PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • w97 15/3 hlm. 25-28
  • Haruskah Anak Saudara Masuk Sekolah Asrama

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Haruskah Anak Saudara Masuk Sekolah Asrama
  • Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1997
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Pendidikan dan Kerohanian
  • Pengaruh Siswa-Siswa Lain
  • Pengaruh dari para Guru
  • Ruang Gerak yang Terbatas
  • Menunjukkan Sikap Berbeda
  • Tanggung Jawab Orang-Tua
  • Apakah Ada Alternatif Lain?
  • Kunci-Kunci Menuju Pendidikan yang Baik
    Sedarlah!—1995
  • Orang-Tua Jadilah Penasihat Anak Anda
    Sedarlah!—1994
  • Sekolah yang Sukses yang Ada di Seluas Dunia
    Sedarlah!—1995
  • Perlukah Saya Meninggalkan Bangku Sekolah?
    Pertanyaan Kaum Muda—Jawaban yang Praktis
Lihat Lebih Banyak
Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1997
w97 15/3 hlm. 25-28

Haruskah Anak Saudara Masuk Sekolah Asrama

BAYANGKAN saudara tinggal di kota kecil di suatu negara berkembang. Saudara mempunyai beberapa anak yang masih di sekolah dasar, tetapi pada usia 12 tahun, mereka akan melanjutkan ke sekolah menengah. Di daerah saudara, sekolah-sekolah menengah terlalu penuh, miskin perlengkapan, dan staf pengajarnya kurang memenuhi syarat. Kadang-kadang, pemogokan membuat sekolah-sekolah itu ditutup selama berminggu-minggu dan berbulan-bulan.

Seseorang menyerahkan kepada saudara sebuah brosur menarik yang menggambarkan sebuah sekolah asrama di kota. Saudara melihat foto-foto para siswa yang gembira, berpakaian rapi, sedang belajar di ruang kelas, di laboratorium, dan di perpustakaan yang diperlengkapi dengan baik. Para siswa menggunakan komputer serta beristirahat dalam kamar-kamar asrama yang bersih dan menarik. Saudara membaca bahwa salah satu tujuan sekolah tersebut adalah membantu murid-murid ”mencapai standar akademis yang paling tinggi sesuai dengan kecakapan mereka”. Selanjutnya saudara membaca, ”Semua murid dituntut untuk menaati kaidah perilaku seperti yang sewajarnya diharapkan dalam keluarga dengan menekankan tata krama, sopan santun, respek terhadap orang-tua dan orang lain yang lebih tua, kerja sama, toleransi, kebaikan hati, kejujuran serta integritas.”

Foto seorang pemuda yang tersenyum terpampang pada brosur tersebut dan kutipan pendapatnya mengatakan, ”Orang-tua saya memberikan hak istimewa luar biasa untuk masuk sekolah terbaik.” Seorang gadis mengatakan, ”Sekolah adalah sesuatu yang menantang dan mendebarkan. Di sini suasananya cocok untuk menuntut ilmu.” Apakah saudara akan mengirim putra atau putri saudara ke sekolah asrama semacam itu?

Pendidikan dan Kerohanian

Semua orang-tua yang sayang anak ingin membekali anak-anak mereka sebaik-baiknya dalam hidup ini, dan untuk mencapai tujuan itu, pendidikan yang memadai dan seimbang penting. Pendidikan duniawi sering membuka jalan untuk meraih kesempatan kerja di masa depan serta membantu orang-orang muda bertumbuh menjadi orang-orang dewasa yang mampu mengurus diri sendiri dan keluarga mereka kelak.

’Jika sekolah asrama menawarkan pendidikan yang baik serta beberapa bimbingan moral, mengapa tidak memanfaatkannya?’ saudara mungkin bertanya. Sewaktu menjawab pertanyaan tadi, orang-tua Kristen hendaknya dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan faktor yang sangat penting​—kesejahteraan rohani anak-anak mereka. Yesus Kristus bertanya, ”Sesungguhnya, apa manfaatnya bagi seseorang untuk memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan jiwanya?” (Markus 8:36) Tentu saja, hal ini sama sekali tidak bermanfaat. Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk mengirim anak-anak saudara ke sekolah asrama, orang-tua Kristen hendaknya mempertimbangkan kemungkinan dampak keputusan tersebut terhadap prospek kehidupan abadi anak-anak mereka.

Pengaruh Siswa-Siswa Lain

Sekolah-sekolah asrama tertentu mungkin memiliki standar akademis yang mengesankan. Tetapi bagaimana dengan standar moral dari anak-anak yang bersekolah di sana atau bahkan mungkin beberapa orang yang mengelola sekolah-sekolah demikian? Sehubungan dengan macam-macam orang yang banyak didapati pada ”hari-hari terakhir” ini, rasul Paulus menulis, ”Pada hari-hari terakhir akan tiba masa kritis yang sulit dihadapi. Karena orang-orang akan menjadi pencinta diri sendiri, pencinta uang, congkak, angkuh, penghujah, tidak taat kepada orang-tua, tidak berterima kasih, tidak loyal, tidak memiliki kasih sayang alami, tidak mau bersepakat, pemfitnah, tanpa pengendalian diri, garang, tanpa kasih akan kebaikan, pengkhianat, keras kepala, besar kepala karena sombong, pencinta kesenangan sebaliknya daripada pencinta Allah, mempunyai suatu bentuk pengabdian yang saleh tetapi terbukti mengingkari kuasanya; dan dari mereka berpalinglah.”—2 Timotius 3:1-5.

Kemerosotan moral dan rohani ini bersifat global, merupakan tantangan bagi Saksi-Saksi Yehuwa yang hidup selaras dengan prinsip-prinsip Alkitab. Para siswa yang setiap hari pulang ke rumah mendapati bahwa bahkan pergaulan mereka yang terbatas dengan teman-teman duniawi di sekolah dapat memberikan pengaruh negatif yang kuat terhadap kerohanian mereka. Mengatasi pengaruh itu dapat merupakan perjuangan berat bahkan di pihak anak-anak Saksi yang setiap hari mendapat dukungan, nasihat, dan anjuran dari orang-tua mereka.

Kalau begitu, bagaimana dengan situasi yang dihadapi anak-anak yang dikirim dari rumah mereka ke sekolah-sekolah asrama? Mereka terisolasi, kehilangan dukungan rohani yang teratur dari orang-tua mereka yang pengasih. Karena berada 24 jam setiap hari bersama teman-teman sekolah, tekanan untuk ikut-ikutan orang banyak memberikan pengaruh yang lebih kuat atas pikiran dan hati anak-anak mereka dibandingkan dengan yang kemungkinan dihadapi siswa-siswa yang tinggal di rumah. Seorang siswa mengatakan, ”Seorang anak yang tinggal di asrama berada dalam bahaya moral setiap waktu.”

Paulus menulis, ”Janganlah disesatkan. Pergaulan yang buruk merusak kebiasaan-kebiasaan yang berguna.” (1 Korintus 15:33) Orang-tua Kristen hendaknya tidak disesatkan dengan berpikir bahwa anak-anak mereka tidak akan mengalami bahaya rohani bila terus bergaul dengan orang-orang yang tidak melayani Allah. Setelah suatu jangka waktu, anak-anak yang saleh dapat menjadi tidak peka lagi terhadap nilai-nilai Kristen dan dapat kehilangan semua penghargaan terhadap perkara-perkara rohani. Kadang-kadang ini tidak dapat dilihat oleh orang-tua sampai anak-anak mereka meninggalkan sekolah asrama. Pada waktu itu, sering sudah terlambat untuk memperbaiki masalahnya.

Pengalaman Clement merupakan pengalaman yang umum dihadapi. Ia menceritakan, ”Sebelum masuk sekolah asrama, saya memiliki kasih akan kebenaran dan pergi berdinas bersama saudara-saudara. Saya khususnya senang ambil bagian dalam pelajaran Alkitab bersama keluarga saya dan dalam Pelajaran Buku Sidang. Akan tetapi, sejak saya masuk sekolah asrama pada usia 14 tahun, saya sepenuhnya meninggalkan kebenaran. Selama lima tahun berada di sekolah asrama, saya tidak pernah menghadiri perhimpunan. Sebagai akibat pergaulan buruk, saya terlibat dengan obat-obat bius, merokok, dan minum minuman keras.”

Pengaruh dari para Guru

Di sekolah mana pun, bisa saja ada guru-guru yang bermoral bejat yang menyalahgunakan kedudukan mereka yang berwenang. Ada yang kejam dan kasar, sedangkan yang lain-lain mengeksploitasi siswa-siswanya secara seksual. Di sekolah-sekolah asrama, tindakan dari guru-guru demikian lebih besar kemungkinannya tidak dilaporkan.

Akan tetapi, kebanyakan guru dengan tulus berupaya melatih anak-anak untuk menjadi anggota masyarakat yang produktif, untuk menjadi layak di mata dunia di sekeliling mereka, untuk menyelaraskan diri mereka. Tetapi di sinilah letaknya problem lain bagi anak-anak Saksi. Nilai-nilai dunia tidak selalu selaras dengan prinsip-prinsip Kristen. Sementara guru-guru menganjurkan para siswa untuk menyesuaikan diri dengan dunia ini, Yesus mengatakan bahwa para pengikutnya ”bukan bagian dari dunia”.​—Yohanes 17:16.

Bagaimana jika timbul problem sewaktu anak-anak mengikuti prinsip-prinsip Alkitab? Jika anak-anak bersekolah di sekolah setempat dan tinggal di rumah, mereka dapat membahas masalah-masalah seperti itu bersama orang-tua mereka. Selain itu, orang-tua dapat membimbing anak-anak mereka dan mungkin berbicara dengan guru. Hasilnya, problem dan kesalahpahaman biasanya cepat teratasi.

Lain halnya di sekolah asrama. Siswa-siswa terus berada di bawah pengawasan guru-guru mereka. Jika anak-anak berpegang pada prinsip-prinsip Alkitab, mereka harus melakukannya tanpa dukungan orang-tua mereka dari hari ke hari. Kadang-kadang, anak-anak berhasil untuk tetap setia kepada Allah di bawah keadaan demikian. Akan tetapi, yang lebih sering terjadi justru sebaliknya. Seorang anak kemungkinan besar akan takluk kepada kehendak guru.

Ruang Gerak yang Terbatas

Berbeda dengan universitas, yang siswa-siswanya bebas datang dan pergi sesuka hati, sekolah asrama membatasi ruang gerak anak-anak. Banyak dari sekolah-sekolah ini tidak mengizinkan murid-murid mereka meninggalkan kompleks sekolah selain pada hari Minggu, beberapa bahkan tidak memberikan izin sama sekali. Eru, seorang siswa sekolah asrama berusia 11 tahun mengatakan, ”Pimpinan di sekolah tidak pernah mengizinkan saya untuk pergi ke perhimpunan, apalagi dinas pengabaran. Di dalam kompleks hanya ada sarana ibadah untuk Katolik dan Muslim. Setiap siswa harus memilih satu di antara dua agama tersebut jika tidak ia akan menghadapi kebencian para guru dan siswa. Siswa-siswa juga dipaksa untuk menyanyikan lagu-lagu kebangsaan dan himne-himne gereja.”

Sewaktu orang-tua mendaftarkan anak-anak mereka ke sekolah semacam itu, kesan apa yang mereka berikan kepada anak-anak mereka? Bisa jadi kesannya adalah bahwa pendidikan duniawi lebih penting dibandingkan dengan pertemuan ibadat dan ambil bagian dalam pekerjaan menjadikan murid​—bahkan lebih penting daripada integritas kepada Allah.​—Matius 24:14; 28:19, 20; 2 Korintus 6:14-18; Ibrani 10:24, 25.

Di beberapa sekolah asrama, siswa-siswa Saksi berhasil mengadakan pelajaran Alkitab bersama-sama, namun bahkan ini pun sering kali sulit. Seorang remaja bernama Blessing, yang berusia 16 tahun, mengatakan hal berikut tentang sekolah asramanya, ”Setiap hari orang-orang yang menyebut diri Kristen berkumpul untuk berdoa. Kami Saksi-Saksi berupaya memohon kepada mereka agar kami dapat mengadakan pelajaran Alkitab, tetapi siswa-siswa senior memberi tahu kami bahwa organisasi kami tidak diakui. Kemudian mereka berupaya memaksa kami untuk berdoa bersama mereka. Jika kami menolak, mereka menghukum kami. Meminta izin kepada para guru lebih memperburuk masalah. Mereka mengata-ngatai kami dan memberi tahu siswa-siswa senior untuk menghukum kami.”

Menunjukkan Sikap Berbeda

Sewaktu siswa-siswa sekolah asrama dikenali dengan jelas sebagai Saksi-Saksi Yehuwa, ini dapat membawa keuntungan bagi mereka. Pimpinan sekolah tidak akan memaksa mereka untuk ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan agama palsu yang diwajibkan yang bertentangan dengan iman Saksi-Saksi. Teman-teman sekolah mungkin tidak akan berupaya melibatkan anak-anak Saksi tersebut dalam kegiatan dan percakapan yang tidak sehat. Terbuka kesempatan untuk memberikan kesaksian kepada sesama siswa dan para guru. Selain itu, orang-orang yang hidup menurut prinsip-prinsip Kristen kemungkinan besar tidak akan dicurigai atas perbuatan salah yang bejat, dan adakalanya mereka memenangkan respek dari guru-guru dan sesama siswa.

Akan tetapi, keadaan tidak selalu demikian. Karena mengambil sikap yang berbeda, seorang anak sering kali menjadi objek penganiayaan dan ejekan dari siswa maupun guru. Yinka, seorang anak laki-laki berusia 15 tahun yang masuk sekolah asrama mengatakan, ”Di sekolah, jika kita dikenal sebagai Saksi-Saksi Yehuwa, kita dijadikan sasaran. Karena mereka mengetahui pendirian rohani dan moral kita, mereka memasang perangkap untuk menjebak kita.”

Tanggung Jawab Orang-Tua

Tidak ada guru, sekolah, atau perguruan tinggi yang dapat dengan sepatutnya menjalankan tugas untuk membentuk anak-anak menjadi hamba-hamba Yehuwa yang berbakti. Itu juga bukan tugas ataupun tanggung jawab mereka. Firman Allah memerintahkan bahwa orang-tualah yang harus mengurus kebutuhan rohani anak-anak mereka. Paulus menulis, ”Kamu, bapak-bapak, janganlah membuat anak-anakmu kesal, tetapi teruslah besarkan mereka dalam disiplin dan pengaturan-mental dari Yehuwa.” (Efesus 6:4) Bagaimana orang-tua dapat menerapkan nasihat ilahi ini jika anak-anak mereka berada di sekolah asrama yang mungkin membatasi kunjungan dari orang-tua hanya satu kali atau dua kali sebulan?

Situasi bisa berbeda-beda, tetapi orang-tua Kristen berupaya keras untuk bertindak selaras dengan pernyataan terilham, ”Tentu jika seseorang tidak menyediakan kebutuhan bagi mereka yang adalah miliknya, dan teristimewa bagi mereka yang adalah anggota rumah tangganya, ia telah menyangkal iman dan lebih buruk daripada seseorang yang tanpa iman.”—1 Timotius 5:8.

Apakah Ada Alternatif Lain?

Apa yang dapat orang-tua lakukan jika kelihatannya mereka hanya mempunyai dua pilihan—sekolah asrama atau sekolah setempat yang miskin perlengkapan? Beberapa orang-tua yang berada dalam situasi ini mengatur les-les privat sebagai tambahan bagi pendidikan yang diterima anak-anak mereka di sekolah setempat. Para orang-tua lain menyisihkan waktu untuk mengajar sendiri anak-anak mereka.

Kadang-kadang orang-tua menghindari problem dengan membuat perencanaan yang baik jauh di muka sebelum anak-anak mereka mencapai usia sekolah menengah. Jika saudara memiliki anak-anak kecil atau merencanakan untuk berkeluarga, saudara dapat mencari tahu apakah ada sekolah menengah yang memadai di wilayah saudara. Jika tidak ada, mungkin saudara bisa pindah ke tempat yang lebih dekat dengan sekolah.

Seperti yang orang-tua ketahui, dibutuhkan keahlian, kesabaran, dan banyak waktu untuk menanamkan kasih akan Yehuwa dalam diri seorang anak. Jika hal ini sulit dilakukan sewaktu seorang anak tinggal di rumah, betapa jauh lebih sulit bila ia tinggal jauh! Karena kehidupan abadi seorang anak mencakup, orang-tua harus dengan serius dan sungguh-sungguh mempertimbangkan untung ruginya menyerahkan anak mereka ke sekolah asrama. Merupakan tindakan yang gegabah untuk mengorbankan minat rohani seorang anak demi memperoleh keuntungan dari pendidikan di sekolah asrama! Halnya seolah-olah seperti bergegas masuk ke dalam rumah yang terbakar untuk menyelamatkan perhiasan—namun akhirnya hangus dilalap api.

Firman Allah mengatakan, ”Kalau orang bijak melihat malapetaka, bersembunyilah ia, tetapi orang yang tak berpengalaman berjalan terus, lalu kena celaka.” (Amsal 22:3) Lebih baik mencegah keadaan yang buruk daripada memperbaikinya belakangan. Adalah bijaksana untuk memikirkan hal itu sewaktu saudara menanyakan diri saudara sendiri, ’Haruskah anak saya masuk sekolah asrama?’

[Kotak di hlm. 28]

Pendapat Saksi-Saksi Muda tentang Sekolah Asrama

”Di sekolah asrama, anak-anak Saksi terputus dari pergaulan rohani. Itu merupakan lingkungan yang sangat tidak bersahabat dengan dorongan yang kuat untuk melakukan apa yang salah.”—Rotimi, yang masuk sekolah asrama pada usia 11 sampai 14 tahun.

”Menghadiri perhimpunan Kristen benar-benar sulit. Saya bisa hadir hanya pada hari Minggu, dan untuk melakukan itu saya harus menyelinap dengan diam-diam sementara para siswa berbaris ke gereja. Saya tidak pernah merasa bahagia, karena di rumah, saya terbiasa menghadiri semua perhimpunan sidang, dan pergi berdinas setiap hari Sabtu dan Minggu. Sekolah bukanlah pengalaman yang membina. Saya sangat rugi.”—Esther, yang berkali-kali dihajar oleh guru-guru karena tidak ikut serta dalam kebaktian-kebaktian gereja di sekolah.

”Memberikan kesaksian kepada sesama siswa tidak mudah dilakukan di sekolah asrama. Tidak mudah untuk menjadi berbeda. Saya ingin meniru teman-teman. Mungkin saya akan bersikap lebih tegas jika saya dapat hadir di perhimpunan dan ambil bagian dalam dinas pengabaran. Tetapi hal itu hanya bisa saya lakukan pada saat liburan yang datangnya hanya tiga kali setahun. Jika saudara memiliki pelita dan tidak diisi minyak, lambat laun pelita itu akan redup. Sama halnya dengan sekolah.”—Lara, yang masuk sekolah asrama pada usia 11 sampai 16 tahun.

”Sekarang saya tidak lagi bersekolah di sekolah asrama, saya bahagia dapat menghadiri semua perhimpunan, ambil bagian dalam dinas pengabaran, dan menikmati ayat harian bersama anggota keluarga. Meskipun bersekolah mempunyai beberapa keuntungan, tidak ada hal yang lebih penting dibandingkan hubungan saya dengan Yehuwa.”—Naomi, yang mendesak ayahnya untuk mengeluarkan dia dari sekolah asrama.

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan