PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g93 8/12 hlm. 17-20
  • Dapatkah Dunia Dipersatukan?

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Dapatkah Dunia Dipersatukan?
  • Sedarlah!—1993
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Perpecahan di Mana-Mana
  • Upaya-Upaya yang Terpadu dari Umat Manusia
  • Faktor-Faktor yang Bertanggung Jawab
  • Secercah Harapan
  • Apakah Kebencian Etnik Bisa Dibenarkan?
    Sedarlah!—2003
  • Apa Solusi untuk Sikap Tidak Toleran Etnik?
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—2007
  • Apakah Kebencian akan Pernah Berakhir?
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1995
  • Sarajevo​—Dari 1914 sampai 1994
    Sedarlah!—1994
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1993
g93 8/12 hlm. 17-20

Dapatkah Dunia Dipersatukan?

’Sudah sangat sering, bencilah sesamamu tampaknya merupakan semboyan tahun 1992.’

ITULAH penilaian Newsweek. Majalah tersebut menambahkan, ”Perpecahan ini​—tetangga melawan tetangga, ras melawan ras, bangsa melawan bangsa—​merupakan sesuatu yang telah selalu menjadi kecenderungan kita, dan peristiwa-peristiwa tahun ini menambah keraguan berkenaan apakah kita telah membuat kemajuan dalam menjembatani kesenjangan-kesenjangan ini.”

Baru-baru ini, pengepungan, pembantaian, dan pemerkosaan di bekas Yugoslavia telah menjadi berita utama di seputar dunia. Di Bosnia dan Hercegovina saja, sebanyak 150.000 orang telah terbunuh atau hilang. Dan sekitar 1.500.000 orang telah diusir dari rumah mereka. Apakah Anda mengatakan bahwa peristiwa-peristiwa tragis ini tidak akan pernah terjadi di lingkungan Anda?

Pejabat PBB, José-María Mendiluce, memperingatkan, ”Masyarakat dapat ditransformasikan menjadi mesin pembenci dan pembunuh tanpa terlalu banyak kesulitan. . . . Ada anggapan di negara-negara Barat bahwa perang berkecamuk tiga jam dari Venesia hanya karena orang Balkan pada dasarnya berbeda dari orang Eropa lainnya. Itu suatu kesalahan yang sangat berbahaya.”

Sewaktu Uni Soviet bubar pada tahun 1991, kekerasan etnik segera mengikutinya. Sekitar 1.500 orang tewas, dan sekitar 80.000 orang telantar di bekas Republik Georgia. Ratusan tewas, dan ribuan telantar akibat pertempuran di Moldavia. Juga, terdapat korban jiwa dalam konflik-konflik antara Armenia dan Azerbaijan, serta di bekas republik-republik Soviet lainnya.

Negara terbesar di antara bekas republik-republik Soviet adalah Rusia. Bahkan di sana, banyak kelompok etnik berupaya membentuk negara-negara merdeka mereka sendiri. Oleh karena itu, The European melaporkan pada musim panas ini, ”Federasi Rusia menghadapi disintegrasi.” Surat kabar itu mengatakan, ”Dalam beberapa minggu belakangan ini, tiga wilayah telah memutuskan untuk menyatakan diri republik . . . Pekan lalu, tiga lainnya menyatakan bahwa mereka akan mengikuti haluan itu.”

Jika negara-negara yang memisahkan diri terbentuk, Anda bisa jadi mengalami kesukaran untuk mengingat nama-nama asing, seperti Kaliningrad, Tatarstan, Stavropolye, Chechnya, Vologda, Sverdlovsk, Bashkortostan, Yakutiya, dan Primorye. Tidakkah ini kedengarannya mirip dengan apa yang terjadi di bekas Yugoslavia​—yang darinya telah terbentuk Serbia, Kroatia, dan Slovenia dan yang darinya mungkin masih akan muncul negara-negara lain?

Sekretaris negara AS, Warren Christopher, berbicara tentang ”munculnya konflik-konflik etnik, agama, dan wilayah yang telah lama ditekan” dan bertanya, ”Jika kita tidak menemukan suatu cara agar kelompok-kelompok etnik yang berbeda tersebut dapat hidup berdampingan di satu negara, berapa banyak negara akan kita miliki?” Ia mengatakan bahwa jumlahnya mungkin akan mencapai ribuan.

Perpecahan di Mana-Mana

Menurut Anda, berapa banyak konflik etnik, agama, dan wilayah terjadi pada awal tahun ini? Apakah Anda akan katakan 4, 7, 9, 13, mungkin bahkan 15? Pada bulan Februari, The New York Times menyebutkan total 48! Televisi mungkin tidak menayangkan kepada Anda gambar-gambar mayat berlumuran darah dan anak-anak yang mengalami teror dari seluruh 48 negara tersebut, namun apakah hal itu membuat tragedi tersebut kurang nyata bagi korban-korbannya?

Pertempuran tampaknya bukan suatu hal yang tidak mungkin terjadi di hampir setiap negara di bola bumi ini. Di Nigeria, yang memiliki sekitar 200 kelompok etnik, terdapat ancaman perang saudara. ”Konflik demikian,” menurut laporan majalah Time, ”dapat membuat ketiga kelompok etnik terbesar​—Hausa, Ibo, dan Yoruba​—bertikai satu sama lain.” Majalah tersebut menambahkan, ”Menurut pengamatan beberapa analis, Nigeria akan sama keadaannya dengan Yugoslavia.”

Negeri Afrika Barat, Liberia, juga porak-poranda karena kekerasan etnik. Seorang pemimpin gerilya mendapat dukungan dari suku Gio dan suku Mano untuk menggulingkan presiden, yang berasal dari kelompok etnik Krahn. Lebih dari 20.000 orang tewas dalam perang saudara yang berkepanjangan, dan ratusan ribu orang telantar.

Di Afrika Selatan, kaum kulit putih dan kaum kulit hitam bertikai satu sama lain dalam memperebutkan kendali politik. Namun pertempuran tidak hanya terjadi antara orang kulit hitam dan orang kulit putih. Tahun lalu saja, sekitar 3.000 orang tewas dalam pertempuran antar kelompok kulit hitam yang bermusuhan.

Di Somalia, sekitar 300.000 orang tewas dan satu juta orang kehilangan tempat tinggal sewaktu pertempuran antar partai meletus menjadi perang saudara. Di Burundi dan Rwanda, bentrokan etnik antara Hutus dan Tutsis telah menyebabkan tewasnya ribuan orang dalam tahun-tahun belakangan ini.

Pertempuran tampaknya hampir tak pernah berhenti antara Yahudi dan Arab di Israel, antara Hindu dan Muslim di India, dan antara Protestan dan Katolik di Irlandia. Kekerasan rasial juga meledak tahun lalu di Los Angeles, Kalifornia, merenggut lebih dari 40 jiwa. Di mana pun orang-orang dari ras, bangsa, atau agama yang berbeda hidup berdampingan satu sama lain, konflik-konflik yang sengit sering timbul.

Dapatkah umat manusia memecahkan dilema pertikaian etnik ini?

Upaya-Upaya yang Terpadu dari Umat Manusia

Sebagai contoh, pertimbangkan apa yang terjadi sehubungan upaya-upaya di bekas Yugoslavia dan bekas Uni Soviet. Pada tahun 1929, Yugoslavia dibentuk dalam upaya menyatukan berbagai kelompok etnik yang tinggal di Eropa tenggara ke dalam satu negara. Uni Soviet juga dibentuk dengan menyatukan masyarakat-masyarakat yang berbeda dari berbagai asal usul ras, agama, dan kebangsaan. Selama puluhan tahun, kedua negara tersebut memiliki pemerintahan sentral yang kokoh yang mempersatukan mereka, dan pada akhirnya warga mereka kelihatannya telah belajar untuk hidup berdampingan.

Seorang pemimpin Serbia menjelaskan, ”Peta etnik Bosnia sebelum perang, dan Yugoslavia sebelum perang, mirip kulit macan tutul.” kata seorang pemimpin Serbia menjelaskan. ”Masyarakatnya benar-benar berbaur.” Malahan, sekitar 15 persen perkawinan di Yugoslavia adalah antara orang-orang dari kelompok etnik yang berbeda. Situasi serupa dari apa yang tampaknya merupakan persatuan telah terbentuk dengan membaurnya kelompok-kelompok etnik di Uni Soviet.

Maka, alangkah terkejutnya ketika, setelah puluhan tahun tampak damai, kekerasan etnik meletus. Dewasa ini, sebagaimana ditulis seorang jurnalis, masyarakat sekarang ”membuat bagan struktur dari bekas Yugoslavia menurut ras, agama dan kebangsaan”. Mengapa, sewaktu pemerintahan-pemerintahan yang berkuasa ini tumbang, negeri-negeri ini terpecah-belah?

Faktor-Faktor yang Bertanggung Jawab

Masyarakat tidak secara alamiah membenci orang-orang dari kelompok etnik lain. Sebagaimana pernah dilantunkan dalam sebuah lagu populer, Anda perlu ’diajarkan dengan saksama sebelum terlambat, sebelum berusia enam atau tujuh atau delapan, untuk membenci semua orang yang dibenci sanak-saudara Anda’. Lagu ini mengacu kepada pasangan muda dengan perbedaan rasial yang nyata. Namun, menurut pakar kesehatan mental bernama Zarka Kovac, masyarakat di bekas Yugoslavia ”hampir tidak memiliki perbedaan fisik”. Meskipun demikian, kekerasan di sana sungguh ekstrem di luar batas. ”Mereka memotong-motong orang yang telah mereka bunuh agar mayat tersebut tidak bisa dikenali sebagai saudara mereka,” kata Kovac.

Jelaslah, kebencian ras dan etnik semacam itu bukanlah sifat dasar manusia. Masyarakat telah diajar dengan hati-hati oleh para propagandis dan sanak-saudara yang menceritakan kembali kekejaman-kekejaman di masa lalu. Siapa yang bisa jadi berada di belakang ini semua? Dalam upaya memahami kengerian perang, seorang pengusaha dari Sarajevo tergerak untuk menyimpulkan, ”Setelah perang Bosnia berkecamuk selama satu tahun, saya percaya bahwa Setanlah yang mengendalikannya. Ini benar-benar kegilaan.”

Meskipun banyak orang tidak percaya akan keberadaan Setan si Iblis, Alkitab memang menunjuk kepada keberadaan suatu pribadi adimanusiawi yang tidak kelihatan, yang memiliki pengaruh sangat negatif atas perilaku umat manusia. (Matius 4:1-11; Yohanes 12:31) Bila Anda berpikir tentang hal itu​—tentang semua prasangka, kebencian, dan kekerasan yang tidak masuk akal—​barangkali Anda akan setuju bahwa Alkitab sama sekali tidak mengada-ada sewaktu menyatakan, ”Iblis atau Satan . . . menyesatkan seluruh dunia.”​—Wahyu 12:9; 1 Yohanes 5:19.

Secercah Harapan

Apabila kita mempertimbangkan kekacauan dunia akhir-akhir ini, impian tentang umat manusia yang bersatu tampaknya makin jauh dibanding sebelumnya. Persaingan nasionalistis dan etnik mengancam keberadaan umat manusia seperti belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, di tengah-tengah kegelapan global ini, secercah harapan bersinar terang. Pada musim panas tahun 1993, sekelompok orang dari kelompok-kelompok etnik yang berperang memperlihatkan suatu ikatan kebersamaan yang memungkinkan mereka mengatasi pertikaian etnik dan bekerja bersama dalam kasih dan persatuan.

Ironisnya, ikatan ini ternyata adalah faktor utama yang sering kali memecah-belah umat manusia​—agama. Majalah Time melaporkan, ”Jika Anda mengupas masalah sukuisme, atau nasionalisme yang agresif apa pun, Anda biasanya mendapati di bawah permukaannya suatu peranan agama . . . Kebencian agama cenderung tanpa belas kasihan dan absolut.” Dengan nada serupa, India Today berkata, ”Agama telah menjadi panji yang di bawahnya kejahatan yang paling mengerikan telah dilakukan. . . . Ia menimbulkan kekerasan yang luar biasa dan merupakan kekuatan yang sangat menghancurkan.”

Memang, agama biasanya terbukti menjadi bagian dari masalah, bukan jalan keluar. Namun, kelompok agama yang satu ini yang disebutkan di atas​—suatu kelompok dengan jumlah yang cukup besar—​telah memperlihatkan bahwa agama dapat mempersatukan, bukan memecah-belah. Siapakah yang membentuk kelompok ini? Dan mengapa mereka telah menikmati keberhasilan yang dramatis sedangkan kelompok-kelompok agama lainnya mengalami kegagalan? Untuk menjawabnya, kami mengundang Anda membaca artikel-artikel berikut ini. Dengan demikian, Anda akan mendapatkan perspektif baru berkenaan masa depan umat manusia.

[Keterangan Gambar di hlm. 17]

Tanah Makam di Bosnia. Haley/Sipa Press

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan