PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g94 8/7 hlm. 13-17
  • Tata Krama Ditolak oleh ”Moralitas Baru”?

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Tata Krama Ditolak oleh ”Moralitas Baru”?
  • Sedarlah!—1994
  • Bahan Terkait
  • Memupuk Tata Krama Kristen dalam Dunia yang Tidak Tahu Tata Krama
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1989
  • ”Hendaklah Kelakuanmu Berpadanan dengan Injil”
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1989
  • Tata Krama yang Baik—Ciri Khas Umat yang Saleh
    Pelayanan Kerajaan Kita—2001
  • Apakah Sopan Santun Itu Memang Penting?
    Pertanyaan Anak Muda
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1994
g94 8/7 hlm. 13-17

Tata Krama Ditolak oleh ”Moralitas Baru”?

’Celakalah mereka yang menyebutkan kejahatan itu baik, menyebutkan gelap itu terang, menyebutkan pahit itu manis.’—Yesaya 5:20.

ABAD ke-20 mengalami perubahan besar-besaran dalam tata krama dan moral. Pada dekade yang menyusul kedua perang dunia, sistem nilai yang tua lambat laun dipandang ketinggalan zaman. Keadaan-keadaan yang berubah dan teori-teori baru di bidang perilaku manusia dan sains memastikan banyak orang bahwa nilai-nilai yang lama tidak lagi berlaku. Tata krama yang dahulunya dijunjung tinggi telah ditanggalkan seolah-olah beban yang berlebihan. Bimbingan Alkitab yang dahulu direspek ditolak seperti hal yang ketinggalan zaman. Bimbingan itu terlalu membatasi bagi masyarakat yang terdiri dari pribadi-pribadi ultramodern abad ke-20, tak suka diatur, dan bebas.

Tahun yang menjadi titik balik dalam sejarah umat manusia ini adalah 1914. Tulisan para sejarawan sehubungan tahun tersebut dan Perang Dunia I sarat dengan pengamatan yang mencanangkan tahun 1914 sebagai tahun perubahan yang bersejarah, suatu batas nyata yang membagi periode-periode dalam sejarah umat manusia. Tahun Dua Puluhan yang Bergelora segera menyusul setelah perang dan orang-orang berupaya mengejar kesenangan yang hilang selama tahun-tahun peperangan itu. Nilai-nilai yang lama dan batasan moral yang kurang menyenangkan dibuang jauh-jauh dan tenggelam dalam kesenangan. Moralitas baru, memuaskan pengejaran-pengejaran jasmani, secara tidak langsung ditetapkan​—pada dasarnya pendekatan apa pun jadi. Kaidah moral yang baru mau tidak mau mendatangkan perubahan tata krama.

Sejarawan Frederick Lewis Allen mengomentari hal ini, ”Hasil lain dari revolusi adalah bahwa tata krama menjadi bukan sekadar berbeda, namun—selama beberapa tahun—tidak ada tata krama. . . . Selama dekade ini, nyonya-nyonya rumah . . . mendapati bahwa tamu-tamu mereka tidak membuat upaya untuk berbicara kepada mereka pada waktu datang atau pulang; ’memaksa masuk ke pesta dansa tanpa tiket’ menjadi praktek yang dapat diterima, orang-orang selalu mempunyai ’kebiasaan jam karet’ untuk makan malam, membuang rokok yang menyala dengan sembarangan, menjentikkan abu ke atas karpet bulu, tanpa minta maaf. Pembatasan-pembatasan yang lama telah ditinggalkan, tidak ada pembatasan baru yang dibangun, dan sementara itu orang-orang yang tak mengenal tata krama terus berbuat seenaknya. Barangkali, suatu ketika, sepuluh tahun setelah perang akan cocok bila dikenal sebagai dekade Tata Krama Buruk. . . . Jika dekade ini miskin tata krama, juga akan ada ketidakbahagiaan. Dengan lenyapnya tatanan yang lama beserta serangkaian nilai yang telah memberikan kekayaan dan makna kehidupan, dan nilai-nilai pengganti tidak mudah ditemukan.”

Nilai-nilai pengganti yang memulihkan kekayaan dan makna kehidupan tidak pernah ditemukan. Hal tersebut juga tidak dicari. Gaya hidup apa pun jadi dari Tahun Dua Puluhan yang Bergelora membebaskan orang dari pembatasan moral, dan justru itulah yang mereka inginkan. Mereka tidak membuang moralitas; mereka sekadar merevisinya, sedikit melonggarkannya. Akhirnya, itu disebut Moralitas Baru. Di dalamnya, setiap orang melakukan apa yang benar menurut pandangannya. Ia adalah nomor satu. Ia berbuat semaunya sendiri. Ia menentukan jalan hidupnya sendiri.

Atau setidaknya demikianlah cara berpikirnya. Sebenarnya, tiga ribu tahun yang lalu, Raja Salomo yang bijaksana berkata, ”Tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.” (Pengkhotbah 1:9) Bahkan lebih awal lagi, pada periode Hakim-Hakim, orang-orang Israel memiliki kebebasan yang besar sehubungan apakah mereka akan mematuhi Hukum Allah atau tidak, ”Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri.” (Hakim 21:25) Tetapi, mayoritas terbukti tidak mau mengindahkan Hukum. Karena menabur dengan cara ini, Israel menuai bencana nasional selama ratusan tahun. Demikian pula, bangsa-bangsa dewasa ini telah menuai penderitaan dan kesengsaraan selama berabad-abad​—dan perkara-perkara yang terburuk masih akan datang.

Ada istilah lain yang mencirikan Moralitas Baru dengan lebih spesifik, yaitu, ”relativisme”. Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary mendefinisikannya sebagai berikut, ”Suatu pandangan bahwa kebenaran etika bergantung pada masing-masing individu dan kelompok yang menganutnya.” Kesimpulannya, para penganut relativisme berpuas bahwa apa pun yang baik bagi mereka adalah etis bagi mereka. Seorang penulis menjabarkan relativisme ketika mengatakan, ”Relativisme, setelah lama mengintai dari bawah permukaan, muncul sebagai filsafat yang dominan dari ’dekade aku’ di tahun tujuh puluhan; hal itu masih mendominasi kaum yuppie [pemuda-pemudi golongan menengah berpenghasilan besar dan suka berfoya-foya] di tahun delapan puluhan. Kita mungkin masih secara formalitas menjalankan nilai-nilai tradisional, namun pada prakteknya, apa yang benar adalah apa pun yang baik bagi saya.”

Dan itu termasuk tata krama​—’Jika itu menyenangkan saya, saya akan lakukan; jika tidak, saya tidak mau melakukannya. Hal ini tidak cocok bagi saya, bahkan sekalipun itu lebih pantas bagi Anda. Itu akan merusak individualisme radikal saya [memaksudkan gagasan bahwa sang pribadi dan hak-haknya unggul dan merdeka], membuat saya kelihatan lemah, mengubah saya menjadi orang cengeng.’ Kelihatannya, untuk orang semacam itu, hal yang dimaksud bukan saja tindakan yang kasar melainkan juga tindakan sederhana seperti, hal-hal yang manis setiap hari seperti, ’Tolong, Maaf, Permisi, Terima Kasih, Mari saya bukakan pintu bagi Anda, Silakan duduk di tempat saya, Mari saya bawakan belanjaan Anda’. Kalimat-kalimat ini dan kalimat-kalimat lain adalah pelumas yang lembut yang menjadikan hubungan antar manusia menjadi lancar dan menyenangkan. Para penganut paham ’aku-dulu’ berkeberatan, ’Tetapi, memperlihatkan tata krama untuk orang lain akan merusak gaya hidup saya dan merusak citra saya untuk menjadi nomor satu.’

Sosiolog James Q. Wilson mencirikan meningkatnya keresahan dan tingkah laku kriminal dengan keruntuhan dari apa yang orang zaman sekarang ”sebut dengan sinis sebagai ’nilai-nilai golongan menengah’”, dan laporan itu melanjutkan, ”Keruntuhan nilai-nilai ini—dan meningkatnya relativisme moral—tampaknya berhubungan dengan suatu tingkat kejahatan yang lebih tinggi.” Itu pasti berhubungan dengan kecenderungan modern untuk menolak pembatasan apa pun terhadap pengekspresian diri sendiri, tidak soal betapa tak sopannya hal itu atau menyinggung perasaan orang lain. Hal ini seperti yang dikatakan Jared Taylor, seorang sosiolog lain, ”Masyarakat kita telah bergerak dengan pasti dari pengendalian diri menjadi pengekspresian diri sendiri, dan banyak orang membuang nilai-nilai kuno sebagai hal yang mengekang.”

Mempraktekkan relativisme menjadikan Anda hakim atas tingkah laku pribadi Anda, mengesampingkan penilaian orang lain, termasuk penilaian Allah. Anda sedang memutuskan untuk diri sendiri apa yang baik dan salah bagi Anda, sama seperti yang dilakukan pasangan manusia pertama di Eden sewaktu mereka menolak perintah Allah dan memutuskan bagi diri sendiri apa yang benar dan apa yang salah. Ular menipu Hawa ke dalam pemikiran bahwa jika ia tidak menaati Allah dan memakan buah yang terlarang, maka hasilnya akan seperti yang dikatakannya kepada Hawa, ”Matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.” Demikianlah Hawa mengambil buah serta memakannya dan kemudian memberikan sebagian kepada Adam, dan Adam pun memakannya. (Kejadian 3:5, 6) Keputusan Adam dan Hawa untuk memakan buah itu merupakan keputusan yang mendatangkan bencana bagi mereka dan malapetaka bagi keturunan mereka.

Setelah meringkaskan panjang lebar tentang kebejatan yang didapati di kalangan politisi, pengusaha, atlet, ilmuwan, seorang pemenang hadiah Nobel, dan seorang pendeta, seorang pengamat duniawi berkata, dalam pidatonya di hadapan Harvard Business School, ”Saya percaya kita sedang mengalami di negara kita dewasa ini apa yang saya dapat katakan krisis karakter, kehilangan apa yang secara turun-temurun melalui peradaban Barat telah dianggap sebagai pembatasan batin dan kebajikan batin yang mencegah kita agar tidak menuruti naluri kita yang paling rendah.” Ia berbicara tentang ”kata-kata yang akan hampir terdengar aneh bila diucapkan dalam lingkungan ini, kata-kata seperti keberanian, martabat, tugas, tanggung jawab, belas kasihan, peradaban—kata-kata yang hampir tidak pernah digunakan lagi”.

Pada tahun 60-an di kampus-kampus universitas, isu tertentu meledak. Banyak orang menyatakan bahwa ’Allah tidak ada, Allah sudah mati, tidak ada apa-apa, tidak ada nilai-nilai yang mistik, kehidupan sama sekali tidak berarti, Anda dapat mengatasi ketidak-berartian hidup hanya melalui individualisme yang heroik’. Kaum hippi menganggap hal ini sebagai lampu hijau dan mulai mengatasi ketidak-berartian hidup dengan ’menghirup kokain, mengisap ganja, mengadakan hubungan seks bebas, dan mencari kedamaian pribadi’. Hal-hal yang tidak pernah mereka dapati.

Kemudian, terdapat gerakan-gerakan aksi protes dari tahun-tahun 60-an. Lebih dari sekadar mode, gerakan aksi protes itu disambut oleh kebudayaan utama Amerika dan mengarah kepada dekade Aku pada tahun-tahun 70-an. Kemudian kita memasuki dekade yang disebut oleh Tom Wolfe, seorang kritikus sosial, sebagai, ”dekade Aku”. Ini meningkat pada tahun-tahun 80-an, yang dengan sinis disebut oleh beberapa orang, ”masa kejayaan ketamakan”.

Apa hubungan semua hal ini dengan tata krama? Ini adalah persoalan mendahulukan kepentingan pribadi, dan jika kita mendahulukan kepentingan kita sendiri, kita tidak akan mudah mengalah kepada orang lain, tidak dapat mendahulukan orang lain, tidak dapat mempraktekkan tata krama yang baik terhadap orang lain. Dengan mendahulukan kepentingan pribadi, sebenarnya kita terlibat dalam suatu bentuk penyembahan kepada diri sendiri, penyembahan kepada Aku. Bagaimana Alkitab menggambarkan orang yang melakukan hal itu? Sebagai ”orang serakah, artinya penyembah berhala”, sehingga memperlihatkan ’keserakahan, yang adalah penyembahan berhala’. (Efesus 5:5; Kolose 3:5) Siapa yang sebenarnya dilayani orang-orang semacam itu? ”Tuhan mereka ialah perut mereka.” (Filipi 3:19) Gaya hidup alternatif yang buruk yang telah dipilih banyak orang sebagai sesuatu yang benar secara moral bagi mereka dan akibat yang mengerikan dan memautkan dari gaya hidup demikian, hanya membuktikan benarnya kata-kata Yeremia 10:23, ”Aku tahu, ya [Yehuwa], bahwa manusia tidak berkuasa untuk menentukan jalannya, dan orang yang berjalan tidak berkuasa untuk menetapkan langkahnya.”

Alkitab menubuatkan semua hal ini dan meramalkannya sebagai suatu tanda peringatan ”hari-hari terakhir”, sebagaimana dicatat di 2 Timotius 3:1-5, ”Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar. Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan menjadi pemfitnah, mereka akan berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama, tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang diri, garang, tidak suka yang baik, suka mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih menuruti hawa nafsu dari pada menuruti Allah. Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya. Jauhilah mereka itu!”

Kita telah berada jauh dari keadaan pada waktu diciptakan—dalam gambar dan rupa Allah. Sifat-sifat potensial yaitu kasih, hikmat, keadilan, dan kuasa masih ada dalam diri kita namun telah menjadi tidak seimbang dan rancu. Langkah pertama untuk kembali ke keadaan awal adalah kalimat terakhir dari ayat Alkitab yang dikutip di atas, ”Jauhilah mereka itu.” Carilah lingkungan baru, lingkungan yang akan mengubah bahkan perasaan Anda yang terdalam. Hal yang instruktif terhadap tujuan ini adalah kata-kata bijak yang tertulis beberapa tahun yang lalu dalam The Ladies’ Home Journal oleh Dorothy Thompson. Kutipannya dibuka dengan pernyataan bahwa untuk mengatasi kenakalan remaja, adalah penting mendidik emosi anak muda daripada inteleknya:

”Tindakan dan sikapnya sebagai seorang anak sangat menentukan tindakan dan sikapnya sebagai seorang dewasa. Namun ini tidak diilhami oleh otaknya, melainkan oleh perasaannya. Ia menjadi apa yang kepadanya sering dianjurkan dan dilatih untuk mengasihi, menghargai, beribadah, menyambut, dan berkorban demi. . . . Dalam segala hal ini, tata krama memainkan peranan penting, karena tata krama yang baik tidak lebih dan tidak kurang dari pernyataan timbang rasa terhadap orang lain. . . . Perasaan batin tercermin dalam perilaku lahiriah, namun perilaku lahiriah juga menyumbang kepada pemupukan perasaan batin. Sangat sukar untuk merasa agresif sambil bertindak penuh pertimbangan. Tata krama yang baik mungkin hanya sebatas kulit luar pada awalnya, namun tata krama itu jarang tetap demikian.”

Ia juga mengamati bahwa, dengan pengecualian yang jarang, kebaikan dan keburukan ”tidak ditentukan oleh otak melainkan oleh emosi” dan bahwa ”pada para kriminal yang mengeras bukan arterinya melainkan hatinya”. Ia menandaskan bahwa emosi mengatur tingkah laku kita lebih sering daripada pikiran dan bahwa cara kita dilatih, cara kita bertindak, bahkan jika dipaksa pada mulanya, mempengaruhi perasaan batin dan mengubah hati.

Akan tetapi, Alkitablah yang unggul dalam memberikan ramuan terilham untuk mengubah manusia batin yaitu hati.

Pertama, Efesus 4:22-24, ”Kamu, berhubung dengan kehidupan kamu yang dahulu, harus menanggalkan manusia lama, yang menemui kebinasaannya oleh nafsunya yang menyesatkan, supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu, dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.”

Kedua, Kolose 3:9, 10, 12-14, ”Kamu telah menanggalkan manusia lama serta kelakuannya, dan telah mengenakan manusia baru yang terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya. Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan.”

Sejarawan Will Durant berkata, ”Pertanyaan terbesar pada zaman kita bukanlah komunisme versus individualisme, bukan Eropa versus Amerika, bahkan bukan Timur versus Barat; melainkan apakah manusia dapat hidup tanpa Allah.”

Untuk menjalani kehidupan yang sukses, kita harus mengindahkan nasihat-Nya. ”Hai anakku, janganlah engkau melupakan ajaran-Ku, dan biarlah hatimu memelihara perintah-Ku, karena panjang umur dan lanjut usia serta sejahtera akan ditambahkannya kepadamu. Janganlah kiranya kasih dan setia meninggalkan engkau! Kalungkanlah itu pada lehermu, tuliskanlah itu pada loh hatimu, maka engkau akan mendapat kasih dan penghargaan dalam pandangan Allah serta manusia. Percayalah kepada [Yehuwa] dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.”—Amsal 3:1-6.

Tata krama yang baik hati dan penuh timbang rasa yang dipelajari orang-orang selama berabad-abad sama sekali bukan beban yang berlebihan, dan bimbingan Alkitab untuk kehidupan sama sekali tidak ketinggalan zaman namun akan terbukti menjadi keselamatan kekal bagi umat manusia. Tanpa Yehuwa, mereka tidak dapat terus hidup, karena ’pada Yehuwa ada sumber hayat’.—Mazmur 36:10.

[Blurb di hlm. 17]

Cara kita bertindak, bahkan jika dipaksa pada mulanya, mempengaruhi perasaan batin dan mengubah hati

[Kotak di hlm. 16]

Tata Krama Meja Makan yang Sempurna yang Pantas Ditiru Manusia

Cedar waxwings (nama sejenis burung) yang cantik, sopan, sangat luwes, makan bersama-sama di semak-semak yang besar penuh dengan buah murbei yang masak. Berbaris dalam antrean sepanjang dahan, mereka makan buah tersebut, namun mereka sama sekali tidak rakus. Dari paruh ke paruh, mereka membagikan buah murbei dari yang satu ke yang lain, hingga akhirnya semua menyantapnya dengan sopan. Mereka tidak melupakan ”anak-anak” mereka, tanpa lelah membawakan makanan, satu demi satu, hingga semua anaknya kebagian.

[Keterangan]

H. Armstrong Roberts

[Gambar di hlm. 14]

Ada yang mengatakan, ’Singkirkan Alkitab dan nilai-nilai moral’

[Gambar di hlm. 15]

”Allah sudah mati”

”Tidak ada makna kehidupan!”

”Isaplah ganja, hiruplah kokain”

[Keterangan Gambar di hlm. 13]

Kiri: Life; Kanan: Grandville

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan