PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • Manusia versus Alam
    Sedarlah!—2001 | 22 November
    • Manusia versus Alam

      ”Dewasa ini, manusialah yang seharusnya bertanggung jawab atas meningkatnya kepunahan spesies.”—JANE GOODALL, KONSERVASIONIS.

      KEHIDUPAN di bumi memang dinamis dan saling berkaitan. Sebagai manusia, kita adalah bagian yang tak terpisahkan darinya. Kita bergantung pada makhluk hidup di bumi untuk memperoleh makanan dan obat-obatan, oksigen yang kita hirup, serta unsur-unsur yang membentuk tubuh kita. Dalam satu hari normal, populasi manusia di bumi memanfaatkan lebih dari 40.000 spesies lain. Bersama-sama, semua spesies di bumi menjalin suatu jaring kehidupan yang kompleks, mencengangkan, dan pelik.

      Akan tetapi, banyak pakar yang mempelajari jaring yang kompleks ini merasa bahwa jaring tersebut sedang terancam! Barangkali Anda pernah mendengar tentang badak, harimau, panda, dan ikan paus yang terancam punah. Beberapa ilmuwan menyatakan bahwa 50 persen spesies tumbuhan dan binatang bakal lenyap dari bumi dalam kurun waktu 75 tahun. Para peneliti takut kalau-kalau beberapa spesies lenyap 10.000 kali lebih cepat daripada apa yang disebut para ilmuwan sebagai tingkat kepunahan alami. Seorang pakar memperkirakan bahwa spesies-spesies sedang mengalami kepunahan dengan tingkat rata-rata satu spesies setiap 10 sampai 20 menit.

      Para ilmuwan percaya bahwa jauh di masa lalu, kepunahan spesies sebagian besar dipicu oleh penyebab-penyebab alami. Namun, menurut mereka penyebab utama krisis sekarang ini berbeda. Berdasarkan bukti-bukti, kepunahan yang terjadi sekarang ini disebabkan oleh aktivitas manusia. Seorang ilmuwan menjuluki manusia sebagai ”spesies pemusnah”.

      Benarkah aktivitas manusia menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati secara drastis? Jika demikian, dengan cara bagaimana? Dapatkah kita bertahan hidup tanpa keanekaragaman kehidupan di bumi? Adakah tindakan yang diambil untuk menghentikan apa yang dirasa banyak orang sebagai krisis kepunahan makhluk-makhluk hidup di bumi ini?

      [Keterangan Gambar di hlm. 3]

      WHO

      NOAA

  • Jaring Kehidupan yang Pelik
    Sedarlah!—2001 | 22 November
    • Jaring Kehidupan yang Pelik

      ”Keragaman kehidupan adalah jaminan hidup kita. Kehidupan maupun mata pencaharian kita bergantung padanya.”—PROGRAM LINGKUNGAN HIDUP PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA.

      KEHIDUPAN di bumi berlimpah dan sangat beragam. Istilah ”keanekaragaman hayati” menunjuk kepada semua spesies di dunia, mulai dari bakteri yang terkecil sampai pohon sequoia raksasa; dari cacing tanah sampai burung elang.

      Semua kehidupan di bumi adalah bagian dari suatu jaring yang sangat besar dan saling terkait yang juga mencakup unsur-unsur anorganik. Kehidupan bergantung pada komponen-komponen anorganik seperti atmosfer bumi, samudra, air tawar, batu, dan tanah. Komunitas kehidupan ini disebut biosfer, dan manusia adalah bagian yang tak terpisahkan darinya.

      Keanekaragaman hayati mencakup semua bakteri dan mikroba lain. Banyak di antara makhluk-makhluk ini diketahui melakukan fungsi kimiawi yang vital untuk memelihara bekerjanya ekosistem. Keanekaragaman hayati, atau jaring kehidupan, juga mencakup tumbuh-tumbuhan hijau yang menghasilkan oksigen melalui fotosintesis, menyerap energi matahari dan menyimpannya dalam bentuk gula, yang merupakan sumber dasar energi bagi sebagian besar bentuk kehidupan lainnya.

      Keragaman yang Sedang Lenyap

      Sungguh menyedihkan, terlepas dari keindahan dan keragaman bentuk kehidupan, sejumlah peneliti mengatakan bahwa manusia sedang memunahkan spesies pada taraf yang meresahkan. Dalam segi apa saja?

      ◼ Perusakan habitat. Hal ini menduduki peringkat pertama penyebab kepunahan. Yang tercakup adalah penebangan kayu gelondongan, penambangan, penggundulan hutan untuk dijadikan lahan ternak, dan pembangunan bendungan serta jalan raya di kawasan yang tadinya tak terjamah manusia. Seraya ekosistem menyusut, spesies-spesies kehilangan sumber daya yang mereka perlukan untuk bertahan hidup. Lingkungan alami terkotak-kotak, merosot, dan lenyap. Rute migrasi menjadi berantakan. Keragaman genetika berkurang. Populasi makhluk hidup setempat tidak sanggup memulihkan diri dari penyakit dan tekanan-tekanan lain. Oleh karena itu, satu demi satu spesies akhirnya punah.

      Punahnya spesies tertentu bahkan dapat memicu reaksi berantai kepunahan, karena apabila satu bagian jaring kehidupan lenyap, bagian lain dapat terkena imbasnya. Kepunahan spesies inti—seperti penyerbuk—dapat mempengaruhi spesies lain yang tak terhitung banyaknya.

      ◼ Spesies impor. Sewaktu manusia memperkenalkan spesies asing ke dalam suatu ekosistem, spesies itu mungkin mengambil alih habitat yang sebelumnya dihuni spesies lain. Spesies asing itu bisa juga secara tidak langsung mengubah ekosistem tersebut sedemikian rupa sehingga mendesak ke luar spesies asal, atau bisa juga membawa penyakit yang tidak bisa ditangkal spesies setempat. Khususnya di pulau-pulau, yang spesies-spesiesnya sudah lama hidup terpencil dan tidak pernah berhubungan dengan pendatang baru, spesies asli itu mungkin tidak sanggup beradaptasi dan bertahan hidup.

      Contoh mencolok adalah alga ”pembunuh”, Caulerpa taxifolia, yang menghancurkan spesies laut lainnya di Laut Tengah. Alga itu, yang dimasukkan secara tidak sengaja di lepas pantai Monako, kini sudah mulai menyebar di dasar laut. Alga ini beracun dan pemangsanya belum diketahui. ”Barangkali kita sedang menyaksikan awal suatu bencana ekologi,” kata Alexandre Meinesz, profesor biologi kelautan di University of Nice, Prancis.

      ◼ Eksploitasi yang berlebihan. Hal ini telah menyebabkan punahnya sejumlah spesies. Contoh yang terkenal adalah kasus merpati penumpang (Ectopistes migratorius). Pada awal abad ke-19, spesies ini adalah unggas terbanyak di Amerika Utara. Sekali bermigrasi—dalam jumlah miliaran—burung-burung ini menyelimuti angkasa hingga berhari-hari. Akan tetapi, pada akhir abad ke-19, unggas ini telah diburu hingga di ambang kepunahan, dan pada bulan September 1914, di sebuah kebun binatang di Cincinnati, satu-satunya merpati penumpang yang tersisa mati. Serupa dengan hal itu, bison Amerika di Dataran Luas diburu sampai nyaris punah.

      ◼ Pertumbuhan populasi manusia. Pada pertengahan abad ke-19, populasi keluarga manusia mencapai satu miliar orang. Satu setengah abad kemudian, sewaktu penduduk bumi mencapai enam miliar orang, manusia mulai bertanya-tanya apakah mereka sedang menghadapi bahaya berupa kekurangan sumber daya. Setiap tahun, seraya populasi manusia terus meningkat, spesies-spesies punah pada tingkat yang meresahkan.

      ◼ Ancaman pemanasan global. Menurut Dewan Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC), ada kemungkinan suhu bumi bakal naik sebesar 3,5 derajat Celcius pada abad ini. Peningkatan ini mungkin terlalu cepat bagi beberapa spesies untuk dapat bertahan hidup. Menurut para peneliti, tampaknya salah satu faktor penyebab matinya terumbu karang (penopang banyak keanekaragaman hayati laut) adalah meningkatnya suhu air.

      Para peneliti mengatakan bahwa kenaikan satu meter pada permukaan laut dapat memusnahkan sebagian besar rawa tepi pantai di dunia, yang merupakan rumah bagi keanekaragaman hayati yang limpah. Beberapa pakar yakin bahwa pemanasan global dapat mempengaruhi lempeng-lempeng es di Greenland dan Antartika. Jika lempeng-lempeng itu meleleh, akibatnya adalah bencana lingkungan.

      Suatu Epidemi Kepunahan

      Seberapa cepat spesies lenyap? Jawaban atas pertanyaan itu sangat tidak pasti. Sebagian besar spesies yang punah masih merupakan misteri bagi para ilmuwan. Pertama-tama, para ilmuwan harus menentukan berapa banyak spesies yang ada. Menurut John Harte, ilmuwan ekologi di University of California, Berkeley, ”ada sekitar satu setengah juta spesies yang telah dinamai di bumi, tetapi kita tahu bahwa ada banyak spesies yang belum dinamai, dan jumlah totalnya mungkin antara 5 dan 15 juta”. Ada yang menaikkan perkiraan itu menjadi 50 juta spesies atau lebih. Mustahil untuk menentukan jumlah pastinya karena ”sering kali, kepunahan terjadi bahkan sebelum spesies tersebut dinamai dan dijabarkan”, kata ilmuwan Anthony C. Janetos.

      Sains modern sendiri belum memahami sepenuhnya mekanisme ekologi yang pelik yang memelihara komunitas alami untuk tetap berfungsi dengan baik. Jika manusia tidak tahu berapa banyak spesies yang ada, bagaimana mereka dapat memahami jaring kehidupan yang kompleks dan bagaimana jaring itu dipengaruhi oleh kepunahan? Bagaimana mereka bisa tahu apa dampak lenyapnya spesies tertentu terhadap sistem penunjang kehidupan di planet ini?

      Sewaktu para ilmuwan mencoba menentukan tingkat kepunahan, perkiraan mereka, meskipun beragam, sering kali mengecilkan hati. ”Kira-kira 50 persen flora dan fauna dunia bisa jadi berada di ambang kepunahan dalam kurun waktu seratus tahun,” kata seorang penulis. Prognosis Harte bahkan lebih suram lagi, ”Para biolog memperkirakan bahwa penggundulan hutan tropis akan mengakibatkan lenyapnya setengah atau lebih spesies yang ada di bumi dalam kurun waktu 75 tahun mendatang.”

      Berdasarkan perhitungan ilmuwan Stuart Pimm dari University of Tennessee, National Geographic menyatakan bahwa ”11 persen unggas, atau 1.100 spesies dari hampir 10.000 spesies di bumi, berada di ambang kepunahan; amat diragukan bahwa sebagian besar dari ke-1.100 spesies ini akan hidup sampai akhir [abad ke-21]”. Majalah yang sama menyatakan, ”Baru-baru ini, sebuah tim yang terdiri atas para botanis yang disegani melaporkan bahwa satu dari setiap delapan tumbuhan berisiko punah. ’Yang berisiko bukan hanya spesies di pulau-pulau atau di hutan tropis atau hanya unggas atau mamalia besar yang menawan,’ kata Pimm. ’Tetapi semua spesies sedang terancam dan hal ini terjadi di mana-mana. . . . Ini adalah suatu epidemi kepunahan sedunia.’”

      Apakah Kita Membutuhkan Semua Spesies Ini?

      Adakah alasan untuk prihatin terhadap hilangnya keanekaragaman kehidupan? Apakah kita benar-benar membutuhkan spesies yang sedemikian beragam? Banyak pakar yang disegani menegaskan bahwa jawabannya adalah ya. Spesies yang berlimpah di bumi ini menyediakan makanan, zat kimia yang berguna, dan banyak produk serta jasa lain bagi manusia. Pikirkan juga tentang manfaat potensial yang dapat diberikan oleh spesies yang belum ditemukan kepada umat manusia. Misalnya, diperkirakan bahwa 120 di antara ke-150 obat yang paling banyak diresepkan di Amerika Serikat berasal dari senyawa alami. Jadi, kalau flora di dunia ini lenyap, umat manusia juga kehilangan kesempatan untuk menemukan obat-obatan maupun zat-zat kimia baru. ”Setiap kali kita kehilangan satu spesies, kita kehilangan satu pilihan di masa depan,” kata Sir Ghillean Prance, direktur Kew Gardens di London. ”Kita kehilangan spesies yang berpotensi menyembuhkan AIDS atau tanaman yang tahan virus. Jadi, dengan satu atau lain cara, kita harus menghentikan lenyapnya spesies, bukan hanya demi planet kita melainkan juga demi kebutuhan dan manfaat kita sendiri.”

      Kita juga membutuhkan ekosistem alami sebagai penyedia jasa-jasa penting yang padanya semua makhluk hidup bergantung. Produksi oksigen, pemurnian air, penyaringan polutan, dan pencegahan erosi tanah, semuanya adalah fungsi-fungsi vital yang dilakukan oleh ekosistem yang sehat.

      Serangga menyediakan jasa penyerbukan. Katak, ikan, dan unggas mengendalikan hama; remis dan organisme air lainnya membersihkan persediaan air kita; tumbuhan dan mikroorganisme menciptakan humus. Nilai ekonomis semua jasa ini sangat besar. Sebuah perkiraan yang cermat tentang keuntungan moneter keanekaragaman hayati di seluas dunia adalah sekitar 3.000 miliar dolar AS per tahun, berdasarkan kurs tahun 1995.

      Akan tetapi, meskipun kita bergantung pada keanekaragaman kehidupan, dunia tampaknya berada di tengah-tengah krisis kepunahan yang telah mengancam jaring kehidupan yang pelik. Sekarang, pada saat kita mulai memahami peran vital keanekaragaman hayati, manusia malah semakin menyebabkan kepunahan dibandingkan dengan yang sudah-sudah! Namun, apakah manusia sanggup menuntaskan problem tersebut? Apa yang terbentang di masa depan bagi keragaman kehidupan di bumi?

      [Kotak/Gambar di hlm. 6]

      Kehidupan—Apa Nilainya?

      Barangkali, semua pembahasan tentang nilai keanekaragaman hayati tampaknya memperlihatkan bahwa kita hendaknya berminat pada bentuk kehidupan lainnya hanya selama kita membutuhkannya. Ada yang merasa bahwa cara berpikir demikian adalah picik. Paleontolog Niles Eldredge menyebutkan nilai hakiki kehidupan itu sendiri, ”Kita sebagai manusia juga menghargai kehidupan di sekitar kita—spesies yang indah dan menawan, kawasan-kawasan liar yang mempesona dan masih utuh—karena nilai hakikinya. Dalam diri kita, ada kesadaran bahwa kita memiliki keterkaitan dengan dunia alami ini dan bahwa kita memperoleh kedamaian batin serta kesenangan karena menjadi bagian darinya sampai kapan pun.”

      [Kotak/Gambar di hlm. 7]

      Red List

      ”Red List” (Daftar Merah) diterbitkan oleh Ikatan Internasional untuk Konservasi Alam dan Sumber Daya Alam (IUCNNR), sebuah organisasi yang mengevaluasi kondisi spesies-spesies yang terancam punah. Beberapa spesies yang terancam punah yang termasuk dalam ”Red List” untuk tahun 2000 dicantumkan pada halaman ini:

      Albatros raksasa (Diomedea exulans)

      Ini adalah satu dari 16 spesies albatros yang dianggap terancam secara global. Konon, sejumlah besar burung ini mati tenggelam setelah secara tidak sengaja terjerat kail berumpan yang dipasang oleh kapal-kapal nelayan berjaring tarik.

      [Keterangan]

      Photo by Tony Palliser

      Langur kaki-merah (Pygathrix nemaeus)

      Kera kolobus Asia yang tampan ini terdapat di Vietnam tengah-selatan dan beberapa bagian dari Laos. Keberadaannya terancam akibat perusakan habitat dan perburuan. Kera ini diburu untuk dimakan dan diambil bagian-bagian tubuhnya, yang digunakan sebagai bahan pembuatan obat tradisional.

      [Keterangan]

      Monkey on pages 7 and 32: Photo by Bill Konstant

      Siput Corsica (Helix ceratina)

      Habitat siput yang sangat terancam punah ini hanya seluas 7 hektar, di pinggiran kota Ajaccio, pesisir barat daya Corsica. Kelangsungan hidupnya mungkin terancam akibat proyek pembangunan yang mencakup pembangunan sebuah bandara udara dan jalan-jalan ke arah pantai.

      [Keterangan]

      Photo by G. Falkner

      Pagoda emas (Mimetes chrysanthus)

      Bunga yang cantik ini ditemukan pada tahun 1987 di Western Cape, Afrika Selatan. Tanaman ini senantiasa terancam oleh kobaran api yang sering terjadi serta spesies-spesies penyerang yang berasal dari luar habitatnya.

      [Keterangan]

      Photo by Craig Hilton-Taylor

      Pari gergaji air tawar (Pristis microdon)

      Ikan yang terancam punah ini terdapat di Samudra India dan Samudra Pasifik Barat, serta di teluk, muara, dan sungai di dekatnya. Ikan ini adalah mangsa empuk nelayan dan telah mengalami penurunan jumlah yang sangat drastis. Ikan ini juga terancam oleh habitat yang hilang serta merosot.

      [Keterangan]

      Photo courtesy of Sun International Resorts, Inc.

      [Kotak/Gambar di hlm. 8]

      Menghancurkan Kehidupan Laut secara Besar-besaran

      Kekayaan samudra, yang pernah dianggap tak dapat habis, sudah terbukti keterbatasannya. Dalam tulisannya di majalah Natural History, paleontolog Niles Eldredge menguraikan sejauh mana samudra telah dieksploitasi secara berlebihan, ”Teknologi modern telah membuat penangkapan ikan begitu efektif sehingga kawasan luas di dasar samudra sedang digunduli dengan cara yang sama seperti pembabatan hutan. Akan tetapi, teknologi yang sama ini menyia-nyiakan sumber daya dalam jumlah yang amat besar; penyu laut dan anjing laut, beserta banyak spesies ikan dan invertebrata yang tidak bisa dipasarkan, mati dalam setiap tarikan jala atau kapal pukat.”

      Mengomentari apa yang disebut ”penangkapan udang yang sia-sia”, majalah National Geographic menjelaskan bahwa ”di sepanjang Pesisir Teluk Meksiko [di lepas pantai Texas, AS], berkilo-kilo kehidupan laut—kebanyakan adalah anak-anak ikan—menjadi korban sebagai ganti setengah kilogram udang”. Ikan dan kerang yang tidak diinginkan ini disebut sebagai tangkapan tak sengaja. Seorang biolog federal meratap, ”Rasio rata-rata tangkapan tak sengaja ini kira-kira empat banding satu.” Tidak heran, samudra kita telah menjadi arena pembantaian banyak spesies yang terancam punah!

      [Kotak/Gambar di hlm. 9]

      Kehidupan yang Tersembunyi di Hutan

      Hutan-hutan di planet kita berlimpah dengan kehidupan, termasuk spesies-spesies yang belum ditemukan oleh manusia. Ilmuwan ekologi John Harte menyatakan, ”Hutan hujan tropis luasnya kurang dari dua persen planet ini tetapi menjadi satu-satunya rumah bagi sedikitnya 50 persen dan mungkin hingga 90 persen semua spesies di bumi. Perkiraan yang lebih tinggi didasarkan pada asumsi bahwa mayoritas spesies yang belum ditemukan akan berasal dari daerah tropis karena eksplorasi biologi ke daerah tropis hanya dilakukan secara terkotak-kotak dan terpisah-pisah. Namun, habitat lain juga belum dieksplorasi sepenuhnya, dan tidak diragukan berisi sejumlah spesies yang belum dikenal sains sekarang. Di antaranya adalah hutan-hutan subtropis, seperti hutan tua yang lembap di Pasifik Barat Laut Amerika Serikat.”

      Siapa yang tahu kejutan apa yang menanti manusia jika ia mendapat kesempatan untuk mengeksplorasi kehidupan yang tersembunyi di hutan?

      [Gambar di hlm. 5]

      Merpati penumpang, sudah punah

      [Keterangan]

      U.S. Fish & Wildlife Service, Washington, D.C./Luther C. Goldman

  • Apa yang Terbentang di Masa Depan?
    Sedarlah!—2001 | 22 November
    • Apa yang Terbentang di Masa Depan?

      MANUSIA hanyalah secuil bagian dari bentuk kehidupan yang kaya ragam. Semua ciptaan di bumi memiliki peranan, selaras dengan karunia Allah. Kita memiliki banyak persamaan dengan makhluk-makhluk hidup di sekeliling kita—yang terutama, mukjizat kehidupan itu sendiri. Karena itulah, banyak orang mau tidak mau merasakan kehilangan yang besar sewaktu suatu bentuk kehidupan lenyap.

      Dalam tulisannya di majalah Consequences, ilmuwan Anthony C. Janetos menyatakan, ”Banyak orang akan sependapat bahwa sebagai suatu masyarakat, kita mengemban kewajiban moral untuk melindungi kelayakhunian planet ini, dan untuk bertindak sebagai pengurus yang bertanggung jawab atas kekayaan biologisnya demi kesejahteraan spesies manusia sekarang dan di masa depan. Untuk melakukannya, dibutuhkan apresiasi akan nilai keanekaragaman hayati—baik apa yang diberikannya kepada dunia alam maupun cara-cara kita mempergunakannya—dan suatu komitmen untuk melestarikannya.”

      Apa yang Sedang Dilakukan?

      Didorong oleh keprihatinan global terhadap hilangnya sumber daya berupa makhluk-makhluk hidup, wakil-wakil dari berbagai pemerintah dan lembaga lain telah berkumpul untuk bersama-sama merumuskan suatu Konvensi Keanekaragaman Hayati. Persetujuan komprehensif ini mengakui bahwa pelestarian keanekaragaman hayati patut mendapat perhatian semua orang.

      Sebagai langkah selanjutnya untuk memahami keanekaragaman hayati, para biolog, ekolog, dan ilmuwan lainnya di seputar dunia telah menyatakan tahun 2001-2 sebagai Tahun Peringatan Keanekaragaman Hayati Internasional (IBOY). Diana Wall, seorang biolog di Colorado State University yang mengetuai IBOY, menyatakan, ”Mengeksplorasi keanekaragaman hayati akan menghasilkan banyak faedah melalui penemuan gen-gen serta zat-zat kimia baru yang dapat digunakan sebagai obat, untuk memperbaiki tanaman atau untuk memulihkan tanah yang tercemar.” Wall menambahkan, ”Yang lebih penting lagi, mengetahui di mana ada spesies-spesies baru, apa peranan mereka dalam memelihara ekosistem yang sehat, dan bagaimana kita dapat melestarikan mereka sangatlah penting untuk mengambil keputusan yang terinformasi tentang tanah, sungai, dan samudra kita.”

      Dibutuhkan Perubahan Fundamental

      Terlepas dari sejumlah kemajuan yang patut dipuji, upaya-upaya demikian sebagian besar hanya menangani gejalanya, bukan penyebabnya. Menurut para peneliti, sampai saat ini manusia memiliki keterbatasan dalam soal waktu. Seraya memikirkan apa yang ia sebut ”pengurasan keanekaragaman hayati yang potensial”, Ruth Patrick, dari Akademi Ilmu Pengetahuan Alam Philadelphia, Pennsylvania, AS, menyimpulkan bahwa ”waktu sangatlah penting . . . Tindakan yang lugas dan urgen teramat dibutuhkan”. Untuk membalikkan tren menuju kepunahan, dibutuhkan restrukturisasi yang urgen terhadap cara manusia memperlakukan planet ini dan makhluk hidup di dalamnya. Dituntut lebih dari sekadar pengendalian kerusakan. ”Oleh karena itu, problem melestarikan keanekaragaman hayati tidak dapat dipisahkan dari permasalahan yang lebih besar berupa perkembangan sosial,” demikian pernyataan Institut Sumber Daya Dunia (WRI).

      Untuk mencapai tujuan demikian, pastilah dituntut perubahan fundamental dalam masyarakat manusia. Buku Caring for the Earth mengakui bahwa kepengurusan yang bertanggung jawab menuntut ”nilai-nilai, perekonomian, serta masyarakat yang berbeda dari yang berlaku secara umum dewasa ini”.

      Alkitab dengan jelas memperlihatkan bahwa manusia sama sekali tidak diperlengkapi untuk menghasilkan perubahan demikian. Yeremia 10:23 berkata, ”Aku tahu benar, oh, Yehuwa, bahwa manusia tidak mempunyai kuasa untuk menentukan jalannya sendiri. Manusia, yang berjalan, tidak mempunyai kuasa untuk mengarahkan langkahnya.” (Amsal 20:24) Kebenaran ini telah nyata sepanjang sejarah, dan karena manusia mengabaikan prinsip ini, kita mengalami secara langsung ”masa kritis yang sulit dihadapi” yang dibicarakan di 2 Timotius 3:1-5. Rangkaian ayat itu juga memperlihatkan kepada kita bahwa masa kritis ini disebabkan oleh pemikiran yang keliru dari orang-orang. Oleh karena itu, sebelum manusia mau berubah, solusi apa pun atas problem-problem yang kita hadapi hanyalah bersifat sementara.

      Ilmuwan kenamaan dunia Dr. Jane Goodall berkomentar pada sebuah wawancara bahwa perusakan habitat ”sering kali berhubungan dengan ketamakan ekonomi dan materialisme di negara-negara maju”. Selain itu, botanis Peter Raven, mantan sekretaris Lembaga Sains Nasional AS, memperingatkan bahwa ”ketidaktahuan, ketidakacuhan, kemiskinan, dan ketamakan menghasilkan problem yang saling berkaitan dan merupakan ancaman yang dapat memperburuk kondisi Bumi secara radikal”. Jadi, beberapa nilai yang perlu diubah mencakup sikap mementingkan diri, ketamakan, ketidaktahuan, kepicikan, dan egosentrisme.

      Perlindungan Akhir bagi Keanekaragaman Hayati

      Dapat dimengerti, Pencipta kehidupan dengan segala keragamannya yang menakjubkan sangat berminat pada masa depan ciptaan-Nya. Alkitab memberi tahu kita bahwa Allah akan segera mengambil tindakan dengan ”membinasakan orang-orang yang sedang membinasakan bumi”.—Penyingkapan [Wahyu] 11:18.

      Apakah Allah akan menghidupkan kembali makhluk-makhluk hidup yang telah punah gara-gara manusia membinasakan bumi? Jika Sang Pencipta berkehendak memunculkan kembali spesies-spesies binatang yang punah di bumi, Ia pasti dapat menciptakan mereka kembali di masa depan. Hal yang sama berlaku untuk tumbuh-tumbuhan yang punah. Namun, karena Alkitab tidak memberi tahu kita, adalah bijaksana untuk tidak berspekulasi tentang soal itu.

      Yang dijamin oleh pemerintahan Allah adalah berkat bagi setiap makhluk hidup di bumi. ”Bergembiralah . . . bumi!,” kata sang pemazmur. ”Bergemuruhlah hai laut dan semua isinya! Bersukacitalah, hai padang dan segala tanamannya! Pohon-pohon di hutan akan bersorak-sorai.”—Mazmur 96:11,12, BIS.

Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
Log Out
Log In
  • Indonesia
  • Bagikan
  • Pengaturan
  • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
  • Syarat Penggunaan
  • Kebijakan Privasi
  • Pengaturan Privasi
  • JW.ORG
  • Log In
Bagikan