Suami dan Istri—Apakah Cara Mereka Berbicara Benar-Benar Berbeda?
COBA bayangkan Bambang yang melangkah dengan gontai ke kantor Joko, bahunya tampak turun akibat beban kekhawatirannya. Joko menatap sahabatnya dengan lembut dan menunggu Bambang berbicara. ”Saya tidak tahu apakah saya bisa mendapatkan transaksi bisnis ini,” keluh Bambang. ”Ada begitu banyak rintangan, dan kantor pusat benar-benar menekan saya.” ”Apa yang kamu khawatirkan, Bambang?” tanya Joko dengan mantap. ”Kamu kan tahu bahwa kamulah yang terbaik dalam bidang pekerjaan ini, dan kantor pusat juga tahu itu. Tenanglah. Apakah kamu anggap hal ini berat? Nah, apakah kamu ingat bulan lalu ketika . . .” Joko mengingatkan kembali perincian yang menggelikan dari kegagalan kecil yang ia lakukan dan tak lama kemudian sahabatnya meninggalkan kantor sambil tertawa dan merasa lega. Joko senang karena berhasil membantu temannya.
Kemudian, kita bayangkan juga bahwa sewaktu Joko pulang ke rumah sore harinya, ia segera dapat melihat bahwa istrinya, Nani, juga sedang kesal. Ia menyapa istrinya dengan keceriaan yang lain dari biasanya kemudian menunggu istrinya menumpahkan unek-uneknya. Setelah keheningan mencekam sejenak, istrinya tiba-tiba mulai menumpahkan kekesalannya, ”Saya sudah tidak tahan lagi! Bos yang baru ini seorang diktator!” Joko mengajaknya duduk, merangkul istrinya, dan berkata, ”Sudahlah sayang, tak usah kesal. Itu cuma soal pekerjaan. Semua bos juga begitu. Seandainya kamu tahu bagaimana saya diomeli oleh bos sepanjang hari. Tapi, kalau kamu memang sudah tidak tahan lagi, berhenti saja.”
”Kamu bahkan tidak peduli bagaimana perasaan saya!” bentak Nani. ”Kamu tidak pernah mendengarkan saya! Mana bisa saya berhenti kerja! Gajimu tidak mencukupi kebutuhan kita!” Kemudian, ia lari ke kamar dan menangis sejadi-jadinya. Joko berdiri di depan pintu kamar yang terkunci dengan perasaan terkejut, bingung akan apa yang telah terjadi. Mengapa ada reaksi yang begitu bertolak belakang atas kata-kata penghiburan Joko?
Perbedaan antara Pria dan Wanita?
Beberapa orang akan menganggap perbedaan dalam kedua ilustrasi tadi berpangkal pada satu fakta sederhana: Bambang adalah pria; Nani adalah wanita. Para peneliti linguistik percaya bahwa masalah-masalah komunikasi dalam perkawinan sering kali disebabkan perbedaan antara pria dan wanita. Buku-buku seperti You Just Don’t Understand (Anda Benar-Benar Tidak Mengerti) dan Men Are From Mars, Women Are From Venus (Pria Berasal dari Mars, Wanita Berasal dari Venus) mengemukakan teori bahwa pria dan wanita, meskipun berbicara menggunakan bahasa yang sama, memiliki gaya komunikasi yang benar-benar berbeda.
Tak diragukan lagi, sewaktu Yehuwa menciptakan wanita dari pria, wanita bukan sekadar model yang sedikit diperbarui. Pria dan wanita dirancang dengan sangat indah dan dengan penuh pertimbangan untuk saling melengkapi—secara fisik, emosi, mental, rohani. Selain perbedaan-perbedaan bawaan ini, juga terdapat kerumitan dari cara seseorang dibesarkan dan pengalaman hidupnya, serta pembentukan orang-orang oleh kebudayaan, lingkungan, dan pandangan masyarakat tentang apa yang bersifat jantan ataupun kewanitaan. Karena pengaruh-pengaruh ini, adalah mungkin untuk memisahkan pola-pola tertentu berdasarkan cara pria dan wanita berkomunikasi. Namun, ”ciri khas pria” atau ”ciri khas wanita” yang sukar dipahami ini bisa jadi hanya terdapat pada halaman-halaman buku psikologi.
Kaum wanita khususnya menonjol karena kepekaan mereka, namun banyak pria sangat lembut dalam berurusan dengan orang-orang lain. Cara berpikir yang logis mungkin lebih merupakan sifat kaum pria, namun wanita sering kali memiliki pemahaman yang tajam dan analitis. Jadi, sekalipun mustahil untuk menyatakan suatu sifat tertentu hanya ada pada kaum pria atau hanya ada pada kaum wanita, ada satu hal yang pasti: Memahami sudut pandangan orang lain dapat membuat perbedaan antara hidup berdampingan secara damai dan perang yang sengit, khususnya dalam perkawinan.
Tantangan sehari-hari dalam komunikasi pria-wanita dalam perkawinan merupakan hal yang pelik. Banyak suami yang mempunyai daya pengamatan dapat membuktikan bahwa pertanyaan yang kelihatannya sederhana seperti ”Apakah kamu suka model rambutku yang baru ini?” boleh jadi mengandung bahaya. Banyak istri yang bijaksana belajar untuk tidak berulang kali bertanya, ”Mengapa kamu tidak tanya-tanya dulu arahnya?” ketika suami mereka tersasar sewaktu bepergian. Sebaliknya daripada melecehkan sifat yang agak unik dari seorang teman hidup dan dengan keras kepala berkukuh pada sifatnya sendiri dengan mengatakan ”memang beginilah sifat saya”, pasangan hidup yang pengasih melihat apa yang ada di balik permukaannya. Ini bukanlah pemeriksaan yang kaku atas gaya komunikasi satu sama lain melainkan pengamatan yang hangat ke dalam hati dan pikiran satu sama lain.
Sebagaimana setiap pribadi adalah unik, demikian pula perpaduan dua pribadi dalam perkawinan. Perpaduan sejati antara pikiran dan hati tidak terjadi dengan sendirinya tetapi membutuhkan kerja keras, mengingat pembawaan sifat kita sebagai manusia yang tidak sempurna. Misalnya, sangat mudah untuk mengira bahwa orang-orang lain memandang perkara-perkara sebagaimana kita memandangnya. Kita sering kali memenuhi kebutuhan orang-orang lain menurut cara yang kita ingin mereka lakukan untuk kita, barangkali berupaya mengikuti Aturan Emas, ”Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.” (Matius 7:12) Akan tetapi, Yesus tidak memaksudkan bahwa apa yang Anda inginkan pasti cukup baik untuk orang-orang lain. Sebaliknya, Anda berharap agar orang-orang lain akan memberikan apa yang Anda butuhkan atau inginkan. Maka Anda harus memberikan apa yang mereka butuhkan. Hal ini khususnya penting dalam perkawinan, karena masing-masing telah berikrar untuk memenuhi sebaik-baiknya kebutuhan pasangan hidupnya.
Nani dan Joko telah membuat ikrar demikian. Dan ikatan perkawinan mereka yang berusia dua tahun merupakan ikatan yang membahagiakan. Akan tetapi, meskipun mereka merasa benar-benar mengenal satu sama lain, situasi kadang-kadang meledak sehingga menyingkapkan kesenjangan komunikasi yang terbuka lebar yang tak terjembatani hanya dengan niat baik. ”Hati orang bijak menjadikan mulutnya berakal budi,” kata Amsal 16:23. Ya, pemahaman dalam komunikasi merupakan kunci yang dibutuhkan. Marilah kita melihat bagaimana masalah antara Joko dan Nani diselesaikan.
Pandangan Seorang Pria
Joko mengarungi suatu dunia yang kompetitif yang di dalamnya setiap pria harus meraih kedudukannya dalam tatanan masyarakat, apakah seorang bawahan atau seorang atasan dalam situasi tertentu. Komunikasi diperlukan untuk memantapkan posisi, kompetensi, kemahiran, ataupun harga dirinya. Kemandiriannya berharga baginya. Maka sewaktu disuruh dengan nada memerintah, timbul rasa enggan dalam diri Joko. Pesan halus ”Kamu tidak melakukan pekerjaanmu” membuatnya memberontak, bahkan jika permintaan itu bersifat logis.
Joko pada dasarnya bercakap-cakap untuk bertukar informasi. Ia senang berbicara tentang fakta, gagasan, dan hal-hal baru yang ia telah pelajari.
Sewaktu mendengar, Joko jarang menyela pembicara, bahkan dengan respons-respons sepele, seperti ”oo, ya”, karena ia sedang menyerap informasi. Namun, jika ia tidak setuju, ia tidak sungkan-sungkan untuk menyatakannya, apalagi kepada seorang teman. Hal itu memperlihatkan bahwa ia berminat akan apa yang dikatakan temannya, memeriksa semua kemungkinan.
Jika Joko mengalami problem, ia lebih suka mencari sendiri jalan keluarnya. Jadi ia mungkin akan menarik diri dari siapa pun dan apa pun. Atau ia mungkin berupaya bersantai dengan sedikit rekreasi agar dilemanya terlupakan sejenak. Ia akan membicarakannya hanya bila ia sedang mencari saran.
