yang muncul sejak akhir Perang Dunia II membuat iri negara-negara berkembang. Kedua bangsa ini bangkit dari kekalahan untuk menjadi kekuatan ekonomi yang harus diperhitungkan oleh dunia. Akan tetapi, apa dampak pengabdian kepada pekerjaan atas diri banyak orang?

Meskipun standar kehidupan di Jepang telah naik begitu tinggi, Mainichi Daily News melaporkan bahwa kebanyakan orang Jepang ”masih sulit untuk merasa diri mapan dalam kehidupan mereka sehari-hari”. Lebih buruk lagi, dalam melakukan pengejaran yang tak kenal lelah akan apa yang disebut kehidupan yang layak, banyak orang jatuh sakit atau bahkan meninggal akibat kerja berlebihan dan stres. Demikian pula, dalam suatu penelitian di Amerika Serikat, sepertiga dari tiga ribu manajer yang disurvei merasa bahwa mereka bekerja terlalu keras, kehabisan tenaga, dan tidak menemukan gairah dalam pekerjaan mereka.

Pekerja wanita juga memperlihatkan tanda-tanda ketegangan. Sebuah survei di Italia menyingkapkan bahwa pekerja wanita di negeri itu bekerja keras selama rata-rata 30 jam lebih banyak daripada teman hidup mereka setiap minggu. Selain bekerja selama berjam-jam di kantor atau pabrik, mereka harus mengerjakan tugas-tugas rumah tangga setibanya di rumah. Seorang pekerja wanita mengaku kepada majalah Europeo, ”Kehidupan sosial saya praktis tidak ada. Saya tidak punya waktu untuk diri sendiri. Saya sudah tidak tahan lagi.”

Bagaimana dengan kehidupan keluarga? ”Dalam mengejar impian Amerika, kita mengorbankan diri sendiri dan keluarga demi uang dan kekuasaan,” kata Herbert Freudenberger, seorang spesialis di New York, yang menangani masalah kehabisan tenaga karena bekerja. Akibat para suami tenggelam dalam pekerjaan, beberapa istri pengusaha Inggris yang bekerja di luar negeri dilaporkan merasa terasing dan tidak bahagia. Namun dalam hal ini, mereka tidak sendirian.

Pertimbangkan akibat-akibatnya bagi kehidupan keluarga di Jepang, tempat kurang dari setengah pekerja kerah-putih berusia setengah baya pulang ke rumah sebelum pukul delapan malam. Beberapa istri tidak lagi menganggap suami mereka sebagai pasangan hidup yang sesungguhnya; mereka tidak lagi mengharapkan suami berada di rumah lebih lama daripada yang sudah-sudah. Sebuah iklan televisi meringkaskan kekecewaan para istri dengan mengatakan, ”Suami paling baik berada dalam keadaan sehat walafiat dan jauh dari rumah.”

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa bekerja keras memiliki sisi positif maupun sisi negatif. Bila dilakukan secara ekstrem, akan menjadi suatu beban. Jadi bagaimana agar bekerja keras tidak menjadi suatu beban melainkan kebajikan yang sejati dan sumber kebahagiaan?

Di lain pihak, seberapa seriuskah apabila seseorang mendahulukan pekerjaan di atas perkara-perkara lain, atau terus bekerja keras tanpa mempedulikan akibatnya? Marilah kita teliti lebih lanjut aspek-aspek dari bekerja keras ini.

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan