-
Tipe Perang Zaman ModernSedarlah!—2001 | 22 Maret
-
-
Tipe Perang Zaman Modern
KAMP pengungsi itu didirikan dengan tergesa-gesa guna menampung ke-1.548 pengungsi yang datang secara mendadak dari sebuah negeri tetangga di Afrika. Di tengah-tengah sebuah hutan palem, tenda-tenda berwarna biru dan cokelat kekuningan terpancang kukuh di atas tanah yang lumpurnya sudah disingkirkan. Tak ada listrik atau tempat tidur, dan tak ada air bersih atau toilet. Waktu itu hujan turun. Para pengungsi menggunakan batang-batang kayu untuk menggali sebuah parit kecil supaya airnya tidak masuk ke dalam tenda. Dua lembaga bantuan kemanusiaan internasional berupaya mati-matian memperbaiki kondisi kehidupan di tempat itu.
Sebelumnya, para pengungsi tersebut telah menggunakan kesempatan yang ada untuk menumpangi sebuah kapal barang reyot demi meloloskan diri dari perang sipil yang telah memorak-porandakan negeri mereka selama bertahun-tahun. Perang itu tidak diadakan dengan barisan tank atau pesawat pembom. Perang itu dimulai ketika sekitar 150 tentara yang bersenjatakan senapan otomatis dengan seenaknya memasuki negeri itu. Pada tahun-tahun berikutnya, tentara-tentara itu memasuki desa demi desa, memeras penduduknya, merekrut lebih banyak tentara, dan membunuh siapa saja yang menentang mereka. Akhirnya, mereka berhasil menguasai seluruh negeri itu.
Di antara para pengungsi tersebut, ada seorang wanita muda bernama Esther. ”Pengalaman terburuk yang pernah saya alami dalam hidup adalah kehilangan suami saya dalam perang ini,” katanya. ”Mereka menembaknya. Peristiwa itu sangat mengerikan. Anda mendengar seseorang menjerit, dan Anda mengira seseorang akan datang untuk membunuh Anda. Setiap kali Anda melihat orang yang memegang senjata, Anda merasa bahwa orang itu akan segera menghabisi Anda. Saya tidak pernah merasa tenang. Hanya di sini saya dapat tidur malam. Sewaktu masih di rumah, saya tidak bisa tidur. Tapi di sini, saya tidur nyenyak.”
”Tidur nyenyak di tenda yang basah seperti ini?” tanya penulis Sedarlah!
Esther tertawa. ”Meskipun saya harus tidur di lumpur ini, saya akan tidur lebih nyenyak daripada di tempat asal saya.”
Ambrose, yang berusia sepuluh tahun, telah menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk melarikan diri dari zona peperangan bersama keluarganya. ”Saya ingin melihat perdamaian dan sekolah lagi,” katanya. ”Lagi pula, saya sudah bertambah besar.”
Kpana, yang berusia sembilan tahun, memiliki mata cokelat yang indah. Ketika ditanya apa yang ada dalam pikirannya, tanpa ragu-ragu dia menjawab, ”Perang! Pertempuran!”
Tipe perang yang menyebabkan orang-orang ini melarikan diri sudah lazim pada tahun-tahun terakhir ini. Menurut suatu sumber, dari 49 konflik utama yang berkecamuk sejak tahun 1990, 46 di antaranya dilakukan hanya dengan menggunakan senjata ringan. Tidak seperti pedang atau tombak, yang membutuhkan keterampilan dan kekuatan untuk digunakan secara efektif dalam pertempuran, senjata kecil memungkinkan seorang yang amatir berperang bersama dengan yang profesional.a Kerap kali, remaja dan anak-anak direkrut dan dipaksa untuk menjarah, mencederai, dan membunuh.
Banyak dari konflik ini terjadi, bukan antarnegara, melainkan justru di antara orang-orang senegara. Dan juga, bukan dilakukan di medan peperangan oleh tentara yang terlatih, melainkan di kota besar, kecil, dan desa, yang sebagian besar dilakukan oleh penduduk sipil. Karena banyak dari pertempuran ini dilakukan oleh orang-orang yang tidak terlatih secara militer, mereka tidak segan-segan melanggar kaidah tradisional perang. Oleh karena itu, penyerangan keji terhadap pria, wanita, dan anak-anak yang tidak bersenjata adalah hal yang lumrah. Konon, lebih dari 90 persen korban perang dewasa ini adalah rakyat sipil. Dalam perang-perang semacam itu, senjata kecil dan senjata ringan memainkan peran utama.
Tentu saja, senjata tidak secara otomatis menimbulkan konflik—manusia telah berperang lama sebelum serbuk mesiu ditemukan. Akan tetapi, timbunan senjata lebih menganjurkan peperangan daripada perundingan. Senjata cenderung memperpanjang lamanya perang dan mengintensifkan pembantaian.
Meskipun senjata yang digunakan dalam perang dewasa ini adalah senjata ringan, tetap saja senjata itu mendatangkan konsekuensi yang berat. Selama era 1990-an, senjata semacam itu telah membunuh lebih dari empat juta orang. Lebih dari 40 juta lainnya menjadi pengungsi atau dipaksa meninggalkan kampung halaman mereka. Senjata kecil telah menyebabkan cacat politik, sosial, ekonomi, dan lingkungan terhadap masyarakat yang diporak-porandakan perang. Masyarakat internasional harus mengeluarkan puluhan miliar dolar untuk memberikan bantuan darurat, merawat para pengungsi, memelihara perdamaian, dan intervensi militer.
Bagaimana sampai senjata kecil memainkan peran utama dalam konflik-konflik di zaman modern? Dari mana asalnya? Apa yang dapat dilakukan untuk membatasi atau melenyapkan dampaknya yang memautkan? Kami akan mengulas pertanyaan-pertanyaan ini pada artikel berikut.
[Catatan Kaki]
a Istilah ”senjata kecil” (disebut juga ”senjata tangan”) memaksudkan senapan dan pistol—yaitu senjata yang dapat dipegang oleh satu orang; sedangkan ”senjata ringan” mencakup senapan mesin, mortir, dan pelontar granat, yang kadang-kadang harus digunakan oleh dua orang.
[Keterangan Gambar di hlm. 3]
UN PHOTO 186797/J. Isaac
-
-
Senjata Kecil, Masalah BesarSedarlah!—2001 | 22 Maret
-
-
Senjata Kecil, Masalah Besar
SELAMA beberapa dekade, senjata nuklir menjadi topik utama dalam pembicaraan mengenai pengendalian senjata. Hal ini tidaklah mengherankan karena sebuah bom nuklir saja dapat menghancurkan sebuah kota besar. Namun, tidak seperti senjata kecil, senjata yang benar-benar dahsyat ini belum pernah digunakan dalam kancah peperangan selama lebih dari 50 tahun.
Sejarawan militer yang disegani, John Keegan, menulis, ”Sejak tanggal 9 Agustus 1945, senjata-senjata nuklir belum pernah membunuh seorang pun. Ada 50.000.000 orang yang tewas dalam peperangan sejak tanggal itu, sebagian besar tewas oleh senjata murahan hasil produksi massal dan amunisi kaliber kecil, yang harganya sedikit lebih mahal daripada harga sebuah radio transistor dan baterai yang membanjiri dunia pada jangka waktu yang sama. Karena senjata murahan tidak menimbulkan gangguan yang berarti terhadap negara-negara maju, kecuali di tempat-tempat tertentu yang sarat dengan peredaran obat bius dan terorisme politik, masyarakat yang tinggal di negara-negara kaya itu lambat menyadari kengerian yang mengiringi praktek mematikan dari penggunaan senjata kecil ini.”
Tidak seorang pun yang dapat dengan tepat menyebutkan jumlah sirkulasi senjata kecil dan senjata ringan, namun para ahli memperkirakan bahwa senjata api militer mungkin berjumlah kira-kira 500 juta. Lagi pula, puluhan juta senapan dan pistol sipil dapat dimiliki secara pribadi. Selain itu, senjata-senjata baru diproduksi dan dipasarkan setiap tahun.
Senjata Favorit
Mengapa akhir-akhir ini senjata kecil menjadi senjata favorit dalam perang? Sebagian penyebabnya terletak pada hubungan antara pertikaian dan kemiskinan. Kebanyakan kancah peperangan selama era 1990-an berlangsung di negara-negara miskin—yang tidak mampu membeli sistem persenjataan yang canggih. Sedangkan, senjata kecil dan senjata ringan harganya murah. Sebagai contoh, uang sebanyak 50 juta dolar, kira-kira seharga sebuah pesawat jet tempur modern, dapat memperlengkapi sebuah pasukan dengan 200.000 buah senapan otomatis.
Kadang-kadang, senjata kecil dan senjata ringan bahkan jauh lebih murah lagi. Tak terhitung banyaknya senjata jenis ini yang dibagi-bagikan begitu saja oleh pihak militer yang sedang mengadakan perampingan personel dan persenjataannya, atau didaur ulang untuk digunakan lagi dalam perang berikutnya. Di beberapa negeri, karena begitu banyaknya senapan otomatis sampai-sampai senapan-senapan itu dijual hanya seharga enam dolar atau dapat ditukar dengan seekor kambing, ayam, atau sekantong pakaian tua.
Namun, terlepas dari harganya yang murah dan persediaannya yang banyak, ada alasan-alasan lain dibalik kepopuleran senjata kecil. Senjata ini cukup mematikan. Sebuah senapan otomatis dapat memuntahkan ratusan butir peluru per menit. Senjata ini juga mudah digunakan dan dirawat. Anak sepuluh tahun pun dapat diajari cara membongkar dan menyusun kembali sebuah senapan otomatis. Seorang anak juga dapat cepat belajar cara membidikkan dan menembakkan senapan itu ke suatu kerumunan orang.
Alasan lainnya adalah senapan ini kuat dan awet meski telah digunakan bertahun-tahun. Senapan sejenis AK-47 dan M16 yang digunakan dalam perang Vietnam masih digunakan dalam perang-perang masa kini. Beberapa senapan yang digunakan di Afrika telah digunakan sejak Perang Dunia I. Selain itu, senapan lebih mudah dibawa dan disembunyikan. Seekor kuda beban dapat membawa belasan senapan ke sebuah kelompok paramiliter yang berada di hutan rimba atau di gunung terpencil. Beberapa ekor kuda dapat membawa cukup senapan bagi sepasukan kecil tentara.
Senapan, Narkoba, dan Berlian
Perdagangan senapan global merupakan hal yang kompleks. Penyediaan senapan antarnegara dalam jumlah yang besar adalah hal yang legal. Setelah Perang Dingin, tentara di Timur maupun Barat dikurangi, dan pemerintah memberikan atau menjual peralatan yang berlebih kepada teman-teman dan sekutu-sekutunya. Menurut seorang penulis di Institut Penelitian Perdamaian di Oslo, Norwegia, sejak tahun 1995, Amerika Serikat saja telah membagi-bagikan lebih dari 300.000 senapan, pistol, senapan mesin, dan pelontar granat. Alasannya, membagikan senjata lebih murah daripada membongkar atau menyimpan dan menjaganya. Beberapa analis memperkirakan bahwa mungkin senjata kecil dan senjata ringan seharga kira-kira tiga miliar dolar dibawa melewati perbatasan secara legal setiap tahun.
Akan tetapi, perdagangan ilegalnya lebih besar lagi. Di pasar gelap, senjata biasanya harus dibeli. Dalam beberapa perang Afrika, kelompok paramiliter membeli senjata kecil dan senjata ringan seharga ratusan juta dolar, bukan dengan uang, tetapi dengan berlian yang diraup dari pertambangan. The New York Times mengomentari, ”Di mana ada pemerintahan yang korup, pasti ada pemberontakan yang tidak mengenal belas kasihan dan perbatasan yang mudah dilewati . . . Berlian merupakan penyebab kerja paksa, pembunuhan, cacat, kehilangan tempat tinggal, dan ambruknya perekonomian secara besar-besaran.” Betapa ironisnya, permata yang dijual untuk membiayai pembelian senapan otomatis kemudian dipajang dengan indahnya di butik perhiasan mewah sebagai simbol dari kasih abadi!
Senjata juga berkaitan dengan perdagangan narkoba yang ilegal. Merupakan hal yang lazim bila sebuah organisasi kejahatan menyelundupkan narkoba dan senjata dengan menggunakan rute yang sama. Senjata telah menjadi semacam mata uang untuk membeli narkoba.
Setelah Perang Berakhir
Setelah perang berakhir, senjata sering kali jatuh ke tangan para penjahat. Pertimbangkan peristiwa yang terjadi di sebuah negeri di selatan Afrika yang mengalami peralihan dari tindak kekerasan bermotif politik ke tindak kekerasan bermotif kejahatan. Tindak kekerasan bermotif politik di sana merenggut kira-kira 10.000 nyawa hanya dalam waktu tiga tahun. Ketika konflik ini berakhir, tindak kekerasan bermotif kejahatan membubung tinggi. Persaingan di antara sopir taksi mengakibatkan ”perang taksi”, seorang penjahat dibayar untuk menembak penumpang dan sopir taksi dari perusahaan saingan. Lambat laun, senapan otomatis militer digunakan dalam perampokan serta kejahatan lainnya. Jumlah pembunuhan bersenjata mencapai angka 11.000 dalam satu tahun terakhir, peringkat kedua tertinggi di dunia untuk negara-negara yang tidak sedang berperang.
Karena mengetahui bahwa para penjahat itu bersenjata dan berbahaya, banyak orang merasa takut dan terancam. Di banyak negara berkembang, orang-orang kaya hidup bagaikan di dalam benteng, dikelilingi tembok dan pagar listrik yang dijaga siang malam. Penduduk di negara-negara maju juga mengambil tindakan pencegahan. Hal ini dilakukan bahkan di tempat-tempat yang belum pernah mengalami pertikaian sipil.
Jadi, baik di negeri yang mengalami peperangan maupun yang menikmati ”perdamaian”, senjata turut bertanggung jawab atas ketidakstabilan. Tidak ada manusia yang dapat mengukur dampak mematikan dari senjata; atau mendaftar orang-orang yang meninggal, yang terluka, yang berkabung, dan yang kehidupannya hancur. Yang kita tahu adalah bahwa dunia sedang tenggelam dalam banjir senjata dan bahwa jumlahnya terus bertambah. Jeritan yang menuntut agar suatu tindakan diambil kian bertambah banyak. Tetapi, apa yang dapat dilakukan? Dan, apa yang akan dilakukan? Kita akan membahas pertanyaan-pertanyaan ini di artikel berikut.
[Kotak/Gambar di hlm. 7]
Seorang Mantan Pejuang Merasa ”Sangat Bodoh”
Seorang tentara anak yang ikut dalam perang yang sama dengan yang diceritakan para pengungsi di artikel sebelumnya, tiba-tiba menganggur dan tidak punya uang sepeser pun di kota yang turut ia taklukkan. Dengan nada penuh kebencian, dia menceritakan perasaannya sewaktu menyaksikan anak dari pemimpinnya berkeliling kota dengan sepeda motor yang mahal dan mentereng serta menyaksikan mantan panglima-panglima perangnya berebut kekuasaan dan bersaing untuk mendapatkan pamor. ”Sewaktu saya mengenang kembali lima tahun yang saya habiskan di hutan, membunuh dan ditembaki orang, saya merasa sangat bodoh,” katanya. ”Kami mengabdikan hidup kami pada orang-orang yang akhirnya lupa bagaimana caranya mereka memperoleh status mereka yang sekarang.”
[Keterangan]
COVER and page 7: Boy soldier: Nanzer/Sipa Press
[Kotak/Gambar di hlm. 8]
”Tak Ada Tempat untuk Sembunyi”
Senapan otomatis modern, meskipun memautkan, memiliki keterbatasan. Senapan itu hanya memuntahkan peluru dan tidak dapat membunuh orang yang bersembunyi di balik tembok yang kokoh atau di sebuah barikade. Dalam keadaan panik sewaktu perang, seorang tentara bisa jadi sulit untuk membidik. Jika digenggam, meski di bawah situasi yang ideal, senjata itu akurat hanya sampai sejauh 460 meter.
Militer AS telah menemukan solusi bagi ”masalah” itu—yaitu senapan baru, berteknologi tinggi, dan multi guna yang disebut Senjata Tempur Individual Objektif (Objective Individual Combat Weapon atau OICW). OICW cukup ringan untuk dipegang oleh satu orang dan tidak hanya menembakkan peluru, tetapi juga peledak berukuran 20 milimeter—granat. Keistimewaan lainnya adalah senjata ini dapat membunuh musuh yang bersembunyi dibalik sebuah barikade. Yang harus dilakukan oleh para prajurit hanyalah membidikkan senjata tepat di atas atau disamping sasaran yang dituju. Secara otomatis, senjata itu akan menyetel pengatur elektronis pada granat dan jarak ke target yang dituju, sehingga ia akan meledak pada jarak yang tepat, menyemprotkan serpihan logam kepada korbannya. ”Kesanggupan uniknya memungkinkan pasukan tempur AS menembak ke hampir segenap penjuru,” kata seorang wakil dari perusahaan yang memproduksi senjata itu. Pembidik inframerahnya memungkinkan senjata itu berfungsi dengan efektif meski dalam kegelapan.
Pembuatnya membual bahwa ”tak ada tempat untuk sembunyi” dari senjata ini, dan juga menyatakan bahwa senjata itu lima kali lebih mematikan daripada M16 dan pelontar granat M203 dalam radius hingga dua kali lipat. Tentara yang menggunakannya tidak perlu khawatir mengenai ketepatan bidikan; mereka hanya perlu melihat ke jendela pembidik dan menarik picunya untuk melepaskan peluru dan granat. Jika produksinya dilanjutkan berdasarkan jadwal yang sudah ditentukan, unit militer pertama akan diperlengkapi dengan OICW pada tahun 2007.
Akan tetapi, para kritikus bertanya, bagaimana senjata itu akan digunakan sewaktu para tentara mencari musuh yang menyusup di tempat tinggal penduduk yang tidak bersalah? Apa yang terjadi bila OICW dijual ke militer di seluruh dunia yang mungkin menggunakannya untuk menyakiti bangsa mereka sendiri? Dan, apa yang terjadi bila senjata ini jatuh ke tangan teroris dan penjahat?
[Keterangan]
Alliant Techsystems
[Gambar di hlm. 6]
Senjata kecil dan ringan sering ditukar dengan berlian dan narkoba
-
-
Apa Masa Depan bagi Pengendalian Senjata?Sedarlah!—2001 | 22 Maret
-
-
Apa Masa Depan bagi Pengendalian Senjata?
PADA tahun-tahun terakhir ini, negara-negara di seluruh dunia telah mendiskusikan cara membasmi perdagangan senjata kecil ilegal. Topik ini telah dibahas di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Laporannya telah disiapkan, rekomendasinya sudah dibuat, dan resolusinya telah diterima. Akan tetapi, beberapa kritikus mengatakan bahwa jika yang disoroti hanyalah perdagangan di pasar gelap, berarti si penyalur senjata utama—yaitu pemerintah sendiri—tetap bebas dari pemeriksaan.
Sesungguhnya, ada batas yang teramat samar antara perdagangan senjata legal dan ilegal. Banyak senjata ilegal yang dijual secara legal. Senjata yang rencananya akan dijual ke pihak militer atau kepolisian sering kali dicuri dan kemudian dijual di pasar gelap. Selain itu, biasanya senjata dapat dijual kembali ke tangan kedua tanpa sepengetahuan atau izin dari si penjual yang semula. Sebuah artikel dalam jurnal Arms Control Today menyatakan, ”Pemerintah seharusnya tidak hanya mendukung tindakan tegas terhadap perdagangan senjata ringan yang ilegal, tapi juga mereka harus memeriksa peranan mereka sendiri dalam arus perdagangan senjata legal.” Meskipun banyak orang yang berharap bahwa pemerintah-pemerintah itu akan menindak tegas perdagangan senjata kecil, seorang wartawan menulis, ”Karena lima anggota tetap dewan [keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa] sendiri bertanggung jawab terhadap lebih dari 80% perdagangan senjata di dunia, rasanya tidak banyak yang dapat kita harapkan.”
Fakta bahwa senjata kecil dan senjata ringan dapat diproduksi dengan mudah semakin menyulitkan upaya pengendaliannya. Sementara pembuatan senjata yang lebih canggih seperti tank, pesawat tempur, dan kapal perang dibatasi hanya di belasan negara saja, lebih dari 300 pabrik senjata ringan kini beroperasi di 50 negara. Semakin bertambahnya jumlah pabrik senjata api tidak hanya memperbesar jajaran persenjataan nasional, tetapi juga memperbesar kemungkinan senjata itu diberikan kepada para milisi, kelompok pemberontak, dan organisasi kriminal.
Topik Perdebatan Sengit
Sampai sejauh ini, perhatian kita tertuju pada penggunaan senjata kecil di negeri-negeri yang dilanda peperangan. Akan tetapi, topik mengenai pengendalian senjata diperdebatkan dengan sengit di negeri-negeri yang relatif stabil dan tidak sedang berperang. Orang-orang yang mendukung hukum yang ketat atas pengendalian senjata menyatakan bahwa lebih banyak senjata menyebabkan lebih banyak pembunuhan. Mereka berargumentasi bahwa di Amerika Serikat, yang pengendaliannya tidak ketat dan jumlah senjatanya banyak, terdapat angka pembunuhan per kapita yang tinggi, sedangkan di Inggris, yang sistem pengendalian senjatanya ketat, terdapat angka pembunuhan yang rendah. Para penentang undang-undang pengendalian senjata segera menyanggah bahwa di Swiss, meskipun senjata mudah diperoleh, angka pembunuhannya rendah.
Masalahnya semakin rumit sewaktu penelitian-penelitian menunjukkan bahwa Amerika Serikat memiliki angka pembunuhan bukan dengan senjata api lebih tinggi daripada total angka pembunuhan di banyak negara Eropa. Namun, ada beberapa negara yang memiliki angka pembunuhan bukan dengan senjata api yang bahkan lebih tinggi daripada total angka pembunuhan di Amerika Serikat.
Merupakan hal yang lazim untuk menggunakan—dan menyalahgunakan—angka-angka statistik guna mendukung sudut pandang tertentu. Dan dalam kasus pengendalian senjata, tampaknya setiap argumen memiliki argumen balasan yang memang kelihatannya masuk akal. Topik-topik perdebatannya sangat kompleks. Akan tetapi, para pakar umumnya sependapat bahwa ada banyak faktor, selain kepemilikan senjata, yang mempengaruhi angka pembunuhan dan kejahatan.
Asosiasi Senapan Nasional di Amerika Serikat yang memiliki pengaruh kuat berulang-kali menyatakan, ”Senjata tidak membunuh orang; oranglah yang melakukannya.” Berdasarkan pandangan ini, senjata, meski dirancang untuk membunuh, tidak membunuh sendiri tanpa ada yang menggunakannya. Seseorang harus menarik picunya, sengaja atau tanpa sengaja. Tentu saja, beberapa orang mungkin membantah bahwa senjata memang memudahkan orang untuk membunuh.
Menempa Pedang Menjadi Mata Bajak
Menurut Alkitab, problem pembunuhan tidak akan tuntas hanya dengan menyita senjata dari tangan para pembunuh. Kejahatan merupakan problem sosial, maka masalahnya bukan sekadar mendapatkan senjata. Jalan keluar yang sebenarnya melibatkan perubahan sikap dan watak orang-orang itu sendiri. Nabi Yesaya diilhami untuk menulis, ”[Allah] pasti akan melaksanakan penghakiman di antara bangsa-bangsa dan meluruskan perkara-perkara sehubungan dengan banyak suku bangsa. Mereka akan menempa pedang-pedang mereka menjadi mata bajak dan tombak-tombak mereka menjadi pisau pemangkas. Bangsa tidak akan mengangkat pedang melawan bangsa, mereka juga tidak akan belajar perang lagi.”—Yesaya 2:4.
Hal ini tidak semustahil yang mungkin dipikirkan beberapa orang. Nubuat Yesaya sedang tergenap dewasa ini di antara orang-orang Kristen sejati seluas dunia. Secara simbolis mereka telah mengubah senjata menjadi alat-alat perdamaian, dan ini mencerminkan hasrat batin yang dalam untuk menyenangkan Allah dan hidup berdamai dengan orang lain. Pada waktunya, di bawah Kerajaan Allah semua orang di bumi akan sepenuhnya hidup dalam perdamaian dan keamanan. (Mikha 4:3, 4) Senjata tidak akan membunuh manusia. Manusia tidak akan membunuh manusia. Dan, perkakas maut tidak akan terpakai lagi.
[Gambar di hlm. 10]
”Mereka akan menempa pedang-pedang mereka menjadi mata bajak”
-