-
Mengampuni dan Melupakan—Mungkinkah Itu?Sedarlah!—1998 | 8 Agustus
-
-
Mengampuni dan Melupakan—Mungkinkah Itu?
LEBIH dari setengah abad telah berlalu sejak berakhirnya Perang Dunia II, tahun 1945. Sejauh ini, perang seluas dunia itu merupakan perang yang paling biadab dan paling mahal dalam seluruh sejarah manusia.
Perang Dunia II berlangsung selama enam tahun dan menelan korban sekitar 50 juta jiwa, termasuk warga sipil. Tak terhitung banyaknya korban lainnya yang menderita cacat fisik, mental dan emosi. Bagi banyak orang yang mengalami perang penuh petaka itu, kenangan yang menyakitkan akan kekejaman yang dilakukan serta tewasnya orang-orang yang dikasihi masih belum tersembuhkan.
Belum lagi kenangan terhadap kekejaman yang dilakukan oleh Nazi dalam Holocaust, sewaktu jutaan korban tak bersalah dibantai. Di Eropa maupun Asia, banyak kekejaman dilakukan oleh pasukan yang melakukan penyerbuan, yang membunuh, memperkosa, menjarah, dan meneror warga sipil. Selain itu, banyak orang menjadi korban serangan udara yang menimbulkan kehancuran, cedera, serta kematian atas begitu banyak pria, wanita, dan anak yang tak bersalah. Pengalaman pahit juga dirasakan jutaan orang yang ikut bertempur di medan laga di berbagai belahan bumi.
Luka Mental dan Emosi
Banyak luka mental dan emosi yang dialami akibat kejadian-kejadian mengerikan yang berlangsung selama Perang Dunia II, tidak mudah hilang dari benak begitu banyak orang yang hidup pada zaman itu dan yang masih hidup hingga sekarang. Mereka sangat ingin menghapus semua kenangan yang mengerikan dan pahit ini. Namun, mereka tidak sanggup melakukannya. Bagi beberapa orang, bayangan-bayangan mengerikan semacam itu kembali menyiksa mereka seperti mimpi buruk yang tak pernah usai.
Akan tetapi, yang lain-lain tidak ingin melupakan, entah karena ingin balas dendam atau karena ingin tetap mengenang orang-orang yang terbunuh. Selain itu, ada pandangan yang meluas bahwa kekejaman di masa lampau harus dibiarkan hidup dalam kenangan keluarga manusia dengan harapan agar kekejaman demikian tidak akan pernah terulang.
Beberapa tahun yang lalu, tahun 1994-95, suasana yang menyelimuti peringatan 50 tahun D day (mendaratnya Sekutu di Normandia pada bulan Juni 1944) dan peringatan akhir fase perang dunia kedua di Eropa (pada bulan Mei 1945) menunjukkan bahwa bagi banyak saksi mata dari peristiwa-peristiwa itu, mengampuni dan melupakan sangatlah sulit. Kemungkinan bagi negara-negara bekas musuh untuk rukun kembali sering kali tertutup. Alasan itu jugalah yang menyebabkan para veteran Inggris menolak untuk mengundang perwakilan Jerman pada peringatan mendaratnya Sekutu di Normandia.
Sehubungan dengan kekejaman yang dilakukan Nazi pada Perang Dunia II dan sulitnya mengampuni serta melupakan, penulis Vladimir Jankélévitch menyatakan pendapatnya begini, ”Berkenaan kejahatan yang luar biasa demikian, reaksi wajar yang timbul . . . adalah naik darah, berupaya mati-matian agar peristiwa itu tidak terlupakan, serta memburu para pelaku kejahatan—sebagaimana dijanjikan oleh para hakim sekutu di Pengadilan Nuremberg—sampai ke ujung-ujung bumi.” Penulis yang sama melanjutkan, ”Dengan senang hati kami mengatakan, dengan membalikkan kata-kata dalam doa yang Yesus tujukan kepada Allah dalam Injil menurut Santo Lukas, Tuhan, janganlah ampuni mereka, karena mereka tahu apa yang mereka lakukan.”—Bandingkan Lukas 23:34.
Amat disesali, sejak tahun 1945 hingga sekarang, tak terhitung banyaknya kekejaman—di Kamboja, Rwanda, Bosnia, dan di tempat-tempat lain—terus menodai bumi ini dengan darah. Kekejaman ini telah menyebabkan tewasnya jutaan orang, banyak sekali yang menjadi janda dan yatim piatu, kehidupan yang porak-poranda, dan kenangan mengerikan sebagai akibatnya.
Tak diragukan, abad ke-20 ini adalah zaman penuh kekejaman yang belum pernah terjadi sebelumnya. Keadaan ini tepat seperti nubuat Alkitab yang dengan saksama memberi tahu lama berselang mengenai era ini—manusia menjadi ”garang” dan ”tanpa kasih akan kebaikan”.—2 Timotius 3:1-5; Penyingkapan (Wahyu) 6:4-8.
Apa yang Harus Kita Lakukan?
Bila dihadapkan pada kekejaman semacam itu, reaksi tiap-tiap orang tidak sama. Namun, bagaimana dengan kita? Haruskah kekejaman itu terus diingat-ingat? Atau, haruskah dilupakan? Apakah mengingat-ingat berarti memendam rasa benci yang berurat-berakar terhadap bekas musuh, menolak untuk mengampuni? Sebaliknya, apakah mengampuni berarti bahwa seseorang dapat melupakan dalam pengertian menghapus sama sekali kenangan buruk?
Apa pandangan Allah Yehuwa, Pencipta umat manusia, terhadap kejahatan yang dilakukan di zaman kita dan di masa lalu? Apakah Ia akan mengampuni para pelakunya? Apakah tidak terlalu terlambat bagi Allah untuk mengganti kerugian para korban yang dibunuh dengan kejam? Adakah harapan yang kuat bahwa kekejaman akan berakhir, karena itu sudah berlangsung selama ribuan tahun? Tepatnya, bagaimana Allah Yang Mahakuasa akhirnya menyelesaikan perkara yang pelik ini?
[Gambar di hlm. 4]
Anak-anak korban pembantaian berkumpul di kamp pengungsi
[Keterangan]
UN PHOTO 186797/J. Isaac
[Keterangan Gambar di hlm. 3]
U.S. Navy photo
-
-
Haruskah Kita Mengingat-ingat Masa Lalu?Sedarlah!—1998 | 8 Agustus
-
-
Haruskah Kita Mengingat-ingat Masa Lalu?
”DAPATKAH orang-orang Yahudi melupakan Holocaust?” Pertanyaan ini diajukan oleh Virgil Elizondo, presiden Pusat Kebudayaan Meksiko Amerika di San Antonio, Texas. Hal itu mengingatkan kita bahwa kekejaman pada abad ini dapat memberikan pengaruh yang tak mudah terlupakan dalam benak banyak orang. Genosida atas orang-orang Armenia (1915-23) dan pembunuhan massal atas orang-orang Kamboja (1975-79) pasti juga termasuk di antara kekejaman abad ke-20. Meskipun demikian, masih banyak lagi kekejaman lain.
Dalam upaya mendukung pemulihan hubungan antara para korban dengan penyiksa mereka, para pemimpin agama dan politik telah beberapa kali mengimbau orang-orang untuk melupakan kekejaman yang diderita. Misalnya, ini terjadi di Athena, Yunani, pada tahun 403 SM. Kota itu baru saja menjadi saksi berakhirnya kediktatoran yang menindas dari Tiga Puluh Tiran, pemerintahan oligarki yang pernah menyingkirkan hampir semua musuhnya—bahkan secara fisik. Pemerintah yang baru ingin membina kembali keharmonisan masyarakat dengan mengeluarkan sebuah amnesti (dari kata Yunani yang artinya ”terlupakan” atau ”melupakan”) bagi para pendukung tirani terdahulu.
Melupakan dengan Dekret?
Melalui dekret, relatif mudah untuk berupaya menghapus kenangan terhadap kekejaman yang dilakukan terhadap orang-orang yang tidak bersalah. Para penguasa dapat memutuskan untuk melakukan hal ini demi keuntungan politik, sebagaimana yang terjadi di Yunani purba dan di berbagai negara Eropa pada akhir Perang Dunia II. Misalnya, di Italia, pada tahun 1946, sebuah dekret menyatakan amnesti atas lebih dari 200.000 warga negara ”yang bersalah karena berpartisipasi, dengan cara-cara apa pun yang terkait, dalam perbuatan salah rezim Fasis”, kata surat kabar La Repubblica.
Akan tetapi, meskipun keputusan pemerintah atau lembaga masyarakat itu penting, perasaan anggota masyarakat secara pribadi tidak dapat diabaikan. Mustahil menggunakan dekret guna memaksa warga negara secara pribadi—barangkali korban yang tak berdaya dari konflik yang brutal, pembantaian, atau kekejaman lain—untuk melupakan penderitaan masa lalu.
Lebih dari seratus juta orang tewas dalam peperangan abad ini saja, banyak di antaranya akibat penderitaan yang tak terkatakan. Jika ditambah lagi dengan orang-orang yang terbunuh dalam pembantaian pada masa damai, maka kekejaman sudah tak terbilang lagi. Banyak orang yang berupaya keras untuk memastikan bahwa tak satu pun dari kekejaman ini terlupakan.
Orang-Orang yang Bersedia Menghapuskan Kenangan Itu
Orang-orang yang mendesak korban kekejaman atau anak cucu mereka mengampuni dan melupakan sering kali menyatakan bahwa mengingat-ingat masa lalu hanya akan menjadi sumber perpecahan, terutama jika itu terjadi puluhan tahun lalu. Mereka mengatakan bahwa dengan melupakan, kita dapat bersatu, sedangkan mengingat-ingat tidak dapat mengembalikan lembaran sejarah, tidak soal setragis apa pun penderitaan itu.
Namun, sebagai upaya untuk membuat orang-orang lupa, beberapa telah sampai pada taraf menolak fakta kejahatan paling kejam yang dilakukan terhadap manusia. Didukung oleh para sejarawan yang menyebut dirinya penganut paham revisionisme (menghendaki perbaikan), beberapa orang berpendapat, misalnya, bahwa tidak pernah ada Holocaust.a Mereka bahkan mengadakan tur ke bekas kamp-kamp pembasmian, seperti Auschwitz atau Treblinka, dan memberi tahu para wisatawan bahwa di tempat-tempat itu tidak pernah ada kamar gas—meskipun ada sejumlah saksi mata dan setumpuk bukti serta dokumentasi.
Bagaimana gagasan para revisionis palsu demikian berhasil diterima di kalangan tertentu? Karena beberapa orang memilih untuk melupakan tanggung jawab mereka sendiri dan tanggung jawab bangsa mereka. Mengapa? Karena nasionalisme, ideologi mereka sendiri, atau sikap anti-Semit atau perasaan lain semacam itu. Begitu kekejaman dilupakan, demikian menurut para revisionis, lenyaplah sudah tanggung jawab. Namun, banyak orang menentang keras para revisionis yang tak bertanggung jawab ini, yang disebut oleh seorang sejarawan Prancis ”para pembunuh kenangan”.
Mereka Tidak Melupakan
Jelas sangat sulit bagi orang-orang yang selamat untuk melupakan orang-orang yang dikasihi yang tewas karena perang atau akibat kekejaman. Akan tetapi, kebanyakan dari mereka yang ingin mengingat pembantaian dan genosida melakukan hal itu karena mereka berharap bahwa pelajaran yang ditarik dari penderitaan mereka sendiri dan penderitaan orang-orang yang mereka kasihi berguna untuk menghindari terulangnya kekejaman demikian.
Maka, pemerintah Jerman memutuskan untuk mengadakan peringatan tersingkapnya kekejaman yang dilakukan oleh Nazi di kamp konsentrasi Auschwitz. Tujuan peringatan itu, menurut presiden Jerman, adalah bahwa ”mengingat berfungsi sebagai sebuah peringatan bagi generasi yang akan datang”.
Dengan cara yang serupa, pada acara 50 tahun peringatan berakhirnya Perang Dunia II, sri paus Yohanes Paulus II menyatakan, ”Seraya tahun-tahun berlalu, kenangan akan Perang itu tidak boleh padam; sebaliknya, itu harus menjadi pelajaran keras bagi generasi kita dan generasi yang akan datang.” Meskipun demikian, harus diakui bahwa Gereja Katolik tidak selalu konsisten dalam hal mengingat kejahatan dan korban tahun-tahun itu.
Agar generasi baru juga dapat menarik pelajaran dan peringatan dari genosida abad ini dan abad-abad yang lain, banyak sekali museum—seperti Holocaust Memorial Museum di Washington, D.C., dan Beit Hashoah Museum of Tolerance di Los Angeles—telah didirikan. Untuk alasan yang sama, film dokumenter dan film-film lain tentang subjek ini telah diproduksi. Semua ini adalah upaya untuk mencegah agar manusia tidak melupakan penderitaan manusia di tangan manusia lain.
Mengapa Mengingat-ingat?
”Orang-orang yang tidak dapat mengingat masa lalu dengan mudah mengulanginya,” tulis filsuf Amerika kelahiran Spanyol, George Santayana. Sungguh menyedihkan, tampaknya selama ribuan tahun, manusia begitu cepat melupakan masa lalunya sendiri, dengan demikian membuka peluang untuk melakukan kesalahan buruk yang sama berulang-kali.
Rentetan pembunuhan massal yang panjang dan kejam yang dilakukan manusia memperlihatkan dengan jelas bahwa dominasi manusia atas manusia lain merupakan kegagalan total. Mengapa demikian? Karena manusia senantiasa mengulangi kesalahan dasar yang sama—mereka telah menolak Allah dan hukum-hukum-Nya. (Kejadian 3:1-6; Pengkhotbah 8:9) Dan dewasa ini, sebagaimana dinubuatkan oleh Alkitab ”generasi yang bengkok” sedang melakukan hal yang sama dan menuai konsekuensinya.—Filipi 2:15; Mazmur 92:8; 2 Timotius 3:1-5, 13.
Karena kita telah melibatkan Yehuwa, Sang Pencipta, dalam pembahasan kita, apa pandangan-Nya? Apa yang Ia lupakan, dan apa yang Ia ingat? Dapatkah warisan yang menyakitkan berupa kekejaman yang dilakukan manusia diatasi? Akankah ’kejahatan orang fasik berakhir’?—Mazmur 7:9.
[Catatan Kaki]
a Untuk keterangan tentang kepalsuan argumen para sejarawan revisionisme, silakan lihat artikel ”The Holocaust—Yes, It Really Happened!”, dalam Awake! terbitan 8 April 1989, halaman 4-8.
[Blurb/Gambar di hlm. 7]
”Orang-orang yang tidak dapat mengingat masa lalu dengan mudah mengulanginya.”—George Santayana
Krematorium dan oven di kamp konsentrasi Auschwitz
[Keterangan]
Oświęcim Museum
-
-
Kekejaman—Solusi Apa yang Allah Sediakan?Sedarlah!—1998 | 8 Agustus
-
-
Kekejaman—Solusi Apa yang Allah Sediakan?
BAGAIMANA kekejaman dapat dicegah? Apa solusinya? Apabila kita meneliti sejarah, semakin nyata bahwa solusi manusia telah gagal. Bahkan, terdapat unsur yang sangat bertolak belakang, bahkan kemunafikan terang-terangan, sehubungan dengan pendekatan para pemimpin manusia terhadap soal ini.
Misalnya, perhatikan tahun 1995. Tahun itu merupakan peringatan 50 tahun berakhirnya Holocaust Nazi, Perang Dunia II, dan meledaknya bom atom. Pada tahun itu, upacara-upacara peringatan yang dihadiri oleh para pemimpin dunia diadakan di berbagai belahan dunia. Tujuannya? Untuk menyampaikan kesan antipati terhadap kekejaman ini, agar semua ini tidak akan terulang lagi. Namun, beberapa pengamat memperhatikan adanya suatu kontradiksi yang tidak sehat, dalam upacara-upacara semacam itu.
Kemunafikan
Dalam upacara-upacara yang mendapat publisitas secara luas ini, semua perwakilan agama dan pemerintah ingin dianggap sebagai benefaktor (pemberi manfaat) atau setidaknya menghindari tuduhan sebagai pelaku kejahatan. Namun, bangsa-bangsa yang mengutuk kekejaman masa lalu telah menimbun banyak senjata, menganggarkan sejumlah besar dana untuk tujuan itu. Pada waktu yang sama, mereka tidak memecahkan problem-problem utama seperti kemiskinan, kemerosotan moral, dan polusi, sering kali dengan alasan tidak cukup dana.
Agama dunia berupaya mengarang sejarah yang mengkamuflase kebungkamannya selama ini terhadap kekejaman dari kediktatoran dan merahasiakan keterlibatan mereka. Agama-agama ini tidak berbuat apa-apa untuk menghentikan perbuatan para penganutnya yang membantai satu sama lain. Sebagai contoh, dalam Perang Dunia II, orang Katolik membunuh orang Katolik dan orang Protestan membunuh orang Protestan karena mereka berada di pihak yang berlawanan dan dari negara-negara yang bertikai. Kedua belah pihak mengaku Kristen, namun mempraktekkan apa yang sama sekali bertentangan dengan ajaran Yesus. (Matius 26:52; Yohanes 13:34, 35; 1 Yohanes 3:10-12; 4:20, 21) Agama-agama lain telah melakukan hal yang sama. Dewasa ini di berbagai belahan dunia, kekejaman masih dilakukan oleh anggota agama-agama ini.
Pada zaman Yesus, para pemimpin agama bersikap munafik. Yesus mencela mereka, dengan berkata, ”Celaka bagimu, penulis-penulis dan orang-orang Farisi, orang-orang munafik! karena kamu membangun kuburan nabi-nabi dan menghiasi makam peringatan orang-orang yang adil-benar, dan kamu mengatakan, ’Jika kami berada pada hari-hari bapak-bapak leluhur kami, kami tidak akan ambil bagian bersama mereka dalam darah nabi-nabi.’ Karena itu kamu memberi kesaksian menentang dirimu sendiri bahwa kamu adalah putra-putra dari mereka yang membunuh nabi-nabi.” (Matius 23:29-31) Demikianlah para pemimpin agama yang mengaku saleh namun munafik, yang menganiaya Yesus dan murid-muridnya.
Pelajaran yang Diberikan Alkitab
Meskipun banyak pelajaran dapat ditarik dari sejarah duniawi, namun Alkitab-lah sumber dari pelajaran yang paling bermanfaat. Alkitab tidak memuat tafsiran sejarah berdasarkan penilaian atau prasangka manusia. Alkitab menjelaskan sejarah dan masa depan menurut cara berpikir Allah.—Yesaya 55:8, 9.
Alkitab berbicara tentang peristiwa yang baik dan jahat, juga orang-orang yang baik dan jahat. Sering kali, pelajaran yang benar, yang selaras dengan kehendak Allah, dapat ditarik dari kisah-kisah ini. Setelah menyebutkan sejumlah peristiwa dalam sejarah Israel, Rasul Paulus menyimpulkan, ”Hal-hal ini terus menimpa mereka sebagai contoh, dan ini ditulis untuk menjadi peringatan bagi kita yang ke atasnya akhir sistem-sistem perkara ini telah tiba.” (1 Korintus 10:11) Yesus sendiri menarik pelajaran dari sejarah sewaktu ia mengatakan kepada murid-muridnya, ”Ingat istri Lot.”—Lukas 17:32.
Apa yang Allah Ingat dan Apa yang Allah Lupakan
Dari Alkitab, kita mengetahui bahwa Allah mengingat atau melupakan perbuatan seseorang berdasarkan tindakannya. Orang yang berdosa namun memperlihatkan pertobatan, Allah ampuni ’dengan limpah’. (Yesaya 55:7) Jika seorang fasik ”bertobat dari dosanya serta melakukan keadilan dan kebenaran, . . . semua dosa yang diperbuatnya tidak akan diingat-ingat lagi”.—Yehezkiel 33:14-16.
Paulus menulis bahwa ”Allah bukannya tidak adil-benar sehingga melupakan pekerjaanmu dan kasih yang telah kamu perlihatkan bagi namanya”. (Ibrani 6:10) Jadi, Yehuwa akan memberikan upah bagi mereka yang Ia ingat dalam perkenan-Nya. Ayub yang setia berdoa, ”Oh, sekiranya di Syeol [kuburan umum seluruh umat manusia] kausembunyikan aku, . . . Sekiranya engkau menetapkan suatu batas waktu bagiku dan mengingat aku!”—Ayub 14:13, NW.
Sebaliknya, Allah akan berurusan dengan pelaku kejahatan yang tidak bertobat selaras dengan kata-kata yang Ia ucapkan kepada Musa, ”Nama orang itulah yang akan Kuhapuskan dari dalam kitab-Ku.” (Keluaran 32:33) Ya, Allah akan melupakan orang-orang fasik selama-lamanya.
Hakim Terakhir
Allah adalah Hakim terakhir dalam sejarah. (Kejadian 18:25; Yesaya 14:24, 27; 46:9-11; 55:11) Menurut penghakiman-Nya yang lebih unggul, Ia tidak melupakan begitu banyak kekejaman yang dilakukan terhadap umat manusia. Pada hari murka-Nya yang adil-benar, Ia akan menghakimi semua orang dan lembaga yang bertanggung jawab atas semua kekejaman.—Penyingkapan, pasal 18, 19.
Di antaranya adalah segenap sistem agama palsu, yang diberi nama lambang dalam Alkitab, ”Babilon Besar”. Tentang dia tertulis, ”Dosa-dosanya telah bertimbun-timbun sampai naik ke langit, dan Allah telah mengingat tindakan-tindakan ketidakadilannya.”—Penyingkapan 18:2, 5.
Agama-agama ini seharusnya mengajarkan kepada para pengikutnya untuk melakukan hal-hal yang benar, namun gagal. Maka, Firman Allah berkata tentang semua agama dunia, ”Di dalamnya ditemukan darah nabi-nabi dan orang-orang kudus dan mereka semua yang telah dibantai di bumi.” (Penyingkapan 18:24) Karena lalai mengajarkan kepada anggota mereka untuk mengasihi sesama manusia dan sesama penganut agama, agama-agama ini dianggap berutang darah.
Dunia Baru Sudah Dekat!
Saat manakala kejahatan akan dilenyapkan sudah semakin dekat. (Zefanya 2:1-3; Matius 24:3, 7-14) Setelah hari itu, masanya akan tiba ketika penduduk bumi yang berbahagia ’tidak akan lagi mengalami perkabungan atau jeritan atau rasa sakit’. (Penyingkapan 21:3-5) Kekejaman dan pembantaian tidak akan pernah terjadi lagi karena pemerintahan atas bumi ini akan diambil dari manusia dan akan diberikan kepada Kerajaan surgawi Allah di tangan ”Raja Damai”, Yesus Kristus.—Yesaya 9:5, 6; Daniel 2:44; Matius 6:9, 10.
Pada waktu itu nubuat di Mazmur 46:9 akan tergenap sepenuhnya, ”[Allah] menghentikan peperangan sampai ke ujung bumi.” Perdamaian itu akan ada selama-lamanya karena, sebagaimana dinubuatkan Yesaya 2:4, ”bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang”. Maka, Mazmur 37:11 menubuatkan, ”Orang-orang yang rendah hati akan mewarisi negeri dan bergembira karena kesejahteraan yang berlimpah-limpah.” Ya, kemudian dapat dikatakan bahwa ”segenap bumi sudah aman dan tenteram; orang bergembira dengan sorak-sorai”.—Yesaya 14:7.
Semua ini berarti bahwa dunia baru yang adil-benar sudah dekat. Dalam dunia baru, di bawah pemerintahan Kerajaan Allah, peristiwa luar biasa lain akan terjadi—kebangkitan orang-orang mati! Firman Allah menjamin, ”Akan ada kebangkitan untuk orang-orang yang adil-benar maupun yang tidak adil-benar.”—Kisah 24:15.
Sewaktu berada di bumi, Yesus mendemonstrasikan hal itu dengan membangkitkan orang-orang dari kematian. Misalnya, sewaktu ia membangkitkan seorang anak gadis, catatan ini mengisahkan, ”Segera gadis tersebut bangun dan mulai berjalan . . . Dan saat itu juga [orang-orang yang mengamati] sangat takjub dengan emosi yang meluap.” (Markus 5:42) Pada waktu kebangkitan, orang-orang yang terbunuh karena kekejaman juga orang-orang yang telah lama mati akan dibangkitkan dan akan diberi kesempatan untuk hidup selama-lamanya di bumi firdaus. (Lukas 23:43) Dan, pada waktunya, ”hal-hal yang dahulu tidak akan diingat lagi, dan tidak akan timbul lagi dalam hati”.—Yesaya 65:17.
Anda bertindak bijaksana apabila Anda berupaya memperoleh pengetahuan yang saksama tentang Firman Allah, Alkitab, dan melakukan kehendak-Nya. Dengan demikian, Allah akan mengingat dan memperkenan Anda sewaktu Ia menuntaskan untuk selama-lamanya problem kekejaman dan menghidupkan kembali para korban. Yesus berkata, ”Ini berarti kehidupan abadi, bahwa mereka terus memperoleh pengetahuan mengenai dirimu, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenai pribadi yang engkau utus, Yesus Kristus.”—Yohanes 17:3.
[Gambar di hlm. 8, 9]
Allah akan mengubah bumi ini menjadi firdaus yang penuh damai
[Gambar di hlm. 10]
Allah akan menyingkirkan efek kekejaman masa lalu dengan membangkitkan orang-orang mati
-