-
Terjebak dalam Perkawinan tanpa CintaSedarlah!—2001 | 8 Januari
-
-
Terjebak dalam Perkawinan tanpa Cinta
”Dalam suatu masyarakat yang tingkat perceraiannya tinggi, bukan hanya semakin besar kemungkinannya perkawinan yang tidak bahagia akan berakhir dengan perceraian, melainkan juga, semakin besar kemungkinannya perkawinan menjadi tidak bahagia.”—DEWAN KELUARGA DI AMERIKA.
ADA yang mengatakan bahwa banyak unsur kebahagiaan serta unsur penderitaan dalam hidup ini berasal dari sumber yang sama—perkawinan. Memang, dalam hidup ini, tidak banyak perkara lain yang mampu mendatangkan kegembiraan yang luar biasa—atau penderitaan yang luar biasa. Sebagaimana diperlihatkan dalam kotak pada artikel ini, banyak pasangan suami-istri justru mendapat lebih banyak penderitaan.
Namun, statistik perceraian barulah menyingkapkan sebagian problemnya. Meskipun banyak bahtera perkawinan yang kandas, terdapat lebih banyak lagi bahtera perkawinan yang, meskipun masih mengapung, tetapi terjebak di perairan yang tak berangin. ”Tadinya kami adalah keluarga bahagia, namun 12 tahun terakhir ini benar-benar buruk,” aku seorang wanita yang sudah menikah selama lebih dari 30 tahun. ”Suami saya tidak mau tahu perasaan saya. Dia ini benar-benar musuh emosi saya yang terbesar.” Dengan nada serupa, seorang suami yang sudah menikah selama hampir 25 tahun mengeluh, ”Istri saya bilang bahwa dia sudah tidak mencintai saya. Dia bilang bahwa jika saya bersedia untuk sekadar menjadi teman sekamar dan jika masing-masing boleh mengisi waktu sendiri, maka ia masih bisa mentoleransi situasi perkawinan kami.”
Tentu saja, beberapa pasangan yang terjebak dalam situasi yang menyedihkan ini mengakhiri perkawinan mereka. Akan tetapi, bagi banyak pasangan demikian, kata cerai tidak ada dalam kamus mereka. Mengapa? Menurut Dr. Karen Kayser, faktor-faktor seperti anak, pandangan miring masyarakat, keuangan, teman, kerabat, dan kepercayaan agama dapat tetap menyatukan pasangan itu, meskipun dalam kondisi tanpa cinta. ”Karena tampaknya tidak mungkin untuk bercerai secara sah,” katanya, ”pasangan-pasangan ini memilih untuk tetap bersama, meskipun sebenarnya mereka sudah bercerai secara emosi.”
Haruskah pasangan suami-istri yang hubungannya telah mendingin pasrah pada kehidupan yang tidak memuaskan? Apakah perkawinan tanpa cinta harus diatasi dengan bercerai? Pengalaman membuktikan bahwa banyak perkawinan yang bermasalah dapat diselamatkan—bukan hanya dari penderitaan akibat berpisah, melainkan juga dari penderitaan akibat ketiadaan cinta.
[Kotak di hlm. 3]
PERCERAIAN DI SEPUTAR DUNIA
• Amerika Serikat: Sejak tahun 1970, pasangan-pasangan yang menikah hanya memiliki separuh kemungkinan untuk tetap bersama.
• Australia: Angka perceraian meningkat hampir empat kali lipat sejak awal tahun 1960-an.
• Inggris: Menurut perkiraan, 4 dari 10 perkawinan akan berakhir dengan perceraian.
• Jepang dan Kanada: Perceraian menimpa kira-kira sepertiga perkawinan.
• Zimbabwe: Perceraian mengakhiri 2 dari setiap 5 perkawinan.
-
-
Mengapa Cinta Memudar?Sedarlah!—2001 | 8 Januari
-
-
Mengapa Cinta Memudar?
”Tampaknya, lebih gampang jatuh cinta daripada mempertahankan cinta.”—DR. KAREN KAYSER.
SEMAKIN banyaknya perkawinan tanpa cinta mungkin tidaklah mengejutkan. Perkawinan adalah suatu hubungan antarmanusia yang kompleks, dan banyak pasangan memasukinya tanpa persiapan yang matang. ”Kita dituntut untuk memperlihatkan kemahiran mengemudi sampai taraf tertentu guna memperoleh SIM,” kata dr. Dean S. Edell, ”namun surat kawin dapat diperoleh hanya dengan membubuhkan tanda tangan.”
Oleh karena itu, meskipun terdapat banyak perkawinan yang berhasil dan berbahagia, tak sedikit pula perkawinan yang dilanda ketegangan. Mungkin salah satu teman hidup atau kedua-duanya memasuki perkawinan dengan harapan yang muluk-muluk namun tidak memiliki kecakapan yang mutlak perlu untuk membina hubungan jangka panjang. ”Sewaktu dua insan mulai berpacaran,” jelas Dr. Harry Reis, ”mereka saling merasakan keyakinan yang luar biasa.” Mereka merasa seolah-olah kekasihnya ini adalah ”satu-satunya orang di dunia yang bersudut pandang sama dengan mereka. Perasaan itu kadang-kadang memudar, dan sewaktu itu terjadi, dampaknya dapat sangat merusak terhadap perkawinan”.
Syukurlah, banyak perkawinan tidak sampai sejauh itu. Namun, marilah kita sejenak mengulas beberapa faktor yang dalam beberapa kasus telah menyebabkan cinta memudar.
Kekecewaan—”Bukan Ini yang Saya Harapkan”
”Sewaktu saya menikah dengan Jim,” kata Rose, ”saya pikir kami akan menjadi seperti si Putri Tidur dan Pangeran Idamannya—semuanya serba romantis, mesra, dan penuh perhatian satu sama lain.” Tetapi, setelah beberapa waktu, ”pangeran” idaman Rose ternyata tidak semenawan itu. ”Saya menjadi sangat kecewa terhadapnya,” katanya.
Banyak film, buku, dan lagu populer menggambarkan cinta secara tidak realistis. Semasa pacaran, seorang pria dan wanita mungkin merasa bahwa impian mereka sedang menjadi kenyataan; namun setelah beberapa tahun menikah, mereka baru menyimpulkan bahwa pastilah dulu mereka cuma berkhayal! Karena kenyataannya berbeda dengan kisah roman, perkawinan yang sebenarnya tergolong baik pun bisa tampak gagal total.
Tentu saja, ada hal-hal yang memang patut diharapkan dalam perkawinan. Misalnya, sewajarnyalah orang mengharapkan cinta, perhatian, dan dukungan dari teman hidupnya. Namun, bahkan harapan-harapan ini pun mungkin tidak kesampaian. ”Saya merasa seolah-olah saya tidak menikah,” kata Meena, pengantin muda di India. ”Saya merasa kesepian dan diabaikan.”
Ketidakcocokan—”Kami Tidak Punya Persamaan”
”Saya dan suami saya berbeda 180 derajat dalam hampir segala hal,” kata seorang wanita. ”Tiada hari tanpa penyesalan, mengapa saya dulu mau menikah dengannya. Kami benar-benar tidak serasi.”
Biasanya, beberapa waktu setelah menikah, pasangan suami-istri mendapati bahwa mereka ternyata tidak punya persamaan sebagaimana yang mungkin mereka rasakan semasa berpacaran. ”Perkawinan sering kali menyingkapkan sifat-sifat yang mereka sendiri tidak sadari semasa lajang,” tulis Dr. Nina S. Fields.
Akibatnya, setelah menikah, beberapa pasangan mungkin berkesimpulan bahwa mereka sama sekali tidak cocok. ”Meskipun ada beberapa persamaan dalam hal selera dan kepribadian, kebanyakan orang memasuki perkawinan dengan perbedaan mencolok dalam hal gaya hidup, kebiasaan, dan sikap,” kata dr. Aaron T. Beck. Banyak pasangan tidak tahu caranya mengatasi perbedaan-perbedaan itu.
Konflik—”Kami Selalu Cekcok”
”Kami tak habis pikir, mengapa kami bisa begitu sering bertengkar—saling membentak, bahkan yang lebih buruk, marah-marah dan mogok bicara selama berhari-hari,” kata Cindy, menceritakan masa-masa awal perkawinannya.
Dalam perkawinan, perselisihan tidak terelakkan. Namun, bagaimana menanganinya? ”Dalam perkawinan yang sehat,” tulis Dr. Daniel Goleman, ”suami dan istri merasa bebas untuk mengutarakan keluhan. Namun, yang sering terjadi, dalam kemarahan yang berkobar, keluhan diungkapkan dengan cara yang merusak, menjadi semacam serangan terhadap karakter teman hidupnya.”
Sewaktu hal ini terjadi, percakapan menjadi medan pertempuran dan masing-masing pihak mati-matian mempertahankan sudut pandangnya sendiri, sedangkan kata-kata dijadikan senjata, bukannya alat komunikasi. Sebuah tim yang terdiri atas beberapa pakar berkata, ”Bila percekcokan semakin tak terkendali, bahayanya adalah bahwa pasangan hidup cenderung mengatakan hal-hal yang mengancam urat nadi perkawinan mereka.”
Sikap Apatis—”Kami Sudah Angkat Tangan”
”Saya sudah tak sanggup lagi memperbaiki perkawinan kami,” aku seorang wanita setelah lima tahun menikah. ”Saya tahu upaya saya akan sia-sia. Jadi, satu-satunya yang saya pedulikan hanyalah anak-anak.”
Ada yang berpendapat bahwa kebalikan yang sebenarnya dari cinta bukanlah benci, melainkan apatis. Memang, sikap masa bodoh dapat sangat merusak perkawinan, seperti halnya kekejaman.
Namun, sungguh menyedihkan, beberapa pasangan saking terbiasanya dengan perkawinan tanpa cinta sampai-sampai mereka sudah tidak berharap lagi akan adanya perubahan. Misalnya, seorang suami mengatakan bahwa menikah selama 23 tahun mirip dengan ”melakukan pekerjaan yang tidak kita sukai”. Ia menambahkan, ”Dalam situasi seperti itu, kita hanya berupaya sebisa-bisanya.” Serupa dengan hal itu, seorang istri bernama Wendy sudah angkat tangan dalam memperbaiki hubungannya dengan suami yang dinikahinya selama tujuh tahun. ”Berulang-kali saya mencoba,” katanya, ”dan dia selalu mengecewakan saya. Saya terpuruk ke dalam depresi. Saya tidak mau mengalaminya lagi. Jika saya terlalu berharap, saya hanya akan sakit hati. Lebih baik saya tidak usah berharap apa-apa—memang, saya tidak akan menikmati banyak sukacita, namun setidaknya saya tidak tertekan.”
Kekecewaan, ketidakcocokan, konflik, dan sikap apatis hanyalah beberapa kemungkinan faktor penyebab perkawinan tanpa cinta. Jelaslah, masih ada banyak faktor lagi—di antaranya diperlihatkan dalam kotak di halaman 5. Meski mengalami faktor-faktor tadi, adakah harapan bagi suami-istri yang tampaknya terjebak dalam perkawinan tanpa cinta?
[Kotak/Gambar di hlm. 5]
PERKAWINAN TANPA CINTA—FAKTOR-FAKTOR LAINNYA
• Uang: ”Orang mungkin membayangkan bahwa anggaran belanja akan turut menyatukan pasangan suami-istri, menyadarkan mereka akan perlunya kerja sama, menyumbangkan sumber daya mereka demi memenuhi kebutuhan pokok, dan menikmati hasil kerja keras mereka. Namun, dalam hal ini pun, apa yang seharusnya menjadi pengikat sebuah pasangan sering kali menjadi pemisah di antara mereka.”—dr. Aaron T. Beck.
• Mengurus Anak: ”Kami mendapati bahwa 67 persen pasangan suami-istri mengalami penurunan drastis dalam kepuasan perkawinan setelah anak pertama mereka lahir, dan muncul delapan kali lebih banyak konflik. Hal ini antara lain karena mereka berdua kelelahan dan tidak punya waktu bagi diri mereka sendiri.”—Dr. John Gottman.
• Dusta: ”Perselingkuhan biasanya menyangkut dusta, dan dusta jelas-jelas merupakan suatu bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan. Bila kepercayaan dianggap sebagai satu komponen penting dalam semua perkawinan yang langgeng, ganjilkah bila berdusta juga dapat menghancurkan hubungan perkawinan?”—Dr. Nina S. Fields.
• Seks: ”Yang mengejutkan, sewaktu orang mengajukan gugatan cerai, tidak dilakukannya hubungan seks selama bertahun-tahun rupanya sudah biasa. Dalam beberapa kasus, hubungan seks tidak pernah dimantapkan, dan dalam kasus lainnya, seks hanya bersifat mekanis, sekadar pemuas kebutuhan fisik teman hidup.”—Judith S. Wallerstein, psikolog klinis.
[Kotak/Gambar di hlm. 6]
BAGAIMANA PENGARUHNYA TERHADAP ANAK-ANAK?
Dapatkah mutu perkawinan Anda mempengaruhi anak-anak Anda? Menurut Dr. John Gottman, yang telah meriset pasangan suami-istri selama kira-kira 20 tahun, jawabannya adalah ya. ”Dalam dua penelitian selama sepuluh tahun,” katanya, ”kami mendapati bahwa bayi dari orang-tua yang tidak bahagia memiliki denyut jantung lebih cepat selama interaksi fisik saat bermain dan tidak dapat menenangkan diri. Seraya waktu berlalu, konflik perkawinan mengarah ke merosotnya prestasi di sekolah, setinggi apa pun IQ sang anak.” Sebagai kontras, Dr. Gottman berkata, anak-anak dari pasangan suami-istri yang harmonis ”lebih baik secara skolastik dan sosial, karena orang-tuanya memperlihatkan cara memperlakukan orang lain dengan respek dan cara mengatasi kekesalan emosi”.
-
-
Adakah Alasan untuk Berharap?Sedarlah!—2001 | 8 Januari
-
-
Adakah Alasan untuk Berharap?
”Salah satu problem dalam perkawinan yang bermasalah adalah keyakinan kuat bahwa keadaannya sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Pandangan semacam ini menghalangi perubahan karena Anda tidak mempunyai motivasi lagi untuk melakukan upaya apa pun yang membangun.”—dr. AARON T. BECK.
BAYANGKAN Anda sedang sakit dan pergi ke dokter untuk memeriksakan diri. Anda merasa cemas—dan itu dapat dimaklumi. Lagipula, kesehatan Anda—bahkan kehidupan Anda—mungkin berada dalam risiko. Namun, katakanlah setelah pemeriksaan, sang dokter memberi tahu Anda kabar baik bahwa meskipun masalah Anda tidak sepele, itu dapat disembuhkan. Bahkan, sang dokter memberi tahu Anda bahwa jika Anda dengan cermat berpaut pada program diet dan olahraga yang masuk akal, Anda bisa sembuh total. Anda pasti merasa sangat lega dan dengan senang hati mengikuti nasihatnya!
Bandingkan skenario ini dengan topik yang sedang kita bahas. Apakah Anda mengalami kepedihan dalam perkawinan Anda? Tentu, dalam setiap perkawinan ada problem dan perselisihannya. Jadi, hanya karena hubungan Anda mengalami masa-masa sukar tidaklah berarti bahwa perkawinan Anda tanpa cinta. Namun, bagaimana bila situasi yang memedihkan ini berlangsung selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun? Jika demikian, wajar kalau Anda merasa prihatin, karena ini bukan masalah sepele. Memang benar, mutu perkawinan Anda dapat mempengaruhi hampir setiap aspek kehidupan Anda—dan kehidupan anak-anak Anda. Misalnya, diyakini bahwa ketegangan perkawinan dapat menjadi faktor utama penyebab problem-problem seperti depresi, produktivitas kerja yang rendah, dan kegagalan anak di sekolah. Namun, itu belum semuanya. Orang-orang Kristen menyadari bahwa hubungan mereka dengan teman hidupnya dapat mempengaruhi hubungan mereka dengan Allah.—1 Petrus 3:7.
Fakta bahwa ada problem antara Anda dan pasangan Anda bukan berarti situasinya sudah tanpa harapan. Menghadapi realita perkawinan—bahwa memang akan ada tantangan—dapat membantu sepasang suami-istri untuk mengkaji problem mereka dan mengupayakan solusinya. Seorang suami bernama Isaac berkata, ”Saya baru tahu bahwa adalah normal bagi suami-istri untuk mengalami pasang surut dalam tingkat kebahagiaan perkawinan mereka. Tadinya saya berpikir, pasti ada yang tidak beres dalam diri kami!”
Bahkan bila perkawinan Anda telah merosot sampai keadaan tanpa cinta, perkawinan Anda dapat diselamatkan. Memang, kepedihan akibat hubungan yang bermasalah mungkin cukup dalam, khususnya bila problem-problemnya terus ada selama bertahun-tahun. Namun, ada alasan kuat untuk berharap. Motivasi adalah faktor yang menentukan. Bahkan, pasangan yang menghadapi problem serius dalam perkawinannya dapat membuat perbaikan jika perkawinan itu benar-benar penting bagi mereka.a
Jadi, tanyalah diri Anda, ’Seberapa kuat keinginan saya untuk mencapai hubungan yang memuaskan?’ Apakah Anda dan pasangan Anda bersedia mengerahkan upaya untuk memperbaiki perkawinan kalian? Dokter Beck, yang dikutip di awal, berkata, ”Saya sendiri sering terkejut melihat hubungan yang tampaknya buruk ternyata dapat diperbaiki jika kedua pihak bekerja sama untuk mengoreksi faktor-faktor negatif dan memantapkan unsur-unsur positif dalam perkawinan mereka.” Namun, bagaimana jika pasangan Anda enggan bekerja sama? Atau, bagaimana bila ia tampaknya tidak sadar akan fakta bahwa memang ada problem? Sia-siakah Anda berupaya memperbaiki perkawinan seorang diri? Sama sekali tidak! ”Jika Anda membuat beberapa perubahan,” kata dr. Beck, ”hal ini akan dengan sendirinya mendorong perubahan di pihak pasangan Anda—dan sering kali memang begitu.”
Jangan terburu-buru menyimpulkan bahwa hal ini tidak dapat terjadi pada kasus Anda. Pemikiran ’kalah sebelum berperang’ seperti itulah yang dapat menjadi ancaman terbesar terhadap perkawinan Anda! Salah seorang dari kalian harus mengambil prakarsa. Bisakah Anda yang memulainya? Begitu upaya itu dibuat, pasangan Anda mungkin melihat manfaatnya bekerja sama dengan Anda untuk membangun perkawinan yang lebih bahagia.
Oleh karena itu, apa yang dapat Anda lakukan—baik sebagai individu maupun sebagai pasangan—untuk menyelamatkan perkawinan Anda? Alkitab adalah alat bantu yang ampuh dalam menjawab pertanyaan ini. Mari kita lihat caranya.
[Catatan Kaki]
a Memang, dalam kasus-kasus ekstrem tertentu, mungkin ada alasan yang sah bagi suami dan istri untuk berpisah. (1 Korintus 7:10, 11) Selain itu, Alkitab membolehkan perceraian atas dasar percabulan. (Matius 19:9) Hendak bercerai atau tidak dari pasangan hidup yang tidak setia merupakan keputusan pribadi, dan orang lain hendaknya tidak menekan pihak yang tidak bersalah untuk mengambil keputusan tertentu.—Lihat buku Rahasia Kebahagiaan Keluarga, halaman 158-61, diterbitkan oleh Watchtower Bible and Tract Society of New York, Inc.
-
-
Perkawinan Anda Dapat Diselamatkan!Sedarlah!—2001 | 8 Januari
-
-
Perkawinan Anda Dapat Diselamatkan!
Alkitab berlimpah dengan nasihat praktis yang berguna bagi para suami dan istri. Hal ini tidaklah mengherankan, mengingat Pribadi yang mengilhami Alkitab juga adalah Pemrakarsa perkawinan.
ALKITAB menyajikan gambaran yang realistis tentang perkawinan. Alkitab mengakui bahwa suami dan istri akan mengalami ”kesengsaraan”, atau menurut New English Bible, ”kepedihan dan duka”. (1 Korintus 7:28) Namun, Alkitab juga mengatakan bahwa perkawinan dapat dan seharusnya menghasilkan sukacita, bahkan kegirangan yang besar. (Amsal 5:18, 19) Dua gagasan ini tidaklah bertentangan. Keduanya hanya memperlihatkan bahwa meskipun ada problem-problem serius, pasangan suami-istri dapat menciptakan suatu hubungan yang akrab dan pengasih.
Apakah itu masalahnya dalam perkawinan Anda? Apakah kepedihan serta kekecewaan telah menggantikan keintiman dan sukacita yang pernah mewarnai hubungan Anda? Sekalipun perkawinan Anda berada dalam keadaan tanpa cinta selama bertahun-tahun, apa yang telah hilang dapat diperoleh kembali. Tentu saja, Anda harus realistis. Tidak ada pria maupun wanita yang tidak sempurna yang dapat mencapai suatu perkawinan yang sempurna. Meskipun demikian, ada langkah-langkah yang dapat Anda ambil untuk membalikkan kecenderungan yang negatif.
Seraya membaca bahan berikut ini, cobalah kenali poin-poin mana yang khususnya cocok dengan perkawinan Anda. Daripada menyorot kelemahan teman hidup Anda, pilihlah beberapa saran yang dapat Anda praktekkan, dan terapkanlah nasihat Alkitab. Anda mungkin mendapati bahwa ada lebih besar harapan bagi perkawinan Anda daripada yang Anda sadari.
Marilah kita pertama-tama membahas tentang sikap, karena pandangan Anda tentang komitmen dan perasaan Anda pada pasangan Anda adalah yang terpenting.
Pandangan Anda tentang Komitmen
Pandangan jangka panjang sangat penting jika Anda ingin memperbaiki perkawinan Anda. Lagi pula, penyelenggaraan perkawinan dirancang oleh Allah untuk menyatukan dua insan. (Kejadian 2:24; Matius 19:4, 5) Jadi, hubungan Anda dengan pasangan Anda bukan seperti pekerjaan atau apartemen yang dapat Anda tinggalkan begitu saja lalu pindah ke tempat lain. Sebaliknya, sewaktu menikah, Anda membuat janji yang khidmat untuk berpaut pada teman hidup Anda, apa pun yang terjadi. Makna komitmen dalam arti sepenuhnya selaras dengan pernyataan Yesus Kristus hampir 2.000 tahun yang lalu, ”Apa yang telah Allah letakkan di bawah satu kuk hendaknya tidak dipisahkan manusia.”—Matius 19:6.
Ada yang mungkin berkata, ’Kami toh masih bersama. Bukankah ini bukti bahwa kami sadar akan arti komitmen?’ Mungkin. Akan tetapi, seperti yang dipaparkan pada bagian awal seri ini, beberapa pasangan, meski tetap bersama, terjebak dalam perkawinan tanpa cinta. Tujuan Anda adalah membuat perkawinan Anda menyenangkan, bukan hanya sekadar dapat ditanggung. Komitmen hendaknya mencerminkan keloyalan bukan hanya kepada lembaga perkawinan, melainkan juga kepada pribadi yang kepadanya Anda sudah berikrar untuk mencintai dan menyayangi.—Efesus 5:33.
Hal-hal yang Anda katakan kepada pasangan Anda dapat menyingkapkan seberapa dalam komitmen Anda. Misalnya, dalam suatu perselisihan yang tajam, beberapa suami dan istri melontarkan pernyataan yang gegabah seperti ”Saya mau pergi!” atau ”Saya akan cari orang yang menghargai saya!” Meskipun yang melontarkannya tidak benar-benar bermaksud demikian, komentar-komentar ini dapat mengikis komitmen dengan menyiratkan bahwa pintu selalu terbuka untuk berpisah dan pihak yang mengatakannya sudah mengambil ancang-ancang dan siap untuk pergi.
Untuk memulihkan cinta dalam perkawinan Anda, singkirkan ancaman-ancaman seperti itu dari percakapan Anda. Lagipula, apakah Anda akan mendekorasi sebuah apartemen jika Anda tahu bahwa suatu hari Anda akan pindah ke tempat lain? Jadi, apa gunanya mengharapkan teman hidup Anda mengupayakan perkawinan yang mungkin tidak akan bertahan? Bertekadlah untuk berupaya sungguh-sungguh dalam mencari solusinya.
Inilah yang dilakukan seorang istri setelah menjalani masa-masa penuh gejolak dengan suaminya. ”Meskipun kadang-kadang saya tidak suka padanya, saya tidak pernah berpikir untuk lari dari hubungan kami,” katanya. ”Apa pun kerusakannya, kami tetap akan memperbaikinya. Dan sekarang, setelah dua tahun yang penuh gejolak, saya dapat dengan jujur mengatakan bahwa kami berdua boleh dibilang berbahagia lagi.”
Ya, komitmen berarti kerja sama tim—bukan hanya hidup berdampingan, namun juga mengupayakan tujuan yang sama. Akan tetapi, Anda mungkin merasa bahwa sampai taraf ini, hanya rasa tanggung jawab saja yang mengikat perkawinan kalian. Jika demikian halnya, jangan putus asa. Mungkin, cinta dapat diraih kembali. Caranya?
Menghormati Pasangan Anda
Alkitab menyatakan, ”Hendaklah pernikahan terhormat di antara kamu semua.” (Ibrani 13:4; Roma 12:10) Bentuk kata Yunani yang diterjemahkan ”terhormat” di sini digunakan di tempat lain dalam Alkitab sebagai ”berharga”, ”bermartabat”, dan ”bernilai”. Bila kita sungguh-sungguh menghargai sesuatu, kita akan mengerahkan upaya keras untuk menjaganya. Mungkin Anda pernah memperhatikan upaya keras seperti itu yang dilakukan seseorang yang memiliki sebuah mobil baru yang mahal. Ia menjaga mobilnya yang berharga tetap mengilap dan baik kondisinya. Baginya, goresan sedikit saja berarti bencana besar! Ada juga yang sangat cermat merawat kesehatan tubuhnya. Mengapa? Karena mereka menghargai kesehatan, maka mereka ingin menjaganya.
Perlihatkan pemeliharaan protektif yang sama terhadap perkawinan Anda. Alkitab mengatakan bahwa kasih ”mempunyai harapan akan segala sesuatu”. (1 Korintus 13:7) Daripada menyerah kepada pemikiran ’kalah sebelum berperang’—mungkin menganggap tidak ada lagi harapan untuk perbaikan dengan mengatakan, ”Sebenarnya kami dulu tidak saling jatuh cinta”, ”Kami menikah terlalu muda”, atau ”Kami belum sadar akan arti perbuatan kami”—bukankah lebih baik berharap akan hal-hal yang lebih baik serta mengupayakan perbaikan, menunggu hasilnya dengan sabar? ”Saya mendengar begitu banyak klien saya mengatakan, ’Saya tidak tahan lagi!’” kata seorang penasihat perkawinan. ”Bukannya menganalisis hubungan mereka untuk melihat bidang-bidang mana yang perlu diperbaiki, mereka dengan gegabah mengabaikan ikatan perkawinan, termasuk falsafah yang mereka berdua miliki, kenangan yang dengan cermat mereka jalin, dan potensi apa pun akan masa depan.”
Kenangan apa yang Anda miliki bersama pasangan Anda? Tidak soal banyaknya kesulitan dalam hubungan Anda, Anda pasti dapat memikirkan saat-saat manis, hal-hal yang kalian capai, dan tantangan yang kalian hadapi sebagai satu tim. Renungkan peristiwa-peristiwa ini, dan tunjukkan bahwa Anda menghormati perkawinan Anda serta teman hidup Anda dengan sungguh-sungguh berupaya memperbaiki hubungan kalian. Alkitab memperlihatkan bahwa Allah Yehuwa sangat berminat akan caranya suami-istri memperlakukan satu sama lain. Misalnya, pada zaman nabi Maleakhi, Yehuwa mengecam suami-suami Israel yang mengkhianati dan menceraikan istri mereka sekehendak hati. (Maleakhi 2:13-16) Orang Kristen ingin agar perkawinan mereka mendatangkan hormat bagi Allah Yehuwa.
Konflik—Seberapa Seriuskah?
Satu faktor utama penyebab perkawinan tanpa cinta tampaknya adalah ketidaksanggupan suami dan istri mengatasi konflik. Mengingat tidak ada dua orang yang persis sama, dalam semua perkawinan akan timbul perselisihan sewaktu-waktu. Namun, pasangan-pasangan yang terus berselisih mungkin mendapati bahwa seraya tahun-tahun berlalu, kasih mereka telah mendingin. Mereka bahkan mungkin menyimpulkan, ’Kita memang tidak cocok. Kita selalu bertengkar!’
Namun, sekadar timbul konflik bukan berarti akhir suatu perkawinan. Pertanyaannya adalah: Bagaimana konflik itu ditangani? Dalam perkawinan yang sukses, suami dan istri telah belajar untuk membicarakan problem-problem mereka tanpa menjadi, seperti diistilahkan seorang dokter, ”musuh bebuyutan”.
”Kuasa Lidah”
Apakah Anda dan teman hidup Anda mengetahui caranya membicarakan problem kalian? Kedua pihak mesti bersedia membicarakannya. Sebenarnya, ini adalah suatu keterampilan—dan tidak mudah untuk dipelajari. Mengapa? Antara lain, kita semua kadang-kadang ”tersandung dalam perkataan” karena tidak sempurna. (Yakobus 3:2) Selain itu, beberapa orang dibesarkan dalam suatu lingkungan keluarga oleh orang-tua yang sering sekali marah-marah. Sejak usia dini, mereka seolah-olah dilatih untuk percaya bahwa luapan kemarahan dan kata-kata yang kasar itu normal. Seorang anak laki-laki yang dibesarkan dalam lingkungan seperti ini mungkin bertumbuh menjadi ”orang yang mudah marah” dan ”cenderung kepada kemurkaan”. (Amsal 29:22) Demikian pula, anak perempuan yang dibesarkan dalam suasana semacam itu mungkin menjadi ”wanita berlidah tajam dan pemarah”. (Amsal 21:19, The Bible in Basic English) Bisa jadi sulit untuk mencabut pola pemikiran dan sikap yang sudah terpancang kuat.a
Jadi, mengatasi konflik mencakup mempelajari cara-cara baru untuk mengungkapkan gagasan kita. Ini bukan persoalan sepele, karena sebuah amsal Alkitab menyatakan, ”Kematian dan kehidupan ada dalam kuasa lidah.” (Amsal 18:21) Ya, meskipun tampaknya sepele, cara Anda berbicara kepada pasangan Anda sebenarnya berpotensi untuk menghancurkan atau memulihkan hubungan Anda. ”Ada orang yang berbicara tanpa dipikir bagaikan dengan tikaman-tikaman pedang,” kata amsal Alkitab lainnya, ”tetapi lidah orang-orang berhikmat adalah penyembuhan.”—Amsal 12:18.
Bahkan jika teman hidup Anda yang tampaknya paling bersalah dalam hal ini, pikirkan baik-baik apa yang Anda katakan sewaktu timbul perselisihan paham. Apakah kata-kata Anda menyakitkan atau menyembuhkan? Apakah ucapan Anda membangkitkan kemarahan atau menenangkan emosi? ”Perkataan yang memedihkan hati menimbulkan kemarahan,” kata Alkitab. Sebaliknya, ”jawaban yang lemah lembut menjauhkan kemurkaan”. (Amsal 15:1) Perkataan yang menyakitkan hati—sekalipun disampaikan dengan tenang—akan menyulut kemarahan.
Tentu saja, jika ada sesuatu yang mengganggu Anda, Anda berhak mengutarakan diri. (Kejadian 21:9-12) Namun, Anda dapat menyatakannya tanpa sarkasme, penghinaan, atau komentar-komentar yang merendahkan. Tetapkan batas-batas yang tegas bagi diri Anda sendiri—hal-hal yang Anda putuskan untuk tidak dikatakan kepada teman hidup Anda, seperti ”Saya benci kamu” atau, ”Saya menyesal menikah denganmu”. Dan, meskipun rasul Kristen Paulus tidak secara spesifik membahas perkawinan, adalah bijaksana untuk menghindar dari situasi menjebak yang ia sebut ”perdebatan tentang kata-kata” dan ”perbantahan yang sengit mengenai hal-hal sepele”.b (1 Timotius 6:4, 5) Jika pasangan Anda menggunakan metode-metode seperti ini, Anda tidak perlu membalasnya dengan cara yang sama. Sejauh itu bergantung pada Anda, kejarlah perdamaian.—Roma 12:17, 18; Filipi 2:14.
Memang, sewaktu kemarahan meluap, sulit untuk mengendalikan ucapan kita. ”Lidah adalah api,” kata penulis Alkitab Yakobus. ”Tidak seorang pun di antara umat manusia dapat menjinakkannya. Ia adalah sesuatu yang mencelakakan dan sukar dikendalikan, penuh racun yang mematikan.” (Yakobus 3:6, 8) Jadi, apa yang dapat Anda lakukan sewaktu kemarahan mulai memuncak? Bagaimana Anda dapat berbicara kepada teman hidup Anda dengan cara yang akan menghentikan konflik, bukan mengobarkannya?
Meredakan Percekcokan yang Sengit
Beberapa orang telah mendapati bahwa lebih mudah untuk menahan kemarahan dan menyoroti duduk perkaranya jika mereka mengedepankan perasaan mereka sendiri, bukan tindakan teman hidupnya. Misalnya, ”Saya sakit hati karena ucapanmu” jauh lebih efektif daripada ”Kamu menyakiti hati saya” atau, ”Kamu bicara tanpa dipikir”. Tentu saja, sewaktu mengutarakan perasaan Anda, nada suara Anda hendaknya tidak pahit atau menghina. Tujuan Anda hendaknya menyoroti problemnya, bukan menyerang orangnya.—Kejadian 27:46-28:1.
Selain itu, ingatlah selalu bahwa ada ”waktu untuk berdiam diri dan waktu untuk berbicara”. (Pengkhotbah 3:7) Sewaktu dua orang berbicara bersamaan, tidak ada yang mendengarkan, dan tidak ada yang dicapai. Jadi, sewaktu tiba giliran Anda untuk mendengarkan, ’cepatlah mendengar, lambat berbicara’. Yang tidak kalah penting, ”lambat murka”. (Yakobus 1:19) Jangan diambil ke hati semua kata-kata kasar yang diucapkan teman hidup Anda; juga ”janganlah rohmu cepat tersinggung”. (Pengkhotbah 7:9) Sebaliknya, cobalah memahami perasaan di balik kata-kata teman hidup Anda. ”Pemahaman seseorang pasti memperlambat kemarahannya,” kata Alkitab, ”dan adalah keindahan di pihaknya untuk memaafkan pelanggaran.” (Amsal 19:11) Pemahaman dapat membantu suami atau istri menelaah suatu perselisihan.
Misalnya, seorang istri yang mengeluh bahwa suaminya jarang menggunakan waktu bersamanya kemungkinan bukan hanya mempermasalahkan soal waktu. Mungkin masalahnya dia merasa diabaikan atau tidak dihargai. Demikian pula, keluhan suami terhadap barang yang dibeli istrinya mungkin bukan soal uang. Bisa jadi masalahnya ia merasa disisihkan dalam pengambilan keputusan. Suami atau istri yang memiliki pemahaman akan mengkaji duduk perkaranya dan mencapai inti permasalahannya.—Amsal 16:23.
Dalam hal ini, apakah lebih mudah mengatakan daripada melakukannya? Memang! Kadang-kadang, meskipun sudah mengerahkan upaya yang terbaik, kata-kata yang tidak pantas masih saja terucap dan kemarahan akan berkobar. Bila Anda melihat ini mulai terjadi, Anda mungkin perlu mengikuti nasihat dari Amsal 17:14, ”Pergilah sebelum perselisihan meledak.” Tidak ada salahnya menunda pembahasan sampai perasaan kita tenang kembali. Jika sulit mengendalikan diri sewaktu berbicara, mungkin bagus bila seorang teman yang matang duduk bersama kalian berdua untuk membantu menengahi perbedaan kalian.c
Pertahankan Sudut Pandang yang Realistis
Jangan berkecil hati jika perkawinan Anda tidak seperti yang Anda bayangkan sewaktu berpacaran dulu. Sebuah tim pakar perkawinan mengatakan, ”Kebahagiaan tanpa akhir dalam perkawinan tidaklah dinikmati kebanyakan orang. Masa-masa perkawinan kadang-kadang menyenangkan, kadang-kadang sangat sukar.”
Ya, perkawinan mungkin tidak seperti novel romantis, namun juga tidak perlu menjadi suatu tragedi. Meskipun akan ada masanya Anda dan pasangan Anda harus bertahan menghadapi satu sama lain, akan ada juga waktunya kalian dapat menyingkirkan perbedaan dan menikmati saat-saat berdua, bersenang-senang, dan bercakap-cakap sebagai sahabat. (Efesus 4:2; Kolose 3:13) Inilah saat-saat Anda mungkin dapat menyulut kembali cinta yang telah memudar.
Ingatlah, dua manusia yang tidak sempurna tidak mungkin menciptakan perkawinan yang sempurna. Namun, sampai taraf tertentu, mereka dapat memperoleh kebahagiaan. Memang, sekalipun ada kesukaran, hubungan Anda dan teman hidup Anda dapat menjadi sumber kepuasan yang besar. Satu hal yang pasti: Jika Anda dan pasangan Anda mengerahkan upaya dan bersedia untuk bersikap lentuk serta mencari segi-segi positif dalam diri teman hidup, ada alasan kuat untuk percaya bahwa perkawinan Anda dapat diselamatkan.—1 Korintus 10:24.
[Catatan Kaki]
a Pengaruh orang-tua tidak dapat dijadikan alasan untuk melontarkan kata-kata kasar kepada teman hidup. Akan tetapi, hal itu mungkin dapat membantu menjelaskan bagaimana kecenderungan semacam itu dapat menjadi sedemikian berurat-berakar dan sukar dicabut.
b Kata Yunani asli yang diterjemahkan ”perbantahan yang sengit mengenai hal-hal sepele” dapat juga diterjemahkan ”saling membuat kesal”.
c Saksi-Saksi Yehuwa memiliki sarana berupa para penatua sidang. Meskipun bukan hak mereka untuk mencampuri urusan pribadi pasangan suami-istri, para penatua dapat menyediakan bantuan yang menyegarkan bagi pasangan yang dilanda ketegangan.—Yakobus 5:14, 15.
[Kutipan di hlm. 12]
Apakah kata-kata Anda menyakitkan, atau menyembuhkan?
[Kotak/Gambar di hlm. 10]
LEMPARKAN BOLANYA DENGAN LEMBUT
Alkitab menyatakan, ”Hendaklah ucapanmu selalu menyenangkan, dibumbui dengan garam, sehingga kamu mengetahui bagaimana seharusnya memberikan jawaban kepada setiap orang.” (Kolose 4:6) Ayat ini pastilah berlaku dalam perkawinan! Sebagai ilustrasi: Dalam permainan menangkap bola, Anda melemparkan bola sehingga dapat mudah ditangkap. Tentu saja, Anda tidak melemparkan bola itu sekuat-kuatnya sehingga mencederai teman main Anda. Terapkan prinsip yang sama sewaktu berbicara dengan pasangan Anda. Melontarkan kata-kata yang pedas hanya akan mendatangkan kerugian. Sebaliknya, berbicaralah dengan lembut—menyenangkan—sehingga teman hidup Anda dapat menangkap maksud Anda.
[Kotak/Gambar di hlm. 11]
KENANGLAH MASA LALU!
Bacalah surat-surat serta kartu ucapan dari teman hidup Anda. Lihatlah foto-foto. Tanyalah diri Anda, ’Apa yang membuat saya tertarik kepadanya? Sifat-sifat mana yang paling saya kagumi darinya? Kegiatan apa yang kami lakukan bersama-sama? Apa yang membuat kami tertawa?’ Kemudian, bicarakanlah kenangan-kenangan manis ini dengan pasangan Anda. Percakapan yang dimulai dengan ungkapan ”Kamu ingat sewaktu kita . . . ?” dapat membantu Anda serta pasangan Anda menghidupkan kembali perasaan yang pernah kalian miliki.
[Kotak di hlm. 12]
TEMAN HIDUP BARU, PROBLEMNYA SAMA
Beberapa pasangan yang merasa terjebak dalam perkawinan tanpa cinta tergoda untuk memulai lagi hubungan dengan teman hidup yang baru. Namun, Alkitab mengutuk perzinaan, mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa ini ”tidak berakal budi [”bodoh sekali”, Bahasa Indonesia Sehari-hari]” dan ”membinasakan jiwanya sendiri”. (Amsal 6:32) Pada akhirnya, pezina yang tidak bertobat kehilangan perkenan Allah—jenis kebinasaan yang terburuk.—Ibrani 13:4.
Kebodohan yang paling mencolok dari haluan zina juga terlihat dalam hal-hal lain. Misalnya, si pezina yang menikahi kekasih barunya kemungkinan menghadapi problem sama yang melanda perkawinan pertamanya. Dr. Diane Medved menyorot faktor lain untuk dipertimbangkan, ”Hal pertama yang dipelajari oleh teman hidup Anda yang baru tentang diri Anda,” katanya, ”adalah bahwa Anda tidak segan-segan berkhianat. Dia tahu bahwa Anda tega menipu orang yang kepadanya Anda sudah berikrar untuk hidup bersama. Bahwa Anda pintar cari-cari alasan. Bahwa Anda bisa mencampakkan komitmen. Bahwa kesenangan yang sensasional atau pemuasan pribadi merupakan umpan yang langsung Anda sambar. . . . Bagaimana teman hidup yang baru itu yakin bahwa Anda tidak akan berselingkuh lagi?”
[Kotak di hlm. 14]
HIKMAT DARI AMSAL ALKITAB
• Amsal 10:19, ”Dalam banyaknya kata-kata, pelanggaran tidak akan kurang, tetapi orang yang menahan bibirnya bertindak bijaksana.”
Sewaktu kita sedang jengkel, kata-kata yang terlontar dari mulut kita mungkin terdengar berlebihan—dan belakangan kita menyesalinya.
• Amsal 15:18, ”Orang yang murka membangkitkan pertengkaran, tetapi orang yang lambat marah menenangkan perselisihan.”
Melontarkan tuduhan kemungkinan akan membuat pasangan Anda membela diri, sedangkan mendengarkan dengan sabar akan membantu kalian berdua mengupayakan pemecahannya.
• Amsal 17:27, ”Siapa pun yang menahan perkataannya mempunyai pengetahuan, dan orang yang berdaya pengamatan mempunyai semangat yang tenang.”
Sewaktu Anda merasa bahwa hati sudah mulai memanas, sebaiknya Anda tetap diam untuk menghindari pertengkaran sengit.
• Amsal 29:11, ”Orang bebal mengeluarkan segala rohnya, tetapi ia yang berhikmat menjaganya tetap tenang sampai ke akhir.”
Pengendalian diri sangat penting. Ledakan emosi berupa kata-kata yang kasar hanya akan menusuk hati pasangan Anda.
-