PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g95 8/10 hlm. 10-14
  • Kemenangan bagi Kaum Minoritas​—Di Negeri dengan Keseragaman

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Kemenangan bagi Kaum Minoritas​—Di Negeri dengan Keseragaman
  • Sedarlah!—1995
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Masalahnya
  • Menegakkan Hak Kaum Minoritas
  • Keputusan Pengadilan Distrik
  • Keputusan yang Tidak Berat Sebelah
  • Bagaimana Keputusan Ini Mempengaruhi Anda
  • Merespek Orang Lain yang Menganut Nilai yang Berbeda
  • Secara Hukum Melindungi Kabar Baik
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1998
  • ”Membela dan Secara Hukum Meneguhkan Kabar Baik”
    Saksi-Saksi Yehuwa—Pemberita Kerajaan Allah
  • Pemberita Kerajaan Membawa Kasus Mereka ke Pengadilan
    Kerajaan Allah Memerintah!
  • Berjuang Demi Kebebasan Beribadat
    Kerajaan Allah Memerintah!
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1995
g95 8/10 hlm. 10-14

Kemenangan bagi Kaum Minoritas​—Di Negeri dengan Keseragaman

OLEH KORESPONDEN SEDARLAH! DI JEPANG

TUJUH kamera televisi berikut puluhan reporter sedang menunggu si penggugat belia muncul di Klub Wartawan Pengadilan Tinggi Osaka ketika Kunihito Kobayashi yang berusia 19 tahun dan orang-tuanya memasuki ruang konferensi dengan senyum lebar di wajah mereka. Lampu kamera berkilatan di seluruh ruangan seraya mereka menjawab pertanyaan para reporter.

”Saya sangat senang menerima keputusan yang tidak berat sebelah untuk kasus saya,” kata Kunihito. ”Saya ingin melihat suatu dunia yang di dalamnya siapa pun bisa diterima, naik kelas, dan lulus dari sekolah mana pun tidak soal agama yang dianutnya.”

Pengadilan Tinggi Osaka telah mengubah keputusan Pengadilan Distrik Kobe yang lebih rendah, dan memberi Kunihito apa yang telah ia upayakan, yaitu hak untuk mendapatkan pendidikan tidak soal kepercayaan agamanya.

Masalahnya

Yang dipermasalahkan dalam tuntutan pengadilan ini adalah dikeluarkannya Kunihito dari Kobe Municipal Industrial Technical College (disingkat Kobe Tech) karena menolak ikut serta dalam latihan kendo (keterampilan memainkan pedang ala Jepang) atas alasan agama. Setelah keputusan pengadilan Osaka, yang membatalkan tindakan sekolah dalam membuat Kunihito tidak naik kelas dan kemudian mengeluarkan dia, Kunihito menyatakan keinginannya untuk meneruskan pendidikannya dalam bidang teknik elektro. Tiga tahun pertama dari pendidikan tinggi lima tahun ini setaraf dengan tiga tahun di sekolah lanjutan atas.

Kobe Tech berkeras agar Kunihito mengikuti latihan kendo sebagai bagian dari mata pelajaran olahraga. Akan tetapi, karena ia salah seorang dari Saksi-Saksi Yehuwa, hati nuraninya yang dilatih Alkitab tidak mengizinkannya ikut serta dalam latihan ilmu bela diri. Untuk para reporter di konferensi pers, Kunihito membuka Alkitabnya dan menjelaskan pendiriannya, ”Mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas; bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang.”​—Yesaya 2:4.

Kalau begitu, mengapa siswa muda ini harus berpaling kepada hukum untuk memperoleh kebebasan beragama dan hak untuk mendapatkan pendidikan? Profesor Koji Tonami dari Universitas Tsukuba mengatakan, ”Bisa saja pembatasan yang tidak diharapkan dikenakan atas iman orang-orang yang beragama sebagai akibat sikap acuh tak acuh dan kurangnya pengertian.” Meskipun pemerintah atau masyarakat mungkin tidak bermaksud menindas suatu agama, mungkin saja ada agama yang tertindas tanpa disengaja.

Mengapa ”pembatasan yang tidak diharapkan” demikian dikenakan atas hak kaum minoritas? ”Karena masyarakat Jepang menjunjung sistem sosial yang memaksa kaum minoritas untuk menyelaraskan diri dengan kaum mayoritas,” jawab Profesor Hitoshi Serizawa dari Universitas Aoyama Gakuin. Tekanan untuk menyelaraskan diri dengan masyarakat pada umumnya benar-benar kuat di Jepang.

Tidaklah mudah bagi kaum muda untuk berada dalam suatu sistem sekolah yang mengucilkan siswa-siswa yang berbeda dengan siswa lainnya. Akan tetapi, persoalannya bukan sekadar kepedulian akan suatu kelompok agama minoritas. Mari kita ikuti kasusnya dari permulaan dan lihat apa yang dipermasalahkan dan bagaimana keputusan ini mempengaruhi masyarakat luas.

Menegakkan Hak Kaum Minoritas

Hingga tahun 1990, Kobe Tech tidak mewajibkan para siswanya mengikuti latihan ilmu bela diri. Namun setelah sebuah ruang senam berikut ruang latihan ilmu bela diri selesai dibangun, sekolah ini mulai mewajibkan latihan kendo bagi para siswanya. Pada tahun 1990, staf pengajar pendidikan olahraga di sekolah itu mengambil pendirian keras terhadap Saksi-Saksi Yehuwa yang memasuki Kobe Tech pada usia 16 tahun. Menanggapi permohonan Saksi-Saksi untuk dibebaskan dari latihan kendo, seorang guru mengatakan, ”Silakan angkat kaki dari sekolah ini jika kamu tidak bisa melaksanakan apa yang diwajibkan sekolah!”

Bagi para pemuda Saksi yang mengambil pendirian teguh demi kepercayaan mereka, kesempatan untuk naik kelas tampak suram. Seorang guru lain mengatakan, ”Kamu tidak akan lulus sekalipun kamu berupaya keras di bidang [olahraga] lain.” Lima siswa tetap berpegang pada kepercayaan mereka akan ajaran Alkitab dengan tidak mengangkat pedang sekalipun terbuat dari bambu. Tiga dari antara mereka adalah Saksi-Saksi yang terbaptis dari Yehuwa, dan dua lainnya belum terbaptis, namun semuanya dengan tegas menyatakan kepercayaan mereka kepada Alkitab. Mereka bersedia menerima kegiatan alternatif apa pun yang dituntut para guru dari mereka.

Sebagai akibat pendirian mereka, mereka dinyatakan tidak naik kelas. Sewaktu tahun ajaran berikutnya dimulai pada tahun 1991, para guru olahraga mengumpulkan kelima siswa yang menolak ikut serta dalam latihan kendo dan sembilan siswa baru yang memiliki kepercayaan serupa dan mengatakan, ”Kalian harus mendapat nilai yang luar biasa tinggi untuk bisa naik kelas. Tidak seorang pun dari kalian akan mendapat nilai itu.” Para guru selanjutnya berkata kepada mereka, ”Kalian tidak lagi berada di bawah peraturan wajib belajar. [Di Jepang, wajib belajar adalah dari kelas satu sampai kelas sembilan.] Kami bisa mengatakan kepada kalian ’silakan angkat kaki dari sini’.”

Kelima siswa itu mengajukan tuntutan hukum terhadap sekolah ke Pengadilan Distrik Kobe, dengan menyatakan bahwa tindakan sekolah tersebut melanggar hak konstitusional mereka untuk kebebasan beribadat dan untuk mendapat pendidikan. Pada waktu yang sama, kelima siswa tersebut mengajukan permohonan kepada Pengadilan Distrik Kobe dan kemudian kepada Pengadilan Tinggi Osaka untuk menghentikan diberlakukannya tindakan menolak memberikan kenaikan kelas agar mereka dapat tetap mengikuti pelajaran sementara kasus mereka diproses. Akan tetapi, permohonan ini ditolak oleh kedua pengadilan.

Dua dari kelima siswa itu sekali lagi dinyatakan tidak lulus dalam mata pelajaran olahraga pada tahun ajaran berikutnya dan diancam akan dikeluarkan dari sekolah. Sebagai akibatnya, salah seorang dari mereka keluar dari sekolah atas desakan pihak sekolah. Siswa lainnya menolak usul dari pihak sekolah agar ia keluar. Siswa tersebut, Kunihito Kobayashi, dikeluarkan dari sekolah.

Peraturan sekolah menyatakan bahwa seorang siswa yang dua kali tidak lulus harus langsung dikeluarkan dari sekolah sebagai ”orang yang kurang kemampuan belajarnya sehingga tidak memiliki prospek untuk menamatkan pendidikan”. Tetapi apakah Kunihito ”kurang kemampuan belajarnya”? Bahkan termasuk pendidikan olahraga, yang, gara-gara masalah kendo ia dianggap tidak lulus dengan nilai 48 dalam skala nilai 100, nilai rata-rata yang ia capai untuk semua mata pelajaran adalah 90,2. Ia menduduki ranking pertama di kelasnya yang terdiri dari 42 siswa! Ia bertingkah laku baik dan senang belajar.

Permohonan diajukan kepada Pengadilan Distrik Kobe dan kemudian kepada Pengadilan Tinggi Osaka untuk membatalkan diberlakukannya tindakan pengeluaran ini. Tetapi, kedua pengadilan menolak permohonan tersebut.

Keputusan Pengadilan Distrik

Pada tanggal 22 Februari 1993, hampir dua tahun setelah kelima siswa itu mengajukan tuntutan hukum, Pengadilan Distrik Kobe mengeluarkan keputusan yang memihak sekolah. ”Tidak dapat disangkal bahwa kebebasan beribadat para penggugat agak dibatasi oleh tuntutan sekolah untuk ikut serta dalam latihan kendo,” demikian pengakuan hakim ketua, Tadao Tsuji. Namun ia menyimpulkan bahwa ”tindakan yang diambil sekolah tidak melanggar undang-undang dasar”.

Para siswa langsung naik banding ke Pengadilan Tinggi Osaka. Akan tetapi, keputusan pengadilan distrik telah meresahkan banyak orang yang rasional. Salah seorang di antaranya menyatakan diri dalam kolom kontak pembaca di surat kabar Mainichi Shimbun dan mengatakan, ”Keputusan kali ini berpusat di sekitar penilaian bahwa ’merupakan pelanggaran terhadap kenetralan keagamaan untuk mentoleransi ketidakikutsertaan dalam pelajaran kendo atas dasar agama’. Akan tetapi, kenetralan berarti tidak mendukung pihak mana pun dalam suatu perkara. Dan berkenaan kenetralan keagamaan, yang dipermasalahkan adalah melindungi iman kaum minoritas terhadap kaum mayoritas. Oleh karena itu, keputusan ini benar-benar merampas kebebasan beragama, dan pengadilan sendiri telah melanggar kenetralan keagamaan.”

Banyak orang tergugah dan tergerak untuk memberikan pendapat. Dr. Takeshi Kobayashi, profesor Konstitusi di Universitas Nanzan, mengirimkan pendapatnya atas kasus ini ke Pengadilan Tinggi Osaka dan mengatakan, ”Kasus yang diperdebatkan ini jelas-jelas mempertanyakan pengadilan di negeri kita bagaimana mereka akan menangani tantangan untuk melindungi hak kaum minoritas. . . . Sekolah tinggi, dengan berkedok memisahkan agama dengan Negara, maupun sebagai tempat yang netral dari pendidikan umum, sama sekali menolak untuk mentoleransi pendirian agama suatu kaum minoritas atas dasar pandangan umum yang dianut kaum mayoritas. Keputusan pengadilan yang lebih rendah merestui tindakan itu sebagai hal yang sah dan berdasarkan undang-undang dasar. Akan tetapi, sekalipun kepercayaan suatu minoritas mungkin tidak dimengerti dari sudut pandangan apa yang umum diterima sebagai hal yang bersifat keagamaan, jika kepercayaan itu tulus, itu harus direspek. Pengadilan khususnya dituntut untuk mengadili dengan kesadaran bahwa lembaga ini adalah pembela utama kaum minoritas.”

Seorang ahli hukum lainnya, Profesor Tetsuo Shimomura dari Universitas Tsukuba, mengatakan, ”Hal yang meresahkan dalam kasus ini adalah masih adanya kecenderungan sikap tirani yang berurat-berakar di pihak sekolah.” Ia mengatakan dalam suatu wawancara televisi bahwa mengeluarkan seorang siswa tanpa memberi tindakan alternatif menyingkapkan kelemahan di pihak para pendidik dan menyingkapkan tidak adanya pertimbangan terhadap kesejahteraan siswa.

Pada tanggal 22 Februari 1994, Persatuan Pengacara Kobe mengajukan surat imbauan resmi kepada kepala sekolah Kobe Tech untuk memulihkan Kunihito. Surat itu menyatakan bahwa tindakan sekolah untuk tidak memberikan kenaikan kelas dan mengeluarkan Kunihito merupakan pelanggaran atas kebebasan beribadat dan haknya untuk mendapat pendidikan.

Keputusan yang Tidak Berat Sebelah

Sementara proses banding berlangsung, keempat penggugat itu kecuali Kunihito memutuskan untuk mengundurkan diri dari kasus ini. Ini karena tiga orang telah diberi kenaikan kelas dan seorang dipaksa ke luar dari sekolah. Ini mengakibatkan pokok perdebatan ditujukan kepada cara sekolah menangani Kunihito.

Akan tetapi, keempat mantan teman sekelas Kunihito memberi dia dukungan moral dengan selalu berupaya hadir dalam proses persidangan. Dengan menyisihkan sebagian dari penghasilannya yang tidak seberapa dari pekerjaan penggal waktu, siswa yang dipaksa ke luar dari sekolah tersebut menyumbangkan sebanyak 100.000 yen untuk membantu Kunihito meneruskan perjuangan hukum.

Pada tanggal 22 Desember 1994, Kunihito bersama siswa-siswa lainnya menunggu keputusan Hakim Ketua Reisuke Shimada dari Pengadilan Tinggi Osaka.

”Keputusan yang mula-mula dibatalkan,” demikian keputusan Hakim Shimada.

Hakim Shimada, dalam keputusannya yang sangat penting, menyatakan dengan tegas bahwa alasan Kunihito menolak latihan kendo sifatnya tulus. Sang hakim menyatakan bahwa sebagai lembaga pendidikan yang terbuka untuk umum, Kobe Tech berkewajiban untuk memberikan pertimbangan kependidikan kepada siswa-siswanya. Ia juga mengatakan bahwa kerugian Kunihito karena menolak mengikuti latihan kendo luar biasa besar dan bahwa tindakan mengeluarkan dia dari sekolah tidak lain adalah merampas semua kesempatannya untuk menerima pendidikan.

Hakim Shimada memerintahkan agar sekolah menyediakan tindakan alternatif baginya. Ia mengatakan bahwa menyediakan alternatif tersebut sama sekali bukan mempropagandakan atau mendukung agama orang yang naik banding, juga tidak menindas siswa lainnya. ”Tidak ada bukti bahwa pihak Terdakwa [sekolah] telah mempertimbangkan dengan saksama tindakan-tindakan alternatif,” kata sang hakim. ”Malahan, . . . Terdakwa dengan keras kepala mempertahankan kebijakan untuk tidak mentoleransi penolakan latihan kendo dan bahkan tidak mulai mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan untuk menyediakan tindakan alternatif.”

Bagaimana Keputusan Ini Mempengaruhi Anda

Mengapa semestinya Anda berminat akan kemenangan pemuda yang tergolong kaum minoritas ini? Dalam bukunya The Court and the Constitution, mantan jaksa khusus untuk Watergate bernama Archibald Cox mengajukan pertanyaan serupa sehubungan dengan Saksi-Saksi Yehuwa dalam masalah salut kepada bendera di Amerika Serikat, ”Mengapa kita harus khawatir terhadap kemerdekaan rohani dari kelompok minoritas yang kecil itu?”

Menjawab pertanyaan tersebut, Cox mengatakan, ”Sebagian dari jawabannya terletak pada prinsip martabat pribadi yang menjadi landasan masyarakat kita, suatu martabat yang menjadi milik kaum ortodoks maupun mereka yang tidak mau tunduk kepada norma-norma yang berlaku. Sebagian lagi terletak pada kesadaran bahwa jika Negara dapat membungkam kebebasan berbicara Saksi-Saksi Yehuwa . . ., yang berikutnya mungkin kebebasan berbicara kita.”

Profesor Takeshi Hirano dari Universitas Ryukoku sependapat dengan Cox dan mengatakan hal ini tentang kasus kendo, ”Orang-orang yang rasional berpendapat bahwa mereka berutang kebebasan beribadat seperti yang dinikmati di Amerika Serikat sekarang kepada Saksi-Saksi Yehuwa, yang memperjuangkan hak mereka dalam banyak kasus pengadilan. Di negara kita pun [Jepang], diharapkan bahwa kebebasan beribadat akan ditegakkan dan ditingkatkan melalui kasus-kasus seperti ini.”

Saksi-Saksi Yehuwa telah berupaya sebaik-baiknya dalam membela kepercayaan mereka secara hukum, dan mereka telah memberi sumbangan besar kepada ditegakkannya hak asasi manusia pada abad ke-20. Di banyak negeri, Saksi-Saksi Yehuwa telah memelopori perjuangan hukum dalam membela hak pasien untuk menentukan pilihan setelah mendapat penjelasan, hak manusia untuk memutuskan cara memperlihatkan respek terhadap bendera nasional, dan hak individu untuk menyatakan keyakinannya sendiri kepada orang lain. Kemenangan di Pengadilan Tinggi Osaka menambah babak lain kepada catatan sumbangsih Saksi-Saksi Yehuwa dalam menegakkan hak kaum minoritas.

Merespek Orang Lain yang Menganut Nilai yang Berbeda

Selain bermanfaat untuk memajukan hak asasi manusia, masalah mentoleransi kepercayaan kaum minoritas memiliki pengaruh atas kehidupan Anda dalam hal lain. Profesor Kaname Saruya dari Universitas Wanita Komazawa mengacu kepada kasus ini dan mengatakan, ”Kebebasan beragama yang diakui oleh undang-undang dasar diabaikan hanya karena [sang siswa] adalah suatu heterogen. Penolakan unsur yang heterogen sangat meluas di Jepang.”

Dalam masyarakat zaman sekarang, tekanan untuk memberantas apa yang heterogen, atau apa yang berbeda dari norma, yang berlaku sangat kuat. Penindasan terhadap anak yang lebih lemah, yang begitu merajalela di sekolah-sekolah di Jepang maupun di negeri-negeri lain, adalah contoh dari kecenderungan untuk mengucilkan apa yang berbeda dari masyarakat. Ketika mengomentari problem penindasan terhadap anak yang lebih lemah di sekolah, Hiroshi Yoshino, inspektur jenderal Kepolisian Metropolitan Tokyo, mengatakan bahwa menurut survei yang diadakan oleh Institut Riset Nasional dari Ilmu Kepolisian, proporsi yang sangat besar dari alasan untuk menindas anak yang lebih lemah, dipandang dari sisi si penindas, melibatkan kepribadian dan tindakan si korban yang dianggap berbeda. Ia menyimpulkan, ”Saya pikir, sekarang telah muncul suatu unsur yang tidak sehat yang tersembunyi di balik masyarakat Jepang, yaitu menolak hal-hal yang tidak lazim atau sesuatu yang secara fisik dan mental bersifat heterogen.”

Kecenderungan untuk menyingkirkan sesuatu yang berbeda dari masyarakat tampak di mana-mana, bukan hanya di Jepang. Namun kesanggupan untuk mentoleransi nilai-nilai yang berbeda merupakan kunci untuk hidup berdampingan dengan damai. Sehubungan dengan hal ini, sebuah tajuk rencana di Asahi Shimbun menyatakan bahwa keputusan Pengadilan Distrik Kobe dan Pengadilan Tinggi Osaka ”membuat suatu kontras yang tajam”. Surat kabar itu mengatakan, ”Dua keputusan tersebut tampaknya melambangkan dua cara berpikir yang berbeda,” yang satu berupa tirani berorientasi-manajemen dan yang lainnya toleransi terhadap nilai-nilai yang berbeda.

Apakah Anda siap mentoleransi nilai-nilai yang berbeda? Apakah Anda bersedia menyelidiki alasan kuat dari pendirian orang lain? Menarik sekali, Archibald Cox, yang telah disebutkan sebelumnya di artikel ini, menambahkan alasan lain untuk prihatin terhadap kaum minoritas, ”Sebagian terletak pada kesadaran bahwa ada kaum minoritas yang tidak lazim yang mungkin telah menemukan kebenaran​—kebenaran yang tertunda atau yang hilang selamanya karena penindasan yang dialaminya.”

Tampaknya, Kobe Tech tidak berminat akan kebenaran yang mungkin telah mereka tindas, mereka pun tidak memperlihatkan pandangan yang toleran. Sebaliknya, mereka naik banding ke Mahkamah Agung Jepang. Bagaimana Mahkamah Agung Jepang akan menangani kasus ini? Kita masih harus menunggu hasilnya.

[Gambar di hlm. 14]

Kunihito (tengah) dan keempat penggugat yang mula-mula

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan