PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g96 8/1 hlm. 6-11
  • Apakah Perjuangan Sedang Dimenangkan?

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Apakah Perjuangan Sedang Dimenangkan?
  • Sedarlah!—1996
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Tiga Kebenaran Tentang Tempat Tinggal Pada Ilmu Ekologi
  • Sejauh Mana Kerusakan Telah Terjadi?
  • Dapatkah Manusia Mengatasi Problemnya?
  • Apa yang Dilakukan Manusia terhadap Bumi?
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1990
  • Perjuangan untuk Menyelamatkan Planet Kita
    Sedarlah!—1996
  • Sumber Daya Bumi yang Menipis
    Sedarlah!—2005
  • Menyelamatkan Lingkungan Hidup​—Seberapa Jauh Keberhasilannya?
    Sedarlah!—2003
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1996
g96 8/1 hlm. 6-11

Apakah Perjuangan Sedang Dimenangkan?

”PELIHARALAH planet ini, inilah satu-satunya yang kita punyai.” Demikianlah seruan dramatis Pangeran Philip dari Inggris, presiden dari World Wide Fund for Nature.

Ribuan tahun sebelumnya, pemazmur menulis, ”Langit itu langit kepunyaan [Yehuwa], dan bumi itu telah diberikan-Nya kepada anak-anak manusia.” (Mazmur 115:16) Allah telah memberikan kepada kita bumi sebagai tempat tinggal kita, dan kita harus memeliharanya. Itulah hakikatnya ekologi.

Secara harfiah kata ”ekologi” berarti ”suatu pelajaran tentang tempat tinggal”.a Salah satu definisi yang diberikan oleh The American Heritage Dictionary adalah ”pelajaran tentang pengaruh-pengaruh yang merusak dari peradaban modern atas lingkungan hidup, dengan maksud untuk mencegah atau memulihkan melalui pelestarian”. Secara sederhana, ekologi berarti mencari tahu kerusakan apa saja yang telah dilakukan manusia dan kemudian mencari jalan untuk memperbaikinya. Kedua hal ini bukan tugas yang mudah.

Tiga Kebenaran Tentang Tempat Tinggal Pada Ilmu Ekologi

Barry Commoner, seorang biolog, dalam bukunya Making Peace With the Planet, mengemukakan tiga hukum dasar ekologi yang turut menjelaskan mengapa bumi begitu rentan terhadap penyalahgunaan yang sewenang-wenang.

Segala sesuatu berkaitan satu sama lain. Sama seperti gigi yang rusak dapat mempengaruhi seluruh tubuh kita, demikian pula kerusakan pada salah satu unsur alam dapat menyulut serangkaian problem lingkungan

Misalnya, selama 40 tahun terakhir, 50 persen dari hutan di Pegunungan Himalaya di Nepal telah ditebang untuk kayu bakar atau untuk produk-produk kayu. Sekali pohon-pohon ditebang, tanah dari lereng gunung segera hanyut bila turun hujan angin musim. Tanpa humus, tunas pohon sulit untuk berakar, dan banyak gunung menjadi tandus. Karena penggundulan hutan, Nepal kini kehilangan jutaan ton humus setiap tahun. Dan problem-problem itu bukan hanya di Nepal saja.

Di Bangladesh, hujan yang sangat lebat, yang dahulunya diserap oleh pohon-pohon, mengalir deras melewati gunung-gunung yang gundul tanpa ada rintangan dan menuju ke pantai, tempat terjadinya banjir yang mendatangkan bencana. Dulu, Bangladesh dilanda banjir yang hebat sekali setiap 50 tahun; sekarang setiap 4 tahun atau kurang.

Di bagian-bagian lain dari dunia, penggundulan hutan mengakibatkan tanah menjadi tandus dan mengubah iklim setempat. Hutan adalah satu-satunya sumber daya alam yang dieksploitasi manusia. Karena para pakar ekologi secara relatif belum banyak mengetahui tentang bagian-bagian yang saling berkaitan dari ekosistem kita yang sangat luas, suatu problem mungkin belum dapat dikenali hingga terjadi kerusakan yang parah. Demikianlah halnya sehubungan dengan pembuangan limbah, yang dengan bagus mengilustrasikan hukum ekologi kedua.

Segala sesuatu harus didaur ulang. Bayangkan seperti apa jadinya suatu tempat tinggal eksklusif jika tidak ada pembuangan sampah sama sekali. Planet kita merupakan suatu sistem tertutup semacam itu​—semua limbah kita harus menuju ke suatu tempat tertentu di tempat tinggal kita di bumi. Hancurnya sebagian dari lapisan ozon memperlihatkan bahwa bahkan gas-gas yang tampaknya tidak berbahaya, seperti klorofluorokarbon (CFC), tidak sekadar lenyap ke dalam udara. CFC adalah salah satu dari ratusan senyawa yang berpotensi membahayakan yang sedang dilepaskan ke langit, sungai-sungai, dan lautan.

Memang, beberapa produk​—yang diberi istilah ”biodegradable” (dapat diurai secara biologi)​—lambat laun dapat melebur dan terserap melalui proses alam, tetapi beberapa produk lain tidak dapat. Pantai-pantai di dunia dikotori oleh wadah-wadah plastik yang tergeletak di mana-mana hingga puluhan tahun yang akan datang. Yang tidak begitu kelihatan adalah limbah beracun dari industri, yang biasanya terkubur di suatu tempat. Meskipun tidak kelihatan, bukan jaminan bahwa itu selalu dapat dilupakan begitu saja. Hal itu dapat merembes masuk ke dalam persediaan air bawah tanah dan menyebabkan risiko kesehatan yang buruk bagi manusia maupun binatang. ”Kami tidak tahu harus diapakan semua senyawa kimia yang dihasilkan oleh industri modern,” demikian pengakuan seorang ilmuwan Hongaria di Institut Hidrologi di Budapest. ”Kami bahkan tidak tahu seluk-beluk itu semua.”

Sampah yang paling berbahaya dari semuanya adalah limbah radioaktif, dampak sampingan dari pembangkit tenaga nuklir. Ribuan ton limbah nuklir disimpan di lokasi-lokasi sementara, meskipun beberapa telah dibuang ke lautan. Meskipun telah dilakukan riset ilmiah selama bertahun-tahun, belum ada titik terang untuk menemukan tempat penyimpanan atau tempat pembuangan yang aman dan permanen, dan tidak juga dalam waktu dekat ini. Tak seorang pun tahu kapan bom waktu ekologi ini akan meledak. Problemnya tentu saja tidak akan lenyap​—limbahnya akan menjadi radioaktif selama berabad-abad atau ribuan tahun yang akan datang, atau sampai Allah bertindak. (Penyingkapan 11:18) Ketidakpedulian manusia akan masalah pembuangan limbah juga merupakan pengingat akan hukum ekologi yang ketiga.

Biarkan alam menentukan haluannya. Dengan kata lain, manusia perlu bekerja sama dengan sistem alam, bukannya mencoba untuk melangkahinya dengan sesuatu yang ia pikir lebih baik. Pestisida tertentu merupakan contoh yang relevan. Pada waktu pertama kali diperkenalkan, pestisida memungkinkan para petani mengendalikan rumput liar dan secara praktis menyingkirkan hama yang merusak. Panen yang berlimpah tampaknya terjamin. Tetapi kemudian segalanya menjadi kacau. Rumput-rumput liar dan serangga menjadi kebal terhadap bermacam-macam pestisida, dan ternyata pestisida meracuni binatang pemangsa alamiah dari serangga itu, alam bebas, dan bahkan manusia itu sendiri. Mungkin Anda pernah keracunan pestisida. Maka Anda adalah satu dari sekurang-kurangnya satu juta korban di seluas dunia.

Ironi akhirnya adalah bertambahnya bukti bahwa pestisida bahkan tidak dapat meningkatkan hasil panen dalam jangka panjang. Di Amerika Serikat, serangga-serangga kini melahap sebagian besar dari panen dibanding dahulu sebelum adanya revolusi pestisida. Demikian pula, International Rice Research Institute, yang berpusat di Filipina, telah mendapati bahwa pestisida tidak lagi meningkatkan hasil panen di Asia Tenggara. Sebenarnya, suatu program yang disponsori oleh pemerintah Indonesia, yang tidak bergantung sepenuhnya pada pestisida telah meningkatkan produksi beras sebanyak 15 persen sejak tahun 1987 meskipun adanya penurunan sebanyak 65 persen dalam penggunaan pestisida. Akan tetapi, setiap tahun para petani di dunia masih menggunakan pestisida secara ekstensif.

Tiga hukum ekologi yang diuraikan di atas turut menjelaskan mengapa segalanya berjalan tidak semestinya. Pertanyaan-pertanyaan penting lainnya adalah: Sejauh mana kerusakan telah terjadi, dan dapatkah itu diatasi?

Sejauh Mana Kerusakan Telah Terjadi?

Peta dunia yang kami sisipkan di sini (lihat halaman 8-9) menyoroti beberapa problem utama berkenaan lingkungan dan di mana problem-problem itu paling kritis. Sudah barang tentu, bila hilangnya habitat atau faktor-faktor lain menyebabkan punahnya suatu spesies tanaman atau binatang, manusia tidak dapat memperbaiki kerusakannya. Kerusakan lain​—seperti rusaknya lapisan ozon​—telah terjadi. Bagaimana dengan kemerosotan lingkungan hidup yang terus-menerus? Apakah telah dilakukan kemajuan untuk menghentikannya atau setidak-tidaknya memperlambatnya?

Dua dari tolok ukur yang paling penting berkenaan kerusakan ekologi adalah dalam bidang pertanian dan penangkapan ikan. Mengapa? Karena produktivitasnya bergantung pada lingkungan yang sehat dan karena kehidupan kita bergantung pada penyediaan makanan yang dapat diandalkan.

Kedua sektor ini memperlihatkan tanda-tanda kemerosotan. Organisasi Bahan Makanan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa telah memperkirakan bahwa armada penangkapan ikan dunia tidak dapat menangkap lebih dari 100 juta ton ikan tanpa menimbulkan ancaman serius terhadap persediaan ikan. Pada tahun 1989, hasil tangkapan melebihi jumlah itu, dan tepat seperti yang telah diramalkan, pada tahun berikutnya hasil tangkapan merosot empat juta ton. Beberapa sarang ikan berkurang secara drastis. Di Atlantik bagian timur laut, misalnya, hasil tangkapan telah merosot 32 persen selama 20 tahun terakhir ini. Problem-problem utamanya adalah penangkapan melebihi kapasitas, pencemaran laut, dan rusaknya lokasi-lokasi tempat ikan berkembang biak.

Kecenderungan yang mengkhawatirkan ini tercermin dalam produksi palawija. Pada tahun ’60-an dan ’70-an, peningkatan mutu bibit palawija serta irigasi dan penggunaan yang ekstensif dari pestisida dan pupuk kimia telah menaikkan produksi biji-bijian dunia secara besar-besaran. Sekarang, pestisida dan pupuk telah kehilangan keefektifannya, dan kekurangan air serta polusi juga turut menyebabkan merosotnya hasil panen.

Meskipun tiap tahun ada pertambahan hampir 100 juta jiwa untuk diberi makan, selama dasawarsa terakhir jumlah keseluruhan dari lahan garapan berkurang. Dan lahan yang dapat ditanami ini sedang kehilangan kesuburannya. Worldwatch Institute memperkirakan bahwa erosi telah menyebabkan para petani kehilangan 500 miliar ton humus selama 20 tahun terakhir. Jelaslah, produksi pangan telah mulai menurun. Laporan State of the World 1993 mengomentari bahwa ”penurunan sebanyak 6 persen dalam produksi biji-bijian per orang antara tahun 1984 dan 1992 kemungkinan [merupakan] trend ekonomi yang paling meresahkan di dunia dewasa ini”.

Jelaslah, kehidupan dari jutaan orang sudah dalam bahaya sebagai akibat dari kelalaian manusia akan lingkungan hidupnya.

Dapatkah Manusia Mengatasi Problemnya?

Meskipun sekarang manusia mengerti di mana letak kesalahannya, itu tidak mudah diperbaiki. Kesulitan pertama adalah bahwa itu membutuhkan dana yang besar​—sekurang-kurangnya 600 miliar dolar setahun​—untuk melaksanakan seluruh isi proposal yang dikemukakan pada KTT Bumi pada tahun 1992. Pengorbanan yang sungguh-sungguh juga penting​—pengorbanan seperti mengurangi penghamburan dan memperbanyak daur ulang, menghemat air dan energi, menggunakan kendaraan umum sebaliknya daripada kendaraan pribadi, dan yang paling sulit dari itu semua, mengutamakan kepentingan planet ini di atas kepentingan pribadi. John Cairns, Jr., ketua dari suatu komite pemulihan ekosistem air di AS, menyatakan problem itu dengan ringkas, ”Saya optimis tentang apa yang kita dapat lakukan. Saya pesimis tentang apa yang kita bersedia lakukan.”

Biaya pembersihan secara besar-besarannya saja sudah sebegitu besar sehingga kebanyakan negara lebih suka untuk menunda tanggal pelaksanaannya. Pada masa krisis ekonomi, tindakan perlindungan lingkungan hidup dianggap sebagai ancaman bagi lapangan pekerjaan atau kemunduran bagi ekonomi. Bicara lebih gampang daripada bertindak. Buku Caring for the Earth melukiskan tanggapan selama ini seperti ”badai yang diikuti oleh musim kering yakni omong besar yang tidak diikuti oleh tindakan”. Tetapi meskipun lamban, tidak dapatkah teknologi mutakhir​—jika diberi waktu​—menemukan penyembuhan yang bebas nyeri untuk penyakit planet ini? Rupanya tidak.

Dalam pernyataan bersama, U.S. National Academy of Sciences dan Royal Society of London dengan terus terang menyatakan, ”Jika prediksi terakhir dari pertumbuhan penduduk terbukti akurat dan pola aktivitas manusia di planet ini tetap tidak berubah, sains dan teknologi mungkin tidak dapat mencegah kemerosotan yang tidak terelakkan dari lingkungan atau kemiskinan yang terus berlanjut atas banyak orang di dunia ini.”

Problem yang mengerikan dari limbah nuklir yang entah ke mana harus dibuang merupakan pengingat bahwa sains tidak mahakuasa. Selama 40 tahun para ilmuwan telah mencari tempat-tempat yang aman untuk menyimpan limbah radioaktif berkadar tinggi secara permanen. Pencarian itu terbukti sangat sulit sehingga beberapa negara, seperti Italia dan Argentina, telah menyimpulkan bahwa mereka tidak akan dapat menyediakan tempat hingga secepat-cepatnya tahun 2040. Jerman, negara yang paling optimis dalam bidang ini, berharap untuk menyelesaikan rencana tersebut menjelang tahun 2008.

Mengapa limbah nuklir merupakan suatu problem? ”Tidak ada ilmuwan atau insinyur yang dapat memberikan jaminan mutlak bahwa limbah radioaktif kelak tidak akan bocor dalam jumlah yang berbahaya bahkan dari tempat penyimpanan terbaik sekalipun,” demikian seorang ahli geologi, Konrad Krauskopf menjelaskan. Tetapi meskipun telah diberikan peringatan di muka tentang kesulitan dari pembuangan limbah, pemerintah dan industri nuklir dengan bangga maju terus, menyangka bahwa teknologi di masa depan akan menyediakan jalan pemecahannya. Masa depan itu tidak pernah datang.

Jika teknologi tidak dapat menyediakan semacam perbaikan kilat terhadap krisis lingkungan, pilihan lain apa yang masih tersisa? Apakah kebutuhan akhirnya akan memaksa bangsa-bangsa untuk bekerja sama melindungi planet ini?

[Catatan Kaki]

a Berasal dari kata Yunani oiʹkos (rumah, tempat tinggal) dan lo·giʹa (pelajaran).

[Kotak di hlm. 7]

Pencarian akan Sumber Energi yang Dapat Diperbarui

Kebanyakan dari kita menganggap energi sudah semestinya​—hingga terjadi pemadaman listrik atau peningkatan harga minyak. Akan tetapi, konsumsi energi adalah salah satu penyebab terbesar dari polusi. Kebanyakan dari energi yang digunakan berasal dari pembakaran kayu atau bahan bakar fosil, suatu proses yang mengeluarkan jutaan ton karbon dioksida ke dalam atmosfer dan merusak sebagian besar hutan di dunia.

Pilihan lain adalah energi nuklir, energi ini menjadi semakin tidak populer karena bahaya terjadinya kecelakaan dan kesulitan menyimpan limbah radioaktif. Alternatif lain dikenal sebagai sumber-sumber energi yang dapat diperbarui, karena sumber energi ini secara alamiah mempergunakan sumber energi yang sudah ada dan tersedia secara bebas. Ada lima jenis utama.

Energi surya. Energi ini dapat dengan mudah disalurkan untuk pemanasan, dan di beberapa negara, seperti Israel, banyak rumah memiliki panel surya untuk memanaskan air. Menggunakan matahari untuk menghasilkan listrik lebih sulit, tetapi sel fotovoltaik modern sudah menyediakan listrik di daerah-daerah pedalaman dan menjadi semakin ekonomis.

Tenaga angin. Kincir angin raksasa kini ada di mana-mana di beberapa bagian dunia yang banyak angin. Listrik yang dihasilkan oleh energi angin ini, yang disebut juga eolian energy, terus-menerus turun harganya dan kini harganya lebih murah di beberapa daerah daripada persediaan energi tradisional.

Listrik tenaga air. Sudah 20 persen dari listrik dunia berasal dari stasiun pembangkit listrik tenaga air tetapi sayangnya sebagian besar dari tempat-tempat yang tampaknya bagus di negara-negara maju sudah dieksploitasi. Dam-dam yang besar juga dapat menyebabkan kerusakan ekologis yang berarti. Prospek yang lebih baik, terutama di negara-negara berkembang, tampaknya membangun banyak stasiun-stasiun pembangkit listrik tenaga air yang lebih kecil.

Energi panas bumi. Beberapa negara, khususnya Islandia dan Selandia Baru, telah sanggup menghasilkan ”sistem air panas” di dalam tanah. Aktivitas vulkanis bawah tanah memanaskan air, yang dapat digunakan untuk menyediakan pemanas di rumah-rumah dan menghasilkan listrik. Amerika Serikat, Filipina, Italia, Jepang, dan Meksiko juga telah mengembangkan sumber energi alamiah ini hingga taraf tertentu.

Tenaga gelombang pasang. Gelombang pasang laut kini digunakan di beberapa negeri, seperti Inggris, Prancis, dan Rusia, untuk menghasilkan listrik. Akan tetapi, tidak banyak tempat di seluruh dunia yang memungkinkan tersedianya energi ini dengan harga ekonomis.

[Kotak/Gambar di hlm. 8, 9]

Beberapa dari Problem Utama Lingkungan Hidup di Dunia

Perusakan hutan. Tiga perempat dari hutan di tempat-tempat beriklim sedang dan setengah dari hutan tropis dunia telah lenyap, dan tingkat rata-rata penggundulan hutan telah melonjak secara mengkhawatirkan selama dasawarsa terakhir. Prakiraan terakhir menyatakan bahwa rusaknya hutan tropis kira-kira antara 150.000 hingga 200.000 kilometer persegi setiap tahun, kira-kira seluas Uruguay.

Limbah beracun. Setengah dari 70.000 bahan kimia yang baru-baru ini dibuat digolongkan sebagai racun. Amerika Serikat saja menghasilkan 240 juta ton limbah beracun setiap tahun. Kurangnya data menyebabkan tidak mungkin untuk mengkalkulasi jumlahnya di seluas dunia. Lagi pula, menjelang tahun 2000, akan ada hampir 200.000 ton limbah radioaktif yang disimpan di tempat-tempat sementara.

Degradasi tanah. Sepertiga dari daerah permukaan bumi terancam menjadi gurun. Di beberapa bagian Afrika, Gurun Sahara telah melebar seluas 350 kilometer dalam hanya 20 tahun. Mata pencaharian dari jutaan orang kini sudah terancam.

Kekurangan air. Kira-kira dua miliar orang hidup di daerah-daerah yang memiliki kekurangan air secara kronis. Yang memperburuk kekurangan ini adalah mengeringnya ribuan sumur karena menurunnya tingkat lapisan tanah yang mengandung air yang dari situlah air di dalam sumur berasal.

Spesies terancam kepunahan. Meskipun angka-angkanya agak tidak pasti, para ilmuwan memperkirakan bahwa antara 500.000 dan 1.000.000 spesies binatang, tanaman, dan serangga sudah akan punah menjelang tahun 2000.

Pencemaran atmosfer. Suatu penelitian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa pada awal tahun 1980-an mendapati bahwa satu miliar orang tinggal di daerah-daerah pedalaman yang setiap hari terkena partikel jelaga atau gas-gas beracun yang mengancam kesehatan, seperti sulfur dioksida, nitrogen dioksida, dan karbon monoksida. Pertumbuhan pesat dari kota-kota pada dasawarsa terakhir secara tidak diragukan telah membuat problem ini menjadi lebih buruk. Lagi pula, 24 miliar ton karbon dioksida kini sedang dipompa ke dalam atmosfer setiap tahun, dan ditakuti bahwa ”gas rumah kaca” ini bisa jadi menghasilkan pemanasan global.

[Peta]

(Untuk keterangan lengkap, lihat publikasinya)

Penggundulan hutan

Limbah beracun

Polusi atmosfer

Kekurangan air

Spesies yang terancam

Degradasi tanah

[Keterangan]

Mountain High Maps™ copyright© 1993 Digital Wisdom, Inc.

Foto: Hutchings, Godo-Foto

Foto: Mora, Godo-Foto

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan