PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • ts psl. 3 hlm. 18-29
  • Manusia Dijadikan untuk Hidup

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Manusia Dijadikan untuk Hidup
  • Begini Sajakah Hidup Ini?
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • HANYA MANUSIA YANG MENGERTI ALASAN KEKEKALAN
  • MANUSIA BEREAKSI TERHADAP KEMATIAN SEBAGAI SESUATU HAL YANG KURANG WAJAR
  • KEMATIAN MANUSIA KELIHATANNYA TIDAK MASUK AKAL
  • Apakah Kematian Memang Akhir Segalanya?
    Sedarlah!—2007
  • Binatang
    Sadarlah!—2015
  • Mencermati Beberapa Mitos tentang Kematian
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—2002
  • Apakah Allah Memedulikan Binatang?
    Sedarlah!—2011
Lihat Lebih Banyak
Begini Sajakah Hidup Ini?
ts psl. 3 hlm. 18-29

Pasal 3

Manusia Dijadikan untuk Hidup

ALLAH telah menjadikan manusia untuk hidup. Ini ditunjukkan oleh Alkitab ketika menerangkan mengenai persediaan2 yang diadakan Allah bagi nenek moyang kita yang pertama, yaitu manusia Adam dan Hawa. Dijelaskan bahwa Allah Yehuwa menaruh mereka dalam suatu tempat kediaman pertamanan yang indah, suatu firdaus yang terletak di sebagian daerah yang disebut ”Eden”. Di dalam firdaus tersebut terdapat segala sesuatu yang mereka perlukan untuk hidup terus. Mengenai ini kitab pertama Alkitab berkata, ”Lalu TUHAN Allah menumbuhkan berbagai-bagai pohon dari bumi, yang menarik dan yang baik untuk dimakan buahnya; dan pohon kehidupan di tengah2 taman itu, serta pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat.”—Kejadian 2:9.

Perhatikan bahwa bukan ’pohon kematian’, melainkan ”pohon kehidupan” yang terdapat di dalam firdaus yang indah itu. ”Pohon kehidupan” itu dengan pasti menjamin kehidupan yang terus menerus dari orang2 yang layak memakan buahnya. Tak ada alasan apapun bagi Adam dan Hawa untuk takut akan kemungkinan mati. Selama mereka terus taat kepada Pencipta mereka untuk tidak memakan buah terlarang dari ”pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat” itu kehidupan mereka takkan berakhir.—Kejadian 2:16, 17.

Tetapi apakah pernyataan Alkitab bahwa manusia dijadikan untuk menikmati masa hidup yang tidak berkesudahan demikian cocok dengan apa yang sesungguhnya kita lihat di dalam kehidupan? Tidakkah fakta2 menunjukkan selama be-ribu2 tahun bahwa akhirnya manusia akan mati juga? Memang, tetapi tahukah saudara bahwa sesungguhnya keadaan tubuh saudara sendiri merupakan bukti bahwa saudara seharusnya dapat menikmati umur yang jauh lebih panjang daripada apa yang sudah lazim sekarang ini?

Perhatikan misalnya otak manusia. Apakah otak itu dirancang hanya untuk masa hidup tujuh puluh atau delapan puluh tahun? Adalah menarik sekali, ketika menerangkan mengenai daya kemampuan otak manusia ahli biokimia Isaac Asimov mengemukakan bahwa sistim penyimpanan data di dalam otak ”mampu” sepenuhnya untuk menampung seberapapun banyaknya bahan yang hendak dipelajari dan diingat oleh mahluk manusia—bahkan semilyar kali lipat sekalipun.”

Masuk akalkah bahwa otak manusia mempunyai daya untuk menampung data2 sampai seribu juta kali lipat jumlah bahan yang diserapnya selama jangka hidup rata2 sekarang ini? Bukankah ini menunjukkan bahwa manusia sebenarnya dijadikan untuk jangka hidup yang demikian lamanya sehingga diperlukan otak yang mempunyai kemampuan tak terbatas untuk mengingat?

Masih ada lagi fakta lain di samping itu.

HANYA MANUSIA YANG MENGERTI ALASAN KEKEKALAN

Suatu fakta yang sangat menarik pula adalah bahwa menurut Alkitab hanya manusia—dan tiada mahluk lain lagi di bumi—yang mempunyai prospek hidup yang tidak berkesudahan. Sesungguhnya Alkitab berkata bahwa bahkan gagasan (konsep) waktu lampau serta waktu yang akan datang tanpa batas atau pengertian kekekalan hanya manusia yang menyadarinya. Komentar penulis terilham dari buku Pengkhotbah (Alkitab) di dalam Alkitab, ”Aku telah melihat pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk melelahkan [disibukkan dengan, NW] dirinya. Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka.”—Pengkhotbah 3:10, 11.

Nah, jika memang benar apa yang dikatakan Alkitab tentang manusia, semestinya kita melihat bukti mengenai hal ini. Adakah bukti demikian? Apakah manusia berbeda sekali dengan para hewan? Hanya manusia sendiri yang berpikir serius mengenai masa depan, memperdulikan masa depan dan berusaha ke arah masa depan? Apakah reaksinya terhadap kematian berbeda daripada reaksi binatang, sebagai bukti bahwa memang hanya manusia yang menyadari apa artinya kehidupan baginya di masa lampau dan apa artinya kehidupan baginya di masa yang akan datang?

Tak dapat disangkal bahwa semua mahluk selalu berusaha mempertahankan kehidupannya. Secara naluriah binatang2 buruan selalu berusaha menghindari binatang2 yang akan menerkam mereka dengan melarikan atau menyembunyikan diri. Banyak hewan bertindak ganas untuk melindungi anaknya terhadap kematian walaupun kelihatannya melawan yang bukan tandingan mereka. Pernah diketahui ada kelinci yang demikian keras tendangannya sehingga melempar jauh seekor raccoon (sebangsa beruang). Di daerah Barat Amerika Serikat orang pernah menyaksikan bagaimana seekor kijang betina berhasil membela anaknya terhadap serangan serigala hutan, di mana serigala tersebut terluka pahanya dan rontok beberapa giginya karena kuku kijang yang tajam itu. Ketika serigala itu hendak melarikan diri, kijang itu melompat atasnya kemudian membunuhnya dengan meng-injak2nya.

Reaksi naluriah demikian pada waktu terancam oleh kematian memainkan peranan penting dalam kelangsungan hidup binatang2 tersebut. Tetapi apakah itu berarti bahwa binatang mengerti juga masa lampau dan masa depan seperti manusia?

Seperti kita ketahui, manusia dapat mengenangkan masa lampau dan merencanakan untuk masa depan. Dalam suasana tenang di rumahnya sendiri ia dapat mengenang kembali masa kecilnya—bagaimana kenakalannya, kekecewaan2nya, kegagalan2nya, sukses2 yang pernah dicapainya dan keriangan yang pernah dirasakannya. Ia dapat membuat rencana2 untuk masa depan—untuk membangun rumah baru, membeli perabot rumah, menentukan macam pendidikan yang ia ingini bagi anak2nya, dan sebagainya. Tetapi dapatkah misalnya seekor anjing mengingat kembali masa kecilnya, siap anak2 yang telah bermain dengan dia, bagaimana ia telah tumbuh menjadi besar kemudian bertemu jodohnya? Di dalam bukunya yang berjudul Animals Are Quite Different, penulis Hans Bauer memperlihatkan apa yang diperlihatkan oleh eksperimen2:

”Anjing selalu memerlukan kesan2 langsung untuk dapat mengingat kembali kejadian2 di waktu lalu. Misalnya pada suatu waktu ia dibawa ke sebuah kota yang asing di mana ia mengalami sesuatu. Setelah kembali ke rumahnya sendiri kesan2 yang diperolehnya telah dilupakan. Tetapi jika di kemudian hari dibawa lagi ke tempat yang sama ia akan mengingatnya. Sesungguhnya salah satu dari keistimewaan2 dan kelebihan manusia dibandingkan dengan keadaan psikologis hewan adalah bahwa hal2 yang diingat oleh manusia tidak ada hubungannya dengan kebutuhan2 yang timbul setiap hari melainkan sudah tertanam dalam seluruh kesadarannya.”

Jelaslah, berlainan dengan manusia, binatang2 tak dapat mengingat kembali kejadian2 di masa lampau dengan sesukanya.

Tetapi dapatkah mereka merencanakan untuk masa depan? Bukankah jenis2 semut tertentu, bajing dan binatang2 lainnya mengumpulkan atau menyimpan persediaan2 makanan untuk masa kemudian? Apakah itu bukan merupakan perencanaan di muka untuk masa depan? ”Tidak,” demikian jawaban penulis tersebut di atas, dan sebagai bukti ia mengemukakan sebagai berikut:

”Mereka sebenarnya tidak tahu apa yang mereka lakukan atau mengapa mereka melakukannya. Mereka sekedar menuruti naluri, buktinya bahkan binatang2 yang diceraikan dari induknya sewaktu masih kecil sekali dan kemudian disimpan di dalam tempat terpisah, begitu datang musim gugur lalu mulai ’mengumpulkan makanan’ sendiri. Binatang2 ini belum pernah sebelumnya mengalami musim dingin, dan mereka tidak akan kekurangan makanan selama bulan2 berikutnya. Namun demikian, mereka ’menimbun pangan’ hanya asal ’menimbun pangan.’”

Sebagai kesimpulan mengenai perbedaan antara manusia dan hewan, ia memberi komentar,

”Jadi dunia hewan benar2 hanya dunia untuk saat sekarang. Sebab mereka dengan mudah dapat dialihkan perhatiannya dari benda2 yang paling mengasyikkan sekalipun, bila diperlihatkan hal lain yang langsung lebih menarik pada saat itu, dan sesudahnya tiada se-kali2 mereka kembali kepada kesibukan yang semula itu.”

Jelaslah bahwa hanya manusia yang mengerti gagasan ”waktu yang tidak tertentu”, kemampuan untuk merenungkan masa lampau dan memandang ke masa depan sambil membuat rencana.

Karena binatang hidup hanya untuk saat sekarang, bagi mereka kematian jelas tidak merupakan pengalaman menyedihkan seperti bagi manusia. Binatang memperlihatkan reaksi2 se-olah2 kematian merupakan kejadian yang sudah sewajarnya.

Ambillah sebagai contoh apa yang dilihat orang terjadi di Taman Margasatwa Serengeti (Afrika) dengan seekor singa betina dan ketiga anaknya. Sewaktu singa betina itu sedang pergi, anak2nya bersembunyi di semak belukar. Kemudian muncul dua ekor singa jantan dari daerah yang lain. Ketika menemukan anak2 singa yang bersembunyi itu, mereka membunuh ke-tiga2nya. Yang satu mereka makan, seekor yang lain mereka bawa pergi dan yang ketiga mereka tinggalkan. Apa yang kemudian dilakukan oleh singa betina itu ketika ia kembali dan melihat anaknya yang tertinggal mati itu? Ia tidak memperlihatkan kesedihan atau emosi apapun melainkan hanya men-dengus2 pada mayat anaknya yang tertinggal itu—lalu ia pun memakan anaknya.

Menarik pula bahwa binatang2 yang merupakan mangsa bagi singa tidak menunjukkan reaksi takut apabila melihat singa yang berada beberapa jauh dari mereka. Sekali seekor singa telah makan, kawanan binatang lainnya segera meneruskan kesibukan mereka yang biasa. Sesungguhnya, binatang2 buruan boleh jadi mendekati seekor singa yang nampak, sekalipun hanya 36 meter jauhnya.

MANUSIA BEREAKSI TERHADAP KEMATIAN SEBAGAI SESUATU HAL YANG KURANG WAJAR

Betapa berbedanya reaksi manusia terhadap kematian! Bagi sebagian besar manusia, kematian seorang isteri, suami atau anak merupakan pengalaman yang paling menyedihkan dalam kehidupan. Seluruh keseimbangan emosionil orang menjadi kacau balau sampai lama sesudah kematian seseorang yang sangat dicintainya.

Bahkan orang2 yang mengatakan bahwa ’kematian adalah wajar bagi manusia’ merasa sulit untuk menerima begitu saja bahwa kematian mereka berarti akhir dari se-gala2nya. The Journal of Legal Medicine berkata, ”Para ahli psikiatri pada umumnya sepakat bahwa secara tak sadar orang tak mau mengakui adanya kematian, sekalipun kematian itu tampaknya sudah di ambang pintu.” Misalnya, seorang pemuda yang mengaku tidak percaya adanya Tuhan sesaat sebelum menjalani hukuman mati berkata bahwa ditinjau dari sudut pandangan rasionil kematiannya akan berarti ’tidak lebih daripada diputusnya secara definitip (pasti) suatu kehidupan yang memang pendek tetapi padat berisi’. Tetapi kemudian ia menyatakan bahwa sulit bahkan tidak mungkin baginya untuk ’menganggap bahwa se-gala2nya akan menjadi tiada.’

Begitu kuatnya keinginan manusia untuk tetap turut menikmati masa depan, sehingga kini ada orang2 yang telah mengatur supaya tubuh mereka didinginkan (beku) pada waktu mati. Biaya mula2 untuk proses ini mungkin mencapai US $8,500 (Rp 3,5 juta), ditambah pembayaran US $1,000 (Rp 415.000) setiap tahun untuk menjaga agar tubuh mereka tetap dalam pendinginan. Pendinginan tubuh tersebut dilakukan dengan harapan menghidupkan mereka kembali. Sudah tentu pada waktu ini para ahli ilmu pengetahuan sama sekali masih jauh dari penemuan demikian. Tetapi ide itu sendiri bahwa ada suatu kemungkinan sudah cukup sehingga menggerakkan beberapa orang untuk mengawetkan tubuh mereka sekalipun mahal biayanya.

Oleh karena manusia merasa sulit untuk menerima bahwa kematian mengakhiri segala sesuatu, di mana2 orang mempunyai keinginan untuk mengekalkan kenangan akan orang2 yang telah mati dan untuk menguburkan mereka dengan segala macam upacara. Dikatakan dalam buku Funeral Customs the World Over,

”Tak ada satupun kelompok manusia, tidak soal seberapa primitipnya atau seberapa beradabnya, jika mempunyai kebebasan dan mampu berbuat demikian, yang tidak menguburkan mayat2 dari anggota2 kelompoknya tanpa suatu upacara. Demikian jelasnya kenyataan umum bahwa penguburan selalu diiringi upacara, sehingga nampaknya masuk akal untuk menarik kesimpulan bahwa hal ini disebabkan karena sifat manusia. Hal itu adalah ’sewajarnya’, normal, masuk akal. Secara universil kebiasaan itu memuaskan kebutuhan2 batin yang mendalam. Apabila dilakukan hal itu terasa ’pantas’, dan apabila tidak dilakukan hal itu terasa ’kurang pantas’, suatu kelalaian yang tidak wajar, suatu hal untuk mana kita patut meminta maaf atau merasakan malu, terutama terhadap orang2 yang masih mempunyai hubungan dekat dengan kita karena masih keluarga, karena perasaan, karena tinggal bersama, karena sama2 seperjuangan atau karena ikatan2 lain.”

Bagaimana kesimpulan buku ini mengenai kebiasaan umum untuk melakukan upacara2 penguburan itu? Buku itu selanjutnya mengatakan,

”Begitu jelas hal ini sehingga kita dapat menambahkan satu definisi baru lagi mengenai manusia kepada berbagai definisi manusia yang telah ada. Manusia merupakan mahluk yang menguburkan kaumnya yang mati dengan upacara.”

Namun demikian, pada akhirnya dengan pergi datangnya generasi demi generasi, orang2 mati akhirnya dilupakan sama sekali. Bahkan mereka yang menjadi termasyhur di dalam sejarah selama abad2 yang lampau, sebagai tokoh yang sungguh2, telah kabur dalam ingatan se-hari2 dari orang2 yang hidup. Pengaruh mereka atas orang lain telah lenyap. Misalnya penguasa2 besar dari zaman dulu seperti Nebukhadnezar, Iskandar Agung dan Julius Caesar kini tidak lagi mempunyai pengaruh atas kehidupan kita meskipun mereka dulu benar2 berpengaruh atas kehidupan dari jutaan orang pada zamannya. Kenyataan yang pahit bahwa pada akhirnya orang mati akan dilupakan diakui oleh penulis yang berhikmat dari buku Pengkhotbah dalam Alkitab, ”Tidak ada kenangan bagi orang-orang dari masa lalu, ataupun (kenangan) bagi mereka yang akan ada kemudian. Juga tidak akan ada kenangan bagi mereka di antara orang-orang yang ada bahkan sesudah itu.” (Pengkhotbah 1:11, NW) Kenyataan bahwa manusia berusaha sekuat tenaga untuk dapat dikenang terus meskipun mengetahui bahwa pada akhirnya ia toh akan dilupakan juga memperlihatkan bahwa keinginannya untuk hidup terus, sekalipun hanya dalam ingatan orang, bersifat naluriah.

KEMATIAN MANUSIA KELIHATANNYA TIDAK MASUK AKAL

Mengingat reaksi mahluk manusia pada umumnya terhadap kematian, kemampuannya yang menakjubkan untuk mengingat dan belajar terus, dan kesadaran dalam hatinya mengenai kekekalan, tidakkah jelas bahwa manusia sesungguhnya dibuat untuk hidup? Hanya jika kita menerima penjelasan Alkitab bahwa keadaan manusia sekarang yang menuju kematian sesungguhnya tidak pernah merupakan maksud tujuan Allah yang semula maka barulah kita dapat mengerti hal2 tertentu, dan jika tidak maka hal2 itu akan sangat mengherankan. Ambillah sebagai contoh umur hidup dari tumbuh2an serta binatang2 tertentu yang jauh lebih panjang daripada umur manusia.

Pohon mungkin mencapai umur sampai ratusan tahun; beberapa jenis tertentu, seperti pohon sequoia dan pohon cemara tertentu bahkan mencapai umur ribuan tahun. Bukan sesuatu yang luar biasa apabila penyu raksasa mencapai umur lebih dari 150 tahun. Mengapa demikian? Mengapa pohon yang tidak mempunyai akal pikiran dan penyu yang tidak berakal budi jauh lebih panjang umurnya daripada manusia?

Lagipula, bukankah kematian manusia merupakan suatu peng-hambur2an yang sia2? Meskipun sebagian dari pengetahuan serta pengalaman manusia mungkin telah diteruskan kepada orang lain, sebagian besar dari perkara2 ini tidak diwariskan sama sekali kepada generasi berikutnya. Sebagai contohnya, mungkin ada seorang ilmiawan yang menonjol kepandaiannya, seorang arsitek yang hebat atau seorang ahli musik, pelukis atau pemahat yang mahir sekali. Dan ia mungkin telah memberikan bimbingan latihan kepada orang2 lain. Tetapi pada waktu ia mati belum ada seorang pun yang memiliki selengkapnya kemahiran dan pengalaman seperti dia. Mungkin ia bahkan sedang mengembangkan suatu teknik baru setelah berhasil memecahkan banyak soal. Maka orang2 yang mungkin telah sempat menarik faedah dari pengetahuan serta pengalaman yang berhasil dia kumpulkan itu, sekarang mesti mencarinya sendiri dengan mencoba eksperimen ini itu—kemudian mereka sendiri terhenti dalam percobaan2 mereka karena mati. Oleh karena bidang ilmu pengetahuan sesungguhnya sangat luas, mengapa manusia harus demikian memeras keringat disertai rintangan setiap kali kehilangan lagi orang2 yang telah berpengalaman karena menjadi korban maut?

Di samping itu, anggapan bahwa manusia dijadikan hanya untuk hidup beberapa tahun saja di atas bumi kemudian harus mati tidak selaras dengan kepercayaan akan adanya Pencipta yang maha pengasih. Mengapa tidak? Sebab ini berarti bahwa Pencipta itu lebih sayang kepada beberapa tumbuh2an yang tidak berakal dan binatang2 yang dungu daripada kepada manusia, yang merupakan mahluk yang dapat menyatakan kasih serta penghargaan. Itupun berarti bahwa ia kurang menaruh kasihan kepada manusia, yang terlebih daripada segala mahluk lain di bumi paling merasa sedih apabila tertimpa kematian.

Ya, kalau toh kehidupan hanya begini saja, dan jika Allah memang mempunyai maksud demikian, bagaimana kita dapat benar2 mengasihi Dia? Ya, bagaimana hati kita bisa merasa tertarik kepadaNya, sebab Dia menghalangi kita untuk mencapai sepenuhnya kemampuan yang diberikan kepada kita? Bukankah kejam bila kita ini diberikan kemampuan yang tidak terbatas untuk memperoleh pengetahuan, tetapi kemudian dicekik di dalam penggunaannya?

Tetapi, kalau manusia memang dijadikan untuk hidup terus, maka kita perlu jawaban atas pertanyaan, Mengapa manusia mati? Dan diperlukan penjelasan yang memuaskan untuk membantu kita mengerti mengapa Allah telah membiarkan maut memakan korban tiada henti2nya selama be-ribu2 tahun ini. Mungkin penjelasan ini akan membantu orang untuk menyingkirkan suatu rintangan serius yang menghalanginya untuk memasuki suatu hubungan yang mesra dengan sang Pencipta dan untuk mendapatkan arti yang sebenarnya dan kenikmatan dalam kehidupan sekarang.

Namun bagaimana kita dapat meyakinkan diri mengenai sebab dari kematian?

[Gambar di hlm. 26]

APAKAH UMUR HIDUP MANUSIA YANG BEGITU SINGKAT MASUK AKAL?

Meskipun mempunyai potensi belajar yang menakjubkan umur manusia hanya 70 atau 80 tahun

Bahkan angsa ada yang sudah berumur lebih dari 80 tahun

Meskipun kura2 tidak berakal namun umurnya lebih dari 150 tahun

Umur beberapa pohon mencapai ribuan tahun

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan