PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • w99 15/2 hlm. 4-8
  • Apa yang Dibutuhkan untuk Menyukseskan Perkawinan?

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Apa yang Dibutuhkan untuk Menyukseskan Perkawinan?
  • Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1999
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Menilik Perkawinan
  • Memeriksa Diri
  • Menilik Calon Teman Hidup
  • Imbalan dan Tanggung Jawab
  • Mempersiapkan Perkawinan yang Sukses
    Rahasia Kebahagiaan Keluarga
  • Perkawinan—Hadiah dari Allah
    Cara agar Tetap Dikasihi Allah
  • Perkawinan—Karunia dari Allah yang Pengasih
    ”Tetaplah Berada dalam Kasih Allah”
  • Perkawinan Dapat Berhasil dalam Dunia Dewasa Ini
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—2005
Lihat Lebih Banyak
Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1999
w99 15/2 hlm. 4-8

Apa yang Dibutuhkan untuk Menyukseskan Perkawinan?

Apakah saudara mau terjun ke sungai walau tidak tahu caranya berenang? Tindakan bodoh seperti itu bisa berbahaya ​—bahkan memautkan. Tetapi, coba pikirkan, betapa banyak orang yang terjun dalam perkawinan tanpa sedikit pun sadar tentang cara mengemban semua tanggung jawabnya.

YESUS mengatakan, ”Siapa di antara kamu yang mau membangun sebuah menara tidak duduk dahulu dan menghitung biaya, untuk melihat jika ia mempunyai cukup untuk menyelesaikannya?” (Lukas 14:28) Membangun menara sebenarnya tidak berbeda dengan membangun perkawinan. Orang-orang yang ingin membangun perkawinan harus dengan cermat menghitung biaya perkawinan, untuk melihat apakah mereka mampu memenuhi tuntutannya.

Menilik Perkawinan

Mempunyai teman hidup untuk berbagi suka-duka hidup ini memang merupakan suatu berkat. Perkawinan dapat mengisi perasaan hampa yang bisa saja timbul karena kesepian atau merana. Perkawinan dapat memuaskan hasrat bawaan kita akan kasih, persahabatan, dan keintiman. Karena itu, sungguh beralasan jika Allah setelah menciptakan Adam, berkata, ”Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.”​—Kejadian 2:​18; 24:67; 1 Korintus 7:9.

Ya, perkawinan dapat memecahkan beberapa problem. Akan tetapi, perkawinan juga memunculkan problem-problem baru. Mengapa? Karena perkawinan adalah perpaduan antara dua kepribadian yang berbeda yang mungkin bisa saling melengkapi tetapi sama sekali tidak identik. Jadi, pasangan-pasangan yang paling serasi pun kadang-kadang akan mengalami konflik. Rasul Kristen, Paulus, menulis bahwa orang-orang yang menikah akan mengalami ”kesengsaraan dalam daging mereka”​—atau sebagaimana The New English Bible menerjemahkannya, ”rasa sakit dan kesusahan dalam kehidupan badani”.​—1 Korintus 7:​28.

Apakah Paulus pesimis? Sama sekali tidak! Ia hanya sedang mendesak orang-orang yang mempertimbangkan perkawinan untuk berpikir secara realistis. Perasaan sangat gembira karena tertarik kepada seseorang, bukanlah tolok ukur yang akurat tentang bagaimana jadinya kehidupan perkawinan itu kelak pada bulan-bulan dan tahun-tahun awalnya. Setiap perkawinan mempunyai tantangan dan masalahnya sendiri yang unik. Persoalannya bukanlah apakah masalah-masalah akan timbul, tetapi bagaimana menghadapi masalah-masalah itu bila timbul.

Justru pada saat timbul masalah, suami dan istri mendapat kesempatan untuk saling memperlihatkan kemurnian kasih mereka. Sebagai ilustrasi: Sebuah kapal pesiar mungkin terlihat megah sewaktu sedang berlabuh. Akan tetapi, ketangguhannya di laut baru akan terbukti di laut lepas​—bahkan mungkin sewaktu dihantam badai. Demikian pula, kekuatan bahtera perkawinan belum nyata pada saat-saat tenang dan romantis. Kadang-kadang, kekuatannya baru terbukti setelah satu pasangan berhasil melewati badai-badai kesulitan.

Oleh karena itu, suatu komitmen sangat perlu bagi pasangan suami-istri, karena Allah bermaksud agar seorang pria ”bersatu dengan istrinya” dan keduanya ”menjadi satu daging”. (Kejadian 2:​24) Dewasa ini, gagasan tentang membuat komitmen, menakutkan bagi banyak orang. Namun, bukankah masuk akal jika dua orang yang benar-benar saling mengasihi mau membuat janji yang sepenuh hati untuk tetap bersama-sama. Komitmen membuat perkawinan bermartabat. Komitmen itu menjadi dasar untuk percaya bahwa apa pun yang kelak terjadi, suami dan istri akan saling mendukung.a Jika saudara belum siap untuk membuat komitmen semacam ini, maka sebenarnya saudara belum siap untuk menikah. (Bandingkan Pengkhotbah 5:​4, 5.) Bahkan mereka yang sudah menikah mungkin perlu meningkatkan penghargaan mereka akan pentingnya komitmen dalam membuat suatu perkawinan tetap bertahan.

Memeriksa Diri

Saudara pasti dapat membuat daftar sifat yang saudara inginkan dari teman hidup saudara. Akan tetapi, jauh lebih sulit untuk melihat diri saudara sendiri guna menentukan sumbangsih yang dapat saudara berikan kepada perkawinan. Pemeriksaan diri sangat penting, baik sebelum maupun sesudah membuat ikrar perkawinan. Misalnya, saudara dapat menanyakan kepada diri sendiri pertanyaan-pertanyaan berikut ini.

• Apakah saya bersedia membuat komitmen seumur hidup dengan pasangan saya?​—Matius 19:6.

Pada zaman Maleakhi, seorang nabi yang disebutkan dalam Alkitab, banyak suami meninggalkan pasangan mereka, kemungkinan untuk menikahi wanita-wanita yang lebih muda. Yehuwa mengatakan bahwa mezbahnya tertutup oleh air mata istri-istri yang ditelantarkan, dan ia mengutuk pria-pria ini yang ”tidak setia” kepada pasangan mereka.​—Maleakhi 2:​13-​16.

• Kalau saya berpikir untuk menikah, apakah saya sudah melewati masa remaja manakala dorongan-dorongan seks mengalir kuat dan dapat mengaburkan penilaian yang baik?​—1 Korintus 7:​36.

”Sangat riskan kalau menikah terlalu muda,” kata Nikki yang menikah pada usia 22 tahun. Ia mengingatkan, ”Perasaan, cita-cita, dan selera Anda akan berubah terus sejak akhir usia belasan tahun sampai pertengahan dan akhir usia duapuluhan tahun.” Tentu saja, kesiapan untuk menikah tidak dapat diukur semata-mata dari usia. Namun, yang tidak boleh diabaikan adalah jika saudara menikah pada saat belum melewati masa ketika dorongan seks baru muncul dan masih kuat, pikiran saudara mungkin menjadi kabur dan buta terhadap masalah-masalah yang akan timbul.

• Apa sifat-sifat saya yang bisa membantu saya menyumbang kepada suatu perkawinan yang sukses?​—Galatia 5:​22, 23.

Rasul Paulus menulis kepada jemaat di Kolose, ”Kenakanlah pada dirimu kasih sayang yang lembut dari keibaan hati, kebaikan hati, kerendahan pikiran, kelemahlembutan, dan panjang sabar.” (Kolose 3:​12) Nasihat ini sangat cocok bagi yang sedang membuat rencana untuk menikah maupun bagi yang sudah menikah.

• Apakah saya memiliki kedewasaan yang diperlukan untuk mendukung pasangan saya bila sedang melalui masa yang sulit?​—Galatia 6:2.

”Bila timbul masalah,” kata seorang dokter, ”kecenderungannya adalah mempersalahkan teman hidup. Siapa yang bersalah bukanlah masalah yang terpenting. Yang terpenting adalah, bagaimana suami dan istri bekerja sama untuk memperbaiki hubungan perkawinan.” Kata-kata Raja Salomo yang bijaksana cocok sekali untuk pasangan yang telah menikah. ”Berdua lebih baik daripada seorang diri,” tulisnya, ”karena kalau mereka jatuh, yang seorang mengangkat temannya, tetapi wai orang yang jatuh, yang tidak mempunyai orang lain untuk mengangkatnya!”​—Pengkhotbah 4:​9, 10.

• Apakah saya lebih sering berbesar hati dan optimistis, ataukah saya lebih sering tertekan dan negatif?​—Amsal 15:15.

Dari sudut pandang orang yang negatif, tidak pernah ada hari yang menyenangkan. Perkawinan tidak akan secara mukjizat mengubah sikap ini! Seseorang yang masih lajang​—pria maupun wanita​—yang cenderung kritis dan pesimistis tetap akan menjadi orang seperti itu bila menikah. Sudut pandangan yang negatif bisa menjadi sumber ketegangan perkawinan.​—Bandingkan Amsal 21:9.

• Apakah saya tetap tenang di bawah tekanan, ataukah saya menyerah pada luapan kemarahan yang tak terkendali?​—Galatia 5:​19, 20.

Orang-orang Kristen diperintahkan untuk ”lambat murka”. (Yakobus 1:​19) Sebelum maupun sesudah menikah, seorang pria dan wanita harus memupuk kesanggupan untuk hidup selaras dengan nasihat ini, ”Jadilah murka, namun jangan melakukan dosa; janganlah matahari terbenam seraya kamu dalam keadaan terpancing menjadi marah.”​—Efesus 4:​26.

Menilik Calon Teman Hidup

”Orang yang bijak memperhatikan langkahnya,” demikian pernyataan sebuah amsal Alkitab. (Amsal 14:15) Inilah yang harus dilakukan sewaktu memilih seorang teman hidup. Memilih teman hidup adalah salah satu keputusan terpenting yang akan pernah diambil oleh seorang pria atau wanita. Namun, berdasarkan pengamatan, banyak orang menggunakan lebih banyak waktu untuk memilih mobil atau memilih sekolah daripada untuk memilih teman hidup.

Dalam sidang Kristen, orang-orang yang dipercayakan tanggung jawab ”diuji kelayakannya”. (1 Timotius 3:​10) Jika saudara berencana untuk menikah, tentu saudara ingin memastikan ’kelayakan’ calon teman hidup saudara. Sebagai contoh, pertimbangkanlah pertanyaan-pertanyaan berikut. Meskipun ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pihak wanita, kebanyakan prinsipnya juga berlaku untuk seorang pria. Dan, bahkan mereka yang telah menikah bisa memperoleh manfaat dengan mempertimbangkan pokok-pokok ini.

• Bagaimana reputasinya?​—Filipi 2:​19-​22.

Amsal 31:23 menguraikan tentang seorang suami yang ”dikenal di pintu gerbang, kalau ia duduk bersama-sama para tua-tua negeri”. Para tua-tua kota duduk di pintu-pintu gerbang kota untuk melaksanakan penghakiman. Jadi, pastilah pria tersebut dipercaya masyarakat. Cara orang lain memandang dia merupakan petunjuk tentang reputasinya. Bilamana mungkin, pertimbangkan pula bagaimana orang-orang yang ia pimpin memandangnya. Hal ini akan menunjukkan bagaimana saudara, sebagai teman hidupnya memandang dia kelak.​—Bandingkan 1 Samuel 25:​3, 23-​25.

• Bagaimana moralnya?

Hikmat dari Allah itu ”pertama-tama murni”. (Yakobus 3:​17) Apakah calon teman hidup saudara lebih berminat akan kepuasan seksualnya daripada kedudukannya dan kedudukan saudara di hadapan Allah? Jika ia tidak berupaya untuk hidup menurut standar-standar moral Allah sekarang ini, apakah ada dasar untuk percaya bahwa ia akan mengupayakannya setelah menikah?​—Kejadian 39:​7-​12.

• Bagaimanakah ia memperlakukan saya?​—Efesus 5:​28, 29.

Buku Alkitab, Amsal, memberi tahu tentang seorang suami yang ”percaya” kepada istrinya. Selain itu, ”suaminya memuji dia”. (Amsal 31:​11, 28) Ia tidak cemburu secara berlebih-lebihan, atau tidak menuntut hal-hal yang tidak masuk akal. Yakobus menulis bahwa hikmat yang dari atas itu ”suka damai, bersikap masuk akal, . . . penuh belas kasihan dan buah-buah baik”.​—Yakobus 3:​17.

• Bagaimanakah ia memperlakukan anggota keluarganya?​—Keluaran 20:12.

Menghormati orang-tua bukanlah kewajiban bagi yang masih kanak-kanak saja. Alkitab berkata, ”Dengarkanlah ayahmu yang memperanakkan engkau, dan janganlah menghina ibumu kalau ia sudah tua.” (Amsal 23:22) Yang menarik, Dr. W. Hugh Missildine menulis, ”Banyak kesulitan dan ketidakcocokan dalam perkawinan dapat dihindari​—atau paling tidak sudah bisa diduga​—jika calon mempelai saling mengunjungi rumah keluarga masing-masing dalam keadaan santai dan mengamati bagaimana hubungan antara ’si calon’ dengan orang-tuanya. Cara ia memandang orang-tuanya bisa memberikan gambaran tentang bagaimana ia akan memandang teman hidupnya. Seseorang harus bertanya dalam hati, ’Apakah saya mau diperlakukan sebagaimana ia memperlakukan orang-tuanya?’ Dan, cara orang-tuanya memperlakukan dia merupakan petunjuk yang sangat baik tentang bagaimana ia akan memperlakukan dirinya sendiri dan bagaimana ia ingin diperlakukan oleh saudara​—setelah bulan madu.”

• Apakah ia mudah meledak dalam amarah atau mengeluarkan cacian?

Alkitab memberi nasihat, ”Hendaklah semua kepahitan yang penuh kebencian dan kemarahan dan murka dan teriakan serta cacian disingkirkan dari kamu.” (Efesus 4:​31) Paulus memperingatkan Timotius berkenaan dengan beberapa orang Kristen yang akan ”sakit secara mental mengenai persoalan-persoalan dan debat tentang kata-kata” dan orang-orang yang akan menyerah kepada ”kedengkian, percekcokan, cacian, kecurigaan yang fasik, perbantahan yang sengit mengenai hal-hal sepele”.​—1 Timotius 6:​4, 5.

Selain itu, Paulus menulis bahwa orang-orang yang memenuhi syarat untuk mendapatkan hak-hak istimewa dalam sidang seharusnya ”bukan orang yang suka memukul”. (1 Timotius 3:​3) Ia hendaknya bukan orang yang suka memukul secara fisik maupun menggertak dengan kata-kata. Seseorang yang cenderung beringas pada saat marah bukanlah seorang teman hidup yang cocok.

• Apa cita-citanya?

Beberapa orang mengejar kekayaan dan tidak bisa menghindarkan diri dari akibat-akibatnya. (1 Timotius 6:​9, 10) Orang-orang yang lain mungkin mengambang tanpa tujuan dalam hidup ini, tanpa cita-cita tertentu. (Amsal 6:​6-​11) Akan tetapi, seseorang yang saleh akan mempunyai tekad yang sama dengan Yosua, yang berkata, ”Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!”​—Yosua 24:15.

Imbalan dan Tanggung Jawab

Perkawinan adalah suatu lembaga suci. Lembaga ini disahkan dan dibentuk oleh Allah Yehuwa. (Kejadian 2:​22-​24) Ia merancang penyelenggaraan perkawinan guna membentuk ikatan permanen antara satu pria dan satu wanita agar mereka dapat saling membantu. Bila prinsip-prinsip Alkitab diterapkan, suami dan istri dapat mengharapkan keadaan hidup mereka penuh sukacita.​—Pengkhotbah 9:​7-9.

Akan tetapi, harus disadari bahwa kita sedang hidup dalam ”masa kritis yang sulit dihadapi”. Alkitab menubuatkan bahwa selama masa ini, orang-orang akan menjadi ”pencinta diri sendiri, pencinta uang, congkak, angkuh, . . . tidak loyal, tidak memiliki kasih sayang alami, tidak mau bersepakat, . . . pengkhianat, keras kepala, besar kepala karena sombong”. (2 Timotius 3:​1-4) Sifat-sifat ini bisa mempengaruhi perkawinan seseorang. Oleh karena itu, orang-orang yang bermaksud untuk menikah harus menghitung biaya dengan serius. Dan, orang-orang yang kini sudah menikah harus terus berupaya memperbaiki ikatan mereka dengan belajar dan menerapkan bimbingan ilahi yang terdapat dalam Alkitab.

Ya, orang-orang yang sedang berencana untuk menikah sebaiknya melihat jauh ke depan melampaui hari pernikahan. Dan, kita semua hendaknya tidak hanya memikirkan pernikahan tetapi kehidupan perkawinan. Mintalah bimbingan Yehuwa agar saudara dapat berpikir secara realistis, bukan hanya secara romantis. Dengan melakukan hal ini, saudara kemungkinan besar akan menikmati perkawinan yang sukses.

[Catatan Kaki]

a Alkitab hanya mengizinkan satu alasan untuk bercerai dengan kemungkinan untuk menikah lagi, dan satu-satunya alasan itu adalah ”percabulan”​—hubungan seks di luar ikatan perkawinan.​—Matius 19:9.

[Kotak di hlm. 5]

”Uraian Terbaik yang Pernah Saya Baca tentang Kasih”

”Bagaimana kita tahu bahwa kita benar-benar mengasihi seseorang?” tulis Dr. Kevin Leman. ”Ada sebuah buku kuno yang berisi uraian tentang kasih. Buku ini umurnya sudah mendekati dua ribu tahun, tetapi uraiannya tentang kasih adalah uraian terbaik yang pernah saya baca.”

Dr. Leman sedang merujuk pada kata-kata rasul Kristen, Paulus, yang terdapat dalam Alkitab di 1 Korintus 13:​4-8:

”Kasih ialah panjang sabar dan baik hati. Kasih tidak cemburu, tidak membual, tidak menjadi besar kepala, tidak berperilaku tidak sopan, tidak mencari kepentingan diri sendiri, tidak terpancing menjadi marah. Ia tidak mencatat kerugian. Ia tidak bergirang atas ketidakadilbenaran, tetapi bergirang dengan kebenaran. Ia menahan segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, bertekun menahan segala sesuatu. Kasih tidak pernah berkesudahan.”

[Kotak di hlm. 8]

Emosi Bisa Menipu

Gadis Sulamit, yang hidup pada masa penulisan Alkitab, tahu benar bahwa perasaan romantis bisa menipu. Sewaktu sedang dirayu oleh Raja Salomo, ia memberi tahu teman-teman gadisnya untuk ’tidak membangkitkan dan menggerakkan cinta sebelum diingininya’. (Kidung Agung 2:7) Gadis yang bijaksana ini tidak ingin ditekan oleh teman-temannya sedemikian rupa sehingga ia dikendalikan oleh emosi. Hal ini juga praktis untuk orang-orang yang sedang memikirkan perkawinan dewasa ini. Kendalikanlah perasaan saudara. Jika saudara menikah, hendaknya karena saudara sangat mengasihi seseorang, bukan hanya karena mengasihi konsep menikah.

[Gambar di hlm. 6]

Mereka yang telah lama menikah pun dapat memperkuat ikatan perkawinan mereka

[Gambar di hlm. 7]

Bagaimanakah ia memperlakukan orang-tuanya?

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan