-
Suami dan Istri—Apakah Cara Mereka Berbicara Benar-Benar Berbeda?Sedarlah!—1994 | 8 Januari
-
-
persahabatan-persahabatan ini. Berbicara adalah suatu cara penting untuk menciptakan dan meneguhkan keakraban.
Ketergantungan datang secara wajar bagi Nani. Ia merasa dikasihi jika Joko mencari tahu pandangannya terlebih dahulu sebelum membuat keputusan, meskipun ia ingin Joko yang mengambil pimpinan. Apabila ia harus mengambil keputusan, ia senang berkonsultasi dengan suaminya, tidak selalu agar suaminya memberi tahu apa yang harus dilakukan, melainkan untuk memperlihatkan keakraban dan ketergantungannya kepada suaminya.
Sangat sulit bagi Nani untuk berbicara terus terang dan mengatakan bahwa ia membutuhkan sesuatu. Ia tidak ingin menyusahkan Joko atau membuat suaminya merasa bahwa ia tidak bahagia. Sebaliknya, ia menunggu untuk diperhatikan atau memberikan semacam isyarat.
Sewaktu Nani bercakap-cakap, ia tertarik akan hal-hal yang kecil dan mengajukan banyak pertanyaan. Ini wajar karena kepekaan dan minatnya yang besar kepada orang-orang dan persahabatan.
Sewaktu Nani mendengar, ia menyela kata-kata si pembicara dengan kata seru, anggukan, atau pertanyaan untuk memperlihatkan bahwa ia memperhatikan sang pembicara dan mempedulikan apa yang akan dikatakan sang pembicara.
Ia berupaya keras untuk mengetahui berdasarkan intuisi apa yang dibutuhkan orang-orang. Menawarkan bantuan tanpa diminta merupakan cara yang indah untuk menyatakan kasih sayang. Ia khususnya ingin membantu suaminya berkembang dan maju.
Sewaktu Nani mengalami problem, ia dapat merasa kewalahan. Ia perlu berbicara, tujuan utamanya bukan untuk mencari jalan keluar, melainkan untuk menyatakan perasaannya. Ia perlu mengetahui bahwa ada orang yang memahami dan peduli. Apabila emosinya memuncak, Nani melontarkan pernyataan-pernyataan sekilas yang dramatis. Ia tidak sungguh-sungguh memaksudkannya sewaktu ia berkata, ”Kamu tidak pernah mendengarkan!”
Sahabat terbaik Nani semasa kanak-kanak bukanlah orang yang dengannya ia melakukan segala sesuatu bersama-sama, melainkan orang yang dengannya ia membicarakan segala sesuatu. Maka dalam perkawinan, minatnya akan kegiatan di luar rumah hampir tidak sebesar minatnya akan seorang pendengar yang simpatik yang dengannya ia dapat membagi perasaannya.
Rumah merupakan tempat Nani dapat berbicara tanpa dihakimi. Ia tidak sungkan-sungkan menyingkapkan perasaan takut dan masalahnya kepada Joko. Jika membutuhkan bantuan, ia tidak malu untuk mengakuinya, karena ia yakin bahwa suaminya siap membantu dan cukup telaten untuk mendengarkannya.
Nani biasanya merasa dikasihi dan merasa aman dalam perkawinannya. Tetapi kadang-kadang, tanpa alasan yang jelas, ia mulai merasa tidak aman dan tidak dikasihi sehingga sangat perlu diyakinkan lagi dan ditemani.
Ya, Joko dan Nani, yang saling melengkapi, benar-benar berbeda. Perbedaan di antara mereka dapat menciptakan potensi kesalahpahaman yang besar, meskipun keduanya mungkin memiliki niat terbaik untuk mengasihi dan mendukung. Seandainya kita dapat mendengar sudut pandangan masing-masing dalam situasi di atas, apa yang akan mereka katakan?
Yang Mereka Lihat melalui Mata Mereka Sendiri
”Begitu saya masuk ke rumah, saya dapat melihat bahwa Nani sedang kesal,” demikian kata Joko. ”Saya mengira bahwa jika ia siap, ia akan memberi tahu saya penyebabnya. Masalahnya kelihatan tidak begitu besar bagi saya. Saya menyangka jika saya membantunya melihat bahwa ia tidak perlu merasa kesal dan bahwa jalan keluarnya mudah, ia akan merasa lebih baik. Sungguh menyakitkan, setelah saya mendengarkannya, ia berkata, ’Kamu tidak pernah mendengarkan saya!’ Saya merasa seolah-olah ia sedang menyalahkan saya atas segala rasa frustrasinya!”
”Sepanjang hari saya sial,” demikian penjelasan Nani. ”Saya tahu itu bukan salah Joko. Namun ketika ia pulang dengan ceria, saya merasa ia mengabaikan fakta bahwa saya sedang kesal. Mengapa ia tidak bertanya apa yang terjadi? Ketika saya memberi tahu dia masalahnya, ia pada dasarnya mengatakan bahwa saya ini bodoh, bahwa masalah saya cuma soal kecil. Sebaliknya daripada mengatakan bahwa ia memahami apa yang saya rasakan, Joko yang senang mengatasi problem orang memberi tahu saya cara menyelesaikan problem tersebut. Saya tidak ingin jalan keluar, saya menginginkan simpati!”
Meskipun kadang-kadang terdapat perselisihan, Joko dan Nani sangat mengasihi satu sama lain. Pemahaman apa yang akan membantu mereka menyatakan dengan jelas kasih demikian?
Melihat melalui Mata Orang Lain
Joko merasa bahwa ia turut campur bila menanyakan Nani apa yang sedang terjadi, jadi ia dengan wajar melakukan bagi istrinya hal yang ia ingin orang lain lakukan baginya. Ia menunggu istrinya berbicara dengan terus terang. Sekarang, Nani jengkel bukan hanya atas problemnya tetapi juga atas fakta bahwa Joko kelihatannya mengabaikan permohonannya akan dukungan dari sang suami. Ia tidak melihat sikap diam suaminya sebagai tanda respek yang lembut—ia melihatnya sebagai sikap masa bodoh. Sewaktu Nani akhirnya berbicara, Joko mendengarkan tanpa menyela. Namun ia merasa bahwa suaminya tidak benar-benar mendengarkan perasaannya. Lalu suaminya menawarkan, bukannya empati, melainkan jalan keluar. Baginya, kata-kata Joko terdengar seperti ini, ’Perasaanmu itu mengada-ada; terlalu dibesar-besarkan. Lihat, betapa mudahnya memecahkan masalah kecil ini?’
Betapa berbeda halnya jika masing-masing dapat melihat segala sesuatu dari sudut pandangan orang lain! Hasilnya mungkin akan seperti ini:
Joko pulang dan mendapati Nani sedang kesal. ”Ada apa, sayang?” sapanya dengan lembut. Air mata mulai berlinang, dan Nani mulai membicarakan problemnya dengan leluasa. Nani tidak berkata, ”Ini semua salah kamu!” atau menyiratkan bahwa Joko tidak berbuat banyak. Joko mendekap istrinya dan mendengarkan dengan sabar. Ketika istrinya selesai berbicara, ia berkata, ”Saya turut prihatin mendengar hal-hal buruk yang kaurasakan. Saya dapat mengerti mengapa kamu merasa kesal.” Nani menyahut, ”Terima kasih banyak, kamu mau mendengarkan saya. Saya merasa sangat lega karena kamu memahami perasaan saya.”
Sayang sekali, sebaliknya daripada mengatasi perbedaan-perbedaan mereka, banyak pasangan lebih suka mengakhiri perkawinan mereka dengan perceraian. Kurangnya komunikasi merupakan biang keladi yang merusak banyak rumah tangga. Pertengkaran meledak sehingga mengguncang dasar perkawinan itu sendiri. Bagaimana ini bisa terjadi? Artikel berikut ini memberi tahu bagaimana hal ini terjadi dan cara menghindarinya.
-
-
Anatomi Suatu PertengkaranSedarlah!—1994 | 8 Januari
-
-
Anatomi Suatu Pertengkaran
SANG istri perlu menyatakan perasaannya. Sang suami ingin memberikan jalan keluarnya. Jutaan pertengkaran dalam perkawinan dari waktu ke waktu mungkin memiliki corak yang berbeda, namun sering kali merupakan variasi atas beberapa tema dasar. Memahami sudut pandangan atau gaya berkomunikasi yang berbeda dari pasangan hidup Anda dapat membantu memadamkan kobaran api ini menjadi pijaran arang di perapian rumah tangga yang berbahagia.
”Jangan Mengatur Kehidupan Saya!”
Kisah klise tentang tipe istri yang suka mendominasi dan suka mengomel, mungkin berlaku bagi banyak suami yang mendapati dirinya terus dihujani dengan nasihat, permintaan, dan kritik. Alkitab mengakui perasaan demikian, dengan mengatakan, ”Pertengkaran seorang isteri adalah seperti tiris yang tidak henti-hentinya menitik.” (Amsal 19:13) Seorang istri bisa jadi mengajukan permintaan yang secara diam-diam ditolak suaminya dengan alasan yang tidak diketahui istri. Menyangka bahwa suaminya tidak mendengar, kali ini ia memberi tahu suaminya apa yang harus dilakukan. Suaminya menolak keras. Istri yang suka mengomel dan suami yang penurut? Atau semata-mata dua orang yang tidak berkomunikasi dengan jelas?
Menurut sudut pandangan seorang istri, pernyataan terbaik akan cintanya kepada suaminya adalah apabila ia memberikan saran yang bermanfaat. Dalam sudut pandangan suaminya, sang istri suka mengatur dengan demikian secara tidak langsung menyatakan bahwa sang suami tidak becus. Pernyataan ”Jangan lupa tas kantormu” bagi sang istri merupakan pernyataan bahwa ia peduli, memastikan bahwa suami membawa apa yang ia butuhkan. Hal itu mengingatkan sang suami akan ibunya yang berseru di depan pintu, ”Sudah bawa payung, belum?”
Seorang istri yang kelelahan mungkin bertanya dengan lembut, ”Apakah kamu mau makan di luar malam ini?” yang sebenarnya berarti, ”Maukah kamu mengajak saya makan malam di luar? Saya terlalu lelah untuk memasak.” Namun suaminya yang setia ini mungkin menggunakan kesempatan itu untuk memuji masakan istrinya dan menyatakan bahwa ia lebih menyukai masakan istrinya dibanding masakan orang lain. Atau sang suami mungkin merasa, ’Istriku sedang mencoba mengaturku!’ Sementara itu, sang istri mungkin dengan sedih berkata kepada diri sendiri, ’Percuma saja saya bertanya.’
”Kamu Tidak Mencintai Saya!”
”Bagaimana ia bisa berpikir seperti itu?” seru seorang suami yang bingung dan frustrasi. ”Saya bekerja, membayar rekening-rekening, bahkan sekali-sekali membawa bunga untuknya!”
Meskipun semua orang butuh untuk merasa dikasihi, seorang wanita memiliki kebutuhan khusus untuk diyakinkan akan hal ini berulang kali. Ia mungkin tidak mengatakannya dengan terus terang, namun di lubuk hatinya ia mungkin merasa seperti beban yang tidak diinginkan, terutama jika siklus bulanannya membuat dia untuk sementara merasa depresi. Pada saat-saat demikian, suaminya mungkin menarik diri, berpikir bahwa istrinya ingin sedikit waktu untuk menyendiri. Sang istri mungkin menafsirkan kurangnya keakraban suami sebagai penegasan rasa kekhawatirannya yang terburuk—suaminya tidak mencintainya lagi. Ia mungkin berbicara ketus kepada suaminya, berupaya memaksa suaminya untuk mengasihi dan mendukungnya.
”Ada Apa, Sayang?”
Tanggapan seorang pria terhadap masalah yang menekan mungkin adalah mencari tempat yang tenang untuk mempertimbangkannya. Seorang wanita mungkin secara intuisi merasakan adanya tekanan dan secara naluri bereaksi dengan berupaya mengajak suaminya membahas persoalan yang dihadapinya. Namun, seberapa baik pun upaya-upaya tersebut, seorang suami mungkin merasa hal itu mencampuri urusannya dan merendahkan. Seraya menarik diri untuk mempertimbangkan masalahnya, sang suami menoleh dan melihat istrinya yang setia sedang membuntutinya dengan ketat. Ia terus-menerus mendengar suara yang penuh kasih, ”Sayang, ada apa? Ada masalah? Mari kita bicarakan itu.”
Kalau tidak ada jawaban, seorang istri mungkin akan merasa tersinggung. Jika ia mengalami problem, ia ingin membicarakannya dengan suaminya. Namun pria yang dikasihinya tidak mau membagi perasaannya. ”Ia pasti tidak mencintaiku lagi” mungkin merupakan kesimpulannya. Maka, ketika sang suami yang sama sekali tidak merasa curiga itu akhirnya muncul dari dunianya sendiri, puas dengan jalan keluar yang telah ditemukannya, ia juga mendapati, bukan teman hidup yang setia dan pengasih yang telah ditinggalkannya sesaat, melainkan istri yang jengkel yang siap menantang suaminya karena merasa telah diabaikan.
”Kamu Tidak Pernah Mendengarkan Saya!”
Tuduhan ini tampak menggelikan. Kelihatannya bagi sang suami, justru yang selalu harus ia lakukan adalah mendengarkan. Namun seraya istrinya berbicara, sang istri mendapat perasaan ganjil bahwa kata-katanya diseleksi dan dianalisis oleh suatu komputer yang sedang menyelesaikan masalah matematika. Kecurigaannya terbukti manakala, tepat di tengah-tengah sebuah kalimat, suaminya berkata, ”Nah, sebaiknya kamu melakukan . . . ?”
Ketika seorang istri datang kepada suaminya dengan problem, sangat sering sang istri tidak menyalahkan sang suami maupun meminta jalan keluar dari suaminya. Yang sangat diinginkannya adalah telinga yang simpatik yang rela mendengar, bukan sekadar fakta belaka, melainkan perasaannya sehubungan masalah tersebut. Kemudian ia menginginkan, bukannya saran, melainkan dukungan atas perasaannya. Itulah sebabnya, banyak suami yang bermaksud baik telah menyulut pertengkaran sewaktu satu-satunya yang ia ucapkan adalah, ”Sayang, jangan berperasaan seperti itu. Masalahmu tidaklah seburuk itu.”
Sering kali, orang-orang berharap teman hidup mereka sanggup membaca pikiran mereka. ”Kami sudah menikah selama 25 tahun,” kata seorang pria. ”Jika sekarang ia masih tidak tahu apa yang saya inginkan, ia pasti tidak peduli atau tidak memperhatikan saya.” Seorang penulis menyatakan dalam bukunya tentang hubungan perkawinan, ”Apabila teman hidup tidak saling memberi tahu apa yang mereka inginkan dan terus-menerus mengkritik satu sama lain karena tidak melakukan sesuatu, tidak heran bahwa semangat kasih dan kerja sama menghilang. Sebagai gantinya, muncullah . . . semangat bersaing, yang di dalamnya masing-masing teman hidup berupaya memaksa satu sama lain untuk memenuhi kebutuhannya.”
”Kamu Sangat Tidak Bertanggung Jawab!”
Seorang istri mungkin tidak mengatakannya secara langsung kepada suaminya, namun ia dapat menyiratkan itu sama jelasnya melalui nada suaranya. ”Mengapa kamu pulang terlambat?” dapat kelihatan sebagai ungkapan minta penjelasan. Akan tetapi, kemungkinan besar tatapannya yang menyelidik dan tangannya yang bertolak pinggang seolah-olah berbunyi, ”Kamu seperti anak kecil yang tidak bertanggung jawab, kamu membuat saya khawatir. Mengapa kamu tidak menelepon? Kamu benar-benar tidak punya tenggang rasa! Sekarang rusaklah acara makan malam kita!”
Tentu saja, sang istri benar sehubungan makan malam. Tetapi bila pertengkaran memuncak, apakah hubungan mereka juga terancam rusak? ”Kebanyakan pertengkaran terjadi bukan karena dua orang tidak akur, tetapi karena sang pria merasa bahwa sang wanita tidak setuju akan sudut pandangannya atau karena sang wanita tidak setuju akan cara sang pria berbicara kepadanya,” demikian pernyataan Dr. John Gray.
Beberapa orang berpendapat bahwa di rumah kita seharusnya bebas mengungkapkan perasaan tanpa hambatan. Tetapi, seorang komunikator yang baik mencari kata-kata yang tepat dan mengupayakan perdamaian, mempertimbangkan perasaan pendengarnya. Kita mungkin secara kasar dapat membandingkan pembicaraan semacam itu dengan menyajikan segelas air es kepada teman hidup Anda, sebaliknya daripada menyiramkan air es ke wajahnya. Kita dapat mengatakan bahwa perbedaannya terletak pada cara penyampaiannya.
Menerapkan kata-kata Kolose 3:12-14 akan meredam pertengkaran dan menuntun kepada rumah tangga yang bahagia, ”Kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan [”Yehuwa”, NW] telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan.”
-