-
Serangan Soviet terhadap AgamaSedarlah!—2001 | 22 April
-
-
Serangan Soviet terhadap Agama
Republik Sosialis Uni Soviet dibentuk pada tahun 1922, yang didominasi oleh Rusia sebagai yang terbesar dan terkemuka dari keempat republik awalnya. Uni Soviet akhirnya berkembang hingga terdiri dari 15 republik dan luasnya hampir seperenam permukaan daratan bumi. Namun, pada tahun 1991, Uni Soviet mendadak bubar.a Sungguh menarik, Uni Soviet adalah negara pertama yang berupaya menghapuskan kepercayaan kepada Tuhan dari benak rakyatnya.
Vladimir Lenin, pemimpin pertama Uni Soviet, adalah murid Karl Marx, yang menggambarkan Kekristenan sebagai alat penindasan. Marx menyebut agama sebagai ”candu masyarakat”, dan Lenin belakangan menyatakan, ”Konsep religius apa pun, konsep apa pun tentang suatu tuhan, . . . merupakan hal yang sangat menjijikkan.”
Sewaktu Patriark Ortodoks Rusia Tikhon wafat pada tahun 1925, gereja tidak diizinkan memilih patriark lain. Serangan terhadap agama yang terjadi setelahnya mengakibatkan kebanyakan bangunan gereja dihancurkan atau diubah untuk penggunaan sekuler. Para imam dihukum di kamp-kamp kerja paksa, tempat banyak dari mereka tewas. ”Di bawah pemerintahan Joseph Stalin pada akhir tahun 1920-an dan ’30-an,” jelas Encyclopædia Britannica, ”gereja menderita penindasan berdarah yang menewaskan ribuan orang. Pada tahun 1939, hanya tiga dari empat uskup Ortodoks dan 100 gereja yang dapat secara resmi berfungsi.”
Akan tetapi, tiba-tiba, terjadi perubahan.
Perang Dunia II dan Agama
Pada tahun 1939, Nazi Jerman, yang pada waktu itu adalah sekutu Uni Soviet, menyerbu Polandia, yang merupakan awal dari Perang Dunia II. Dalam setahun, Uni Soviet telah mengambil empat republik terakhir dari 15 republiknya—Latvia, Lituania, Estonia, dan Moldavia. Akan tetapi, pada bulan Juni 1941, Jerman melancarkan serangan besar-besaran terhadap Uni Soviet, yang sangat mengejutkan Stalin. Pada akhir tahun itu, pasukan Jerman telah mencapai daerah pinggiran Moskwa, dan kejatuhan Uni Soviet tampak di ambang pintu.
Stalin berupaya mati-matian untuk memobilisasi bangsa itu agar mengobarkan apa yang disebut orang Rusia sebagai Perang Besar Patriotik. Stalin sadar bahwa ia perlu membuat kelonggaran bagi gereja guna memperoleh dukungan dari rakyat untuk upaya perang itu, karena jutaan dari mereka masih religius. Apa hasil dari perubahan spektakuler kebijakan Stalin terhadap agama ini?
Dengan adanya kerja sama dari gereja, orang-orang Rusia dimobilisasi untuk upaya perang itu, dan pada tahun 1945, suatu kemenangan Soviet yang dramatis atas Jerman terwujud. Setelah serangan Soviet terhadap agama ditangguhkan, jumlah gereja Ortodoks meningkat menjadi 25.000, dan jumlah imam mencapai 33.000 orang.
Serangan Diperbarui
Namun, pada kenyataannya, tujuan para pemimpin Soviet untuk menghapuskan konsep Tuhan dari benak rakyat mereka tidak berubah. The Encyclopædia Britannica menjelaskan, ”Suatu gerakan antiagama diprakarsai oleh Perdana Menteri Nikita Khrushchev pada tahun 1959-64, mengurangi jumlah gereja yang buka hingga kurang dari 10.000. Patriark Pimen dipilih pada tahun 1971 setelah kematian Alexis, dan, meskipun gereja masih memiliki jutaan orang yang setia kepadanya, masa depannya masih tidak pasti.”b
Nanti kita akan membahas bagaimana Gereja Ortodoks Rusia berhasil bertahan menghadapi serangan Soviet yang diperbarui. Namun, bagaimana nasib agama-agama lainnya di Uni Soviet? Dari semuanya, mana yang menjadi fokus utama serangan itu, dan mengapa? Hal ini akan kita bahas di artikel berikut.
[Catatan Kaki]
a Berikut ini adalah 15 negara merdeka bekas republik Soviet: Armenia, Azerbaijan, Belarus, Estonia, Georgia, Kazakstan, Kirghizistan, Latvia, Lituania, Moldova, Rusia, Tajikistan, Turkmenistan, Ukraina, dan Uzbekistan.
b Nama Alexis I, patriark Ortodoks Rusia dari tahun 1945 hingga 1970, dan Alexis II, patriark dari tahun 1990 hingga sekarang, juga kadang-kadang ditulis Alexy, Aleksi, Aleksei, dan Alexei.
[Gambar di hlm. 3]
Lenin menyebut ’konsep apa pun tentang Tuhan merupakan hal yang sangat menjijikkan’
[Keterangan]
Musée d’Histoire Contemporaine—BDIC
-
-
Fokus Serangan SovietSedarlah!—2001 | 22 April
-
-
Fokus Serangan Soviet
MESKIPUN Gereja Ortodoks Rusia diberi kelonggaran dalam upaya untuk memenangkan Perang Dunia II, Uni Soviet tetap menekan kegiatan gereja. Oleh karena itu, The Sword and the Shield, buku yang ditulis pada tahun 1999 tentang sejarah KGB (Komite Keamanan Soviet), menyatakan, ”KGB jauh lebih peduli pada kegiatan ’subversif’ orang-orang Kristen yang atasnya ia tidak memiliki kendali langsung”. Kelompok-kelompok agama manakah ini?
Yang terbesar adalah Gereja Katolik Yunani dari Ukraina, yang sekarang bernama Gereja Katolik Ukraina. Gereja ini memiliki sekitar 4.000.000 pengikut. Menurut The Sword and the Shield, ”semua kecuali dua dari sepuluh uskupnya, bersama dengan ribuan imam dan penganutnya, mati demi iman mereka di gulag [kamp kerja paksa] Siberia”. Sasaran lain dari KGB adalah gereja-gereja Protestan yang tidak terdaftar, yang juga di luar kendali langsung negara. Pada pengujung tahun 1950-an, KGB memperkirakan bahwa kelompok-kelompok Protestan ini memiliki anggota yang jumlah totalnya sekitar 100.000 orang.
KGB menganggap Saksi-Saksi Yehuwa sebagai kelompok Protestan, yang mereka perkirakan pada tahun 1968 berjumlah sekitar 20.000 di Uni Soviet. Hingga permulaan Perang Dunia II pada tahun 1939, Saksi-Saksi hanya berjumlah sedikit. Jadi, mereka tidak mengundang banyak perhatian. Namun, situasi berubah secara dramatis sewaktu ribuan Saksi tiba-tiba muncul di Uni Soviet. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Peningkatan Dramatis Dimulai
Dalam bukunya Religion in the Soviet Union, yang diterbitkan pada tahun 1961, Walter Kolarz menyebutkan dua faktor yang menyebabkan peningkatan dramatis ini. Salah satunya, ia mengatakan, adalah bahwa ”wilayah-wilayah yang direbut Uni Soviet pada tahun 1939-40”—Latvia, Lituania, Estonia, dan Moldavia—memiliki banyak ”kelompok Saksi-Saksi Yehuwa yang aktif”. Selain itu, bagian-bagian dari Polandia sebelah timur dan Cekoslowakia, yang memiliki lebih dari seribu Saksi, juga direbut oleh Uni Soviet, menjadi bagian dari Ukraina. Jadi, semua Saksi ini seolah-olah dicangkokkan ke Uni Soviet dalam semalam.
Peningkatan lainnya, ”yang kedengarannya mustahil”, tulis Kolarz, terdapat di ”kamp-kamp konsentrasi Jerman”. Nazi telah memenjarakan ribuan Saksi karena tidak mau mendukung Hitler dan perang agresinya. Kolarz menjelaskan bahwa para tahanan Rusia di kamp-kamp ini ”mengagumi keberanian dan keteguhan ’Saksi-Saksi’ dan kemungkinan besar karena itulah tertarik untuk mendalami teologi mereka”. Akibatnya, banyak anak muda Rusia dari kamp-kamp ini kembali ke Uni Soviet dengan iman baru akan Allah Yehuwa dan maksud-tujuan-Nya yang menakjubkan bagi bumi.—Mazmur 37:29; Penyingkapan [Wahyu] 21:3, 4.
Karena faktor-faktor semacam itu, dalam waktu singkat muncullah ribuan Saksi di Uni Soviet. Pada awal tahun 1946, sedikitnya ada 1.600 Saksi, dan pada akhir dekade itu, sudah ada lebih dari 8.000 orang. Pertumbuhan ini meresahkan KGB, yang, sebagaimana disebutkan sebelumnya, khususnya berminat pada ’kegiatan orang-orang Kristen yang atasnya ia tidak memiliki kendali langsung’.
Serangan Dimulai
Meskipun jumlah Saksi di Uni Soviet relatif sedikit, kegiatan pengabaran mereka yang bergairah segera diserang oleh pemerintah Soviet. Di Estonia, serangan dimulai pada bulan Agustus 1948 sewaktu kelima orang yang memimpin pekerjaan tersebut ditangkap dan dipenjarakan. ”Tak lama kemudian, tampaklah bahwa KGB ingin menangkap semuanya,” kata Saksi asal Estonia, Lembit Toom. Benar, semua Saksi yang ditemukan di Uni Soviet ditangkap.
Pemerintah Soviet menggambarkan Saksi-Saksi sebagai penjahat terburuk dan sebagai ancaman utama bagi ateistis Soviet. Jadi, di mana-mana, mereka dikejar-kejar, ditangkap, dan dipenjarakan. The Sword and the Shield mengatakan, ”Obsesi para pejabat tinggi KGB sehubungan dengan para Yehovis, kemungkinan, merupakan contoh terburuk kurangnya pemahaman tentang proporsi permasalahannya bahkan sewaktu mengatasi bentuk ketidaksepahaman yang paling sepele.”
Obsesi ini diperlihatkan secara dramatis oleh serangan yang direncanakan dengan baik terhadap Saksi-Saksi pada bulan April 1951. Dua tahun yang lalu, 1999, Profesor Sergei Ivanenko, seorang cendekiawan Rusia yang dihormati, mengatakan dalam bukunya The People Who Are Never Without Their Bibles bahwa pada awal April 1951, ”lebih dari 5.000 keluarga Saksi-Saksi Yehuwa dari Ukraina, Belarus, Moldavia, dan republik-republik Baltik Soviet dikirim ke ’permukiman permanen’ di Siberia, Timur Jauh, dan Kazakstan”.
Layak Dikenang
Dapatkah Anda membayangkan upaya yang dikerahkan dalam serangan itu—dalam satu hari menciduk ribuan keluarga Saksi dari seluruh daerah yang cukup luas? Bayangkan mengkoordinasikan ratusan, bahkan ribuan, personel—pertama-tama untuk mengidentifikasi Saksi-Saksi dan kemudian, di dalam kegelapan, melaksanakan sergapan tiba-tiba secara serentak di rumah-rumah mereka. Tahap berikutnya adalah memasukkan orang-orang itu ke gerobak dan kendaraan lainnya; membawa mereka ke stasiun-stasiun kereta; dan memindahkan mereka ke gerbong-gerbong barang.
Pikirkan juga tentang betapa menderitanya para korban itu. Dapatkah Anda membayangkan seperti apa rasanya dipaksa mengadakan perjalanan ribuan kilometer—selama tiga minggu atau lebih—di gerbong barang yang penuh sesak dan tidak ada sanitasi, yang hanya memiliki sebuah ember sebagai toilet? Dan, coba bayangkan bagaimana rasanya dibuang ke padang belantara Siberia, mengetahui bahwa untuk bertahan di lingkungan yang sangat tidak bersahabat itu Anda harus bersusah payah memanfaatkan sebaik-baiknya persediaan yang hanya tinggal sedikit.
Bulan ini menandai peringatan 50 tahun pembuangan Saksi-Saksi Yehuwa pada bulan April 1951. Untuk menceritakan tentang iman mereka dalam menghadapi penindasan selama puluhan tahun, pengalaman orang-orang yang selamat telah direkam dalam video. Peristiwa ini menyingkapkan bahwa—bahkan seperti kasus orang-orang Kristen abad pertama—upaya-upaya untuk mencegah orang-orang agar tidak menyembah Allah pasti tidak akan pernah berhasil.
Yang Dicapai oleh Pembuangan Itu
Pemerintah Soviet segera menyadari bahwa menghentikan Saksi-Saksi dari menyembah Yehuwa akan jauh lebih sukar daripada yang mereka bayangkan. Meskipun disuruh diam oleh para penangkap mereka, Saksi-Saksi menyanyikan pujian kepada Yehuwa seraya dipaksa pergi ke pembuangan dan dipasangi tanda pada gerbong kereta api mereka yang bertuliskan: ”Saksi-Saksi Yehuwa Sedang Diangkut”. Seorang Saksi menceritakan, ”Di stasiun-stasiun kereta api di sepanjang perjalanan, kami bertemu dengan kereta-kereta lain yang membawa orang-orang ke pembuangan, dan kami melihat tanda-tanda yang dipasang di gerbong-gerbong kereta itu.” Benar-benar dorongan moril yang besar!
Jadi, sebaliknya daripada kehilangan semangat, orang-orang yang diangkut ke pembuangan ini mencerminkan semangat rasul-rasul Yesus. Alkitab mengatakan bahwa setelah orang-orang ini didera dan diperintahkan untuk berhenti mengabar, ”mereka tanpa henti terus mengajar dan menyatakan kabar baik tentang Kristus”. (Kisah 5:40-42) Benar, seperti kata Kolarz tentang pembuangan itu, ”peristiwa ini bukanlah akhir dari ’Saksi-Saksi’ di Rusia, melainkan hanya awal dari babak baru kegiatan proselitisme mereka. Mereka bahkan berupaya menyebarluaskan iman mereka sewaktu berhenti di stasiun-stasiun dalam perjalanan menuju pembuangan”.
Sewaktu Saksi-Saksi tiba di berbagai tempat tujuan dan diturunkan, mereka memperoleh reputasi yang baik sebagai pekerja yang taat dan rajin. Namun, pada saat yang sama, dalam meniru rasul-rasul Kristus, mereka bahkan memberi tahu para penindas mereka, ’Kami tidak dapat berhenti berbicara tentang Allah kami.’ (Kisah 4:20) Banyak orang mendengarkan apa yang Saksi-Saksi ajarkan dan bergabung dengan mereka dalam melayani Allah.
Konsekuensinya adalah tepat seperti apa yang Kolarz jelaskan, ”Dengan mendeportasi mereka, Pemerintah Soviet sebenarnya sangat membantu menyebarkan agama mereka. Dari desa mereka yang terpencil [di republik-republik Soviet bagian barat], ’Saksi-Saksi’ dibawa ke dunia yang lebih luas, sekalipun ini hanyalah dunia yang mengerikan berupa kamp konsentrasi dan kamp kerja paksa.”
Upaya-Upaya untuk Mengatasi Pertumbuhan
Akhirnya, pemerintah Soviet mencoba metode-metode lain untuk menghentikan Saksi-Saksi Yehuwa. Karena penindasan yang kejam gagal mendatangkan hasil yang diinginkan, sebuah program yang direncanakan dengan rapi berupa propaganda kebohongan dilancarkan. Banyak buku, film, acara radio—juga penyusupan agen-agen KGB yang terlatih ke sidang—semua dicoba.
Penyalahgambaran yang tersebar luas menyebabkan banyak orang, dengan keliru, memandang Saksi-Saksi dengan rasa takut dan tidak percaya, sebagaimana diperlihatkan oleh sebuah artikel di Reader’s Digest bulan Agustus 1982, Edisi Kanada. Artikel itu ditulis oleh Vladimir Bukovsky, seorang Rusia yang diizinkan berimigrasi ke Inggris pada tahun 1976. Ia menulis, ”Pada suatu malam di London, saya melihat plang pada sebuah bangunan yang bertuliskan: SAKSI-SAKSI YEHUWA . . . Saya tidak sanggup membaca lebih jauh, saya tercengang, hingga hampir panik.”
Vladimir menjelaskan mengapa ia sampai ketakutan seperti itu, ”Saksi-Saksi adalah para penganut kultus yang pemerintah gambarkan sebagai makhluk-makhluk mengerikan untuk menakut-nakuti anak-anak . . . Di USSR, Anda akan bertemu dengan sosok ’Saksi-Saksi’ hanya di penjara dan kamp konsentrasi. Dan, sekarang saya ada di sini, di depan sebuah bangunan, dengan sebuah plang. Apa benar orang bisa masuk dan beramah-tamah dengan mereka?” tanyanya. Vladimir menandaskan mengapa ia begitu takut, ”’Saksi-Saksi’ dikejar-kejar di negeri kami bagaikan mafia, dan misteri yang menyelimuti mereka pun sama.”
Namun, meskipun ada penindasan yang kejam dan propaganda kebohongan, Saksi-Saksi terus bertahan dan jumlahnya terus bertambah. Buku-buku Soviet seperti The Truths About Jehovah’s Witnesses, dicetak dalam bahasa Rusia pada tahun 1978 sebanyak 100.000 eksemplar, mengusulkan perlunya untuk meningkatkan propaganda anti-Saksi. Sang penulis, V. V. Konik, yang melukiskan bagaimana Saksi-Saksi menjalankan pengabaran mereka meskipun adanya pembatasan yang kejam, menyarankan, ”Para peneliti Soviet di bidang agama seharusnya mempelajari lebih banyak metode untuk mengatasi ajaran Saksi-Saksi Yehuwa.”
Mengapa Menjadi Fokus Serangan?
Singkatnya, Saksi-Saksi Yehuwa menjadi fokus utama serangan Soviet karena mereka meniru para pengikut Yesus masa awal. Di abad pertama, rasul-rasul diperintahkan ”untuk tidak terus mengajar atas dasar nama [Yesus]”. Namun, para penindas kemudian protes, ”Lihat! kamu telah memenuhi Yerusalem dengan ajaranmu.” Sebaliknya daripada membantah bahwa mereka telah mengabar meskipun diperintahkan untuk tidak melakukannya, para rasul menjawab dengan penuh respek, ”Kita harus menaati Allah sebagai penguasa sebaliknya daripada manusia.”—Kisah 5:27-29.
Saksi-Saksi Yehuwa dewasa ini juga menganggap serius perintah Yesus kepada para pengikutnya ”untuk memberitakan kepada orang-orang dan memberikan kesaksian yang saksama”. (Kisah 10:42) Dalam bukunya The Kremlin’s Human Dilemma, Maurice Hindus menjelaskan bahwa ”gairah yang tidak dapat ditekan untuk menginjil” dari Saksi-Saksi-lah yang membuat mereka ”khususnya menyulitkan Moskwa dan [membawa] mereka ke konflik berkelanjutan dengan polisi Soviet”. Ia menambahkan, ”Mereka tidak dapat dihentikan. Ditekan di satu tempat, muncul di tempat lain.”
”Sepanjang pengetahuan saya,” tulis sejarawan Rusia Sergei Ivanenko, ”organisasi Saksi-Saksi Yehuwa merupakan satu-satunya organisasi agama di USSR yang meningkat jumlahnya meskipun dilarang dan ditindas.” Tentu saja, agama-agama lain juga terus berfungsi, termasuk yang paling menonjol, Gereja Ortodoks Rusia. Pasti Anda tertarik untuk mengetahui bagaimana gereja itu maupun Saksi-Saksi sanggup bertahan menghadapi serangan Soviet.
[Kotak di hlm. 6]
”Ditindas Paling Kejam”
A Concise Encyclopaedia of Russia terbitan tahun 1964 menyatakan bahwa Saksi-Saksi Yehuwa ”sangat aktif dalam kegiatan proselitisme” dan merupakan ”komunitas religius yang ditindas paling kejam di Uni Soviet”.
[Kotak/Gambar di hlm. 7]
SATU DARI RIBUAN—Fyodor Kalin Melukiskan Pembuangan yang Dialami Keluarganya
Keluarga kami tinggal di desa Vilshanitsa, bagian barat Ukraina. Di kegelapan subuh tanggal 8 April 1951, para petugas dengan anjing-anjing datang, membangunkan kami, dan memberi tahu kami bahwa berdasarkan surat keputusan pemerintah di Moskwa, kami akan dikirim ke Siberia. Namun, jika kami menandatangani dokumen yang mengatakan bahwa kami bukan lagi Saksi-Saksi Yehuwa, kami tidak akan dibuang. Ketujuh anggota keluarga kami, termasuk orang tua dan saudara-saudara kandung saya, bertekad untuk tetap menjadi Saksi. Pada waktu itu saya berusia 19 tahun.
Seorang petugas berkata, ”Bawa kacang polong, jagung, tepung, acar, kol—kalau tidak, anak-anak mau diberi makan apa?” Kami juga diizinkan untuk menyembelih beberapa ekor ayam serta seekor babi dan membawa dagingnya. Dua kereta kuda dibawa, dan semuanya dimasukkan ke situ lalu dibawa ke kota Hriplin. Di sana, sekitar 40 atau 50 dari kami dijejalkan ke gerbong barang, dan pintunya ditutup.
Di dalam gerbong itu ada beberapa papan sebagai tempat tidur—tidak cukup untuk setiap orang—dan sebuah kompor dengan beberapa batu bara dan kayu. Kami memasak dengan kompor itu, menggunakan alat masak yang kami bawa. Namun, di situ tidak ada toilet—kami hanya menggunakan sebuah ember. Kemudian, kami membuat lubang di lantai, memasang embernya di situ, dan menggantungkan selimut di sekitarnya untuk sedikit privasi.
Kami tinggal berdesak-desakan dalam gerbong barang itu seraya kami perlahan-lahan melakukan perjalanan ribuan kilometer ke suatu tujuan yang tidak kami kenal. Pada mulanya, kami merasa patah semangat. Namun, seraya kami menyanyikan lagu-lagu Kerajaan bersama—begitu kuatnya sampai-sampai kehabisan suara setelah bernyanyi—kami merasa bersukacita. Sang komandan biasa membuka pintu dan memerintahkan kami untuk berhenti bernyanyi, namun kami tidak akan berhenti sampai selesai. Sewaktu kereta berhenti di stasiun-stasiun di sepanjang jalan, banyak orang baru tahu bahwa Saksi-Saksi Yehuwa sedang di kirim ke pembuangan. Akhirnya, setelah 17 atau 18 hari di dalam gerbong barang itu, kami diturunkan di Siberia dekat Danau Baikal.
[Gambar]
Saya berdiri di baris belakang, sebelah kanan
[Kotak/Gambar di hlm. 8]
ARMAGEDON—Film Propaganda Soviet
Pemerintah Soviet memproduksi film Armageddon dalam upaya untuk mendiskreditkan Saksi-Saksi Yehuwa. Film ini menampilkan cerita fiksi tentang kisah cinta antara seorang pemuda di angkatan bersenjata Soviet dan seorang gadis yang terpikat untuk bergabung dengan barisan Saksi-Saksi. Di akhir film itu, adik perempuan dari sang gadis tewas dalam kecelakaan yang disebabkan oleh seorang penatua Saksi, yang digambarkan sebagai alat dinas spionase Amerika.
Berkomentar tentang film ini, yang menggugah perasaan penontonnya, surat kabar Ukraina The Red Flag edisi 14 Mei 1963 mengatakan, ”Dengan cara demikian, propaganda ateistis efektif, meyakinkan, dan hal ini dapat digunakan di desa-desa lain dari negeri itu yang juga memutar film yang sama.”
[Gambar di hlm. 6]
Ribuan diangkut dengan gerbong-gerbong barang ke Siberia
-
-
Bagaimana Agama BertahanSedarlah!—2001 | 22 April
-
-
Bagaimana Agama Bertahan
SAAT Nazi Jerman menyerbu Rusia pada bulan Juni 1941, Soviet praktis telah menghapuskan Gereja Ortodoks Rusia. Namun, setelah invasi Nazi ini, Soviet mulai mengubah sikap mereka terhadap agama. Apa yang menggerakkannya?
Richard Overy, profesor sejarah modern di King’s College, London, menjelaskan dalam bukunya Russia’s War—Blood Upon the Snow, ”Metropolitan Sergei [Sergius], kepala Gereja, pada hari terjadinya invasi Jerman, menggugah orang-orang yang beragama untuk melakukan apa pun guna membawa kemenangan. Ia menerbitkan sedikitnya dua puluh tiga surat dalam dua tahun berikutnya, memanggil kawanannya untuk berjuang demi negara tak bertuhan tempat mereka hidup.” Jadi, sebagaimana kata Overy selanjutnya, ’Stalin mengizinkan agama untuk berkembang lagi’.
Pada tahun 1943, Stalin akhirnya setuju untuk mengakui keberadaan Gereja Ortodoks dengan menunjuk Sergius sebagai patriark barunya. ”Pihak Gereja merespons dengan mengumpulkan uang dari anggota-anggota gereja untuk mendanai kendaraan perang Soviet,” kata Overy. ”Imam dan uskup menasihati jemaat mereka untuk menjalankan iman, kepada Allah dan Stalin.”
Melukiskan periode sejarah Rusia ini, cendekiawan keagamaan Rusia Sergei Ivanenko menulis, ’Publikasi resmi Gereja Ortodoks Rusia, The Journal of the Moscow Patriarchate, mengagungkan Stalin sebagai pemimpin dan guru terbesar segala zaman dan bangsa, diutus oleh Allah untuk menyelamatkan bangsa itu dari penindasan, tuan tanah, dan kaum kapitalis. Buku itu mengajak para anggota gereja untuk memberikan tetes darah mereka yang penghabisan demi membela USSR dari musuh-musuhnya dan untuk memberikan semua milik mereka guna membangun Komunisme.’
”Sangat Dihargai KGB”
Bahkan setelah Perang Dunia II berakhir pada tahun 1945, Gereja Ortodoks tetap berguna bagi Komunis. The Soviet Union: The Fifty Years, diedit oleh Harrison Salisbury, menyingkapkan bagaimana hal ini dapat terjadi, ”Setelah perang berakhir, para pemimpin gereja menuruti tuntutan Perang Dingin berupa kebijakan luar negeri Stalin.”
Buku The Sword and the Shield melukiskan bagaimana para pemimpin gereja melayani kepentingan pemerintah Soviet. Buku itu menjelaskan bahwa Patriark Alexis I, penerus Sergius sebagai patriark pada tahun 1945, ”bergabung dengan Dewan Perdamaian Dunia, organisasi front Soviet yang didirikan pada tahun 1949”. Buku itu juga menyatakan bahwa ia dan Metropolitan Nikolai ”sangat dihargai KGB [Komite Keamanan Negara Soviet] sebagai alat untuk mempengaruhi”.
Sungguh mengherankan, pada tahun 1955, Patriark Alexis I menyatakan, ”Gereja Ortodoks Rusia mendukung kebijakan luar negeri yang sepenuhnya damai dari pemerintahan kita, bukan karena Gereja kekurangan kebebasan, tetapi karena kebijakan Soviet adalah adil dan selaras dengan konsep Kristen yang Gereja beritakan.”
Dalam The Guardian dari London, Inggris, edisi 22 Januari 2000, imam Ortodoks disiden Georgi Edelshtein dikutip mengatakan, ”Semua uskup dipilih dengan cermat sehingga mereka akan bekerja sama dengan pemerintah Soviet. Semuanya adalah agen-agen KGB. Banyak orang tahu bahwa Patriark Alexy direkrut oleh KGB, dengan kode nama Drozdov. Dewasa ini, para uskup masih menjalankan politik seperti 20 atau 30 tahun yang lalu.”
Pelayan Pemerintah Soviet
Mengenai hubungan antara Gereja Ortodoks dan pemerintah Soviet, majalah Life edisi 14 September 1959 mengatakan, ”Stalin memberikan kelonggaran kepada agama, dan gereja memperlakukannya seperti tsar. Kolaborasi ortodoks dipastikan melalui kementerian pemerintah khusus dan Komunis telah menggunakan gereja sejak saat itu sebagai tangan pemerintah Soviet.”
Matthew Spinka, seorang pakar dalam urusan gereja Rusia, meneguhkan adanya hubungan dekat antara Gereja dan Pemerintah dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1956, The Church in Soviet Russia. ”Patriark Alexei yang sekarang,” tulisnya, ”telah dengan sengaja membuat Gerejanya sebagai alat Negara.” Memang, Gereja Ortodoks, pada dasarnya, bertahan karena menjadi pesuruh pemerintah. ’Namun, apakah hal itu begitu tercela?’ Anda mungkin bertanya. Yah, pikirkan saja bagaimana Allah dan Kristus memandang hal ini.
Yesus Kristus mengatakan tentang murid-muridnya yang sejati, ”Kamu bukan bagian dari dunia, tetapi aku telah memilih kamu dari dunia.” Dan, Firman Allah dengan tegas bertanya, ”Para pezina, tidak tahukah kamu bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah?” (Yohanes 15:19; Yakobus 4:4) Jadi, seperti yang Alkitab katakan, gereja menjadikan dirinya sebagai pelacur agama dengan siapa ”raja-raja di bumi melakukan percabulan”. Gereja telah memperlihatkan dirinya sebagai bagian dari apa yang Alkitab sebut ”Babilon Besar, ibu para sundal dan ibu dari perkara-perkara yang menjijikkan di bumi”.—Penyingkapan 17:1-6.
Bagaimana Saksi-Saksi Bertahan
Sebaliknya, Yesus Kristus menyingkapkan bagaimana para pengikutnya yang sejati akan dikenal, katanya, ”Dengan inilah semua orang akan tahu bahwa kamu adalah murid-muridku, jika kamu mempunyai kasih di antara kamu.” (Yohanes 13:35) Kasih ini adalah faktor utama yang membuat Saksi-Saksi Yehuwa bertahan di bekas Uni Soviet, sebagaimana ditunjukkan oleh laporan berikut ini dalam The Sword and the Shield. ”Para Jehovis memberikan berbagai macam bantuan kepada rekan seagama mereka yang berada di kamp [kerja paksa] atau di pembuangan internal, memberi mereka uang, makanan, dan pakaian.”
Yang termasuk dalam ”makanan” yang disediakan bagi orang-orang di kamp penjara adalah makanan rohani—Alkitab dan lektur Alkitab. Alkitab berisi ’ucapan Allah’, yang kata Yesus, kita butuhkan untuk menopang kehidupan rohani kita. (Matius 4:4) Bacaan-bacaan ini diselundupkan ke dalam kamp dengan risiko pribadi yang besar, karena orang yang ketahuan melakukan hal ini akan dihukum berat.
Helene Celmina, seorang Latvia, dipenjarakan di kamp Potma di Rusia dari tahun 1962 hingga 1966. Ia menulis Women in Soviet Prisons, sebuah buku yang di dalamnya ia menjelaskan, ”Banyak Saksi-Saksi Yehuwa dihukum sepuluh tahun kerja paksa hanya karena memiliki beberapa terbitan majalah Watchtower di apartemen mereka. Karena orang-orang ditangkap akibat memiliki bacaan-bacaan ini, dapat dimaklumi bila pemerintah khawatir dan kesal apabila bacaan-bacaan ini ada di kamp.”
Tentulah, membahayakan kebebasan dan keamanan pribadi demi menyediakan bantuan rohani merupakan bukti kasih Kristen! Namun, selain faktor penting ini, ada lagi faktor yang lebih penting yang membuat Saksi-Saksi dapat bertahan. ”Tidak ada yang dapat mengerti,” kata Helene Celmina, ”bagaimana daerah yang dikelilingi kawat berduri dengan kontak manusia yang terbatas ini dapat disusupi oleh bacaan yang dilarang.” Hal itu tampaknya tidak mungkin, karena setiap orang yang memasuki penjara diperiksa secara saksama. ”Halnya seolah-olah malaikat pada malam hari terbang dan menjatuhkannya,” tulis Helene.
Ya, Allah berjanji bahwa Ia tidak akan meninggalkan, atau menelantarkan, umat-Nya. Jadi, Saksi-Saksi Yehuwa di bekas Uni Soviet mengakui, ”Lihat! Allah adalah penolongku.” (Mazmur 54:4; Yosua 1:5) Sesungguhnya, bantuan-Nya penting untuk membuat Saksi-Saksi bertahan di bekas Uni Soviet!
Bagaimana Situasi Berubah
Pada tanggal 27 Maret 1991, Saksi-Saksi Yehuwa menjadi organisasi yang diakui secara resmi di Uni Soviet dengan penandatanganan piagam resmi yang mencakup deklarasi berikut, ”Tujuan dari Organisasi Agama ini adalah untuk melaksanakan pekerjaan religius berupa memperkenalkan nama Allah Yehuwa dan persediaan-Nya yang pengasih untuk umat manusia melalui Kerajaan surgawi-Nya oleh Yesus Kristus.”
Di dalam piagam ini terdapat cara-cara melaksanakan pekerjaan religius tersebut, yang di antaranya adalah mengabar kepada umum dan mengunjungi rumah-rumah orang, mengajarkan kebenaran Alkitab kepada orang-orang yang bersedia mendengar, memimpin pengajaran Alkitab cuma-cuma dengan bantuan publikasi-publikasi pengajaran Alkitab, dan menyebarkan Alkitab.
Sejak penandatanganan dokumen itu lebih dari sepuluh tahun yang lalu, Uni Soviet telah dibubarkan, dan situasi keagamaan telah berubah banyak di 15 negara bekas republik Soviet. Apa yang dapat dikatakan tentang masa depan agama di sana dan juga di seluruh dunia?
[Kotak di hlm. 11]
Kolaborasi Gereja dengan Pemerintah Soviet
Dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1945, Russia Is No Riddle, Edmund Stevens menulis, ”Gereja sangat berhati-hati untuk tidak menggigit tangan yang sekarang sedang memberinya makan. Gereja sangat menyadari bahwa sebagai balasan dari perkenan yang diberikan kepadanya, pemerintah mengharapkan Gereja memberikan dukungan kuat kepada rezim Soviet dan beroperasi dalam batasan-batasan tertentu.”
Stevens kemudian menjelaskan, ”Tradisi yang sudah berabad-abad sebagai agama resmi Negara berakar kuat dalam Gereja Ortodoks, maka Gereja dapat meluncur dengan mudah ke perannya yang baru berupa kolaborasi erat dengan Pemerintah Soviet.”
Institut Keston dengan saksama meneliti kolaborasi masa lalu antara Alexis II, patriark Gereja Ortodoks Rusia yang sekarang, dan Pemerintah Soviet. Laporannya menyimpulkan, ”Kolaborasi Aleksi bukan merupakan hal yang luar biasa—hampir semua pemimpin senior dari semua agama yang diakui secara resmi—termasuk Katolik, Baptis, Adven, Muslim, dan Buddha—adalah agen-agen KGB yang direkrut. Benar, laporan tahunan yang menjelaskan tentang direkrutnya Aleksi juga menyebut sejumlah agen lain, beberapa dari mereka berada di Gereja Lutheran Estonia.”
[Kotak/Gambar di hlm. 12]
Mencapai Orang-Orang yang Berada di Kamp
Viktors Kalnins, seorang jurnalis Latvia, menghabiskan kebanyakan dari hukuman sepuluh tahunnya (1962-72) di kompleks kamp Mordovia, sekitar 400 kilometer sebelah tenggara Moskwa. Dalam sebuah wawancara dengan seorang penulis Sedarlah! pada bulan Maret 1979, Kalnins ditanya, ”Apakah para tahanan Saksi itu tahu tentang apa yang terjadi di sini di Amerika Serikat atau negeri-negeri lain sehubungan dengan organisasi mereka?”
”Mereka tahu,” jawab Kalnins, ”dan hal itu diperoleh melalui bacaan yang mereka terima. . . . Mereka bahkan memperlihatkan majalah-majalah mereka kepada saya. Saya tidak pernah tahu di mana bacaan-bacaan itu disembunyikan; persembunyian ini berubah dari waktu ke waktu. Namun, setiap orang tahu ada bacaan-bacaan itu di kamp. . . . Para penjaga dan Saksi-Saksi Yehuwa seperti Tom dan Jerry, yang satu berupaya menyembunyikan bacaan dan yang satu lagi berupaya menemukan bacaan-bacaan itu!”
Terhadap pertanyaan ”Apakah Saksi-Saksi Yehuwa berupaya berbicara kepada Anda tentang kepercayaan mereka?” Kalnins menjawab, ”Oh tentu! Kepercayaan mereka sangat dikenal. Kami tahu banyak soal Armagedon . . . Mereka berbicara banyak mengenai akhir dari penyakit.”
[Gambar]
Saksi-Saksi di kamp Mordovia terus membagikan kebenaran Alkitab dengan berani
[Gambar di hlm. 8, 9]
Keluarga Vovchuks dideportasi ke Irkutsk, Siberia, pada tahun 1951 dan masih menjadi orang-orang Kristen yang setia hingga sekarang
[Gambar di hlm. 10]
Karena dukungan gereja selama Perang Dunia II, Stalin mengizinkan agama berkembang untuk sementara
[Keterangan]
U.S. Army photo
[Gambar di hlm. 10]
Patriark Alexis I (1945-70) mengatakan, ’Kebijakan Soviet selaras dengan konsep Kristen yang Gereja beritakan’
[Keterangan]
Central State Archive regarding the film/photo/phono documents of Saint-Petersburg
-
-
Apa Masa Depan Agama?Sedarlah!—2001 | 22 April
-
-
Apa Masa Depan Agama?
KEBANGKITAN agama merupakan hal yang dramatis di negeri-negeri bekas Uni Soviet. Di Rusia saja, 50 persen populasinya sekarang menyatakan diri mereka Ortodoks, dan jutaan bergabung dengan agama-agama lain. Islam, Yudaisme, dan Buddhisme adalah di antara agama-agama yang sudah lama didirikan, dan Saksi-Saksi Yehuwa juga memiliki sejarah yang panjang di sana.
Pada tahun 1891, perwakilan dari Siswa-Siswa Alkitab, sebagaimana Saksi-Saksi Yehuwa dikenal sebelum tahun 1931, mengunjungi Kishinev, Rusia (sekarang Chisinau, Moldova). Di sana, perhimpunan dengan rekan-rekan seiman diadakan. Pada tahun 1928, George Young, seorang perwakilan khusus dari Siswa-Siswa Alkitab, mengadakan pertemuan dengan para pejabat Soviet di Moskwa, Rusia, untuk meminta izin menerbitkan bacaan Alkitab di Uni Soviet. Kemudian, Saksi-Saksi menjadi terkenal sebagai hasil dari upaya pemerintah Soviet untuk menghapuskan mereka.
Sewaktu Uni Soviet secara tiba-tiba dibubarkan hampir sepuluh tahun yang lalu, orang-orang mulai bertanya-tanya, ’Mengapa dulu pemerintah Soviet berupaya menghapuskan agama?’ Banyak orang yang telah diindoktrinasi oleh ateisme selama puluhan tahun menjadi ingin tahu apa yang ditawarkan oleh agama. Dapatkah Alkitab, yang pernah dibredel sebagai bacaan terlarang, benar-benar berisi jawaban atas masalah-masalah yang dihadapi umat manusia? Orang-orang Rusia mulai menyelidiki sendiri.
Masalah Agama Jenis Lain
Minat begitu banyak orang akan Alkitab menciptakan masalah keagamaan dalam jenis lain di bekas Uni Soviet. Surat kabar Guardian dari London, Inggris, tahun lalu menyatakan, ”’Perang melawan Allah’ mungkin telah berakhir, namun baru satu dekade setelah kekalahan hina dari negara yang tanpa tahu malu menyatakan dirinya sebagai negara ateis pertama di dunia, sebuah perang dingin keagamaan yang baru di Rusia mungkin baru saja dimulai.” Apa yang dimaksud dengan perang dingin keagamaan yang disebutkan surat kabar ini?
Sebagaimana disebutkan di artikel kami sebelumnya, Gereja Ortodoks Rusia bekerja erat dengan para pemimpin Soviet untuk bertahan dan menerima hak-hak kehormatan. The Guardian melukiskan kesinambungan dari hubungan demikian, dengan menjelaskan, ”Selama sepuluh tahun terakhir gereja juga telah membentuk hubungan dekat yang tidak menyenangkan dengan negara yang sebagian besar belum direformasi dan yang pernah menekannya, secara reguler mendukung pemerintah Rusia (dukungan Patriark terhadap perang di Chechnya) dan sebagai balasannya memperoleh pengaruh politis yang besar.”
Los Angeles Times edisi 10 Februari 1999 menarik perhatian kepada penggunaan pengaruh politis gereja sewaktu berkomentar tentang Undang-Undang Kebebasan Berhati Nurani dan Berkumpul untuk Beribadat. Los Angeles Times mengatakan bahwa undang-undang ini, yang ditandatangani oleh Presiden Boris Yeltsin pada bulan September 1997, ”didukung oleh Gereja Ortodoks Rusia”. Undang-undang itu memberi gereja status terpilih sebagai agama ”tradisional”, bersama dengan Islam, Yudaisme, dan Buddhisme. Di antaranya, undang-undang itu menuntut agar organisasi-organisasi keagamaan di Rusia mendaftar ulang.
New York Times edisi 11 Februari 1999 melaporkan bahwa setelah undang-undang ini diberlakukan, ”Gereja Ortodoks tetap menekan lawan-lawannya”. Times menambahkan, ”Bulan Agustus lalu, Aleksei II, Patriark Gereja Ortodoks Rusia, menyerukan larangan terhadap agama-agama proselitisme, khususnya yang berupaya menarik orang dari ’agama nenek moyang mereka’.” Sejak itu, upaya-upaya untuk melarang apa yang disebut agama proselitisme telah berlanjut, menghasilkan apa yang dikarakteristikkan sebagai ”perang dingin agama”.
Salah Satu Sasaran
Saksi-Saksi Yehuwa telah menjadi salah satu target utama serangan yang dipimpin oleh Gereja Ortodoks Rusia. Pada tanggal 20 Juni 1996, kantor kejaksaan Moskwa mulai mempertimbangkan tuntutan hukum yang diprakarsai oleh Komite Perlindungan Kaum Muda dari Agama Palsu yang antikultus. Meskipun kasus ini mengalami reses berulang-ulang karena tidak adanya bukti perilaku kejahatan dari Saksi-Saksi Yehuwa, kasus itu selalu saja muncul kembali.
Sementara itu, Saksi-Saksi menjadi sasaran dari propaganda yang gencar. Komsomolskaya Pravda, surat kabar Rusia dengan tiras 1.200.000, berkomentar dalam edisi 21 November 1998, ”Hanya dalam dua tahun, Gereja Ortodoks Rusia telah menerbitkan lebih dari sepuluh buku, brosur, dan buku pedoman yang ’dibaktikan’ untuk membahas komunitas Yehovis.” Mengapa gereja berfokus pada upaya untuk mendiskreditkan Saksi-Saksi?
”Kemungkinan besar,” lanjut Komsomolskaya Pravda, ”hal ini terutama karena selama lebih dari tujuh tahun terakhir, jumlah anggota organisasi itu telah bertumbuh sepuluh kali lipat, dan Gereja Ortodoks Rusia, seperti organisasi hierarkis mana pun, tidak suka adanya saingan.”
Di awal tahun 1999, sewaktu kasus pengadilan terhadap Saksi-Saksi dibuka kembali, hal itu mendapat perhatian dunia. Kepala berita New York Times tanggal 11 Februari berbunyi, ”Pengadilan Moskwa Mengevaluasi Larangan terhadap Saksi-Saksi Yehuwa”. Artikel itu mengatakan, ”Kasus ini sekarang berada di hadapan pengadilan sipil Moskwa, diperdengarkan di sebuah ruang pengadilan yang kecil, diawasi dengan ketat oleh kelompok-kelompok keagamaan dan hak asasi manusia sebagai upaya signifikan pertama untuk menggunakan [Undang-Undang Kebebasan Berhati Nurani dan Berkumpul untuk Beribadat] guna membatasi ibadat.”
Lyudmila Alekseyeva, presiden Federasi Helsinki Internasional, menjelaskan mengapa pengadilan Saksi-Saksi diawasi dengan ketat. Ia mengatakan bahwa jika orang-orang yang berupaya menekan Saksi-Saksi Yehuwa ”berhasil dalam kasus ini”, maka ”mereka akan bebas untuk menyerang kelompok-kelompok lain” yang juga dikarakteristikkan sebagai agama nontradisional. Akan tetapi, pengadilan itu ditunda lagi pada tanggal 12 Maret 1999. Tetapi, pada bulan berikutnya, tanggal 29 April, Kementerian Kehakiman Rusia memberikan sertifikasi pendaftaran bagi ”Pusat Administratif Saksi-Saksi Yehuwa di Rusia”.
Meskipun adanya pengakuan ini oleh pemerintah, serangan-serangan terhadap Saksi-Saksi dan minoritas religius lainnya telah berlanjut di Rusia dan di bekas republik-republik Soviet lainnya. Lawrence Uzzell, direktur Institut Keston di Oxford, Inggris, mengatakan bahwa ”selalu ada gunanya untuk mengamati Saksi-Saksi Yehuwa” karena apa yang terjadi pada mereka berfungsi ”sebagai tanda peringatan dini”. Benar, kebebasan beragama yang penting bagi puluhan juta orang sedang berada dalam bahaya!
Serangan Dinyatakan Tidak Benar
Pada abad pertama, para imam kepala dan pemimpin agama lainnya menindas pengikut Yesus. (Yohanes 19:15; Kisah 5:27-33) Hasilnya, ada perkataan tentang Kekristenan, ”Sesungguhnya sehubungan dengan sekte ini, kami tahu bahwa di mana-mana itu ditentang.” (Kisah 28:22) Dengan demikian, tidak mengejutkan kalau orang-orang Kristen sejati dewasa ini juga difitnah, seperti yang dialami Saksi-Saksi Yehuwa.
Namun, setelah memeriksa bukti terhadap orang-orang Kristen masa awal, Gamaliel, seorang Farisi yang terkenal dan guru Hukum, menyarankan, ”Jangan mencampuri perkara orang-orang ini, tetapi biarkan mereka; (karena, jika siasat ini atau pekerjaan ini dari manusia, ini akan musnah; tetapi jika ini dari Allah, kamu tidak akan dapat memusnahkan mereka;) sebaliknya, mungkin kamu ternyata melawan Allah.”—Kisah 5:38, 39.
Penyelidikan yang cermat terhadap Saksi-Saksi Yehuwa juga telah dilakukan oleh para kritikus dewasa ini. Apa hasilnya? Sergey Blagodarov, yang dirinya sendiri adalah penganut Ortodoks, mengatakan dalam Komsomolskaya Pravda, ”Selama lebih dari seratus tahun, tidak satu negeri pun di dunia ini yang sanggup membuktikan bahwa Saksi-Saksi Yehuwa melakukan tindak kejahatan maupun membuktikan bahwa keberadaannya tidak sah.”
Apa Masa Depan Agama?
Alkitab berbicara tentang ”agama yang murni” atau ”ibadat yang bersih dan tidak tercemar”. (Yakobus 1:27a; lihat juga King James Version.) Sebagaimana dikatakan di artikel sebelumnya, Alkitab melukiskan imperium agama palsu dunia sebagai ’sundal besar dengan siapa raja-raja di bumi melakukan percabulan’. Sundal agama simbolis ini—”Babilon Besar”—dikatakan ”mabuk oleh darah orang-orang kudus dan darah saksi-saksi Yesus”.—Penyingkapan 17:1-6.
Betapa cocok penjabaran ini dengan agama yang telah bekerja sama erat dengan para pemimpin politik dunia untuk mempertahankan hak kehormatannya sendiri! Namun, masa depan dari sundal agama simbolis besar ini sudah dipastikan. ”Dalam satu hari,” kata Alkitab, ”tulah-tulahnya akan datang, kematian dan perkabungan dan bala kelaparan, dan dia akan dibakar habis dengan api, karena Allah Yehuwa, yang menghakimi dia, adalah kuat.” Tidak heran, peringatan dari malaikat mendesak, ”Keluarlah dari dalamnya . . . jika kamu tidak ingin menerima bagian dari tulah-tulahnya”!—Penyingkapan 18:4, 7, 8.
Sewaktu sang murid Yakobus menjelaskan ”agama yang murni”, ia mengidentifikasinya sebagai agama yang ”tidak dinodai oleh dunia”. (Yakobus 1:27b) Selain itu, Yesus Kristus mengatakan tentang para pengikutnya yang sejati, ”Mereka bukan bagian dari dunia, sebagaimana aku bukan bagian dari dunia.” (Yohanes 17:16) Dengan demikian, dapatkah Anda melihat mengapa Saksi-Saksi Yehuwa tetap bebas dari pengaruh-pengaruh yang merusak dari persoalan politik dunia ini? Mereka melakukannya karena keyakinan mereka yang penuh akan janji Alkitab, ”Dunia ini sedang berlalu, demikian pula keinginannya, tetapi ia yang melakukan kehendak Allah akan tetap hidup untuk selamanya.”—1 Yohanes 2:17.
[Gambar di hlm. 15]
Pengadilan yang diadakan di Moskwa pada bulan Februari 1999. Pembela (kiri), hakim (tengah), dan penuntut (kanan)
[Gambar di hlm. 15]
Alkitab menjabarkan masa depan semua agama
-