PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • w85_s-14 hlm. 2-5
  • Agama dan Politik—Pada Arah yang Bertabrakan?

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Agama dan Politik—Pada Arah yang Bertabrakan?
  • Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1985 (s-14)
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Kekristenan yang Sejati—Suatu Pertentangan
  • Menjadi Sahabat dari Dunia
  • Agama dan Peperangan
  • Menuai Puting Beliung
  • Apakah Agama Seharusnya Terlibat dalam Politik?
    Topik Menarik Lainnya
  • Mengapa Agama Dunia Akan Berakhir
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1996
  • Haruskah Pemimpin Agama Berpolitik?
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—2004
  • Akhir Agama Palsu Sudah Dekat!
    Akhir Agama Palsu Sudah Dekat!
Lihat Lebih Banyak
Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1985 (s-14)
w85_s-14 hlm. 2-5

Agama dan Politik—Pada Arah yang Bertabrakan?

KEBIJAKSANAAN untuk menggabungkan kuasa politik dan agama di tangan satu orang tidak berasal dari Henry VIII. Pada jamannya hal ini sudah menjadi cara politik yang berhasil yang direncanakan untuk memajukan persatuan nasional.

Misalnya, ada banyak ilah dalam kerajaan Mesir purba. ”Firaun sendiri salah satu dari ilah-ilah itu, dan tokoh utama dalam kehidupan rakyatnya,” kata The New Bible Dictionary. Dalam Kekaisaran Roma juga terdapat suatu puri yang dibaktikan kepada ilah-ilah, termasuk kaisar-kaisar. Seorang ahli sejarah melukiskan penyembahan kepada kaisar sebagai ”kekuatan yang paling penting dalam agama dari dunia Roma.”

Namun meskipun fakta bahwa persatuan Gereja-Negara sudah berabad-abad usianya, penyimpangan Susunan Kristen pada jaman modern ke dalam politik telah menempatkannya pada arah yang bertabrakan justru dengan pihak yang dia inginkan mendapat perkenannya. Mengapa demikian? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita sekarang melihat bagaimana Susunan Kristen mulai terlibat dalam politik.

Kekristenan yang Sejati—Suatu Pertentangan

Yesus Kristus, pendiri Kekristenan, menolak semua kekuasaan politik. Sekurang-kurangnya pada satu kesempatan, orang-orang, yang merasa sangat gembira karena mujizat-mujizatnya, dengan paksa berusaha menjadikan dia raja, tetapi ia ”menyingkir pula ke gunung, seorang diri”. (Yohanes 6:15) Ketika ditanya oleh gubernur Roma, apakah ia seorang raja, Yesus menjawab, ”KerajaanKu bukan dari dunia ini; jika KerajaanKu dari dunia ini, pasti hamba-hambaKu telah melawan, supaya Aku jangan diserahkan kepada orang Yahudi.”—Yohanes 18:36.

Kristus selanjutnya mengatakan kepada murid-muridnya, ”Karena kamu bukan dari dunia, melainkan Aku telah memilih kamu dari dunia, sebab itulah dunia membenci kamu.” (Yohanes 15:19) Jadi, orang-orang Kristen yang mula-mula tidak disimpangkan oleh problem-problem sosial atau politik. Perbudakan, misalnya, pada waktu itu merupakan problem utama, tetapi orang-orang Kristen tidak berkampanye untuk menghapusnya. Sebaliknya, budak-budak Kristen diperintahkan untuk mentaati majikan mereka.—Kolose 3:22.

Dari pada terlibat dalam politik, orang-orang Kristen yang mula-mula ini bertekad untuk melaksanakan pekerjaan pemberitaan ”tentang Kerajaan Allah”. (Kisah 28:23) Dalam beberapa puluh tahun saja berita mereka telah mencapai ujung-ujung dunia yang dikenal pada waktu itu. (Kolose 1:23) Dan dengan hasil-hasil apa? Ribuan menyambut dan menjadi ’saudara-saudara dan saudari-saudari’ rohani. (Matius 23:8, 9) Orang-orang Yahudi dan Kafir menjadi orang-orang Kristen yang tidak lagi saling membenci. Di antara orang-orang Yahudi dan Samaria bahkan pertentangan-pertentangan utama telah lenyap karena ’kasih yang sungguh-sungguh’ yang dimiliki orang-orang Kristen satu sama lain.—1 Petrus 4:8.

