PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g95 8/1 hlm. 24-27
  • Beras​—Apakah Anda Lebih Suka yang Direbus atau yang Mentah?

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Beras​—Apakah Anda Lebih Suka yang Direbus atau yang Mentah?
  • Sedarlah!—1995
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Makanan Pokok Jutaan Orang
  • Menuai Padi
  • Mengirik dan Merebus Setengah Matang
  • Rasa Butir Beras
  • Vietnam—Bertahan dalam Peperangan Selama Hampir 30 Tahun
    Sedarlah!—1985 (No. 15)
  • Mengamati Dunia
    Sedarlah!—1996
  • Tangga Menuju Langit
    Sedarlah!—2000
  • Ayo, Kunjungi Pasar Afrika
    Sedarlah!—2010
Sedarlah!—1995
g95 8/1 hlm. 24-27

Beras​—Apakah Anda Lebih Suka yang Direbus atau yang Mentah?

OLEH KORESPONDEN SEDARLAH! DI INDIA

’APAKAH Anda makan beras yang direbus atau beras mentah?’ Itulah pertanyaan yang mungkin diajukan sewaktu Anda bertamu di rumah seorang India. Di India sekitar 60 persen dari nasi yang dimakan adalah dari bulir-bulir padi yang direbus setengah matang. Namun, mungkin Anda terkejut mengetahui bahwa di bangsa-bangsa Barat, hampir setiap orang memakan apa yang orang India sebut beras mentah!

Semua ini tidak akan terdengar begitu aneh bila Anda menyadari bahwa apa yang sedang kita bicarakan, bukanlah tentang cara mempersiapkan nasi untuk dimakan, namun tentang metode yang digunakan orang India dalam memproses bulir-bulir padi ketika dipanen. Maka, apa yang dilakukan dalam pemrosesan tersebut, dan mengapa? Dengan mengetahui lebih saksama tentang padi dan cara pengolahannya sebagai bahan pangan, kita akan mendapat jawaban yang jelas.

Makanan Pokok Jutaan Orang

Penemuan arkeologi dan catatan sejarah menunjukkan bahwa padi sudah ditanam di India dan Cina sejak milenium ketiga SM. Penduduk India purba menyebutnya dhanya, atau ”penopang ras manusia”. Nama itu masih cocok karena lebih banyak orang hidup bergantung pada beras dibanding produk pangan tunggal lainnya. Kebanyakan dari orang-orang ini tinggal di Asia, yang, menurut satu sumber, lebih dari 600 juta orang mendapatkan setengah dari kalori makanan sehari-hari mereka hanya dari nasi, dan lebih dari 90 persen beras di seluruh dunia diproduksi dan dikonsumsi di sini.

Delta Sungai Gangga yang tropis dan basah, adalah salah satu daerah utama penghasil beras di dunia. Banyaknya curah hujan dan suhu yang hangat, serta tenaga kerja yang limpah, membuat daerah ini ideal untuk ditanami padi. Mari kita menerima undangan teman-teman kita yang tinggal di desa di daerah ini, dan mengamati secara langsung penuaian dan pemrosesan padi.

Menuai Padi

Bus membawa kami ke Jaidercote di Benggala Barat, dan kami melanjutkan perjalanan ke pedalaman dengan ricksha, kendaraan beroda tiga. Segera kami menyaksikan kegiatan yang penuh semangat di sawah. Tidak terlihat mesin-mesin penuai di sini! Sebaliknya, para ayah, anak-anak lelaki, para paman, dan saudara-saudara sibuk di tengah-tengah sawah, dengan cekatan memotong segenggam tangkai padi sekaligus dengan sabit kecil. Salah seorang penuai, ketika melihat kamera kami, cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya mengikat berkas dengan sehelai jerami dan mengangkatnya tinggi-tinggi sambil berpose. Kami tertawa melihat gaya orang-orang desa sewaktu menyadari bahwa mereka sedang difoto.

Berkas-berkasnya dibiarkan untuk dijemur di bawah sinar matahari selama satu atau dua hari. Kemudian anggota keluarga yang lebih muda dapat membantu dengan membawa pulang bal-bal kecil berisi berkas-berkas padi kering yang bergemeresik, yang dengan cekatan ditaruh secara seimbang di atas kepala mereka.

Akhirnya, kami tiba di desa. ”Apa kabar, Dada?” kami memberi salam kepada tuan rumah, dengan menggunakan istilah yang menunjukkan respek. Senyumnya meyakinkan kami bahwa semuanya baik-baik, dan kami melihat istrinya bergegas pergi untuk mempersiapkan teh.

Sambil minum teh pagi itu, kami menanyakan bagaimana hasil panen tahun ini. ”Lumayan,” jawabnya dengan penguasaan diri khas seorang petani, tetapi kemudian ia mengeluh bahwa dengan menggunakan bibit unggul pada tahun-tahun belakangan ini, sumber daya tanah di sana dimanfaatkan habis-habisan. Mula-mula mereka menghasilkan apa yang tampaknya seperti panen yang menakjubkan, namun kini situasinya menjadi lain. Pupuk kimia yang diperlukan untuk bibit unggul mahal harganya, dan ia tidak mampu untuk membelinya.

Mengirik dan Merebus Setengah Matang

Setelah kami menghabiskan makanan kecil, kami meminta keluarga tersebut untuk melanjutkan pekerjaan menuai mereka, yang sengaja ingin kami lihat. Di rumah ini, pekerjaan mengirik telah selesai. Tidak seberapa jauh melewati jalan kecil itu, di rumah yang berdekatan, para wanita sedang sibuk. Mereka memukul-mukul setiap berkas di atas sebuah panggung bambu dan membiarkan bulir-bulirnya jatuh melalui celah-celahnya. Sisa-sisa jerami ditumpuk menjadi onggokan.

Bulir-bulir padi yang belum digiling, yang juga disebut gabah, terbungkus kulit ari yang kesat, yang tidak dapat dicerna. Maka bagi mereka yang lebih menyukai beras mentah, langkah selanjutnya hanyalah menguliti atau membuang kulit arinya, dan barangkali sedikit menyelip dan menggiling jika produknya dimaksudkan untuk pasar asing yang banyak tuntutan.

Akan tetapi hasil panen di sini, bukan untuk diekspor melainkan untuk dimakan oleh keluarga-keluarga petani itu sendiri. Mereka menyimpan butir-butir gabah tersebut dalam tikri, atau tong dengan tutup jerami yang cukup besar untuk menyimpan persediaan bagi seluruh keluarga. Orang-orang di daerah delta Sungai Gangga biasanya makan beras rebus, namun kami dengan sedikit bercanda menyarankan kepada tuan rumah, agar ia sebaiknya membuat beras mentah tahun ini.

”Tidak,” jawabnya. ”Di daerah ini kami terbiasa makan beras rebus dan entah mengapa, tidak begitu suka yang mentah.”

Kami telah mendengar bahwa beras rebus dipersiapkan dengan proses merendam dan merebus setengah matang, namun kami tidak tahu dengan pasti caranya hal itu dilakukan. Untungnya, teman kami menawarkan untuk mendemonstrasikan proses yang digunakan keluarganya. Tidak diperlukan peralatan khusus karena setiap kali hanya sedikit jumlah yang dikerjakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga selama satu atau dua minggu. Mereka mengisi sebuah hanri atau belanga yang besar, dengan gabah yang disimpan di dalam tikri dan kemudian menambahkan kira-kira satu liter air. Lalu ini dipanaskan di sebuah kompor berbahan bakar jerami, yang di sebut oonoon, dengan api kecil sampai airnya menguap. Isinya lalu direndam semalam dalam sebuah ember berisi air bersih, dan setelah disaring, ditaruh kembali di hanri untuk dikukus sampai kering sekali lagi. Akhirnya, butir-butir gabah itu ditebarkan di tanah supaya mengeras di bawah sinar matahari, sambil kadang-kadang dibalik dengan kaki.

Bagi kami hal ini kelihatannya seperti banyak pekerjaan ekstra, namun ada beberapa keuntungan dari proses ini selain memenuhi kesukaan keluarga. Merebus setengah matang membuat vitamin dan gizi tertentu dalam butir-butir beras benar-benar terserap ke dalam endosperma, atau bagian makanan, dari gabah. Dengan demikian vitamin dan gizi ini tidak mudah larut pada waktu dicuci dan dimasak. Hasilnya adalah makanan yang lebih bergizi. Nilai makanan tambahan ini dapat benar-benar menentukan antara kehidupan dan kematian bagi orang-orang yang hidupnya terutama bergantung pada beras.

Manfaat lain yang lebih langsung terasa bagi para petani sendiri adalah bahwa butir-butir yang direbus setengah matang lebih tahan lama dan kulitnya lebih mudah dilepaskan. Hal itu akan membuat butirnya lebih keras dan dengan demikian tidak mudah patah.

Rasa Butir Beras

”Sekarang waktunya menikmati teh lagi dan makanan kecil,” kata tuan rumah kami. Kami berjalan kembali ke rumahnya, di sana Dida (Nenek) sedang mempersiapkan moori. Nasi yang mekar dan baru matang ini sangat disukai semua orang, khususnya anak-anak. Dida berjongkok di depan oonoon, memanggang beberapa cangkir beras tanpa kulit ari, yang sudah setengah matang dan sebelumnya telah ia basahi dan campur dengan sedikit garam. Butiran itu kini kering dan tidak lengket sehingga ia dapat menaburkannya sedikit-sedikit setiap kali ke dalam panci besi yang berisi pasir panas. Seraya ia terus memanaskan pasir tersebut, berasnya menjadi mekar sampai beberapa kali lebih besar dari ukuran normalnya. Moori yang sudah jadi itu dengan cepat kemudian diambil dari atas pasir dengan seikat ranting sebelum menjadi gosong. Ranting-ranting tersebut juga berfungsi sebagai alat untuk menghukum tangan anak-anak yang ingin merogoh keranjang berisi moori yang panas.

Kami menikmati moori bersama dengan potongan kelapa yang baru dibelah, namun kami menjaga agar tidak makan terlalu banyak, karena sebentar lagi waktu makan siang.

Proses terakhir untuk dilihat adalah pengupasan kulit ari. Hingga masa belakangan ini, pengupasan dilakukan dengan alu dan lesung, yang di sebut dhenki, yang dikerjakan dengan kaki, tetapi sekarang, bahkan di tempat-tempat terpencil, mesin-mesin pengupas melakukan pekerjaan yang jauh lebih cepat. Perubahan ini disesalkan oleh beberapa orang dari generasi lama, karena beras hasil pengupasan dengan dhenki masih mengandung kulit biji bagian dalam (epidermis) berwarna merah yang tetap utuh, yang memberikan rasa khas dan memberikan gizi tambahan pada makanan. Akan tetapi, mesin akan melepaskan segalanya​—kulit ari, kulit padi (dedak), dan banyak dari lembaganya​—sehingga hanya tinggal endosperma yang putih dan mengandung banyak zat tepung, yang banyak diminta dewasa ini.

Ibu-ibu di sana sekarang sangat ingin agar kami memakan jamuan yang mereka telah persiapkan. Mereka telah menanak beras setengah matang itu dengan meliwetnya, dan kini disajikan dalam keadaan masih mengepul di atas piring-piring daun pisang. Berikutnya adalah mempersiapkan miju-miju (lentil), sayuran setempat, dan ikan dari kolam untuk dimakan dengan nasi. Kami semua setuju bahwa ini adalah bagian yang paling menyenangkan dari kunjungan kami.

Ya, tidak soal direbus atau mentah, beras adalah persediaan yang lezat, salah satu dari rumput-rumput hijau yang Allah jadikan agar bertumbuh sebagai ”sayur-sayuran akan guna manusia”.​—Mazmur 104:14, Klinkert.

[Kotak di hlm. 26]

Jhal Moori

Di banyak bagian dari India, makanan kecil dari nasi dijual di jalan oleh para penjaja yang berpakaian warna-warna mencolok. Jhal moori yang lezat dan bergizi dapat dengan mudah dipersiapkan dan merupakan pengganti yang baik dari makanan kecil dalam kemasan.

Dimulai dengan semangkuk nasi yang renyah dan tanpa gula, taburi bahan berikut ini, sesuai selera Anda: tomat yang dicincang halus, bawang merah, ketimun, cabai hijau (tidak harus), sedikit kacang tanah, kacang polong (tidak harus), chaat masala (suatu campuran bumbu bubuk, yang tersedia di toko-toko India) atau sedikit garam dan lada, setengah sendok teh minyak moster atau minyak selada lain. Semua bumbu dikocok bersama dengan kuat, dan makanlah segera.

Karena selera bermacam-macam, penjaja moori membolehkan pembeli memilih sendiri dari deretan bermacam-macam sayur-sayuran yang sudah dipotong dan bumbu yang ia sediakan, dan seberapa banyak yang akan ditaruh. Anda juga dapat menyajikan bahan-bahan itu di piring kecil yang terpisah, sehingga tamu-tamu Anda dapat mencampur moori mereka sendiri.

[Gambar di hlm. 24, 25]

(1) Mengirik tangkai padi (2) Menampi (3) Dida mempersiapkan ”moori” (4) Keranjang ”moori” dengan berbagai bahan

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan