-
Apakah Dunia Kehabisan Air?Sedarlah!—2001 | 22 Juni
-
-
Apakah Dunia Kehabisan Air?
”Akses untuk mendapatkan sumber air tawar yang aman, bersih, dan cukup merupakan tuntutan fundamental agar semua manusia dapat terus hidup, sejahtera, serta berkembang secara sosial dan ekonomi. Namun, kita selalu bertindak seolah-olah air tawar akan berlimpah selamanya. Padahal tidak.”—KOFI ANNAN, SEKRETARIS JENDERAL PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA.
SUDAH selama ribuan tahun setiap Kamis siang, sebuah persidangan unik diadakan di kota Valencia, Spanyol. Tujuannya adalah menyelesaikan perselisihan seputar air.
Para petani di dataran subur Valencia bergantung pada irigasi, dan irigasi membutuhkan banyak air—yang selalu kurang di daerah ini. Para petani dapat mengajukan gugatan ke persidangan air kapan pun mereka merasa tidak mendapat bagian secara adil. Perselisihan seputar air bukanlah hal baru, tetapi hal ini jarang diselesaikan dengan cara yang sedemikian adilnya seperti di Valencia ini.
Hampir 4.000 tahun yang lalu, sebuah perselisihan sengit terjadi di antara para gembala yang memperebutkan sebuah sumur dekat Beer-syeba di Israel. (Kejadian 21:25) Dan sejak saat itu, masalah air di Timur Tengah telah menjadi semakin buruk. Sedikitnya dua orang pemimpin terkemuka di daerah itu mengatakan bahwa air merupakan satu-satunya persoalan yang dapat membuat mereka menyatakan perang dengan negara tetangga.
Di negeri-negeri semikering di dunia ini, air selalu memicu ketegangan. Alasannya sederhana: Air sangat penting untuk kehidupan. Sebagaimana dikatakan Kofi Annan, ”air tawar sangat berharga: kita tidak dapat hidup tanpanya. Air tak tergantikan: tidak ada bahan lain yang dapat menggantikannya. Dan, air sifatnya sensitif: aktivitas manusia berpengaruh besar terhadap kuantitas dan kualitas persediaan air tawar”.
Terlebih parah lagi dewasa ini, baik kuantitas maupun kualitas air tawar di planet ini sedang terancam. Kita hendaknya tidak terbuai dengan cadangan air yang kelihatannya limpah di beberapa bagian dunia yang beruntung.
Reservoir yang Semakin Surut
”Salah satu kontradiksi terbesar dalam sifat manusia adalah bahwa kita menghargai sesuatu kalau sesuatu itu sudah tinggal sedikit,” kata Wakil Sekretaris Jenderal PBB Elizabeth Dowdeswell. ”Kita hanya menghargai air kalau sumur sudah mulai kering. Dan, sumur mengering tidak saja di daerah-daerah yang sering kekeringan tetapi juga di tempat-tempat yang tidak biasanya kekurangan air.”
Orang-orang yang menghadapi kekurangan air setiap hari benar-benar tahu bagaimana rasanya hal itu. Setiap hari, Asokan, seorang pekerja kantoran di Madras, India, harus bangun dua jam sebelum matahari terbit. Dengan menenteng lima ember, ia pergi ke keran air umum, yang jaraknya lima menit berjalan kaki dari rumahnya. Karena air hanya tersedia antara pukul empat sampai enam pagi, ia harus antre. Air yang ia bawa ke rumah dalam ember-embernya itu akan digunakan sehari penuh. Banyak orang India lainnya—dan satu miliar orang lain di planet ini—tidak seberuntung itu. Mereka tidak punya keran, sungai, atau sumur di dekat rumah.
Abdullah, seorang anak lelaki yang tinggal di daerah Sahel, Afrika, adalah salah satu di antaranya. Tanda di jalan yang memampangkan nama desanya menyebutkan bahwa desanya adalah sebuah oasis; tetapi air di sana sudah lama lenyap, dan pohon-pohon pun sudah jarang terlihat. Abdullah bertugas mengambil air untuk keluarganya dari sebuah sumur yang jauhnya satu kilometer lebih.
Di beberapa bagian dunia, permintaan akan air tawar bersih sudah mulai melebihi persediaan yang ada. Alasannya sederhana: Banyak orang tinggal di daerah kering dan semikering, tempat air jarang ada sejak lama. (Lihat peta di halaman 3.) Menurut Lembaga Lingkungan Hidup Stockholm, sepertiga populasi dunia tinggal di daerah-daerah kekurangan air pada level sedang hingga parah. Dan, permintaan akan air telah meningkat hingga lebih dari dua kali peningkatan jumlah penduduk.
Di pihak lain, persediaan air pada dasarnya tidak dapat berubah. Sumur-sumur yang lebih dalam dan reservoir-reservoir baru mungkin bisa memberikan kelegaan sementara, tetapi jumlah curah hujan dan jumlah air bawah tanah akan tetap sama. Oleh karena itu, para meteorolog mengkalkulasi bahwa dalam waktu 25 tahun, kuantitas air yang tersedia bagi setiap orang di bumi akan berkurang hingga 50 persen.
Efek terhadap Kesehatan dan Makanan
Apa pengaruh kekurangan air terhadap manusia? Pertama-tama, kesehatan akan terganggu. Bukan berarti bahwa mereka akan mati kehausan, melainkan bahwa kualitas air yang buruk yang digunakan untuk memasak dan minum akan membuat mereka sakit. Elizabeth Dowdeswell menunjukkan bahwa ”sekitar 80 persen dari semua penyakit dan lebih dari sepertiga dari semua kematian di negara-negara berkembang disebabkan oleh air yang terkontaminasi”. Di negara-negara berkembang yang semikering, persediaan air sering tercemar limbah manusia atau binatang, pestisida, pupuk, atau bahan kimia pabrik. Keluarga miskin mungkin tidak punya pilihan selain mengkonsumsi air yang tercemar itu.
Sebagaimana tubuh kita membutuhkan air untuk membuang kotoran, air yang limpah juga dibutuhkan untuk sanitasi yang layak—air yang bagi banyak orang benar-benar tidak tersedia. Jumlah orang yang tidak memiliki sanitasi yang layak meningkat dari 2,6 miliar pada tahun 1990 menjadi 2,9 miliar pada tahun 1997. Jumlah itu hampir setengah jumlah manusia di planet ini. Dan, sanitasi sebenarnya merupakan masalah hidup dan mati. Dalam sebuah pernyataan bersama, pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa Carol Bellamy dan Nitin Desai memperingatkan, ”Jika anak-anak kekurangan air yang layak untuk minum dan sanitasi, hampir setiap aspek kesehatan dan perkembangan mereka terancam.”
Produksi makanan bergantung pada air. Banyak tanaman pangan, tentu saja, diairi oleh hujan, tetapi, akhir-akhir ini, irigasi telah menjadi faktor kunci dalam memberi makan penduduk dunia yang meningkat semakin pesat ini. Dewasa ini, 36 persen panenan dunia bergantung pada irigasi. Namun, jumlah tanah pertanian di dunia yang diberi irigasi mencapai puncaknya 20 tahun yang lalu, dan sejak saat itu terus menurun.
Jika air menyembur dengan limpah dari setiap keran di rumah kita dan jika kita memiliki toilet yang higienis, yang dapat dengan mudah mengalirkan kotoran, rasanya sulit untuk percaya bahwa persediaan air di dunia ini sudah mulai habis. Akan tetapi, ingatlah bahwa hanya 20 persen manusia yang bisa menikmati kemewahan ini. Di Afrika, banyak wanita menghabiskan waktu hingga enam jam sehari untuk mengambil air—sering kali air yang tercemar. Wanita-wanita itu mengetahui dengan lebih jelas kenyataan keras ini: Air yang bersih dan aman jarang ada, dan semakin jarang.
Mampukah teknologi memecahkan masalah ini? Dapatkah sumber-sumber air digunakan dengan lebih hemat? Ke mana perginya semua air itu? Artikel-artikel berikut akan berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.
[Kotak/Bagan di hlm. 4]
DI MANA SEMUA AIR TAWAR ITU
Sekitar 97 persen air berada di laut dan terlalu asin untuk air minum, pertanian, dan manufaktur.
Hanya ada sekitar 3 persen air tawar di bumi ini. Akan tetapi, kebanyakan tidak mudah didapat, sebagaimana diperlihatkan oleh ilustrasi berikut.
[Bagan]
(Untuk keterangan lengkap, lihat publikasinya)
Es dan Salju abadi 68,7%
Air bawah tanah 30,1%
Permafrost, es bawah tanah 0,9%
Danau, sungai, dan rawa 0,3%
[Kotak di hlm. 5]
KRISIS AIR
◼ KONTAMINASI Di Polandia, hanya 5 persen dari air sungai yang layak minum, dan 75 persennya terlalu tercemar bahkan untuk industri.
◼ SUPLAI UNTUK KOTA Di Mexico City, metropolis terbesar kedua di dunia, permukaan air tanah, yang menyuplai 80 persen air untuk kota, terus tenggelam. Pemompaan melebihi pengisian kembali secara alami hingga lebih dari 50 persen. Beijing, ibu kota Cina, mengalami problem yang sama. Akuifernya menyusut lebih dari satu meter setiap tahun, dan sepertiga sumurnya telah mengering.
◼ IRIGASI Akuifer besar Ogallala di Amerika Serikat telah sangat terkuras sehingga tanah irigasi di barat laut Texas telah berkurang sampai sepertiganya akibat kekurangan air. Cina dan India, penghasil makanan terbesar kedua dan ketiga, sedang menghadapi krisis yang sama. Di negara bagian Tamil Nadu di India, irigasi telah menyebabkan permukaan air tanah tenggelam lebih dari 23 meter dalam sepuluh tahun.
◼ SUNGAI-SUNGAI YANG LENYAP Selama musim kering, sungai besar Gangga tidak bisa lagi mengalir sampai ke laut, karena semua airnya sudah dialirkan ke mana-mana. Keadaan ini juga terjadi pada Sungai Colorado di Amerika Utara.
[Peta di hlm. 3]
(Untuk keterangan lengkap, lihat publikasinya)
TEMPAT-TEMPAT YANG KEKURANGAN AIR
Daerah kurang air
-
-
Ke Mana Perginya Semua Air Itu?Sedarlah!—2001 | 22 Juni
-
-
Ke Mana Perginya Semua Air Itu?
Cherrapunji, India, adalah salah satu tempat terbasah di dunia. Selama musim monsun, 9.000 milimeter curah hujan menyirami bukit-bukitnya, yang terletak di kaki Pegunungan Himalaya. Akan tetapi, ironisnya, Cherrapunji juga menderita kekurangan air.
KARENA hanya ada sedikit tanaman yang menyerap air, guyuran hujan itu langsung mengalir begitu saja. Dua bulan setelah hujan monsun berlalu, persediaan air menipis. Bertahun-tahun yang lalu, Robin Clarke, dalam bukunya yang berjudul Water: The International Crisis, melukiskan Cherrapunji sebagai ”gurun terbasah di bumi”.a
Ke arah hilir, tidak jauh dari Cherrapunji, terdapat Bangladesh, sebuah negeri yang berpenduduk padat dan berdataran rendah, yang harus menerima aliran air monsun dari perbukitan gundul India dan Nepal. Dalam tahun-tahun tertentu, dua pertiga wilayah Bangladesh dilanda banjir. Namun, setelah banjirnya surut, air Sungai Gangga menjadi sedikit, dan tanah di sana menjadi gersang. Lebih dari 100 juta orang di Bangladesh harus menghadapi siklus banjir dan kekeringan tahunan yang kejam ini. Yang membuat keadaan bertambah parah, air sumur di sana sudah terkontaminasi arsenik, yang mungkin telah meracuni jutaan orang.
Di Nukus, Uzbekistan, tidak jauh dari Laut Aral, yang jadi masalah bukan arsenik melainkan garam. Garam dalam bentuk lapisan putih dan keras menutupi tanaman kapas dan menghambat pertumbuhannya. Garam ini berasal dari bawah permukaan tanah yang kepenuhan air. Masalah ini, yang disebut salinisasi, bukanlah hal baru. Empat ribu tahun yang lalu, pertanian Mesopotamia merosot akibat hal yang sama. Irigasi yang terlalu banyak dan penyaluran air yang buruk menyebabkan garam di dalam tanah berakumulasi di permukaan. Untuk mendapatkan panenan yang memuaskan, semakin banyak air tawar harus digunakan. Akan tetapi, akhirnya tanah menjadi tidak dapat digunakan lagi—oleh generasi-generasi berikutnya.
Ke Mana Perginya Semua Air Itu?
Sayangnya, sering kali hujan turun dengan deras. Hal itu tidak hanya mengakibatkan banjir tetapi juga menyebabkan air mengalir dengan cepat dari daratan ke laut. Dan, beberapa tempat mendapatkan banyak hujan, sedangkan tempat-tempat lainnya hanya sedikit. Cherrapunji diketahui mendapat 26.000 milimeter curah hujan dalam periode 12 bulan, sedangkan Gurun Atacama di sebelah utara Cile bisa tidak mendapatkan hujan sama sekali dalam beberapa tahun.
Selain itu, di planet kita, kebanyakan orang tinggal di tempat-tempat yang tidak banyak airnya. Sebagai contoh, relatif sedikit orang yang tinggal di daerah tropis Afrika dan Amerika Selatan yang curah hujannya banyak. Air Sungai Amazon yang besar mengalir ke Samudra Atlantik sebanyak 15 persen aliran air global tahunan, tetapi karena penduduk di daerah itu sedikit, sedikit juga air yang dikonsumsi. Di pihak lain, sekitar 60 juta orang tinggal di Mesir, yang curah hujannya sedikit, dan semua kebutuhan mereka akan air harus dipuaskan oleh Sungai Nil yang sudah berkurang airnya.
Bertahun-tahun yang lalu, perbedaan mencolok dalam persediaan air demikian tidak begitu menjadi masalah. Menurut sebuah survei pada tahun 1950, tidak ada daerah di bumi ini yang sangat kekurangan air. Namun, saat-saatnya air masih melimpah itu sudah berlalu. Di kawasan kering Afrika Utara dan Asia Tengah, jumlah air yang tersedia bagi setiap orang telah menurun hingga sepersepuluh persediaan air pada tahun 1950.
Selain peningkatan populasi dan curah hujan yang rendah di banyak daerah padat penduduk, permintaan akan air telah meningkat karena alasan-alasan lain. Kini, kemajuan dan kemakmuran di dunia ini tidak terlepas dari persediaan air yang dapat diandalkan.
Permintaan Air yang Kian Meningkat
Jika Anda tinggal di negara industri maju, Anda bisa melihat bahwa banyak pabrik pasti terletak di sekitar sungai-sungai penting. Alasannya sederhana. Industri membutuhkan air untuk menghasilkan barang, apa saja, dari komputer hingga penjepit kertas. Pengolahan makanan juga menggunakan air dalam jumlah yang mencengangkan. Pembangkit listrik selalu membutuhkan air, dan terletak di tepi danau atau sungai.
Kebutuhan akan air dalam bidang pertanian bahkan lebih besar lagi. Di banyak tempat, curah hujan terlalu sedikit atau sangat tidak dapat diandalkan untuk menjamin panenan yang baik, sehingga irigasi tampaknya merupakan solusi ideal untuk memberi makan planet yang lapar ini. Akibat bergantung pada irigasi, pertanian mengambil sebagian besar persediaan air tawar di planet ini.
Selain itu, konsumsi air untuk keperluan rumah tangga telah meningkat. Selama tahun 1990-an, suatu jumlah yang mengejutkan, yaitu 900 juta penghuni kota, membutuhkan sanitasi yang layak dan air yang aman. Sumber air tradisional, seperti sungai dan sumur, tidak lagi memadai bagi kota-kota besar. Mexico City, misalnya, sekarang harus mengambil air melalui pipa dari tempat sejauh 125 kilometer dan memompanya melewati rangkaian pegunungan yang tingginya 1.200 meter di atas ketinggian kota. Situasi ini, kata Dieter Kraemer dalam laporannya yang berjudul Water: The Life-Giving Source, ”bagaikan seekor gurita; lengan-lengan yang terulur keluar dari kota untuk menjangkau air”.
Jadi, industri, pertanian, dan perkotaan selalu membutuhkan air. Dan, banyak dari permintaan mereka sudah terpenuhi, untuk saat ini, dengan mengambil air dari cadangan planet ini—air bawah tanah. Akuifer merupakan salah satu deposit utama air tawar. Namun, air itu bukannya tidak akan pernah habis. Deposit air seperti ini bagaikan uang di bank. Anda tidak bisa terus mengambilnya jika simpanan Anda tinggal sedikit. Cepat atau lambat, itu akan habis.
Penggunaan dan Penyalahgunaan Air Bawah Tanah
Air bawah tanah adalah persediaan air yang kita peroleh dari sumur. Laporan Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa berjudul Groundwater: The Invisible and Endangered Resource mengkalkulasi bahwa setengah dari air yang digunakan untuk keperluan rumah tangga dan untuk irigasi berasal dari sumber ini. Karena air bawah tanah biasanya lebih sedikit terkena polusi daripada air permukaan, air itu digunakan untuk minum, baik di kota maupun di desa. Jika diambil secara tidak berlebihan, persediaan air bawah tanah akan tetap konstan, karena secara teratur diperbarui oleh hujan yang perlahan-lahan meresap ke reservoir bawah tanah ini. Namun, selama puluhan tahun, manusia telah menyedot lebih banyak air daripada yang dapat diperbarui oleh siklus air alami.
Hasilnya, level air bawah tanah semakin menjauh dari permukaan, dan penggaliannya menjadi lebih mahal atau tidak praktis. Sewaktu sumur menjadi kering, akibatnya adalah bencana terhadap ekonomi dan manusia. Di India, tragedi semacam ini sudah mulai terjadi. Karena makanan bagi miliaran orang yang tinggal di dataran tengah Cina dan India bergantung pada air bawah tanah, prospeknya cukup memprihatinkan.
Pengurasan persediaan air bawah tanah diperburuk dengan adanya kontaminasi. Pupuk pertanian, limbah manusia dan binatang, serta bahan kimia industri meresap ke air bawah tanah. ”Begitu akuifer terkontaminasi, perbaikannya dapat berlangsung lama dan mahal, bahkan bisa jadi tidak mungkin dilakukan,” jelas sebuah laporan yang diterbitkan oleh Organisasi Meteorologi Dunia. ”Penetrasi polutan secara perlahan ke air bawah tanah sering disebut ’bom waktu kimia’. Proses itu mengancam umat manusia.”
Yang paling ironis adalah bahwa air yang dipompa ke luar dari akuifer bawah tanah malah akhirnya merusak tanah yang semestinya diairi. Sekarang, banyak tanah irigasi di negeri-negeri kering atau semikering di dunia menderita salinisasi. Di India dan Amerika Serikat—dua negara penghasil makanan terbesar dunia—25 persen tanah irigasinya telah menjadi sangat rusak.
Tidak Boros, Tidak Kekurangan
Meskipun adanya kesulitan-kesulitan ini, situasinya tidak akan terlalu parah jika air yang berharga di planet ini digunakan dengan lebih hati-hati. Metode irigasi yang tidak efisien sering kali menghamburkan 60 persen air sebelum air itu mengairi tanaman. Peningkatan efisiensi—menggunakan teknologi yang ada—dapat mengurangi konsumsi air industri hingga setengahnya. Dan, bahkan, penggunaan air di kota dapat dikurangi 30 persen jika pipa-pipa yang pecah diperbaiki secepatnya.
Tindakan-tindakan untuk melestarikan air membutuhkan kemauan maupun cara. Apakah ada alasan yang masuk akal untuk percaya bahwa air yang berharga di planet kita ini akan terus ada bagi generasi-generasi masa depan? Artikel terakhir kami akan menjawab pertanyaan ini.
[Catatan Kaki]
[Kotak/Gambar di hlm. 7]
AIR DIBUTUHKAN DI MANA SAJA
Hampir semua proses industri mengkonsumsi sejumlah besar air.
◼ Pemroduksian satu ton baja dapat mengkonsumsi 280 ton air.
◼ Memproduksi 1 kilogram kertas dapat membutuhkan air sebanyak 700 kilogram (jika pabrik tidak mendaur ulang airnya).
◼ Untuk membuat sebuah mobil, pabrik menggunakan air sebanyak 50 kali berat mobil itu.
Pertanian juga membutuhkan banyak air, khususnya jika ternak dibiakkan di kawasan semikering bumi ini.
◼ Untuk menghasilkan 1 kilogram steik daging sapi Kalifornia, dibutuhkan 20.500 liter air.
◼ Memproses satu ayam beku saja membutuhkan sedikitnya 26 liter air.
[Bagan/Gambar di hlm. 8]
(Untuk keterangan lengkap, lihat publikasinya)
DI MANA AIR DIGUNAKAN?
Rumah Tangga 10%
Industri 25%
Pertanian 65%
AP Photo/Richard Drew
Jutaan galon air dibuang-buang akibat bocornya pipa saluran air dan dibiarkannya air mengalir terus dari keran
-
-
Mencari Air KehidupanSedarlah!—2001 | 22 Juni
-
-
Mencari Air Kehidupan
LEBIH dari dua ribu tahun yang lalu, sebuah kota makmur yang berpenduduk 30.000 orang menjadi terkemuka di Gurun Arab. Meskipun daerah ini beriklim buruk, yang rata-rata curah hujannya hanya 150 milimeter setahun, penduduk Petra belajar untuk terus hidup dengan sedikit air. Dan, Petra semakin kaya dan sejahtera.
Penduduk Petra, atau orang-orang Nabatea, tidak memiliki pompa listrik. Mereka tidak membangun bendungan besar. Namun, mereka tahu caranya mengumpulkan dan menyimpan air. Sebuah jaringan besar dari reservoir kecil, parit, kanal, dan kolam memungkinkan mereka dengan cermat mengumpulkan air dan menyalurkannya ke dalam kota dan ke tanah-tanah mereka yang tidak luas. Tak setetes air pun yang disia-siakan. Sumur dan kolam mereka dibangun dengan sangat baik sehingga masih digunakan hingga kini oleh orang-orang Badui.
”Hidrologi adalah keindahan Petra yang tak terlihat,” kata seorang hidrolog dengan rasa kagum. ”Masyarakat itu benar-benar jenius.” Baru-baru ini, para pakar dari Israel sedang berupaya meniru kejeniusan orang-orang Nabatea ini, yang juga mengolah tanaman pangan di Negeb, yang curah hujannya jarang melebihi 100 milimeter setahun. Para agronom telah memeriksa sisa-sisa dari ribuan ladang kecil orang Nabatea yang pemiliknya dengan terampil menyalurkan hujan musim dingin ke sawah berteras mereka.
Pelajaran yang sudah didapat dari orang Nabatea membantu para petani di negara-negara bagian Sahel, Afrika, yang dilanda kekeringan. Akan tetapi, metode pelestarian air yang dilakukan dewasa ini juga bisa seefektif itu. Di Lanzarote, salah satu pulau di Kepulauan Canary, yang terletak di lepas pantai Afrika, para petani telah belajar caranya menumbuhkan anggur dan ara, meskipun di sana hampir tidak ada hujan. Mereka menanam pohon anggur atau ara di dasar rongga-rongga bundar dan kemudian menutupi tanah itu dengan lapisan abu vulkanis untuk mencegah penguapan. Kemudian, embun yang cukup dapat meresap ke akar sehingga menghasilkan tanaman yang bagus.
Solusi Berteknologi Rendah
Kisah-kisah serupa mengenai adaptasi terhadap iklim kering juga dialami oleh orang-orang di bagian-bagian lain dunia—misalnya orang-orang Bishnoi, yang tinggal di Gurun Thar di India; para wanita Turkana di Kenya; dan orang Indian Navajo di Arizona, AS. Teknik pengumpulan air hujan yang mereka lakukan, yang dipelajari selama berabad-abad, terbukti jauh lebih dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan pertanian daripada solusi berteknologi tinggi yang hebat.
Abad ke-20 merupakan abad pembangunan dam. Sungai-sungai besar dimanfaatkan, dan sistem irigasi besar-besaran dikembangkan. Seorang ilmuwan memperkirakan bahwa 60 persen sungai di dunia telah dikendalikan dengan satu atau lain cara. Meskipun proyek-proyek demikian mendatangkan sejumlah manfaat, para ekolog menunjukkan adanya kerusakan terhadap lingkungan, belum lagi dampak terhadap jutaan orang yang kehilangan tempat tinggal.
Selain itu, meskipun bermaksud baik, manfaat dari rencana-rencana ini jarang dirasakan para petani yang sangat membutuhkan air. Sewaktu menyebutkan tentang proyek irigasi di India, mantan Perdana Menteri Rajiv Gandhi mengatakan, ”Selama 16 tahun, kita telah menghabiskan banyak dana. Rakyat tidak mendapatkan apa-apa sebagai imbalannya, tidak ada irigasi, tidak ada air, tidak ada peningkatan produksi, tidak ada bantuan dalam kehidupan sehari-hari mereka.”
Di pihak lain, solusi berteknologi rendah telah terbukti lebih berguna dan tidak terlalu berbahaya terhadap lingkungan. Kolam-kolam dan dam-dam kecil yang dibangun oleh masyarakat setempat telah sangat berhasil di Cina, dan di sana sudah dibangun enam juta kolam dan dam. Di Israel, orang-orang telah mendapati bahwa dengan sedikit kecerdikan, air yang sama dapat digunakan pertama-tama untuk mencuci, lalu untuk sanitasi, dan akhirnya untuk irigasi.
Solusi praktis lainnya adalah irigasi tetes, yang melindungi tanah dan menggunakan hanya 5 persen dari air yang dibutuhkan oleh metode tradisional. Penggunaan air secara bijaksana juga berarti memilih tanaman pangan yang sesuai dengan iklim kering, seperti sorgum dan sekoi, bukan yang membutuhkan irigasi ekstensif, seperti tebu atau jagung.
Dengan sedikit upaya, rumah tangga dan industri juga dapat mengurangi kebutuhan akan air. Misalnya, satu kilogram kertas dapat diproduksi dengan menggunakan sekitar seliter air jika air di pabrik itu didaur ulang—penghematan hingga lebih dari 99 persen. Mexico City telah mengganti toilet biasa dengan toilet yang menggunakan hanya sepertiga jumlah air. Kota itu juga mensponsori sebuah kampanye informasi yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan air secara signifikan.
Yang Dibutuhkan untuk Berhasil
Solusi untuk krisis air—dan kebanyakan masalah lingkungan lain—membutuhkan adanya perubahan sikap. Orang-orang harus bekerja sama, bukannya mementingkan diri, harus membuat pengorbanan yang masuk akal jika diperlukan, dan harus punya tekad untuk merawat bumi demi generasi berikutnya. Sehubungan dengan hal ini, Sandra Postel, dalam bukunya Last Oasis—Facing Water Scarcity, menjelaskan, ”Kita membutuhkan etika dalam hal air—suatu petunjuk yang memberi tahu apa yang harus dilakukan dalam menghadapi keputusan-keputusan kompleks tentang sistem alam yang tidak kita mengerti dan tidak dapat sepenuhnya kita pahami.”
”Etika dalam hal air” demikian, tentu saja, membutuhkan lebih dari sekadar pendekatan setempat. Negara-negara yang berdekatan perlu bekerja sama, karena sungai tidak mengenal batas negara. ”Keprihatinan akan kuantitas dan kualitas air—yang dulu hanya terhadap daerah setempat saja—sekarang harus dipandang sebagai masalah global,” kata Ismail Serageldin dalam laporannya berjudul Beating the Water Crisis.
Namun, membuat semua bangsa ingin ikut menangani masalah global bukan tugas yang mudah, sebagaimana diakui Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan. ”Dalam era globalisasi ini,” katanya, ”mekanisme untuk mengadakan aksi secara global masih dalam tahap embrio. Sekaranglah saatnya bagi kita untuk merealisasikan gagasan tentang ’masyarakat internasional’.”
Jelaslah, persediaan air berkualitas yang memadai—meskipun vital—bukanlah satu-satunya yang dibutuhkan jika kita ingin menikmati kehidupan yang sehat dan membahagiakan. Manusia pertama-tama harus mengetahui adanya kewajiban terhadap Pribadi yang menyediakan air maupun kehidupan. (Mazmur 36:9; 100:3) Dan, sebaliknya daripada berwawasan sempit dengan mengeksploitasi bumi dan kekayaan alamnya, mereka harus ’menggarap dan mengurusnya’, sebagaimana diperintahkan oleh Pencipta kita kepada orang tua kita yang pertama.—Kejadian 2:8, 15; Mazmur 115:16.
Jenis Air yang Paling Bermutu
Karena air sangat penting, tidaklah mengejutkan bahwa dalam Alkitab, air juga memiliki makna simbolis. Sesungguhnya, untuk menikmati kehidupan, sesuai dengan tujuan kita diciptakan, kita harus mengetahui sumber dari air simbolis ini. Kita juga harus belajar untuk mencerminkan sikap seorang wanita di abad pertama yang meminta kepada Yesus, ”Pak, berilah aku air itu.” (Yohanes 4:15) Mari kita perhatikan bagaimana kisahnya.
Yesus singgah di pinggir sebuah sumur yang dalam di dekat sebuah tempat yang sekarang disebut Nablus—tampaknya sumur ini didatangi orang dari berbagai penjuru dunia hingga sekarang. Pada waktu itu, seorang wanita Samaria juga datang ke sumur itu. Sebagaimana lazimnya para wanita di abad pertama, ia pastilah datang secara berkala ke sana guna mengambil air untuk digunakan di rumahnya. Namun, Yesus mengatakan bahwa ia dapat memberi wanita itu ”air kehidupan”—sumber air yang tidak akan pernah habis.—Yohanes 4:10, 13, 14.
Tidak heran, wanita ini menjadi penasaran. Tetapi, tentu saja, ”air kehidupan” yang Yesus bicarakan ini bukanlah air secara harfiah. Yesus memaksudkan persediaan rohani yang dapat memungkinkan orang-orang untuk hidup selama-lamanya. Akan tetapi, ada persamaan antara air simbolis dan harfiah—keduanya kita butuhkan agar kita dapat menikmati kehidupan sepenuhnya.
Berkali-kali, Allah memberi umat-Nya jalan keluar dari masalah kekurangan air secara harfiah. Ia secara mukjizat menyediakan air bagi sekumpulan besar pengungsi Israel yang menyeberangi Gurun Sinai menuju Tanah Perjanjian. (Keluaran 17:1-6; Bilangan 20:2-11) Elisa, seorang nabi Allah, membersihkan sumur di Yerikho yang telah terkontaminasi. (2 Raja 2:19-22) Dan, sewaktu sisa dari orang-orang Israel yang bertobat kembali dari Babilon ke tanah air mereka, Allah membimbing mereka ke ’air di padang belantara’.—Yesaya 43:14, 19-21.
Persediaan air yang tidak akan pernah habis adalah hal yang sangat dibutuhkan planet kita dewasa ini. Karena Pencipta kita, Allah Yehuwa, menyediakan solusi bagi masalah air di zaman dahulu, apakah Ia akan melakukannya lagi di masa depan? Alkitab meyakinkan kita bahwa Ia memang akan melakukannya. Sewaktu melukiskan keadaan-keadaan di bawah pemerintahan Kerajaan-Nya yang dijanjikan, Allah mengatakan, ”Di atas bukit-bukit yang gundul aku akan membuat sungai-sungai memancar, demikian juga mata-mata air di tengah-tengah dataran lembah. Aku akan membuat padang belantara menjadi kolam air, dan daerah gersang menjadi sumber-sumber air . . . supaya orang melihat, mengetahui, memperhatikan dan juga memahami, bahwa tangan Yehuwa-lah yang telah melakukan hal ini.”—Yesaya 41:18, 20.
Alkitab berjanji bahwa sewaktu saat itu tiba, orang-orang ”tidak akan lapar ataupun haus”. (Yesaya 49:10) Berkat adanya pemerintahan baru yang bersifat global ini, akan ada solusi yang pasti terhadap krisis air. Pemerintahan ini—Kerajaan itu, yang Yesus ajarkan untuk didoakan—akan menjalankan fungsinya ”dengan keadilan dan dengan keadilbenaran, dari sekarang sampai waktu yang tidak tertentu”. (Yesaya 9:6, 7; Matius 6:9, 10) Hasilnya, orang-orang di mana pun di bumi ini akhirnya akan menjadi masyarakat internasional yang sesungguhnya.—Mazmur 72:5, 7, 8.
Jika sekarang kita mencari air kehidupan, kita dapat menantikan datangnya saat manakala air akan benar-benar cukup bagi setiap orang.
[Gambar di hlm. 10]
Atas: Penduduk Petra zaman dahulu tahu caranya menyimpan air
Bawah: Sebuah kanal air yang dibuat orang Nabatea di Petra
[Keterangan]
Garo Nalbandian
[Gambar di hlm. 10]
Para petani di salah satu pulau di Kepulauan Canary telah belajar caranya menumbuhkan tanaman meskipun hampir tidak ada hujan
[Gambar di hlm. 13]
Apa yang Yesus maksudkan sewaktu ia menjanjikan ”air kehidupan” kepada wanita ini?
-