Namun, kasih Kristen bahkan juga diperlihatkan kepada musuh-musuh mereka. (Matius 5:44) Karena itu mereka menolak untuk masuk dalam bala tentara Kaisar. ’Tetapi,’ ada yang mungkin membantah, ’bukankah Yesus mengatakan, ”Berikanlah kepada Kaisar?”’ Memang. Tetapi, apakah Yesus berbicara tentang dinas militer? Tidak, ia hanya membicarakan soal apakah arus ”membayar pajak kepada Kaisar atau tidak’. (Matius 22:15-21) Jadi orang-orang Kristen membayar pajak mereka. Tetapi mereka menganggap kehidupan mereka telah dibaktikan kepada Allah dan tidak mau merugikan sesama manusia.

Menjadi Sahabat dari Dunia

’Tetapi perhatikan Susunan Kristen dewasa ini,’ mungkin ada yang mengatakan. ’Keadaannya sangat terpecah-belah, anggota-anggotanya sering saling membunuh, kaum ulamanya terlibat dalam politik. Apa yang terjadi atas Kekristenan?’ Ya, Yesus memperingatkan bahwa orang-orang Kristen palsu akan ’ditaburkan’ di antara orang-orang Kristen sejati. (Matius 13:24-30) Paulus juga menubuatkan, ”Aku tahu, bahwa . . . serigala-serigala yang ganas akan masuk ke tengah-tengah kamu dan . . . akan muncul beberapa orang, yang dengan ajaran palsu mereka berusaha menarik murid-murid dari jalan yang benar dan supaya mengikut mereka.”—Kisah 20:29, 30.

Bahkan di abad pertama kecenderungan ini sudah mulai. Sang murid, Yakobus merasa perlu untuk menulis kata-kata yang jelas ini, ”Kamu tidak setia sama seperti seorang istri yang berzinah; tidakkah kamu sadar bahwa menjadikan dunia ini sahabatmu berarti menjadikan Allah musuhmu?” (Yakobus 4:4, The Jerusalem Bible; cetak miring red.) Banyak orang memilih untuk mengabaikan nasihat ilahi ini—sedemikian rupa sehingga pada abad keempat seekor serigala dengan bulu domba, Kaisar Konstantin, dapat mengkompromikan ”Kekristenan” yang bejat lebih lanjut dengan menjadikannya agama resmi dari Kekaisaran Roma. Namun dengan menjadi ’sahabat dunia ini’, Susunan Kristen menjadi musuh Allah. Akhirnya kelak suatu tabrakan tidak dapat dielakkan lagi.

Menjelang abad ke-13 Gereja, yang diperintah oleh ”paus”, atau ”bapak”nya, telah mencapai ”puncak kekuasaannya”, mempersiapkan perkawinan yang bahkan lebih erat antara Gereja dan Negara. Paus Innocent III yakin bahwa ”Tuhan memberi Petrus kekuasaan bukan hanya atas Gereja Universal tetapi juga kekuasaan atas seluruh dunia”. (Cetak miring re.) Profesor sejarah, T. F. Tout dalam The Empire and the Papacy melanjutkan, ”Pekerjaan dari (paus) Innocent adalah tugas seorang negarawan gereja, . . . mengangkat dan memecat raja-raja serta penguasa-penguasa sekehendaknya.” Namun penulis yang sama menambahkan, ”Makin bersifat politik wewenang kepausannya, makin sukar baginya untuk menjunjung tinggi kehormatannya sebagai sumber hukum, kesusilaan, dan agama.”

Agama dan Peperangan

Peperangan adalah politik dalam tingkat lebih keras. Tetapi, paus Innocent III, secara pribadi mengorganisasi kampanye militer melawan kelompok Albigense (suatu sekte) dari Prancis Selatan. Hal ini mengakibatkan pembunuhan masal yang mengerikan atas ribuan orang di Béziers pada tahun 1209 dan pembakaran masal atas korban-korban dari Inkwisisi Suci. Suatu perang salib, yang semula dimaksudkan untuk Palestina, disimpangkan oleh tipu muslihat politik sehingga mencakup Konstantinopel. Di sana, ksatria-ksatria ”Kristen” melakukan ”penjarahan, pembunuhan, pemuasan hawa nafsu dan pelanggaran atas hal-hal yang dianggap keramat selama tiga hari yang mengerikan”. Atas siapa? Atas sesama ”Kristen”nya! Seorang ahli sejarah mengatakan, ”Gereja-gereja itu sendiri dijarah dengan kejam.”

Cara-cara yang tidak bersifat Kristen dari Gereja akhirnya mengakibatkan Martin Luther memakukan pernyataan tantangannya pada pintu gereja istana di Wittenberg pada tahun 1517—dan Reformasi dimulai. Tetapi, kata H. A. L. Fisher, dalam History of Europe, ”Pengakuan (iman) yang baru . . . sangat bergantung pada perkenan dari para bangsawan dan pemerintahan.” Jerman akhirnya terbagi menurut batas-batas politik-agama. Di Prancis, golongan Kalvinis juga berbaur dengan para pemimpin politik. Maka perang-perang agama yang berikut diperjuangkan bukan hanya untuk kebebasan agama tetapi juga karena ”persaingan antara para bangsawan Protestan dan Katolik Roma untuk menguasai Takhta.” Jadi, sejarah agama di Eropa ditulis dengan darah!

Abad ke-20 diawali dengan peperangan antara orang-orang Briton (penduduk asli Britania) dan Boer (orang-orang Afrika keturunan Belanda) di Afrika Selatan. Kaum ulama di kedua belah pihak mengobarkan nyala perang dengan ”khotbah-khotbah dari mimbar”. Ahli sejarah R. Kruger mengatakan, ”Banyaknya permohonan yang dipanjatkan ke surga oleh masing-masing pihak selama perang berlangsung hampir sama dengan variasi semangat untuk menimbulkan sekte-sekte.” ”Orang-orang Kristen” putih membunuh satu sama lain seraya meminta agar Allah membantu mereka melakukan itu!

Pola ini diulangi dalam tingkat besar-besaran pada tahun 1914 ketika pasukan-pasukan Jerman berbaris memasuki Belgia dengan mengenakan sabuk dengan kata-kata ”Gott mit uns” (Allah beserta kita) terukir di atasnya. Di kedua belah pihak Gereja memanjatkan banyak sekali doa untuk kemenangan dan sangat keras dalam memaki-maki musuh.

Banyak sekali yang kecewa oleh peranan agama dalam Perang Dunia I. Dengan menyebut agama sebagai ”candu rakyat”, orang-orang ateis dan komunis berlipat ganda. Meskipun demikian, kaum ulama terus melibatkan diri dalam politik, mendukung diktator-diktator Fasis seperti Mussolini dan Franco. Pada tahun 1933 Gereja Katolik Roma bahkan mengadakan persetujuan antara Gereja dan Negara dengan Nazi. Kardinal Faulhaber menulis kepada Hitler, ”Jabatan tangan dengan Paus . . . adalah suatu prestasi dari berkat yang tidak terhitung banyaknya . . . Semoga Allah melindungi Kepala dari Reich [Hitler].”

Bahkan kemungkinan akan adanya perang dunia lain tidak menggeser kaum ulama dari politik. Satu kecenderungan baru-baru ini ialah beberapa gereja berubah ke pihak politik sayap kiri. Seorang penulis mengatakan, ”Generasi terakhir dari ahli-ahli teologia dari Amerika Latin . . . berkeras bahwa Marxisme adalah pernyataan politik yang tidak dapat dihindari dari Kekristenan.” Tetapi Alkitab memperingatkan, ”Mereka menabur angin, maka mereka akan menuai puting beliung.”—Hosea 8:7.

