PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • Aborsi​—Bukan Solusi yang Bebas Masalah
    Sedarlah!—2009 | Juni
    • Aborsi​—Bukan Solusi yang Bebas Masalah

      BILL dibesarkan dengan keyakinan bahwa aborsi adalah dosa yang serius, sama dengan pembunuhan. Namun, pandangannya yang kukuh dan yang dianutnya selama puluhan tahun melunak pada tahun 1975 ketika ia sendiri menghadapi masalah itu. Pacarnya, Victoria, hamil, dan Bill tidak siap memikul tanggung jawab sebagai suami dan ayah. ”Saya langsung memilih solusi yang mudah,” Bill mengakui, ”dan saya menyuruh Victoria melakukan aborsi.”

      Apa yang Bill sebut sebagai solusi yang mudah untuk kehamilan yang tidak direncanakan dan tidak diinginkan sudah umum diterima. Menurut laporan sebuah penelitian global tahun 2007, di seluruh dunia diperkirakan terjadi 42 juta aborsi yang disengaja, atau pengguguran kandungan, pada tahun 2003. Wanita-wanita yang melakukan aborsi berasal dari segala macam suku dan kebangsaan, dari berbagai latar belakang agama, dan dari segala tingkat ekonomi, pendidikan, dan usia antara puber dan menopause. Seandainya Anda menghadapi kehamilan yang tidak diinginkan, apa yang akan Anda lakukan? Mengapa begitu banyak orang memilih aborsi?

      ”Saya Merasa Tidak Ada Pilihan Lain”

      ”Saya baru saja mengalami kehamilan yang sulit serta persalinan yang berat, dan ada segunung problem keuangan dan keluarga,” jelas seorang wanita berusia 35 tahun. ”Lalu, enam minggu setelah melahirkan, saya hamil lagi. Kami memutuskan untuk aborsi. Dalam hati, saya merasa salah, namun saya merasa tidak ada pilihan lain.”

      Para wanita memilih aborsi karena berbagai alasan, mulai dari problem finansial sampai hubungan yang rusak dan mungkin disertai penganiayaan, sehingga mereka sama sekali tidak ingin ada ikatan lagi dengan si pria. Atau, kehamilan tersebut semata-mata tidak sesuai dengan rencana si wanita atau suatu pasangan.

      Adakalanya, orang memilih aborsi demi melindungi reputasi. Itulah yang terjadi dalam kasus yang dilaporkan oleh dr. Susan Wicklund dalam bukunya This Common Secret​—My Journey as an Abortion Doctor. Seorang pasiennya yang berniat melakukan aborsi mengakui, ”Orang tua saya sangat religius. . . . Kalau saya punya bayi di luar nikah, nama baik mereka akan tercoreng. Semua teman mereka jadi tahu bahwa putri mereka telah berdosa.”

      Dr. Wicklund kemudian bertanya, ”Oke, di mata mereka Anda telah berdosa, lalu bagaimana pandangan mereka tentang aborsi?” Gadis itu mengakui, ”Oh, aborsi. Itu sama sekali tidak bisa diampuni. Tapi, ini tidak begitu parah karena akan tetap menjadi rahasia. Jika saya melakukan aborsi, teman-teman [orang tua saya] di gereja tidak akan pernah tahu.”

      Apa pun situasinya, biasanya keputusan untuk mengakhiri kehamilan dengan sengaja bukanlah keputusan yang mudah. Sering kali, itu sangat menyakitkan. Namun, apakah aborsi itu solusi yang bebas masalah?

      Pertimbangkan Konsekuensinya

      Sebuah penelitian tahun 2004 atas 331 wanita Rusia dan 217 wanita Amerika yang melakukan aborsi menyingkapkan bahwa sekitar setengah dari kedua kelompok merasa terganggu secara emosi setelah aborsi. Hampir 50 persen wanita Rusia dan hampir 80 persen wanita Amerika itu merasa ”bersalah” atas prosedur tersebut. Lebih dari 60 persen wanita Amerika ’tidak bisa memaafkan diri mereka’. Mengingat perasaan bersalah merupakan problem yang umum dialami​—bahkan oleh orang-orang yang menganggap diri tidak religius​—mengapa begitu banyak wanita muda masih melakukan aborsi?

      Mereka sering kali mendapat tekanan yang hebat untuk melakukan aborsi. Orang tua, teman hidup, atau teman-teman yang bermaksud baik menganjurkan aborsi karena menganggapnya sebagai pilihan yang lebih baik. Akibatnya, orang bisa mengambil keputusan yang terburu-buru dan tanpa pengetahuan yang memadai. ”Namun, setelah tekanan untuk membuat keputusan mereda dan aborsinya selesai,” jelas Dr. Priscilla Coleman, seorang pakar di bidang risiko kesehatan mental akibat aborsi, ”kemampuan berpikir para wanita kembali normal, sering kali diikuti perasaan bersalah, kesedihan, dan penyesalan yang dalam.”

      Penyesalan ini sering kali berfokus pada pertanyaan: Apakah aborsi itu mengakhiri suatu kehidupan yang sudah ada? Laporan oleh South Dakota Task Force to Study Abortion menyimpulkan bahwa banyak wanita hamil yang mempertimbangkan aborsi ”telah dengan keliru mengira bahwa yang disingkirkan hanyalah ’jaringan’, dan menyatakan bahwa mereka tidak bakal melakukan aborsi seandainya mereka diberi tahu kebenarannya”.

      Setelah meninjau ”kesaksian yang mencengangkan serta memilukan hati” dari 1.940 wanita yang telah melakukan aborsi, penelitian itu menyimpulkan, ”Banyak dari antara para wanita ini marah karena sangat sedih kehilangan anak yang kata orang tidak pernah ada.” Selain itu, dinyatakan bahwa ”setelah sang wanita tahu bahwa ia telah membunuh anaknya, dampak psikologisnya sering kali sangat menghancurkan”.

      Namun, apa kebenarannya? Apakah yang disingkirkan hanya suatu jaringan tubuh seorang wanita yang hamil? Apakah bayi yang belum lahir itu sebenarnya adalah manusia yang hidup sewaktu masih di dalam rahim?

      [Kotak/​Gambar di hlm. 4]

      MELAHIRKAN VERSUS ABORSI

      Sebuah penelitian tahun 2006 mengulas riwayat hidup banyak wanita yang hamil semasa remaja. Separuhnya melahirkan, dan separuhnya melakukan aborsi. Penelitian itu menyimpulkan bahwa wanita yang melahirkan ”lebih sedikit kemungkinannya menerima layanan konseling psikologis, lebih sedikit problem tidurnya, dan lebih kecil kemungkinannya untuk mengisap mariyuana bila dibanding dengan [wanita yang melakukan] aborsi”.​—Journal of Youth and Adolescence.

      Laporan lain memberikan ”hasil dari empat penelitian yang sangat ekstensif”. Apa yang diperlihatkan keempat penelitian tersebut? ”Para wanita dengan riwayat aborsi mengalami problem kesehatan mental yang lebih tinggi dalam beragam bentuk dibandingkan para wanita tanpa riwayat aborsi.”​—Report of the South Dakota Task Force to Study Abortion​—2005.

  • Kapan Kehidupan Manusia Dimulai?
    Sedarlah!—2009 | Juni
    • Kapan Kehidupan Manusia Dimulai?

      ”IBU kandung saya berusia 17 tahun dan sedang hamil 7 1/2 bulan ketika ia memutuskan untuk melakukan aborsi dengan larutan garam,” jelas Gianna.a Ia menambahkan, ”Sayalah orang yang ia gugurkan. Namun, saya ternyata tidak mati.”

      Kesaksian ini diberikan pada tahun 1996 oleh Gianna yang berusia 19 tahun di depan sebuah komite pemerintah Amerika Serikat mengenai aborsi. Ketika Gianna berada dalam rahim ibunya selama tujuh setengah bulan, bagian-bagian tubuhnya sudah berkembang lengkap. Anda mungkin setuju bahwa sebenarnya ia seorang manusia, karena kehidupannya sebagai manusia berlanjut di luar rahim.

      Nah, kalau begitu, bagaimana ketika Gianna masih sebagai embrio berusia lima minggu, dengan ukuran panjang satu sentimeter? Memang, bagian-bagian tubuhnya belum terbentuk sepenuhnya, namun fondasi untuk sistem sarafnya, termasuk untuk otaknya, sudah terbentuk. Ia memiliki detak jantung 80 kali per menit yang memompakan darah melalui pembuluh. Jadi, jika Gianna sudah menjadi manusia pada usia tujuh setengah bulan di dalam rahim, tidakkah masuk akal untuk menyimpulkan bahwa ia sudah menjadi manusia pada usia lima minggu​—meski belum selengkap manusia berusia tujuh setengah bulan?

      Keajaiban Pembuahan

      Perkembangan semua bagian embrio dimulai pada saat pembuahan, ketika ovum, atau sel telur wanita, dibuahi oleh sel sperma pria. Karena kemajuan baru dalam teknologi, para pakar bisa mengamati perubahan menakjubkan yang terjadi di dalam inti telur bersel-tunggal yang telah dibuahi. Molekul-molekul yang membentuk DNA (asam deoksiribonukleat) sang ayah dan sang ibu berpadu membentuk kehidupan manusia yang belum pernah ada.

      Sel tunggal itu memulai proses menakjubkan, yakni membangun manusia yang utuh. Proyek ”pembangunan” ini ditentukan oleh gen-gen kita, yaitu segmen-segmen DNA. Gen-gen tersebut mengontrol hampir segala sesuatu mengenai diri kita, seperti tinggi badan, ciri-ciri wajah, warna mata dan rambut, dan ribuan sifat lainnya.

      Belakangan, saat sel yang mula-mula itu membelah, ”cetak biru” genetis yang lengkap digandakan ke setiap sel baru. Yang menakjubkan, setiap sel ini diprogram untuk berkembang menjadi sel apa pun yang diperlukan. Ini termasuk jaringan hati, otak, tulang, kulit, dan bahkan jaringan transparan untuk mata kita. Tidak heran, pemrograman awal untuk perkembangan manusia baru yang unik yang terjadi di dalam sel yang semula itu sering disebut ”keajaiban”.

      ”Manusia sudah sepenuhnya diprogram untuk pertumbuhan dan perkembangan selama seluruh kehidupannya sejak ia masih satu sel,” lapor Dr. David Fu-Chi Mark, seorang biolog molekuler yang dihormati. Ia menyimpulkan, ”Tidak ada lagi keraguan apa pun bahwa setiap manusia benar-benar unik sejak awal mula kehidupannya pada saat pembuahan.”

      Manusia di Dalam Rahim?

      Sejak saat pembuahan di dalam rahim, si anak adalah manusia yang tersendiri, bukan sekadar bagian dari jaringan sang ibu. Tubuh sang ibu menganggap si anak sebagai benda asing. Seandainya tidak ada ”lingkungan yang terlindung” di dalam rahim, si anak akan segera ditolak oleh tubuh sang ibu. Kehidupan manusia yang baru ini​—dipisahkan dari ibunya oleh ruang pelindung​—adalah manusia dengan sidik jari DNA yang tersendiri.

      Ada yang berpendapat bahwa karena tubuh wanita secara spontan menggugurkan banyak telur yang telah dibuahi karena telur-telur itu tidak normal, sah-sah saja jika dokter menggugurkan kandungan. Namun, tentu kematian spontan sama sekali berbeda dengan pembunuhan yang disengaja. Di sebuah negeri di Amerika Selatan, 71 dari 1.000 anak mati pada umur satu tahun. Tetapi, hanya karena begitu banyak anak mati dini, apakah dibenarkan untuk membunuh seorang anak di bawah usia satu tahun? Tentu saja tidak!

      Menarik, Alkitab menjelaskan bahwa kehidupan manusia sudah ada di dalam rahim. Sang pemazmur Daud menulis mengenai Allah, ”Matamu melihat bahkan ketika aku masih embrio, dan semua bagiannya tertulis dalam bukumu.” (Mazmur 139:16) Daud tidak sekadar mengatakan ”sebuah embrio” tetapi ”ketika AKU masih embrio”, dengan demikian secara akurat menyingkapkan bahwa kehidupan Daud dimulai saat ia dikandung, lama sebelum kelahirannya. Di bawah ilham Allah, Daud juga menyingkapkan bahwa pada saat pembuahan, bagian-bagian tubuhnya berkembang mengikuti suatu rencana, atau instruksi ”tertulis” yang terperinci, yang membentuk dirinya sebagai manusia.

      Perhatikan juga bahwa Alkitab tidak mengatakan bahwa seorang wanita mengandung sebuah jaringan. Sebaliknya, Alkitab menyatakan, ”Seorang laki-laki telah dikandung!” (Ayub 3:3) Hal ini juga menunjukkan bahwa, menurut Alkitab, seorang anak mulai hidup sebagai manusia sejak pembuahan. Ya, itulah saatnya kehidupan manusia dimulai.

      [Catatan Kaki]

      a Aborsi dengan larutan garam dilakukan dengan menyuntikkan larutan garam beracun ke dalam rahim sang ibu, yang ditelan si bayi; biasanya kematian terjadi dalam waktu dua jam. Sang ibu mulai bersalin kira-kira 24 jam kemudian dan melahirkan bayi yang mati atau​—dalam beberapa kasus​—yang sekarat.

      [Gambar di hlm. 6, 7]

      Sebuah embrio manusia berusia lima minggu bukan sekadar sepotong jaringan​—di dalamnya terdapat fondasi untuk semua organ manusia dewasa

      (ukuran sesungguhnya)

  • Mengapa Kami Tidak Memilih Aborsi
    Sedarlah!—2009 | Juni
    • Mengapa Kami Tidak Memilih Aborsi

      VICTORIA, yang disebutkan di artikel pertama, memberi tahu pacarnya, Bill, bahwa ia tidak mau melakukan aborsi. ”Saya merasakan ada kehidupan di dalam tubuh saya,” kata Victoria. ”Karena menyadari bahwa jika saya tinggal bersama Bill saya tidak akan mendapat dukungannya selama kehamilan, saya pun meninggalkan dia.”

      Namun belakangan, Bill berubah pikiran dan meminta Victoria untuk menikah dengannya. Tetapi, mengasuh putra mereka yang baru lahir tampaknya sangat berat. ”Kami tidak punya mobil, tidak punya uang, hanya punya sedikit baju, dan hidup seadanya,” jelas Victoria. ”Gaji Bill kecil, dan kami tinggal di rumah sangat sederhana, namun kami bertahan.”

      Yang lain-lain juga menghadapi keadaan yang sulit karena kehamilan yang tidak diharapkan. Tetapi, mereka juga tidak mau melakukan aborsi. Apa yang membuat mereka bisa tetap teguh dan berhasil meski menghadapi stres dalam membesarkan seorang anak yang tidak direncanakan atau bahkan tidak diinginkan? Kuncinya adalah mengikuti mutiara-mutiara hikmat dari Alkitab.

      Jangan Tergesa-gesa​—Buatlah Rencana yang Praktis

      Alkitab dengan bijaksana mengamati, ”Rencana orang yang rajin pasti mendatangkan keuntungan, tetapi setiap orang yang tergesa-gesa pasti menuju kekurangan.”​—Amsal 21:5.

      Bagi Connie, ibu dengan tiga anak lelaki, yang salah satunya cacat, mendapat anak lagi tampaknya sangat berat. ”Kami tidak mungkin memberi makan satu mulut lagi,” katanya. ”Maka, kami mempertimbangkan aborsi.” Namun, sebelum membuat keputusan yang tergesa-gesa, ia mencurahkan isi hatinya kepada Kay, seorang rekan sekerja. Kay membantunya menyadari bahwa ia mengandung manusia yang belum lahir, sehingga ia pun berubah pikiran.

      Namun, Connie perlu bantuan praktis untuk menyusun rencana. Kay menyarankan agar Connie menghubungi bibinya, yang tinggal tidak jauh dari rumahnya. Sewaktu bibinya dihubungi, ia senang membantu. Selain itu, suami Connie mendapat pekerjaan tambahan, dan mereka pindah ke apartemen yang lebih murah. Dengan demikian, mereka bisa mengurus bayi yang baru lahir ini.

      Kay juga membantu Connie mencari beberapa lembaga yang memberikan bantuan kepada wanita yang mengalami kehamilan yang tidak direncanakan. Di banyak negeri, lembaga-lembaga demikian menyediakan bantuan bagi ibu-ibu baru yang membutuhkannya. Internet atau buku telepon dapat digunakan untuk mencari lembaga seperti itu. Mencari bantuan bisa jadi butuh upaya sungguh-sungguh, namun ”rencana orang yang rajin” pasti membuahkan hasil.

      Hadapi Fakta Adanya Kehidupan Manusia

      ”Sehubungan dengan orang berhikmat,” kata Alkitab, ”matanya ada di kepalanya; tetapi orang bebal terus berjalan dalam kegelapan semata-mata.”​—Pengkhotbah 2:14.

      Wanita yang benar-benar bijaksana tidak menutup mata terhadap kenyataan dan tidak ”berjalan dalam kegelapan”. Ia menggunakan ’mata yang ada di kepalanya’, atau kemampuan intelektualnya. Alhasil, ia dapat mengevaluasi dengan cermat konsekuensi tindakannya. Maka, berbeda sekali dengan wanita yang menutup mata terhadap kenyataan akan apa yang sedang terjadi di dalam rahimnya, wanita yang bijaksana dengan penuh keibaan hati melindungi embrio yang hidup.

      Kepada Stephanie, seorang gadis yang sedang hamil dan mempertimbangkan aborsi, diperlihatkan gambar sonogram dari anaknya yang berusia dua bulan dalam kandungan. ”Saya menangis,” kata Stephanie. ”Saya pikir, Mengapa saya mau membunuh makhluk hidup?”

      Seorang wanita muda lain yang hamil di luar nikah, bernama Denise, juga menghadapi kenyataan bahwa ia mengandung manusia yang hidup. Ketika pacarnya memberinya uang dan menyuruh dia ”membereskannya”, Denise mengatakan, ”Aborsi? Saya tidak akan pernah bisa melakukannya!” Maka, ia menolak untuk membunuh bayinya.

      Bahayanya Takut akan Manusia

      Jika ditekan oleh orang-orang lain untuk melakukan aborsi, wanita yang pada mulanya mempertimbangkan untuk menggugurkan kandungannya berlaku bijaksana dengan merenungkan peribahasa dalam Alkitab, ”Takut akan pendapat orang, mengakibatkan kesusahan. Percayalah kepada TUHAN, maka engkau akan aman.”​—Amsal 29:25, Bahasa Indonesia Masa Kini.

      Monica yang berusia 17 tahun dibuat hamil oleh pacarnya tepat sewaktu ia mulai mengikuti sekolah bisnis. Ibunya, seorang janda dengan lima anak, merasa terpukul. Ia sebenarnya ingin agar putrinya belajar suatu keterampilan supaya mereka bisa keluar dari kemiskinan. Karena putus asa, sang ibu berkeras agar Monica melakukan aborsi. ”Ketika dokter menanyakan apakah saya mau menggugurkan kandungan,” jelas Monica, ”saya mengatakan ’Tidak!’”

      Karena melihat bahwa masa depan Monica sudah lenyap dan merasa bahwa mengurus anak satu lagi akan sangat berat, ibunya mengusirnya dari rumah. Monica akhirnya tinggal bersama bibinya. Beberapa minggu kemudian, ibunya berubah pikiran dan mengizinkan dia pulang untuk melahirkan. Ibu Monica pun turut mengasuh Leon, sang bayi lelaki, dan semakin menyayangi bocah cilik itu.

      Seorang wanita bernama Robin yang sudah menikah mendapat tekanan dari pihak lain. ”Sewaktu mulai hamil, saya menjalani perawatan untuk infeksi ginjal sebelum dokter mengadakan tes kehamilan,” kata Robin. ”Saya diberi tahu bahwa kemungkinan besar bayi saya akan sangat terbelakang.” Dokter kemudian mendesak saya untuk melakukan aborsi. ”Saya menjelaskan kepadanya tentang pandangan Alkitab berkenaan kehidupan,” kisah Robin. ”Saya memberi tahu dia bahwa saya tidak mau menggugurkan kandungan.”

      Meskipun kekhawatiran dokter dapat dimengerti, nyawa Robin tidak secara langsung terancam.a ”Sewaktu anak perempuan saya lahir dan berbagai tes dilakukan,” Robin menambahkan, ”ia ternyata hanya sedikit terbelakang dan mengidap kelumpuhan otak-besar ringan. Ia bisa beraktivitas dengan cukup baik. Kini pada usia 15 tahun, ia semakin lancar membaca. Ia sangat berarti bagi saya, dan setiap hari saya sering berterima kasih kepada Yehuwa atas karunia ini.”

      Pengaruh Persahabatan dengan Allah

      Alkitab menyatakan, ”[Yehuwa] bergaul karib dengan orang yang takut akan Dia, dan perjanjian-Nya diberitahukan-Nya kepada mereka.”​—Mazmur 25:14, Terjemahan Baru.

      Banyak orang tidak mau melakukan aborsi karena mereka mempertimbangkan perasaan Pencipta tentang masalah itu. Yang paling penting bagi mereka adalah menikmati persahabatan dengan Allah, dan melakukan apa yang menyenangkan Dia. Hal inilah yang sangat mempengaruhi Victoria, yang disebutkan sebelumnya. ”Saya betul-betul yakin bahwa Allah memberi kehidupan,” katanya, ”dan saya tidak berhak mengambil kehidupan yang telah Ia berikan.”

      Ketika Victoria mulai belajar Alkitab dengan sungguh-sungguh, persahabatannya dengan Allah bertumbuh. Ia menyatakan, ”Karena memutuskan untuk tidak menggugurkan kandungan, saya jadi merasa jauh lebih dekat dengan Allah dan jadi ingin menyenangkan Dia dalam semua aspek kehidupan saya. Sewaktu saya berdoa memohon arahan-Nya, segala sesuatu pun beres.”

      Persahabatan dengan Allah, sang Sumber kehidupan, memperdalam respek kita akan kehidupan di dalam rahim. (Mazmur 36:9) Selain itu, Allah bisa menyediakan ”kuasa yang melampaui apa yang normal” untuk membantu seorang wanita dan keluarganya menghadapi kehamilan yang tidak direncanakan. (2 Korintus 4:7) Sewaktu mengenang kembali, bagaimana perasaan orang-orang yang memperlihatkan respek akan pandangan Allah tentang kehidupan mengenai keputusan mereka?

      Tidak Ada Penyesalan

      Para orang tua tersebut tidak dihantui perasaan bersalah atau kesedihan serta kehilangan yang berkepanjangan. Belakangan, mereka benar-benar memandang ”buah kandungan” sebagai upah, bukan kutukan! (Mazmur 127:3) Connie, yang disebutkan sebelumnya, mengakui hal ini hanya dua jam setelah melahirkan! Dengan gembira, ia menelepon rekan sekerjanya, Kay, dan memberi tahu dia betapa senangnya dia karena bakal membesarkan gadis ciliknya. Dengan perasaan bahagia, Connie menambahkan, ”Memang benar bahwa Allah memberkati orang-orang yang melakukan apa yang menyenangkan Dia.”

      Mengapa bertindak selaras dengan pandangan Allah tentang kehidupan begitu bermanfaat? Karena, sebagai Sumber kehidupan, Allah menetapkan hukum-hukum dan standar-standar-Nya dalam Alkitab ”demi kebaikan [kita]”, atau ”demi kesejahteraan [kita]”.​—Ulangan 10:13, New Revised Standard Version.

      Menurut Victoria dan Bill, yang pengalamannya disebutkan pada awal artikel ini dan artikel pertama, keputusan untuk tidak melakukan aborsi merupakan titik balik dalam kehidupan mereka. Mereka menjelaskannya sebagai berikut, ”Kami terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba dan mungkin sudah mati seandainya kami terus melakukannya. Namun, karena merespek kehidupan anak kami yang belum lahir, kami mulai memikirkan kehidupan kami sendiri. Dengan bantuan Saksi-Saksi Yehuwa, kami berubah.”

      Lance, putra mereka, kini berusia sekitar 34 tahun dan telah menikah lebih dari 12 tahun. Lance menjelaskan, ”Sejak masa kanak-kanak, orang tua saya mengajar saya untuk membuat keputusan berdasarkan Alkitab. Hal ini telah memberi manfaat kepada saya, istri saya, dan anak saya sehingga kami merasa sangat bahagia.” Ayahnya, yang awalnya ingin agar Victoria menggugurkan kandungan, mengatakan, ”Kami bergidik sewaktu menyadari bahwa kami nyaris tidak memiliki putra kami yang berharga.”

      Perhatikan kembali Monica, yang menolak melakukan aborsi meski ditekan oleh ibunya. ”Dua minggu setelah putra saya lahir,” ia melaporkan, ”saya dihubungi Saksi-Saksi Yehuwa dan belajar cara mengubah kehidupan saya agar selaras sepenuhnya dengan hukum-hukum Allah. Saya pun mulai mengajar putra saya, Leon, manfaatnya menaati Allah, dan ia semakin memperkembangkan kasih yang kuat kepada Allah. Leon sekarang menjadi rohaniwan keliling dari Saksi-Saksi Yehuwa.”

      Ketika merenungkan apa yang telah dilakukan ibunya, Leon mengatakan, ”Ia begitu menyayangi saya sehingga ia membiarkan saya hidup meski ia menghadapi tekanan. Karena itu, saya ingin menggunakan kehidupan saya dengan cara terbaik untuk memperlihatkan penghargaan saya kepada Allah atas karunia kehidupan yang menakjubkan ini.”

      Banyak orang yang akhirnya memahami pandangan Allah tentang kehidupan tidak menyesali keputusan mereka untuk mempertahankan kehidupan anak yang kini mereka sayangi. Dari hati yang diliputi perasaan syukur, mereka bisa mengatakan, ”Kami tidak memilih aborsi!”

      [Catatan Kaki]

      a Jika pada saat persalinan harus dibuat pilihan antara nyawa si ibu atau si anak, pihak-pihak yang langsung terkaitlah yang harus membuat pilihan itu. Namun, kemajuan dalam prosedur medis di banyak negeri telah membuat situasi seperti ini sangat jarang terjadi.

      [Gambar di hlm. 7]

      Sonogram dari anak berusia dua bulan di dalam tubuhnya membantu Stephanie membuat keputusan

      (Batas ditambahkan)

      [Gambar di hlm. 8]

      Victoria dan Lance

      [Gambar di hlm. 8, 9]

      Victoria dan Bill sekarang, bersama Lance dan keluarganya

      [Gambar di hlm. 9]

      Monica dan putranya Leon sangat bersyukur bahwa ia menolak tekanan untuk menggugurkannya 36 tahun yang lalu

Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
Log Out
Log In
  • Indonesia
  • Bagikan
  • Pengaturan
  • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
  • Syarat Penggunaan
  • Kebijakan Privasi
  • Pengaturan Privasi
  • JW.ORG
  • Log In
Bagikan