Jika seseorang datang kepada Joko untuk menceritakan suatu masalah seperti yang dilakukan Bambang, Joko menyadari bahwa merupakan tugasnya untuk membantu, berupaya tidak membuat temannya merasa tidak cakap. Ia biasanya akan menceritakan beberapa masalah yang dihadapinya sendiri disertai saran supaya temannya tidak merasa seorang diri.
Joko senang melakukan kegiatan bersama teman-teman. Baginya, persahabatan berarti melakukan sesuatu bersama-sama.
Bagi Joko, rumah adalah tempat pengungsian dari arena, suatu tempat di mana ia tidak perlu berbicara untuk membuktikan jati dirinya, di mana ia diterima, dipercayai, dikasihi, dan dihargai. Meskipun demikian, Joko kadang-kadang merasa bahwa ia membutuhkan kesendirian. Hal itu mungkin tidak ada hubungannya dengan Nani atau apa pun yang dilakukan Nani. Ia hanya perlu menyendiri selama beberapa waktu. Joko merasa sulit untuk menyingkapkan rasa takut, ketidakamanan, dan kepedihannya kepada istrinya. Ia tidak mau istrinya khawatir. Tugasnya adalah untuk mengurus dan melindungi istrinya, dan ia membutuhkan kepercayaan Nani untuk melakukan hal tersebut. Meskipun Joko menginginkan dukungan, ia tidak suka dikasihani. Itu membuatnya merasa tidak cakap atau tidak berguna.
Sudut Pandangan Seorang Wanita
Nani memandang dirinya sendiri sebagai seorang pribadi di suatu dunia yang penuh hubungan sosial dengan orang-orang lain. Baginya, adalah penting untuk menggalang dan memperkuat ikatan persahabatan-persahabatan ini. Berbicara adalah suatu cara penting untuk menciptakan dan meneguhkan keakraban.
Ketergantungan datang secara wajar bagi Nani. Ia merasa dikasihi jika Joko mencari tahu pandangannya terlebih dahulu sebelum membuat keputusan, meskipun ia ingin Joko yang mengambil pimpinan. Apabila ia harus mengambil keputusan, ia senang berkonsultasi dengan suaminya, tidak selalu agar suaminya memberi tahu apa yang harus dilakukan, melainkan untuk memperlihatkan keakraban dan ketergantungannya kepada suaminya.
Sangat sulit bagi Nani untuk berbicara terus terang dan mengatakan bahwa ia membutuhkan sesuatu. Ia tidak ingin menyusahkan Joko atau membuat suaminya merasa bahwa ia tidak bahagia. Sebaliknya, ia menunggu untuk diperhatikan atau memberikan semacam isyarat.
Sewaktu Nani bercakap-cakap, ia tertarik akan hal-hal yang kecil dan mengajukan banyak pertanyaan. Ini wajar karena kepekaan dan minatnya yang besar kepada orang-orang dan persahabatan.
Sewaktu Nani mendengar, ia menyela kata-kata si pembicara dengan kata seru, anggukan, atau pertanyaan untuk memperlihatkan bahwa ia memperhatikan sang pembicara dan mempedulikan apa yang akan dikatakan sang pembicara.
Ia berupaya keras untuk mengetahui berdasarkan intuisi apa yang dibutuhkan orang-orang. Menawarkan bantuan tanpa diminta merupakan cara yang indah untuk menyatakan kasih sayang. Ia khususnya ingin membantu suaminya berkembang dan maju.
Sewaktu Nani mengalami problem, ia dapat merasa kewalahan. Ia perlu berbicara, tujuan utamanya bukan untuk mencari jalan keluar, melainkan untuk menyatakan perasaannya. Ia perlu mengetahui bahwa ada orang yang memahami dan peduli. Apabila emosinya memuncak, Nani melontarkan pernyataan-pernyataan sekilas yang dramatis. Ia tidak sungguh-sungguh memaksudkannya sewaktu ia berkata, ”Kamu tidak pernah mendengarkan!”
Sahabat terbaik Nani semasa kanak-kanak bukanlah orang yang dengannya ia melakukan segala sesuatu bersama-sama, melainkan orang yang dengannya ia membicarakan segala sesuatu. Maka dalam perkawinan, minatnya akan kegiatan di luar rumah hampir tidak sebesar minatnya akan seorang pendengar yang simpatik yang dengannya ia dapat membagi perasaannya.
Rumah merupakan tempat Nani dapat berbicara tanpa dihakimi. Ia tidak sungkan-sungkan menyingkapkan perasaan takut dan masalahnya kepada Joko. Jika membutuhkan bantuan, ia tidak malu untuk mengakuinya, karena ia yakin bahwa suaminya siap membantu dan cukup telaten untuk mendengarkannya.
Nani biasanya merasa dikasihi dan merasa aman dalam perkawinannya. Tetapi kadang-kadang, tanpa alasan yang jelas, ia mulai merasa tidak aman dan tidak dikasihi sehingga sangat perlu diyakinkan lagi dan ditemani.
Ya, Joko dan Nani, yang saling melengkapi, benar-benar berbeda. Perbedaan di antara mereka dapat menciptakan potensi kesalahpahaman yang besar, meskipun keduanya mungkin memiliki niat terbaik untuk mengasihi dan mendukung. Seandainya kita dapat mendengar sudut pandangan masing-masing dalam situasi di atas, apa yang akan mereka katakan?
Yang Mereka Lihat melalui Mata Mereka Sendiri
”Begitu saya masuk ke rumah, saya dapat melihat bahwa Nani sedang kesal,” demikian kata Joko. ”Saya mengira bahwa jika ia siap, ia akan memberi tahu saya penyebabnya. Masalahnya kelihatan tidak begitu besar bagi saya. Saya menyangka jika saya membantunya melihat bahwa ia tidak perlu merasa kesal dan bahwa jalan keluarnya mudah, ia akan merasa lebih baik. Sungguh menyakitkan, setelah saya mendengarkannya, ia berkata, ’Kamu tidak pernah mendengarkan saya!’ Saya merasa seolah-olah ia sedang menyalahkan saya atas segala rasa frustrasinya!”
”Sepanjang hari saya sial,” demikian penjelasan Nani. ”Saya tahu itu bukan salah Joko. Namun ketika ia pulang dengan ceria, saya merasa ia mengabaikan fakta bahwa saya sedang kesal. Mengapa ia tidak bertanya apa yang terjadi? Ketika saya memberi tahu dia masalahnya, ia pada dasarnya mengatakan bahwa saya ini bodoh, bahwa masalah saya cuma soal kecil. Sebaliknya daripada mengatakan bahwa ia memahami apa yang saya rasakan, Joko yang senang mengatasi problem orang memberi tahu saya cara menyelesaikan problem tersebut. Saya tidak ingin jalan keluar, saya menginginkan simpati!”
Meskipun kadang-kadang terdapat perselisihan, Joko dan Nani sangat mengasihi satu sama lain. Pemahaman apa yang akan membantu mereka menyatakan dengan jelas kasih demikian?
Melihat melalui Mata Orang Lain
Joko merasa bahwa ia turut campur bila menanyakan Nani apa yang sedang terjadi, jadi ia dengan wajar melakukan bagi istrinya hal yang ia ingin orang lain lakukan baginya. Ia menunggu istrinya berbicara dengan terus terang. Sekarang, Nani jengkel bukan hanya atas problemnya tetapi juga atas fakta bahwa Joko kelihatannya mengabaikan permohonannya akan dukungan dari sang suami. Ia tidak melihat sikap diam suaminya sebagai tanda respek yang lembut—ia melihatnya sebagai sikap masa bodoh. Sewaktu Nani akhirnya berbicara, Joko mendengarkan tanpa menyela. Namun ia merasa bahwa suaminya tidak benar-benar mendengarkan perasaannya. Lalu suaminya menawarkan, bukannya empati, melainkan jalan keluar. Baginya, kata-kata Joko terdengar seperti ini, ’Perasaanmu itu mengada-ada; terlalu dibesar-besarkan. Lihat, betapa mudahnya memecahkan masalah kecil ini?’
Betapa berbeda halnya jika masing-masing dapat melihat segala sesuatu dari sudut pandangan orang lain! Hasilnya mungkin akan seperti ini:
Joko pulang dan mendapati Nani sedang kesal. ”Ada apa, sayang?” sapanya dengan lembut. Air mata mulai berlinang, dan Nani mulai membicarakan problemnya dengan leluasa. Nani tidak berkata, ”Ini semua salah kamu!” atau menyiratkan bahwa Joko tidak berbuat banyak. Joko mendekap istrinya dan mendengarkan dengan sabar. Ketika istrinya selesai berbicara, ia berkata, ”Saya turut prihatin mendengar hal-hal buruk yang kaurasakan. Saya dapat mengerti mengapa kamu merasa kesal.” Nani menyahut, ”Terima kasih banyak, kamu mau mendengarkan saya. Saya merasa sangat lega karena kamu memahami perasaan saya.”
Sayang sekali, sebaliknya daripada mengatasi perbedaan-perbedaan mereka, banyak pasangan lebih suka mengakhiri perkawinan mereka dengan perceraian. Kurangnya komunikasi merupakan biang keladi yang merusak banyak rumah tangga. Pertengkaran meledak sehingga mengguncang dasar perkawinan itu sendiri. Bagaimana ini bisa terjadi? Artikel berikut ini memberi tahu bagaimana hal ini terjadi dan cara menghindarinya.