Menuai Puting Beliung

Ya, Alkitab memberikan peringatan yang serius: Bentrokan yang hebat antara agama dan politik akan terjadi. Dalam Wahyu pasal 17, Alkitab menggambarkan imperium agama palsu sedunia yang dinodai dengan darah seperti seorang ”pelacur besar, yang duduk di tempat yang banyak airnya”. ”Air” ini melambangkan ”bangsa-bangsa dan kaum”. (Ayat 1, 15) Pelacur itu dinamakan ”Babel besar, ibu dari wanita-wanita pelacur dan dari kekejian bumi”, dan ia ”mabuk oleh darah orang-orang kudus”. (Ayat 5, 6) ”Babel” adalah sebuah nama yang cocok untuk agama palsu yang diorganisasi, mengingat banyak doktrinnya berasal dari kota Babel purba.a Ia mendapatkan reputasinya sebagai pembunuh karena ia menindas orang-orang Kristen yang sejati selama berabad-abad.

Imperium agama palsu sedunia selanjutnya digambarkan menunggang seekor binatang buas dengan ”tujuh kepala dan sepuluh tanduk. . . . [yang] adalah sepuluh”. (Ayat 3, 12) Artikel-artikel sebelumnya dari majalah ini telah memperkenalkan ”binatang” ini sebagai sarana yang dipercayakan untuk mempertahankan perdamaian dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa. Gereja-gereja dengan terus terang menyatakan mendukung organisasi ini. Pada bulan Oktober 1965, Paus Paulus VI menyatakan PBB sebagai ”harapan terakhir untuk kerukunan dan perdamaian”. Pada tahun 1979, Paus Yohanes Paulus II berpidato di hadapan Majelis Umum PBB. Tanpa satu kali pun menyebutkan Kristus atau Kerajaannya, ia menyatakan PBB sebagai ”forum tertinggi untuk perdamaian dan keadilan”.

Namun mengapa persekutuan antara agama dan PBB begitu berbahaya? Karena ”kesepuluh tanduk . . . serta binatang itu akan membenci pelacur itu dan mereka akan membuat dia menjadi sunyi dan telanjang . . . dan membakarnya dengan api”. (Ayat 16) Maka itu agama palsu mendekati tabrakan maut dengan politik. Karena telah ditelanjangi dan kenajisannya yang melampaui batas disingkapkan, ia akan dihancurkan sama sekali.

Hal itu akan memulai ’sengsara besar’ yang Yesus katakan, dan akan mencapai puncaknya dalam perang Armagedon. Kristus, yang didukung oleh pasukan surgawi yang tidak kelihatan, akan ’meremukkan dan menghabisi’ sistem Setan seluas dunia, dan hanya menyelamatkan ’orang-orang yang rendah hati yang akan memiliki bumi’. Mereka adalah orang-orang Kristen sejati yang, antara lain, telah menjauhkan diri dari politik yang memecah-belah.—Matius 24:21; Daniel 2:44; Mazmur 37:10, 11; Matius 5:5; Wahyu 6:2; 16:14-16.

Jika saudara salah seorang yang yang merasa sedih melihat penderitaan dan celaan yang ditimpakan agama palsu atas nama Allah, apa yang harus saudara lakukan sekarang? Alkitab memerintahkan, ”Pergilah kamu, hai umatKu, pergilah dari padanya [agama palsu] supaya kamu jangan mengambil bagian dalam dosa-dosanya.” (Wahyu 18:4) Hanya Saksi-Saksi Yehuwa saja yang mendesak orang-orang untuk mengindahkan perintah ini. Mereka, sama seperti orang-orang Kristen yang mula-mula, menjauhkan diri dari peperangan serta politik dan karena itu tidak akan dibinasakan apabila agama bertabrakan dengan politik. Maka, hubungilah mereka. Mereka dengan senang hati akan menunjukkan kepada saudara bagaimana menemukan ”pintu yang sesak” yang tidak menuju kepada kebinasaan tetapi hidup yang kekal.—Matius 7:13, 14; Yohanes 17:3.

[Catatan Kaki]

a Untuk perinciannya, lihat buku ”Babylon the Great Has Fallen!” God’s Kingdom Rules!, yang diterbitkan oleh Watchtower Bible and Tract Society of New York, Inc.

[Gambar di hlm. 4]

Tahun 1914, pada suatu altar berupa genderang di tangga gereja Santo Paulus, Uskup dari London membangkitkan patriotisme pada pasukan Inggris

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan