PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g94 8/6 hlm. 28-30
  • Krakatau—Suatu Malapetaka yang Dikunjungi Kembali

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Krakatau—Suatu Malapetaka yang Dikunjungi Kembali
  • Sedarlah!—1994
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Riwayat Krakatau yang Hebat
  • Penghancuran Kehidupan
  • Kunjungan ke Anak Krakatau dan Tetangganya
  • Gunung Berapi​—Apakah Anda Akan Terkena Risikonya?
    Sedarlah!—1996
  • Alasan Mengapa Anda Dapat Memandang Masa Depan dengan Yakin
    Masa Remaja—Manfaatkanlah Sebaik-baiknya
  • Kepulauan yang Sedang Dibangun
    Sedarlah!—1998
  • Planet Kita yang Halus−Apa Masa Depannya?
    Sedarlah!—1996
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1994
g94 8/6 hlm. 28-30

Krakatau—Suatu Malapetaka yang Dikunjungi Kembali

OLEH KORESPONDEN SEDARLAH! DI INDONESIA

PANTAI CARITA tampak begitu damai. Sama sekali tidak memberikan petunjuk tentang adanya suatu bencana di masa lalu. Seluruh penampilannya menyerupai sebuah tempat peristirahatan yang tenang di Jawa, kira-kira 150 kilometer sebelah barat kota Jakarta dan terletak di Selat Sunda, yang memisahkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatra di Indonesia. Keramaian dan kemacetan lalu lintas kota Jakarta telah jauh dari pandangan mata, dan suasana terasa tenang dan tenteram. Rumah-rumah penduduk berdiri dengan kokoh tepat di tepi laut.

Namun, nama itu​—Pantai Carita​—adalah sebuah petunjuk samar-samar tentang suatu riwayat yang mengguncangkan. ”Carita” yang artinya ”cerita”, sebagaimana banyak tempat lainnya di daerah tersebut, menyimpan bukti-bukti yang kelihatan dari cerita tragis​—semuanya berakar dari sebuah bencana alam tunggal yang memorak-porandakan seluruh daerah ini dan terasa di seluruh dunia.

Memandang ke seberang perairan Selat Sunda yang biru dan tenang dari Pantai Carita, kita dapat melihat sekumpulan pulau kecil. Salah satu dari antaranya​—Anak Krakatau​—masih mengeluarkan asap. Nama yang kedengarannya mengerikan itu mengingatkan kita kepada ”ayah”-nya yang pemarah, Gunung Krakatau, sebagian besar raib di bawah perairan Selat Sunda setelah suatu ledakan terdahsyat sepanjang sejarah modern pada tanggal 27 Agustus 1883.

Kami, sebuah kelompok terdiri dari 17 orang berangkat dari Pantai Carita untuk mengunjungi sekumpulan pulau itu. Kami menyewa sebuah perahu untuk melakukan perjalanan sejauh 40 kilometer menyeberangi selat. Seraya pantai Jawa lenyap dari pandangan, saya kembali ke masa lalu Krakatau yang hebat.

Riwayat Krakatau yang Hebat

Dewasa ini, Krakatau telah menjadi sekumpulan empat pulau: Rakata, Panjang, dan Sertung, serta Anak Krakatau yang terbentuk belakangan, terletak di tengah-tengah. Rakata telah lama menjadi pusat kegiatan vulkanis. Ia tumbuh menjadi sangat besar berabad-abad yang lalu ketika dua kerucut vulkanik lainnya muncul dari dalam laut di sekitarnya dan secara bertahap bergabung dengan Rakata membentuk Gunung Krakatau yang ganas. Syukurlah, tampaknya seluruh kegiatan ini membuat pulau tersebut tidak dihuni.

Meskipun terdapat beberapa laporan tentang suatu letusan yang berukuran sedang pada tahun 1680 yang memusnahkan semua tumbuhan, menjelang tahun 1883, Krakatau telah ditutupi lagi oleh tumbuhan tropis yang lebat. Tetapi pulau tersebut mulai aktif disertai suara-suara gemuruh pada tanggal 20 Mei 1883, dengan letusan dan semburan batu apung, abu, dan awan panas. Gemuruh ini berlanjut selama bulan Juni dan Juli. Menjelang pertengahan bulan Agustus, ketiga kawah utamanya memuntahkan sejumlah besar gumpalan-gumpalan uap panas, debu, batu apung, dan abu. Kapal-kapal yang melintasi selat harus mengarungi batu apung dalam kelompok-kelompok besar yang bagaikan rakit-rakit, sementara abu berjatuhan bagaikan hujan di atas dek kapal mereka.

Seraya kami berlayar melalui perairan yang sama ini, satu-satunya benda yang mendarat di atas dek kapal kami adalah ikan terbang yang tidak cukup kuat untuk melompati kapal. Sulit untuk membayangkan saat manakala begitu banyak kesuraman dan kehancuran meliputi perairan yang tenang ini. Tetapi bencana alam ini baru saja mulai.

Bencana tersebut mulai memuncak pada tanggal 26 Agustus, seraya letusan demi letusan menjadi gemuruh yang terus-menerus. Akhirnya, pada tanggal 27 Agustus, empat buah ledakan utama​—pada pukul 5.30, 6.44, 10.02, dan 10.52 pagi​—mengguncang gunung berapi tersebut. Ledakan klimaks yang ketiga yang jauh lebih besar daripada yang di Hiroshima dan letusan bom atom berikutnya mana pun. Sebenarnya, menurut beberapa orang letusan tersebut memiliki kekuatan 100.000 bom hidrogen. Letusan itu terdengar di Australia, Myanmar, dan Rodrigues, sebuah pulau sejauh 5.000 kilometer di Samudera Hindia. Gelombang tekanan di atmosfer mengelilingi bumi tujuh setengah kali sebelum akhirnya menghilang. Sampai sejauh Kanal Inggris, perahu-perahu digoncang oleh gelombang seismik yang lambat laun memudar.

Suatu awan abu naik hingga ketinggian kira-kira 80 kilometer dan membentuk seperti jamur. Kegelapan menyelimuti seluruh daerah tersebut selama dua setengah hari. The New York Times tanggal 30 Agustus 1883, mengutip Lloyd’s of London, memperingatkan semua kapal untuk menghindari Selat Sunda. Daerah tersebut berbahaya bagi pelayaran karena semua mercu suar telah ”hilang”. Debu gunung berapi membubung tinggi di atmosfer, tempat arus udara menyebarkannya ke seputar planet selama berminggu-minggu. Satu akibatnya adalah selama satu atau dua tahun pemandangan matahari terbit, matahari terbenam, lingkaran cahaya matahari, dan fenomena atmosfer lainnya bersinar lebih cemerlang.

Penghancuran Kehidupan

Letusan tersebut menyebabkan gelombang seismik yang sangat besar, yang disebut tsunami, mencapai ketinggian 15 meter di laut lepas. Seraya sebuah gelombang menyapu teluk yang menyempit menuju kota Merak di Jawa, dinding air yang deras itu kabarnya mencapai ketinggian 40 meter. Gelombang tersebut menghantam kota itu, menghancurkannya sama sekali. Beberapa kota lain di sepanjang pantai Jawa dan Sumatra menderita nasib yang serupa. Hampir 37.000 orang ditenggelamkan oleh tsunami pada hari itu. Sebuah kapal perang ditemukan terdampar 3 kilometer di pedalaman!

Sebenarnya, apa yang telah terjadi? Krakatau yang mengerikan itu telah memuntahkan hampir 20 kubik kilometer debu, menguras magma dari dalam ruang bawah tanahnya yang sangat besar. Ruang bawah tanah yang kosong itu runtuh, dengan demikian membenamkan dua per tiga pulau tersebut ke dalam laut. Tanah yang menjulang setinggi 300 meter di atas permukaan laut tenggelam sejauh 300 meter di bawah permukaan laut. Hanya setengah kerucut gunung berapi yang tertinggi, Rakata, yang tertinggal.

Apa yang tertinggal di Rakata, bersama dengan Pulau Panjang dan Pulau Sertung, tertutup oleh abu yang panas dan steril setebal 30 meter. Seluruh kehidupan dikabarkan telah hancur. Ketika sebuah survei dibuat sembilan bulan kemudian, hanya seekor laba-laba yang sangat kecil ditemukan sedang memintal jaring. Pada tahun-tahun berikutnya, Krakatau menjadi suatu laboratorium penelitian seraya para ilmuwan mendokumentasikan kembalinya kehidupan di ketiga pulau tersebut. Lokasi terdekat tempat kehidupan dapat ditemukan terletak sejauh 40 kilometer.

Lebih dari 60 tahun yang lalu, sebuah kerucut vulkanis baru mencuat ke luar dari laut di tengah-tengah ketiga pulau tersebut. Anak Krakatau ini terus meletus dan bertumbuh seraya tahun berlalu. Dewasa ini, tingginya kira-kira 200 meter, lebar 2 kilometer​—dan sangat aktif! Anak yang pemarah inilah yang kami kunjungi pertama kali.

Kunjungan ke Anak Krakatau dan Tetangganya

Kami merapat ke pantai Anak Krakatau, dan dengan sedikit kesulitan kami turun dari perahu ke atas pasir hitam yang berkilauan di pantai tersebut. Ujung sebelah timur dari pulau tersebut ditumbuhi dengan lebat oleh pohon-pohon kasuarina, beberapa pohon tersebut memiliki diameter batang mencapai 60 sentimeter. Ada suatu varietas yang mengejutkan dari tanaman dan bunga-bunga yang lain. Banyak spesies burung yang terbang melintasi pepohonan, dan kelelawar bergelantungan dalam posisi terbalik pada sebuah pohon ara. Kadal-kadal berlarian dengan tergesa-gesa menembus belukar. Bagian yang berhutan dari pulau tersebut dihuni oleh serangga dan kupu-kupu.

Akan tetapi, kelahiran kembali Anak Krakatau telah dihalangi oleh banyak letusan selama bertahun-tahun; kehidupan tumbuhan baru menutupi kira-kira 5 persen dari pulau tersebut. Seraya kami menyeret langkah kami melalui abu hitam yang tebal menuju ke puncak gunung berapi itu, kami melihat bahwa suatu varietas tanaman telah mulai memenuhi lereng yang gundul ini, merambat ke puncak sampai letusan berikutnya memaksa tumbuhan ini mundur.

Uap panas merembes ke luar dari celah-celah di sisi gunung berapi itu. Melihat dari pinggir kawah ke inferno di bawah, kami dapat melihat isi kawah yang bergolak dari anak yang pemarah ini. Tidaklah sulit untuk membayangkan banyak kerak-kerak tektonik yang secara perlahan-lahan saling bergesekan jauh di bawah Selat Sunda, membuatnya menjadi daerah vulkanis yang paling aktif di dunia.

Proses penghutanan kembali telah lebih stabil di Pulau Sertung, Pulau Rakata, dan Pulau Panjang yang berdekatan, yang mengelilingi Anak Krakatau. Pulau-pulau tersebut sudah bebas letusan sejak letusan terakhir yang tak terlupakan pada tahun 1883. Lebih dari satu abad kemudian, mereka telah pulih dan beregenerasi, kembali menjadi pulau-pulau yang damai dan subur dengan tumbuhan tropis. Sebenarnya, hanya dalam 20 sampai 40 tahun setelah letusan tersebut, pulau-pulau ini telah kembali menjadi hutan dan dihuni oleh suatu varietas burung, kadal, ular, kelelawar, dan serangga. Sejak saat itu, munculnya kembali kehidupan telah berlangsung dengan cepat.

Apakah beberapa bentuk kehidupan selamat dari panas Krakatau yang luar biasa dan abu yang berjatuhan? Banyak ahli botani dan zoologi tidak mempercayai hal itu, meskipun beberapa ahli mempertanyakan kesimpulan ini. Pada umumnya, mereka beranggapan bahwa benih yang dibawa oleh burung-burung dan banyak benda-benda sisa yang hanyut dari sungai-sungai yang meluap di Sumatra dan Jawa telah membawa kembali segerombolan benda-benda hidup.

Seraya perahu kami keluar dari perairan biru yang tenang di dalam lingkaran pulau-pulau untuk mengadakan perjalanan kembali ke Jawa, saya seketika itu juga membayangkan kesanggupan yang menakjubkan dari planet kita untuk memperbaiki diri. Jika dibiarkan begitu saja, bumi dapat merehabilitasi dirinya sendiri. Saya mendapati bahwa hal itu merupakan suatu pemikiran yang menghibur, terutama mengingat kenyataan bahwa umat manusia sedang menimbulkan malapetaka dalam skala global ke atas planet ini sekarang juga. Dewasa ini, manusia secara bertahap menyebabkan kerusakan yang jauh lebih besar bahkan jika dibandingkan dengan Kehebohan raksasa dari Krakatau. Namun manakala manusia berhenti menimbulkan bencana​—dan mereka benar-benar akan berhenti melakukannya​—bumi akan pulih. Seraya kami mengarungi ombak-ombak biru di Selat Sunda, saya menoleh ke pulau-pulau hijau tersebut, yang kembali hidup setelah matinya Krakatau. Ya, bumi dapat memulihkan diri. Alangkah menakjubkannya kelak melihat bahwa hal itu terjadi dalam skala global!​—Yesaya 35:1-7; Wahyu 11:18.

[Gambar di hlm. 29]

Anak Krakatau di kejauhan

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan