PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • Suami dan Istri—Apakah Cara Mereka Berbicara Benar-Benar Berbeda?
    Sedarlah!—1994 | 8 Januari
    • Suami dan Istri—Apakah Cara Mereka Berbicara Benar-Benar Berbeda?

      COBA bayangkan Bambang yang melangkah dengan gontai ke kantor Joko, bahunya tampak turun akibat beban kekhawatirannya. Joko menatap sahabatnya dengan lembut dan menunggu Bambang berbicara. ”Saya tidak tahu apakah saya bisa mendapatkan transaksi bisnis ini,” keluh Bambang. ”Ada begitu banyak rintangan, dan kantor pusat benar-benar menekan saya.” ”Apa yang kamu khawatirkan, Bambang?” tanya Joko dengan mantap. ”Kamu kan tahu bahwa kamulah yang terbaik dalam bidang pekerjaan ini, dan kantor pusat juga tahu itu. Tenanglah. Apakah kamu anggap hal ini berat? Nah, apakah kamu ingat bulan lalu ketika . . .” Joko mengingatkan kembali perincian yang menggelikan dari kegagalan kecil yang ia lakukan dan tak lama kemudian sahabatnya meninggalkan kantor sambil tertawa dan merasa lega. Joko senang karena berhasil membantu temannya.

      Kemudian, kita bayangkan juga bahwa sewaktu Joko pulang ke rumah sore harinya, ia segera dapat melihat bahwa istrinya, Nani, juga sedang kesal. Ia menyapa istrinya dengan keceriaan yang lain dari biasanya kemudian menunggu istrinya menumpahkan unek-uneknya. Setelah keheningan mencekam sejenak, istrinya tiba-tiba mulai menumpahkan kekesalannya, ”Saya sudah tidak tahan lagi! Bos yang baru ini seorang diktator!” Joko mengajaknya duduk, merangkul istrinya, dan berkata, ”Sudahlah sayang, tak usah kesal. Itu cuma soal pekerjaan. Semua bos juga begitu. Seandainya kamu tahu bagaimana saya diomeli oleh bos sepanjang hari. Tapi, kalau kamu memang sudah tidak tahan lagi, berhenti saja.”

      ”Kamu bahkan tidak peduli bagaimana perasaan saya!” bentak Nani. ”Kamu tidak pernah mendengarkan saya! Mana bisa saya berhenti kerja! Gajimu tidak mencukupi kebutuhan kita!” Kemudian, ia lari ke kamar dan menangis sejadi-jadinya. Joko berdiri di depan pintu kamar yang terkunci dengan perasaan terkejut, bingung akan apa yang telah terjadi. Mengapa ada reaksi yang begitu bertolak belakang atas kata-kata penghiburan Joko?

      Perbedaan antara Pria dan Wanita?

      Beberapa orang akan menganggap perbedaan dalam kedua ilustrasi tadi berpangkal pada satu fakta sederhana: Bambang adalah pria; Nani adalah wanita. Para peneliti linguistik percaya bahwa masalah-masalah komunikasi dalam perkawinan sering kali disebabkan perbedaan antara pria dan wanita. Buku-buku seperti You Just Don’t Understand (Anda Benar-Benar Tidak Mengerti) dan Men Are From Mars, Women Are From Venus (Pria Berasal dari Mars, Wanita Berasal dari Venus) mengemukakan teori bahwa pria dan wanita, meskipun berbicara menggunakan bahasa yang sama, memiliki gaya komunikasi yang benar-benar berbeda.

      Tak diragukan lagi, sewaktu Yehuwa menciptakan wanita dari pria, wanita bukan sekadar model yang sedikit diperbarui. Pria dan wanita dirancang dengan sangat indah dan dengan penuh pertimbangan untuk saling melengkapi​—secara fisik, emosi, mental, rohani. Selain perbedaan-perbedaan bawaan ini, juga terdapat kerumitan dari cara seseorang dibesarkan dan pengalaman hidupnya, serta pembentukan orang-orang oleh kebudayaan, lingkungan, dan pandangan masyarakat tentang apa yang bersifat jantan ataupun kewanitaan. Karena pengaruh-pengaruh ini, adalah mungkin untuk memisahkan pola-pola tertentu berdasarkan cara pria dan wanita berkomunikasi. Namun, ”ciri khas pria” atau ”ciri khas wanita” yang sukar dipahami ini bisa jadi hanya terdapat pada halaman-halaman buku psikologi.

      Kaum wanita khususnya menonjol karena kepekaan mereka, namun banyak pria sangat lembut dalam berurusan dengan orang-orang lain. Cara berpikir yang logis mungkin lebih merupakan sifat kaum pria, namun wanita sering kali memiliki pemahaman yang tajam dan analitis. Jadi, sekalipun mustahil untuk menyatakan suatu sifat tertentu hanya ada pada kaum pria atau hanya ada pada kaum wanita, ada satu hal yang pasti: Memahami sudut pandangan orang lain dapat membuat perbedaan antara hidup berdampingan secara damai dan perang yang sengit, khususnya dalam perkawinan.

      Tantangan sehari-hari dalam komunikasi pria-wanita dalam perkawinan merupakan hal yang pelik. Banyak suami yang mempunyai daya pengamatan dapat membuktikan bahwa pertanyaan yang kelihatannya sederhana seperti ”Apakah kamu suka model rambutku yang baru ini?” boleh jadi mengandung bahaya. Banyak istri yang bijaksana belajar untuk tidak berulang kali bertanya, ”Mengapa kamu tidak tanya-tanya dulu arahnya?” ketika suami mereka tersasar sewaktu bepergian. Sebaliknya daripada melecehkan sifat yang agak unik dari seorang teman hidup dan dengan keras kepala berkukuh pada sifatnya sendiri dengan mengatakan ”memang beginilah sifat saya”, pasangan hidup yang pengasih melihat apa yang ada di balik permukaannya. Ini bukanlah pemeriksaan yang kaku atas gaya komunikasi satu sama lain melainkan pengamatan yang hangat ke dalam hati dan pikiran satu sama lain.

      Sebagaimana setiap pribadi adalah unik, demikian pula perpaduan dua pribadi dalam perkawinan. Perpaduan sejati antara pikiran dan hati tidak terjadi dengan sendirinya tetapi membutuhkan kerja keras, mengingat pembawaan sifat kita sebagai manusia yang tidak sempurna. Misalnya, sangat mudah untuk mengira bahwa orang-orang lain memandang perkara-perkara sebagaimana kita memandangnya. Kita sering kali memenuhi kebutuhan orang-orang lain menurut cara yang kita ingin mereka lakukan untuk kita, barangkali berupaya mengikuti Aturan Emas, ”Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.” (Matius 7:12) Akan tetapi, Yesus tidak memaksudkan bahwa apa yang Anda inginkan pasti cukup baik untuk orang-orang lain. Sebaliknya, Anda berharap agar orang-orang lain akan memberikan apa yang Anda butuhkan atau inginkan. Maka Anda harus memberikan apa yang mereka butuhkan. Hal ini khususnya penting dalam perkawinan, karena masing-masing telah berikrar untuk memenuhi sebaik-baiknya kebutuhan pasangan hidupnya.

      Nani dan Joko telah membuat ikrar demikian. Dan ikatan perkawinan mereka yang berusia dua tahun merupakan ikatan yang membahagiakan. Akan tetapi, meskipun mereka merasa benar-benar mengenal satu sama lain, situasi kadang-kadang meledak sehingga menyingkapkan kesenjangan komunikasi yang terbuka lebar yang tak terjembatani hanya dengan niat baik. ”Hati orang bijak menjadikan mulutnya berakal budi,” kata Amsal 16:23. Ya, pemahaman dalam komunikasi merupakan kunci yang dibutuhkan. Marilah kita melihat bagaimana masalah antara Joko dan Nani diselesaikan.

      Pandangan Seorang Pria

      Joko mengarungi suatu dunia yang kompetitif yang di dalamnya setiap pria harus meraih kedudukannya dalam tatanan masyarakat, apakah seorang bawahan atau seorang atasan dalam situasi tertentu. Komunikasi diperlukan untuk memantapkan posisi, kompetensi, kemahiran, ataupun harga dirinya. Kemandiriannya berharga baginya. Maka sewaktu disuruh dengan nada memerintah, timbul rasa enggan dalam diri Joko. Pesan halus ”Kamu tidak melakukan pekerjaanmu” membuatnya memberontak, bahkan jika permintaan itu bersifat logis.

      Joko pada dasarnya bercakap-cakap untuk bertukar informasi. Ia senang berbicara tentang fakta, gagasan, dan hal-hal baru yang ia telah pelajari.

      Sewaktu mendengar, Joko jarang menyela pembicara, bahkan dengan respons-respons sepele, seperti ”oo, ya”, karena ia sedang menyerap informasi. Namun, jika ia tidak setuju, ia tidak sungkan-sungkan untuk menyatakannya, apalagi kepada seorang teman. Hal itu memperlihatkan bahwa ia berminat akan apa yang dikatakan temannya, memeriksa semua kemungkinan.

      Jika Joko mengalami problem, ia lebih suka mencari sendiri jalan keluarnya. Jadi ia mungkin akan menarik diri dari siapa pun dan apa pun. Atau ia mungkin berupaya bersantai dengan sedikit rekreasi agar dilemanya terlupakan sejenak. Ia akan membicarakannya hanya bila ia sedang mencari saran.

      Jika seseorang datang kepada Joko untuk menceritakan suatu masalah seperti yang dilakukan Bambang, Joko menyadari bahwa merupakan tugasnya untuk membantu, berupaya tidak membuat temannya merasa tidak cakap. Ia biasanya akan menceritakan beberapa masalah yang dihadapinya sendiri disertai saran supaya temannya tidak merasa seorang diri.

      Joko senang melakukan kegiatan bersama teman-teman. Baginya, persahabatan berarti melakukan sesuatu bersama-sama.

      Bagi Joko, rumah adalah tempat pengungsian dari arena, suatu tempat di mana ia tidak perlu berbicara untuk membuktikan jati dirinya, di mana ia diterima, dipercayai, dikasihi, dan dihargai. Meskipun demikian, Joko kadang-kadang merasa bahwa ia membutuhkan kesendirian. Hal itu mungkin tidak ada hubungannya dengan Nani atau apa pun yang dilakukan Nani. Ia hanya perlu menyendiri selama beberapa waktu. Joko merasa sulit untuk menyingkapkan rasa takut, ketidakamanan, dan kepedihannya kepada istrinya. Ia tidak mau istrinya khawatir. Tugasnya adalah untuk mengurus dan melindungi istrinya, dan ia membutuhkan kepercayaan Nani untuk melakukan hal tersebut. Meskipun Joko menginginkan dukungan, ia tidak suka dikasihani. Itu membuatnya merasa tidak cakap atau tidak berguna.

      Sudut Pandangan Seorang Wanita

      Nani memandang dirinya sendiri sebagai seorang pribadi di suatu dunia yang penuh hubungan sosial dengan orang-orang lain. Baginya, adalah penting untuk menggalang dan memperkuat ikatan persahabatan-persahabatan ini. Berbicara adalah suatu cara penting untuk menciptakan dan meneguhkan keakraban.

      Ketergantungan datang secara wajar bagi Nani. Ia merasa dikasihi jika Joko mencari tahu pandangannya terlebih dahulu sebelum membuat keputusan, meskipun ia ingin Joko yang mengambil pimpinan. Apabila ia harus mengambil keputusan, ia senang berkonsultasi dengan suaminya, tidak selalu agar suaminya memberi tahu apa yang harus dilakukan, melainkan untuk memperlihatkan keakraban dan ketergantungannya kepada suaminya.

      Sangat sulit bagi Nani untuk berbicara terus terang dan mengatakan bahwa ia membutuhkan sesuatu. Ia tidak ingin menyusahkan Joko atau membuat suaminya merasa bahwa ia tidak bahagia. Sebaliknya, ia menunggu untuk diperhatikan atau memberikan semacam isyarat.

      Sewaktu Nani bercakap-cakap, ia tertarik akan hal-hal yang kecil dan mengajukan banyak pertanyaan. Ini wajar karena kepekaan dan minatnya yang besar kepada orang-orang dan persahabatan.

      Sewaktu Nani mendengar, ia menyela kata-kata si pembicara dengan kata seru, anggukan, atau pertanyaan untuk memperlihatkan bahwa ia memperhatikan sang pembicara dan mempedulikan apa yang akan dikatakan sang pembicara.

      Ia berupaya keras untuk mengetahui berdasarkan intuisi apa yang dibutuhkan orang-orang. Menawarkan bantuan tanpa diminta merupakan cara yang indah untuk menyatakan kasih sayang. Ia khususnya ingin membantu suaminya berkembang dan maju.

      Sewaktu Nani mengalami problem, ia dapat merasa kewalahan. Ia perlu berbicara, tujuan utamanya bukan untuk mencari jalan keluar, melainkan untuk menyatakan perasaannya. Ia perlu mengetahui bahwa ada orang yang memahami dan peduli. Apabila emosinya memuncak, Nani melontarkan pernyataan-pernyataan sekilas yang dramatis. Ia tidak sungguh-sungguh memaksudkannya sewaktu ia berkata, ”Kamu tidak pernah mendengarkan!”

      Sahabat terbaik Nani semasa kanak-kanak bukanlah orang yang dengannya ia melakukan segala sesuatu bersama-sama, melainkan orang yang dengannya ia membicarakan segala sesuatu. Maka dalam perkawinan, minatnya akan kegiatan di luar rumah hampir tidak sebesar minatnya akan seorang pendengar yang simpatik yang dengannya ia dapat membagi perasaannya.

      Rumah merupakan tempat Nani dapat berbicara tanpa dihakimi. Ia tidak sungkan-sungkan menyingkapkan perasaan takut dan masalahnya kepada Joko. Jika membutuhkan bantuan, ia tidak malu untuk mengakuinya, karena ia yakin bahwa suaminya siap membantu dan cukup telaten untuk mendengarkannya.

      Nani biasanya merasa dikasihi dan merasa aman dalam perkawinannya. Tetapi kadang-kadang, tanpa alasan yang jelas, ia mulai merasa tidak aman dan tidak dikasihi sehingga sangat perlu diyakinkan lagi dan ditemani.

      Ya, Joko dan Nani, yang saling melengkapi, benar-benar berbeda. Perbedaan di antara mereka dapat menciptakan potensi kesalahpahaman yang besar, meskipun keduanya mungkin memiliki niat terbaik untuk mengasihi dan mendukung. Seandainya kita dapat mendengar sudut pandangan masing-masing dalam situasi di atas, apa yang akan mereka katakan?

      Yang Mereka Lihat melalui Mata Mereka Sendiri

      ”Begitu saya masuk ke rumah, saya dapat melihat bahwa Nani sedang kesal,” demikian kata Joko. ”Saya mengira bahwa jika ia siap, ia akan memberi tahu saya penyebabnya. Masalahnya kelihatan tidak begitu besar bagi saya. Saya menyangka jika saya membantunya melihat bahwa ia tidak perlu merasa kesal dan bahwa jalan keluarnya mudah, ia akan merasa lebih baik. Sungguh menyakitkan, setelah saya mendengarkannya, ia berkata, ’Kamu tidak pernah mendengarkan saya!’ Saya merasa seolah-olah ia sedang menyalahkan saya atas segala rasa frustrasinya!”

      ”Sepanjang hari saya sial,” demikian penjelasan Nani. ”Saya tahu itu bukan salah Joko. Namun ketika ia pulang dengan ceria, saya merasa ia mengabaikan fakta bahwa saya sedang kesal. Mengapa ia tidak bertanya apa yang terjadi? Ketika saya memberi tahu dia masalahnya, ia pada dasarnya mengatakan bahwa saya ini bodoh, bahwa masalah saya cuma soal kecil. Sebaliknya daripada mengatakan bahwa ia memahami apa yang saya rasakan, Joko yang senang mengatasi problem orang memberi tahu saya cara menyelesaikan problem tersebut. Saya tidak ingin jalan keluar, saya menginginkan simpati!”

      Meskipun kadang-kadang terdapat perselisihan, Joko dan Nani sangat mengasihi satu sama lain. Pemahaman apa yang akan membantu mereka menyatakan dengan jelas kasih demikian?

      Melihat melalui Mata Orang Lain

      Joko merasa bahwa ia turut campur bila menanyakan Nani apa yang sedang terjadi, jadi ia dengan wajar melakukan bagi istrinya hal yang ia ingin orang lain lakukan baginya. Ia menunggu istrinya berbicara dengan terus terang. Sekarang, Nani jengkel bukan hanya atas problemnya tetapi juga atas fakta bahwa Joko kelihatannya mengabaikan permohonannya akan dukungan dari sang suami. Ia tidak melihat sikap diam suaminya sebagai tanda respek yang lembut​—ia melihatnya sebagai sikap masa bodoh. Sewaktu Nani akhirnya berbicara, Joko mendengarkan tanpa menyela. Namun ia merasa bahwa suaminya tidak benar-benar mendengarkan perasaannya. Lalu suaminya menawarkan, bukannya empati, melainkan jalan keluar. Baginya, kata-kata Joko terdengar seperti ini, ’Perasaanmu itu mengada-ada; terlalu dibesar-besarkan. Lihat, betapa mudahnya memecahkan masalah kecil ini?’

      Betapa berbeda halnya jika masing-masing dapat melihat segala sesuatu dari sudut pandangan orang lain! Hasilnya mungkin akan seperti ini:

      Joko pulang dan mendapati Nani sedang kesal. ”Ada apa, sayang?” sapanya dengan lembut. Air mata mulai berlinang, dan Nani mulai membicarakan problemnya dengan leluasa. Nani tidak berkata, ”Ini semua salah kamu!” atau menyiratkan bahwa Joko tidak berbuat banyak. Joko mendekap istrinya dan mendengarkan dengan sabar. Ketika istrinya selesai berbicara, ia berkata, ”Saya turut prihatin mendengar hal-hal buruk yang kaurasakan. Saya dapat mengerti mengapa kamu merasa kesal.” Nani menyahut, ”Terima kasih banyak, kamu mau mendengarkan saya. Saya merasa sangat lega karena kamu memahami perasaan saya.”

      Sayang sekali, sebaliknya daripada mengatasi perbedaan-perbedaan mereka, banyak pasangan lebih suka mengakhiri perkawinan mereka dengan perceraian. Kurangnya komunikasi merupakan biang keladi yang merusak banyak rumah tangga. Pertengkaran meledak sehingga mengguncang dasar perkawinan itu sendiri. Bagaimana ini bisa terjadi? Artikel berikut ini memberi tahu bagaimana hal ini terjadi dan cara menghindarinya.

  • Anatomi Suatu Pertengkaran
    Sedarlah!—1994 | 8 Januari
    • Anatomi Suatu Pertengkaran

      SANG istri perlu menyatakan perasaannya. Sang suami ingin memberikan jalan keluarnya. Jutaan pertengkaran dalam perkawinan dari waktu ke waktu mungkin memiliki corak yang berbeda, namun sering kali merupakan variasi atas beberapa tema dasar. Memahami sudut pandangan atau gaya berkomunikasi yang berbeda dari pasangan hidup Anda dapat membantu memadamkan kobaran api ini menjadi pijaran arang di perapian rumah tangga yang berbahagia.

      ”Jangan Mengatur Kehidupan Saya!”

      Kisah klise tentang tipe istri yang suka mendominasi dan suka mengomel, mungkin berlaku bagi banyak suami yang mendapati dirinya terus dihujani dengan nasihat, permintaan, dan kritik. Alkitab mengakui perasaan demikian, dengan mengatakan, ”Pertengkaran seorang isteri adalah seperti tiris yang tidak henti-hentinya menitik.” (Amsal 19:13) Seorang istri bisa jadi mengajukan permintaan yang secara diam-diam ditolak suaminya dengan alasan yang tidak diketahui istri. Menyangka bahwa suaminya tidak mendengar, kali ini ia memberi tahu suaminya apa yang harus dilakukan. Suaminya menolak keras. Istri yang suka mengomel dan suami yang penurut? Atau semata-mata dua orang yang tidak berkomunikasi dengan jelas?

      Menurut sudut pandangan seorang istri, pernyataan terbaik akan cintanya kepada suaminya adalah apabila ia memberikan saran yang bermanfaat. Dalam sudut pandangan suaminya, sang istri suka mengatur dengan demikian secara tidak langsung menyatakan bahwa sang suami tidak becus. Pernyataan ”Jangan lupa tas kantormu” bagi sang istri merupakan pernyataan bahwa ia peduli, memastikan bahwa suami membawa apa yang ia butuhkan. Hal itu mengingatkan sang suami akan ibunya yang berseru di depan pintu, ”Sudah bawa payung, belum?”

      Seorang istri yang kelelahan mungkin bertanya dengan lembut, ”Apakah kamu mau makan di luar malam ini?” yang sebenarnya berarti, ”Maukah kamu mengajak saya makan malam di luar? Saya terlalu lelah untuk memasak.” Namun suaminya yang setia ini mungkin menggunakan kesempatan itu untuk memuji masakan istrinya dan menyatakan bahwa ia lebih menyukai masakan istrinya dibanding masakan orang lain. Atau sang suami mungkin merasa, ’Istriku sedang mencoba mengaturku!’ Sementara itu, sang istri mungkin dengan sedih berkata kepada diri sendiri, ’Percuma saja saya bertanya.’

      ”Kamu Tidak Mencintai Saya!”

      ”Bagaimana ia bisa berpikir seperti itu?” seru seorang suami yang bingung dan frustrasi. ”Saya bekerja, membayar rekening-rekening, bahkan sekali-sekali membawa bunga untuknya!”

      Meskipun semua orang butuh untuk merasa dikasihi, seorang wanita memiliki kebutuhan khusus untuk diyakinkan akan hal ini berulang kali. Ia mungkin tidak mengatakannya dengan terus terang, namun di lubuk hatinya ia mungkin merasa seperti beban yang tidak diinginkan, terutama jika siklus bulanannya membuat dia untuk sementara merasa depresi. Pada saat-saat demikian, suaminya mungkin menarik diri, berpikir bahwa istrinya ingin sedikit waktu untuk menyendiri. Sang istri mungkin menafsirkan kurangnya keakraban suami sebagai penegasan rasa kekhawatirannya yang terburuk​—suaminya tidak mencintainya lagi. Ia mungkin berbicara ketus kepada suaminya, berupaya memaksa suaminya untuk mengasihi dan mendukungnya.

      ”Ada Apa, Sayang?”

      Tanggapan seorang pria terhadap masalah yang menekan mungkin adalah mencari tempat yang tenang untuk mempertimbangkannya. Seorang wanita mungkin secara intuisi merasakan adanya tekanan dan secara naluri bereaksi dengan berupaya mengajak suaminya membahas persoalan yang dihadapinya. Namun, seberapa baik pun upaya-upaya tersebut, seorang suami mungkin merasa hal itu mencampuri urusannya dan merendahkan. Seraya menarik diri untuk mempertimbangkan masalahnya, sang suami menoleh dan melihat istrinya yang setia sedang membuntutinya dengan ketat. Ia terus-menerus mendengar suara yang penuh kasih, ”Sayang, ada apa? Ada masalah? Mari kita bicarakan itu.”

      Kalau tidak ada jawaban, seorang istri mungkin akan merasa tersinggung. Jika ia mengalami problem, ia ingin membicarakannya dengan suaminya. Namun pria yang dikasihinya tidak mau membagi perasaannya. ”Ia pasti tidak mencintaiku lagi” mungkin merupakan kesimpulannya. Maka, ketika sang suami yang sama sekali tidak merasa curiga itu akhirnya muncul dari dunianya sendiri, puas dengan jalan keluar yang telah ditemukannya, ia juga mendapati, bukan teman hidup yang setia dan pengasih yang telah ditinggalkannya sesaat, melainkan istri yang jengkel yang siap menantang suaminya karena merasa telah diabaikan.

      ”Kamu Tidak Pernah Mendengarkan Saya!”

      Tuduhan ini tampak menggelikan. Kelihatannya bagi sang suami, justru yang selalu harus ia lakukan adalah mendengarkan. Namun seraya istrinya berbicara, sang istri mendapat perasaan ganjil bahwa kata-katanya diseleksi dan dianalisis oleh suatu komputer yang sedang menyelesaikan masalah matematika. Kecurigaannya terbukti manakala, tepat di tengah-tengah sebuah kalimat, suaminya berkata, ”Nah, sebaiknya kamu melakukan . . . ?”

      Ketika seorang istri datang kepada suaminya dengan problem, sangat sering sang istri tidak menyalahkan sang suami maupun meminta jalan keluar dari suaminya. Yang sangat diinginkannya adalah telinga yang simpatik yang rela mendengar, bukan sekadar fakta belaka, melainkan perasaannya sehubungan masalah tersebut. Kemudian ia menginginkan, bukannya saran, melainkan dukungan atas perasaannya. Itulah sebabnya, banyak suami yang bermaksud baik telah menyulut pertengkaran sewaktu satu-satunya yang ia ucapkan adalah, ”Sayang, jangan berperasaan seperti itu. Masalahmu tidaklah seburuk itu.”

      Sering kali, orang-orang berharap teman hidup mereka sanggup membaca pikiran mereka. ”Kami sudah menikah selama 25 tahun,” kata seorang pria. ”Jika sekarang ia masih tidak tahu apa yang saya inginkan, ia pasti tidak peduli atau tidak memperhatikan saya.” Seorang penulis menyatakan dalam bukunya tentang hubungan perkawinan, ”Apabila teman hidup tidak saling memberi tahu apa yang mereka inginkan dan terus-menerus mengkritik satu sama lain karena tidak melakukan sesuatu, tidak heran bahwa semangat kasih dan kerja sama menghilang. Sebagai gantinya, muncullah . . . semangat bersaing, yang di dalamnya masing-masing teman hidup berupaya memaksa satu sama lain untuk memenuhi kebutuhannya.”

      ”Kamu Sangat Tidak Bertanggung Jawab!”

      Seorang istri mungkin tidak mengatakannya secara langsung kepada suaminya, namun ia dapat menyiratkan itu sama jelasnya melalui nada suaranya. ”Mengapa kamu pulang terlambat?” dapat kelihatan sebagai ungkapan minta penjelasan. Akan tetapi, kemungkinan besar tatapannya yang menyelidik dan tangannya yang bertolak pinggang seolah-olah berbunyi, ”Kamu seperti anak kecil yang tidak bertanggung jawab, kamu membuat saya khawatir. Mengapa kamu tidak menelepon? Kamu benar-benar tidak punya tenggang rasa! Sekarang rusaklah acara makan malam kita!”

      Tentu saja, sang istri benar sehubungan makan malam. Tetapi bila pertengkaran memuncak, apakah hubungan mereka juga terancam rusak? ”Kebanyakan pertengkaran terjadi bukan karena dua orang tidak akur, tetapi karena sang pria merasa bahwa sang wanita tidak setuju akan sudut pandangannya atau karena sang wanita tidak setuju akan cara sang pria berbicara kepadanya,” demikian pernyataan Dr. John Gray.

      Beberapa orang berpendapat bahwa di rumah kita seharusnya bebas mengungkapkan perasaan tanpa hambatan. Tetapi, seorang komunikator yang baik mencari kata-kata yang tepat dan mengupayakan perdamaian, mempertimbangkan perasaan pendengarnya. Kita mungkin secara kasar dapat membandingkan pembicaraan semacam itu dengan menyajikan segelas air es kepada teman hidup Anda, sebaliknya daripada menyiramkan air es ke wajahnya. Kita dapat mengatakan bahwa perbedaannya terletak pada cara penyampaiannya.

      Menerapkan kata-kata Kolose 3:12-14 akan meredam pertengkaran dan menuntun kepada rumah tangga yang bahagia, ”Kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan [”Yehuwa”, NW] telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan.”

      [Gambar di hlm. 9]

      Pria mempertahankan fakta, wanita mempertahankan perasaan

  • Rumah Tangga yang Bahagia—Tempat Dua Orang Dipersatukan
    Sedarlah!—1994 | 8 Januari
    • Rumah Tangga yang Bahagia—Tempat Dua Orang Dipersatukan

      JIKA Anda ingin membangun sebuah rumah yang kokoh, aman, dan nyaman, bahan-bahan apa yang akan Anda gunakan? Kayu? Batu bata? Batu kali? Inilah apa yang disarankan buku Amsal dari Alkitab, ”Dengan hikmat rumah didirikan, dengan kepandaian itu ditegakkan, dan dengan pengertian kamar-kamar diisi dengan bermacam-macam harta benda yang berharga dan menarik.” (Amsal 24:3, 4) Ya, dibutuhkan hikmat, kepandaian, dan pengertian untuk membangun sebuah rumah tangga yang berbahagia.

      Siapa yang melakukan pekerjaan membangun tersebut? ”Perempuan yang bijak mendirikan rumahnya, tetapi yang bodoh meruntuhkannya dengan tangannya sendiri.” (Amsal 14:1) Hal yang sama juga berlaku bagi pria yang berhikmat yang memahami bahwa dengan tangannyalah ia dapat menjadikan perkawinannya kuat dan bahagia atau rapuh dan sengsara. Faktor-faktor apa yang sangat menentukan? Betapa menarik bahwa saran-saran dari beberapa penasihat perkawinan modern begitu selaras dengan hikmat Firman Allah yang abadi, yang ditulis ribuan tahun yang lalu.

      Mendengarkan: ”Sungguh-sungguh mendengarkan adalah salah satu pujian terbesar yang dapat Anda berikan kepada orang lain dan sangat penting dalam membangun dan memelihara hubungan yang akrab,” kata sebuah buku petunjuk perkawinan. ”Telinga orang bijak menuntut pengetahuan,” kata Amsal. (Amsal 18:15) Karena membuka telinga tidak dapat dilihat, tidak seperti membuka mata atau membuka mulut, bagaimana Anda dapat memperlihatkan kepada teman hidup Anda bahwa Anda benar-benar mendengarkan? Salah satu cara adalah bercermin, atau mendengarkan dengan aktif.​—Lihat kotak halaman 11.

      Keterbukaan dan keakraban: ”Kebudayaan kita tidak menganjurkan keterbukaan,” kata buku One to One​—Understanding Personal Relationships (Bicara Empat Mata​—Memahami Hubungan Pribadi). ”Kita diajar sejak kecil untuk tidak mencampuri urusan orang lain​—untuk tidak bercerita tentang uang, gagasan, perasaan, . . . hal-hal yang bersifat pribadi. Pelajaran ini tidak hilang begitu saja, bahkan sewaktu kita ’jatuh cinta’. Kecuali upaya terus-menerus untuk mencapai keterbukaan diadakan, keakraban tidak akan dapat berkembang.” ”Rencana-rencana gagal apabila tidak ada pembicaraan secara konfidensial,” kata Amsal, ”tetapi pada mereka yang melakukan perundingan bersama ada hikmat.”​—Amsal 13:10; 15:22, NW.

      Loyalitas dan kepercayaan: Suami dan istri berikrar di hadapan Allah untuk bersikap loyal. Apabila masing-masing pasangan yang menikah percaya bahwa masing-masing dengan loyal terikat kepada satu sama lain, maka kasih tidak dihalangi oleh kecurigaan, keangkuhan, semangat bersaing, saling menuntut haknya.

      Berbagi: Suatu hubungan diperdalam dengan berbagi pengalaman. Pada waktunya, pasangan suami-istri dapat merajut permadani nostalgia yang tak ternilai harganya yang dihargai oleh kedua belah pihak. Memutuskan ikatan persahabatan itu tak terpikirkan oleh mereka. ”Ada juga sahabat yang lebih karib dari pada seorang saudara.”​—Amsal 18:24.

      Kebaikan hati dan kelembutan: Perbuatan yang baik hati mengurangi perselisihan dalam kehidupan serta meredam keangkuhan. Pola kebaikan hati, jika telah berurat-berakar, tetap utuh bahkan jika emosi memuncak selama perselisihan, dengan demikian memperkecil kerusakan. Kelembutan menciptakan suasana yang hangat yang di dalamnya kasih dapat bertumbuh. Meskipun kelembutan mungkin khususnya sulit untuk dinyatakan seorang pria, Alkitab mengatakan, ”Sifat yang diinginkan pada seseorang ialah kesetiaannya [”kebaikan hati yang penuh kasih sayang”, NW].” (Amsal 19:22) Sedangkan bagi seorang istri yang baik, ”hukum kebaikan hati yang penuh kasih sayang ada pada lidahnya”.​—Amsal 31:26, NW.

      Kerendahan hati: Sebagai penawar racun keangkuhan, kerendahan hati mendorong seseorang untuk siap memaafkan dan sering menyatakan terima kasih. Bagaimana jika Anda benar-benar tidak bersalah sewaktu dituduh? Mengapa tidak berkata dengan lembut, ”Maafkan saya karena telah membuatmu kesal”? Perlihatkan kepedulian akan kepekaan teman hidup Anda, kemudian bersama-sama carilah cara mengoreksi kesalahan. ”Terhormatlah seseorang, jika ia menjauhi perbantahan.”​—Amsal 20:3.

      Respek: ”Kata kunci dalam mengenali perbedaan masing-masing dan mengatasinya bersama-sama adalah respek. Apa yang penting bagi seorang teman hidup belum tentu sama pentingnya bagi yang lain. Meskipun demikian, masing-masing teman hidup dapat selalu memperlihatkan respek terhadap pandangan satu sama lain.” (Keeping Your Family Together When the World Is Falling Apart) ”Keangkuhan hanya menimbulkan pertengkaran, tetapi mereka yang mendengarkan nasihat mempunyai hikmat.”​—Amsal 13:10.

      Humor: Awan krisis yang paling kelam akan sirna dengan tertawa bersama-sama. Humor menghiasi ikatan kasih dan melegakan ketegangan yang sering kali melumpuhkan pemikiran yang jernih. ”Hati yang gembira membuat muka berseri-seri.”​—Amsal 15:13.

      Memberi: Lakukan pencarian yang positif akan sesuatu yang dapat dihargai dari teman hidup Anda dan berikan pujian dengan murah hati. Hal-hal yang sangat diinginkan ini mungkin mendatangkan penghargaan setulus hati yang lebih besar dibanding sebuah dasi dari sutera atau seikat bunga. Tentu saja, Anda tetap dapat membelikan atau melakukan sesuatu yang manis untuk satu sama lain. Namun ”pemberian terbesar yang dapat Anda berikan”, kata buku Lifeskills for Adult Children, ”tidak dapat dibungkus dalam kotak. Itu adalah pernyataan kasih dan penghargaan Anda, dukungan Anda, serta bantuan Anda.” ”Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak.”​—Amsal 25:11.

      Jika sifat-sifat ini dapat dibandingkan dengan batu bata dari hubungan perkawinan, maka komunikasi adalah adukan semen yang dibutuhkan untuk merekatkan batu-batu tersebut. Jadi, apa yang dapat dilakukan suami-istri apabila timbul perbedaan pendapat? ”Sebaliknya daripada memandang pandangan pasangan Anda sebagai sumber konflik, . . . temukan pandangan-pandangan yang berbeda itu sebagai sumber pengetahuan. . . . Perincian dari kehidupan sehari-hari merupakan tambang emas informasi,” kata buku Getting the Love You Want (Mendapatkan Kasih yang Anda Inginkan).

      Maka, setiap kali timbul ketidaksesuaian, pandanglah itu bukan sebagai isyarat perang, melainkan sebagai kesempatan berharga untuk memperoleh pemahaman ke dalam diri orang yang Anda kasihi ini. Bersama-sama terimalah tantangan untuk mengatasi perbedaan dan berlayarlah ke pelabuhan kerukunan yang damai, dengan demikian memperkuat ikatan, memperdalam kasih yang mempersatukan kalian berdua.

      Allah Yehuwa melihat keindahan yang besar dalam hubungan kerja sama dan dengan demikian menanamkan itu dalam diri ciptaan-Nya​—dalam siklus mengambil dan mengeluarkan oksigen pada tumbuhan dan binatang, orbit benda-benda angkasa, hubungan simbiosis antara serangga dan bunga. Maka, demikian pula dalam ikatan perkawinan, bisa terdapat siklus kehangatan yang di dalamnya seorang suami, melalui kata-kata dan perbuatan, meyakinkan istrinya akan kasihnya dan istri yang mempercayai dan mengasihi, dengan sepenuh hati mengikuti bimbingannya. Dengan demikian, dua orang benar-benar menjadi satu, mendatangkan sukacita bagi satu sama lain dan bagi Pencipta perkawinan, Allah Yehuwa.

      [Kotak di hlm. 11]

      ”Perhatikanlah Cara Kamu Mendengar.”​—Lukas 8:18

      Mendengarkan secara aktif merupakan metode yang memastikan bahwa pembicara dan pendengar benar-benar memahami satu sama lain. Kadang-kadang itu disebut bercermin, karena pendengar berupaya memantulkan kata-kata yang didengarnya dan makna yang diserapnya. Inilah langkah-langkah dasarnya:

      1. Berikan perhatian yang saksama; dengarkan pesan-pesan pentingnya.

      2. Dengarkan perasaan yang tersirat di balik kata-kata.

      3. Ulangi kepada pembicara apa yang Anda dengar. Jangan menghakimi, mengkritik, atau membantah. Biarkan si pembicara tahu Anda telah menerima pesan dengan benar. Nyatakan perasaan.

      4. Pembicara mungkin akan menegaskan atau mengoreksi apa yang Anda katakan dan mungkin akan mengembangkan pokok pembicaraan lebih lanjut.

      5. Jika pemahaman Anda tidak akurat, cobalah lagi.

      Mendengarkan secara aktif khususnya efektif dalam mengurangi sengatan kritik. Terimalah fakta bahwa kritikan sering kali didasarkan atas kebenaran tertentu. Itu mungkin disampaikan dengan cara yang menyakitkan, namun sebaliknya daripada melampiaskan sakit hati dengan membalas kepada si pengkritik, mengapa tidak menggunakan teknik mendengarkan secara aktif untuk meredakan situasi? Nyatakan bahwa Anda memahami perasaan kesal apa pun yang atasnya mungkin Anda di minta pertanggungjawaban, dan carilah jalan agar persoalannya dapat diperbaiki.

      [Kotak di hlm. 12]

      ”Jika Seseorang Mempunyai Alasan untuk Mengeluh.”—Kolose 3:13, NW

      Bila Anda memiliki keluhan, bagaimana cara terbaik untuk menyatakannya tanpa menyulut perang? Pertama-tama, berikan teman hidup Anda pujian atas niat baiknya. Anda mungkin merasa bahwa teman hidup Anda kurang menunjukkan timbang rasa, tidak berpikir panjang, ceroboh, tidak bijaksana​—namun secara keseluruhan kemungkinan besar ia tidak bermaksud buruk. Dengan tenang, nyatakan perasaan Anda tanpa menuduh, ”Ketika kamu melakukan hal ini, saya merasa . . .” Tidak ada bahan untuk dipertengkarkan di sini. Itu semata-mata menyatakan bagaimana perasaan Anda dan tidak menuduh teman hidup Anda. Karena orang tersebut mungkin sama sekali tidak pernah bermaksud membuat Anda kesal, reaksinya mungkin akan berupa penyangkalan atau pembenaran diri. Namun, pusatkan pada masalahnya, dan siaplah untuk memberikan jalan keluar.

      [Gambar di hlm. 10]

      Sungguh-sungguh mendengarkan adalah salah satu pujian terbesar yang dapat Anda berikan kepada orang lain

Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
Log Out
Log In
  • Indonesia
  • Bagikan
  • Pengaturan
  • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
  • Syarat Penggunaan
  • Kebijakan Privasi
  • Pengaturan Privasi
  • JW.ORG
  • Log In
Bagikan