-
Bila Kata-Kata Menjadi SenjataSedarlah!—1996 | 22 Oktober
-
-
Bila Kata-Kata Menjadi Senjata
”Ada orang yang berbicara tanpa dipikir bagaikan dengan tikaman-tikaman pedang.”—AMSAL 12:18, NW.
”DALAM beberapa minggu setelah perkawinan, mulailah itu terjadi,” kata Endang.a ”Pernyataan yang tidak ramah, komentar yang meremehkan, dan upaya untuk mempermalukan saya. Saya tidak dapat menang melawan suami saya. Karena ketangkasan pikirannya dan kegesitan lidahnya, ia mudah memutarbalikkan dan menyimpangkan apa pun yang saya katakan.”
Sepanjang perkawinannya, Endang telah menjadi sasaran dari suatu jenis serangan kronis tanpa meninggalkan bekas luka dan tidak banyak menarik simpati. Sayangnya, seraya waktu berlalu situasinya tidak membaik. ”Sekarang kami telah menikah selama lebih dari 12 tahun,” katanya. ”Tiada hari tanpa perlakuan yang kritis dan menghina terhadap saya, menggunakan perkataan yang kasar dan tidak senonoh.”
Alkitab tidak berlebihan sewaktu mengatakan bahwa lidah dapat menjadi ”sesuatu yang merugikan, . . . penuh racun yang mematikan”. (Yakobus 3:8; bandingkan Mazmur 140:4.) Ini khususnya benar dalam perkawinan. ”Siapa pun yang mengatakan bahwa ’tongkat dan batu dapat mematahkan tulang-tulang saya tetapi kata-kata tidak pernah dapat melukai saya’ benar-benar salah besar,” kata seorang istri bernama Lisa.—Amsal 15:4.
Para suami juga dapat menjadi sasaran dari serangan lisan. ”Tahukah Anda bagaimana rasanya hidup bersama seorang wanita yang terus-menerus menyebut Anda pembohong, bodoh atau yang lebih buruk dari itu?” tanya Markus, yang perkawinannya selama empat tahun bersama Tanti sedang menuju perceraian. ”Saya tidak dapat menceritakan kepada teman-teman saya yang terhormat tentang hal-hal yang ia katakan kepada saya. Itulah sebabnya mengapa saya tidak dapat bercakap-cakap dengannya dan mengapa saya bekerja hingga larut malam. Jauh lebih aman di tempat pekerjaan daripada pulang ke rumah.”—Amsal 27:15.
Dengan alasan kuat, rasul Paulus memperingatkan orang-orang Kristen, ”Hendaklah . . . teriakan serta cacian disingkirkan dari kamu.” (Efesus 4:31) Tetapi apa ”cacian” itu? Paulus membedakannya dari ”teriakan” (Yunani, krau·geʹ), yang berarti sekadar meninggikan suara. ”Cacian” (Yunani, bla·sphe·miʹa) lebih memaksudkan pada isi kata-katanya. Jika bernada kejam, penuh kebencian, merendahkan harga diri, atau menghina, maka perkataan tersebut adalah cacian—baik dalam bentuk teriakan atau bisikan.
Luka akibat Kata-Kata
Pola perkataan yang kasar dapat melemahkan suatu perkawinan, sama seperti gelombang laut dapat mengikis karang yang keras. ”Semakin hebat dan berkepanjangan,” tulis Dr. Daniel Goleman, ”semakin besar bahayanya. . . . Kritikan dan penghinaan dan perasaan muak yang menjadi kebiasaan merupakan tanda bahaya karena perasaan-perasaan ini menunjukkan bahwa seorang suami atau istri telah membuat penghakiman bisu yang terburuk tentang teman hidup mereka.” Seraya kasih sayang antara suami dan istri meredup, hubungan mereka menjadi, seperti yang dinyatakan oleh sebuah buku, ”menikah secara resmi, tetapi tidak secara emosi”. Pada akhirnya, mereka mungkin bercerai.
Akan tetapi, perkataan yang kasar dapat mempengaruhi bukan hanya perkawinan itu sendiri. Amsal Alkitab menyatakan, ”Kepedihan hati mematahkan semangat.” (Amsal 15:13) Stres akibat serangan terus-menerus dari kata-kata yang menyakitkan dapat berpengaruh buruk atas kesehatan seseorang. Misalnya, suatu penelitian yang diadakan oleh University of Washington (AS) menunjukkan bahwa seorang wanita yang mendapat cercaan secara terus-menerus memiliki kemungkinan lebih besar terkena masuk angin, problem-problem kandung kemih, keputihan, serta gangguan pada bagian perut.
Banyak istri yang telah bertekun menghadapi pemukulan secara lisan maupun fisik menyatakan bahwa kata-kata dapat lebih menyakitkan daripada tinju. ”Memar akibat tamparannya akhirnya akan sembuh dan hilang,” kata Mariani, ”tetapi saya tidak akan pernah lupa hal-hal mengerikan yang ia katakan tentang penampilan saya, masakan saya, dan cara saya mengurus anak-anak.” Yulia merasakan hal yang sangat serupa. ”Memang kedengarannya gila,” katanya, ”tetapi lebih baik saya dipukul dan kemudian melupakannya daripada disiksa secara mental selama berjam-jam.”
Tetapi mengapa beberapa orang menyerang dan mencaci maki orang yang katanya mereka cintai? Artikel berikut memusatkan perhatian pada pertanyaan ini.
-
-
Menyingkapkan Akar dari CacianSedarlah!—1996 | 22 Oktober
-
-
Menyingkapkan Akar dari Cacian
”Dari kelimpahan hatilah mulut berbicara.”—MATIUS 12:34.
KIRA-KIRA dua ribu tahun berselang, Yesus Kristus menyatakan kata-kata di atas. Ya, kata-kata seseorang sering mencerminkan perasaan dan motifnya yang paling dalam. Kata-kata itu bisa jadi patut dipuji. (Amsal 16:23) Di lain pihak, kata-kata itu bisa jadi licik.—Matius 15:19.
Seorang wanita mengatakan sehubungan dengan teman hidupnya, ”Suami saya mudah sekali marah, dan hidup bersamanya sering kali terasa seperti berjalan melalui ladang yang penuh ranjau—Anda tidak pernah tahu apa yang dapat menyulut kemarahannya.” Richard melukiskan situasi yang serupa berkenaan istrinya. ”Lydia siap siaga untuk bertengkar,” katanya. ”Ia tidak hanya berbicara; ia menyerang saya dengan gencar, sambil menudingkan jarinya seolah-olah saya ini anak kecil.”
Tentu saja, pertengkaran bisa meletus bahkan dalam perkawinan yang paling baik sekalipun, dan semua suami dan istri mengatakan hal-hal yang belakangan mereka sesali. (Yakobus 3:2) Tetapi cacian di dalam perkawinan mencakup lebih dari itu; di dalamnya terdapat perkataan yang merendahkan harga diri dan kritis dengan niat mendominasi, atau mengendalikan sang teman hidup. Kadang-kadang, perkataan yang mencelakakan terselubung di balik lapisan pernis kelemahlembutan. Misalnya, sang pemazmur Daud melukiskan seorang pria yang berbicara dengan lembut, namun sinis di dalam hatinya, ”Mulutnya lebih licin dari mentega, tetapi ia berniat menyerang; perkataannya lebih lembut dari minyak, tetapi semuanya adalah pedang terhunus.” (Mazmur 55:22; Amsal 26:24, 25) Tidak soal secara terang-terangan penuh kebencian atau secara sembunyi-sembunyi, perkataan yang kasar dapat menghancurkan sebuah perkawinan.
Asal Mulanya
Apa yang menyebabkan seseorang melontarkan cacian? Pada umumnya, penggunaan perkataan semacam itu dapat ditelusuri kembali kepada apa yang orang itu lihat dan dengar. Di banyak negeri, sindiran tajam, penghinaan, dan perkataan yang merendahkan dianggap sebagai sesuatu yang lazim dan bahkan bernada humor.a Para suami khususnya mungkin dipengaruhi oleh media massa, yang sering menggambarkan pria ”sejati” sebagai orang yang berkuasa dengan sewenang-wenang dan agresif.
Demikian pula, banyak orang yang menggunakan perkataan yang meremehkan dibesarkan dalam rumah tangga yang orang-tuanya senantiasa melontarkan kemarahan, kekesalan, dan cemooh. Karena itu, sejak usia dini, mereka menganggap jenis perilaku demikian sudah lazim.
Seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan demikian dapat belajar lebih dari satu pola perkataan; ia mungkin juga menyerap pandangan yang rancu akan dirinya dan orang-orang lain. Misalnya, jika perkataan yang kasar ditujukan kepada seorang anak, ia mungkin mengembangkan perasaan tidak berguna, bahkan terpancing untuk menjadi gusar. Tetapi bagaimana jika anak itu sekadar mendengar ayahnya menyerang ibunya secara bertubi-tubi melalui kata-kata? Meskipun sang anak masih sangat muda, ia dapat menyerap penghinaan ayahnya terhadap wanita. Anak lelaki itu mungkin belajar dari tingkah laku ayahnya bahwa seorang pria harus mengendalikan wanita dan bahwa cara untuk mendapatkan kendali adalah menakut-nakuti atau menyakiti mereka.
Orang-tua yang pemarah kemungkinan akan membesarkan anak yang pemarah, yang pada masa dewasanya menjadi ”orang yang lekas gusar” yang melakukan ’banyak pelanggaran’. (Amsal 29:22) Dengan demikian, warisan berupa perkataan yang mencelakakan dapat diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan alasan kuat, Paulus menasihati para ayah, ”Janganlah membuat anak-anakmu kesal.” (Kolose 3:21) Menarik sekali, kata Yunani yang diterjemahkan ”membuat kesal”, menurut Theological Lexicon of the New Testament, dapat mengandung pengertian ”mempersiapkan dan menghasut untuk bertempur”.
Tentu saja, pengaruh orang-tua tidak boleh dijadikan alasan untuk menyerang orang lain, secara lisan maupun dengan cara-cara lain; namun, ini turut menjelaskan bagaimana kecenderungan kepada perkataan yang kasar dapat menjadi begitu berurat-berakar. Seorang pria muda mungkin tidak menganiaya istrinya secara fisik, tetapi apakah ia memperlakukannya dengan sewenang-wenang melalui kata-kata dan suasana hatinya? Pemeriksaan diri mungkin menyingkapkan bahwa ia telah menyerap penghinaan ayahnya terhadap wanita.
Jelaslah, prinsip-prinsip di atas dapat juga berlaku bagi wanita. Jika seorang ibu memperlakukan suaminya dengan sewenang-wenang secara lisan, putrinya kemungkinan akan memperlakukan suaminya dengan cara yang sama pada saat ia menikah. Sebuah Amsal Alkitab berbunyi, ”Lebih baik tinggal di padang belantara, daripada tinggal dengan istri yang suka mengomel dan marah-marah.” (Amsal 21:19, BIS) Meskipun demikian, pria khususnya perlu berhati-hati dalam hal ini. Mengapa?
Kekuasaan dari para Penindas
Suami biasanya memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam perkawinan dibandingkan dengan istrinya. Kemungkinan besar ia lebih kuat secara fisik, sehingga ancaman bahaya fisik bahkan lebih menakutkan.b Lagi pula, pria sering kali mempunyai keterampilan bekerja yang lebih baik, keterampilan hidup yang lebih mandiri, dan keuntungan finansial yang lebih besar. Karena hal ini, seorang wanita yang dipukul dengan bertubi-tubi secara lisan kemungkinan merasa terjebak dan sendirian. Ia mungkin setuju dengan pernyataan Raja Salomo yang bijaksana, ”Lagi aku melihat segala penindasan yang terjadi di bawah matahari, dan lihatlah, air mata orang-orang yang ditindas dan tak ada yang menghibur mereka, karena di fihak orang-orang yang menindas ada kekuasaan.”—Pengkhotbah 4:1.
Seorang istri dapat menjadi bingung jika suaminya berubah-ubah secara ekstrem—kadang-kadang sopan, kadang-kadang kritis. (Bandingkan Yakobus 3:10.) Lagi pula, jika suaminya dapat menyediakan nafkah secara berkecukupan, seorang istri yang menjadi sasaran perkataan yang kasar dapat merasa bersalah karena mengira ada sesuatu yang salah dalam perkawinan itu. Ia bahkan mungkin menyalahkan dirinya sendiri karena tingkah laku suaminya. ”Seperti halnya seorang istri yang dipukuli secara fisik,” demikian pengakuan seorang wanita, ”saya dulu selalu mengira bahwa sayalah penyebabnya.” Seorang istri yang lain mengatakan, ”Dulu saya cenderung percaya bahwa jika saya berupaya lebih keras lagi untuk memahami dia dan berlaku ’sabar’ terhadapnya saya akan menemukan perdamaian.” Sungguh menyedihkan, perlakuan yang buruk tersebut terus berlanjut.
Sungguh tragis bahwa banyak suami menyalahgunakan kekuasaan mereka dengan menguasai wanita yang mungkin telah mereka ikrarkan untuk dikasihi dan disayangi. (Kejadian 3:16) Namun apa yang dapat dilakukan sehubungan dengan situasi semacam itu? ”Saya tidak mau meninggalkannya,” kata seorang istri, ”saya hanya menginginkan agar ia tidak lagi memperlakukan saya dengan sewenang-wenang.” Setelah menikah selama sembilan tahun, seorang suami mengakui, ”Saya menyadari bahwa saya terlibat dalam suatu hubungan perlakuan sewenang-wenang secara lisan dan bahwa sayalah yang bertindak sewenang-wenang. Saya sangat ingin mengubah perilaku saya, dan tidak meninggalkan istri saya.”
Bantuan tersedia bagi mereka yang perkawinannya terguncang akibat perkataan yang menyakitkan, sebagaimana akan diperlihatkan artikel berikut.
[Catatan Kaki]
a Rupanya, halnya sama pada abad pertama. The New International Dictionary of New Testament Theology menyatakan bahwa ”bagi orang-orang Yunani, mengetahui cara untuk menghina atau cara untuk menanggung penghinaan merupakan salah satu seni kehidupan”.
b Serangan lisan dapat menjadi batu loncatan kepada kekerasan di dalam rumah tangga. (Bandingkan Keluaran 21:18.) Seorang penasihat mengatakan kepada para wanita yang dipukul dengan bertubi-tubi, ”Setiap wanita yang datang meminta perintah resmi untuk mendapat perlindungan terhadap pemukulan, penikaman, atau pencekikan yang membahayakan kehidupannya juga telah mengalami sejarah yang panjang dan menyakitkan berupa perlakuan sewenang-wenang nonfisik.”
-
-
Dari Kata-Kata yang Menyakitkan Menjadi Kata-Kata yang MenyembuhkanSedarlah!—1996 | 22 Oktober
-
-
Dari Kata-Kata yang Menyakitkan Menjadi Kata-Kata yang Menyembuhkan
”Hidup dan mati dikuasai lidah.”—AMSAL 18:21.
CERCAAN—praktek yang dilakukan secara sadar dengan menggunakan perkataan yang menghina dan cacian—jelas dikutuk di dalam Alkitab. Di bawah Hukum Musa, seseorang yang mencerca orang-tuanya dapat dijatuhi hukuman mati. (Keluaran 21:17) Jadi, Allah Yehuwa tidak memandang ringan masalah ini. Firman-Nya, Alkitab, tidak mendukung gagasan bahwa apa pun yang terjadi ’di balik pintu tertutup’ tidak begitu penting selama seseorang mengaku melayani Allah. Alkitab menyatakan, ”Jika seseorang tampak bagi dirinya sendiri sebagai penyembah yang formal namun tidak mengekang lidahnya, tetapi terus menipu hatinya sendiri, bentuk ibadat orang ini sia-sia.” (Yakobus 1:26; Mazmur 15:1, 3) Maka jika seorang pria memperlakukan istrinya dengan sewenang-wenang secara lisan, semua pekerjaan Kristennya yang lain dapat dianggap sia-sia di mata Allah.a—1 Korintus 13:1-3.
Lagi pula, seorang Kristen yang adalah seorang pencerca dapat menghadapi pemecatan dari sidang. Ia bahkan bisa kehilangan berkat-berkat dari Kerajaan Allah. (1 Korintus 5: 11; 6:9, 10) Jelaslah, seseorang yang kata-katanya menyakitkan harus membuat perubahan drastis. Tetapi bagaimana hal ini dapat dicapai?
Menerangi Masalahnya
Jelaslah, seorang pelanggar tidak akan berubah kecuali ia mengerti dengan jelas bahwa ia memiliki masalah yang serius. Sayangnya, seperti yang diamati seorang penasihat, banyak pria yang melontarkan cacian ”sama sekali tidak memandang perilakunya sebagai perlakuan sewenang-wenang. Bagi pria-pria ini, tindakan semacam itu adalah benar-benar normal dan merupakan cara berinteraksi yang ’lazim’ bagi suami dan istri”. Oleh karena itu, banyak orang tidak dapat melihat perlunya mengadakan perubahan sampai situasinya dihadapkan langsung kepada perhatian mereka.
Sering kali, setelah dengan sungguh-sungguh menimbang-nimbang keadaannya, sang istri akan merasa terpaksa berterus terang—demi kesejahteraannya sendiri dan anak-anaknya dan karena keprihatinannya akan kedudukan suaminya dengan Allah. Memang, selalu ada kemungkinan bahwa berterus terang mungkin akan menyebabkan masalah menjadi lebih buruk dan bahwa kata-kata istri bisa jadi dijawab dengan segudang sangkalan. Mungkin seorang istri dapat mengelakkan keadaan ini dengan memikirkan sebelumnya secara saksama bagaimana ia akan memulai pembicaraan. ”Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak,” kata Alkitab. (Amsal 25:11) Pendekatan yang lembut namun terus terang pada saat yang tenang mungkin mencapai hati suami.—Amsal 15:1.
Daripada melontarkan tuduhan, seorang istri hendaknya mencoba mengutarakan dirinya dari sudut pandangan bagaimana perkataan yang menyakitkan mempengaruhinya. Menggunakan kata ”saya” sering kali mendatangkan hasil yang terbaik. Misalnya, ’Saya merasa sakit hati karena . . . ’ atau ’Saya merasa sedih sewaktu engkau mengatakan kepada saya . . . ’ Pernyataan-pernyataan demikian kemungkinan lebih dapat mencapai hati, sebab mereka menyerang masalahnya, bukan orangnya.—Bandingkan Kejadian 27:46–28:1.
Campur tangan yang tegas namun bijaksana dari sang istri dapat mendatangkan hasil-hasil yang baik. (Bandingkan Mazmur 141:5.) Seorang pria yang kita namakan Suseno juga mendapati demikian halnya. ”Istri saya melihat kecenderungan saya untuk berlaku sewenang-wenang padahal saya tidak menyadari hal itu, dan ia mempunyai kegigihan untuk memberitahukannya kepada saya,” katanya.
Mendapatkan Bantuan
Tetapi apa yang dapat dilakukan seorang istri jika suaminya tidak mau mengakui masalahnya? Pada taraf ini, beberapa istri mencari bantuan pihak luar. Pada masa-masa sulit seperti ini, Saksi-Saksi Yehuwa dapat menghampiri para penatua dari sidang mereka. Alkitab mendesak pria-pria ini untuk bersikap pengasih dan berbaik hati sewaktu menggembalakan kawanan domba rohani Allah dan, pada saat yang bersamaan, ”menegur mereka yang menentang” ajaran yang sehat dari Firman Allah. (Titus 1:9; 1 Petrus 5:1-3) Walaupun tidak pantas untuk mencampuri urusan pribadi dari pasangan-pasangan yang telah menikah, para penatua layak untuk merasa prihatin sewaktu salah satu pasangan menderita karena perkataan kasar dari pasangannya. (Amsal 21:13) Dengan berpaut erat kepada standar-standar Alkitab, pria-pria ini tidak mengizinkan atau meremehkan cacian.b
Para penatua mungkin dapat mempermudah komunikasi antara suami dan istri. Misalnya, seorang penatua didekati oleh seorang wanita yang menceritakan bahwa selama bertahun-tahun ia mendapat pemukulan lisan oleh suaminya yang adalah seorang rekan seiman. Penatua tersebut mengatur untuk bertemu dengan keduanya. Seraya tiap pihak berbicara, ia meminta agar pihak lain mendengarkan tanpa menyela. Sewaktu giliran sang istri, ia mengatakan bahwa ia tidak dapat lagi mentoleransi ledakan kemarahan suaminya. Ia menjelaskan bahwa selama bertahun-tahun ia merasa takut pada setiap sore, karena tidak pernah tahu apakah suaminya dalam suasana marah sewaktu pulang. Bila suami meledak, ia akan mengatakan hal-hal yang merendahkan harga diri dari keluarga istrinya, teman-teman istrinya, dan istrinya sendiri.
Penatua tersebut meminta sang istri menjelaskan bagaimana perasaannya sewaktu mendengar kata-kata suaminya. ”Saya merasa seperti seorang yang menyebalkan sehingga tidak layak dicintai,” jawabnya. ”Kadang-kadang saya bertanya kepada ibu saya, ’Bu, apakah saya orang yang sulit untuk diajak hidup bersama? Apakah saya tidak layak dicintai?’” Seraya ia melukiskan bagaimana perasaannya terhadap kata-kata suaminya, suaminya mulai menangis. Untuk pertama kali, ia dapat melihat betapa dalam ia telah menyakiti istrinya dengan kata-katanya.
Anda Dapat Berubah
Beberapa orang Kristen pada abad pertama memiliki problem berkenaan cacian. Rasul Kristen Paulus memperingatkan mereka untuk menyingkirkan ”murka, kemarahan, keburukan, cacian, dan omongan cabul”. (Kolose 3:8) Akan tetapi, perkataan yang kasar lebih merupakan persoalan hati daripada persoalan lidah. (Lukas 6:45) Itulah sebabnya Paulus menambahkan, ”Tanggalkan kepribadian lama dengan praktek-prakteknya, dan kenakanlah pada dirimu kepribadian baru.” (Kolose 3:9, 10) Maka perubahan melibatkan bukan hanya mengubah cara penyampaian melainkan juga mengubah perasaan kita terhadap orang lain.
Seorang suami yang melontarkan perkataan yang melukai mungkin memerlukan bantuan untuk menentukan dengan tepat apa yang memotivasi perilakunya.c Ia hendaknya memiliki sikap seperti pemazmur, ”Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong.” (Mazmur 139:23, 24) Misalnya: Mengapa ia merasa perlu menguasai, atau mengendalikan teman hidupnya? Apa yang menyulut penyerangan lisan ini? Apakah serangannya merupakan gejala kekesalan yang lebih dalam? (Amsal 15:18) Apakah ia menderita perasaan tidak berguna, mungkin karena dibesarkan dalam keluarga yang dicirikan oleh perkataan yang kritis? Pertanyaan-pertanyaan demikian dapat membantu seorang pria menyingkapkan akar penyebab perilakunya.
Namun, cacian sulit untuk dicabut, khususnya jika hal itu telah begitu tertanam oleh orang-tua yang perkataannya bersifat mengejek atau oleh kebudayaan yang menganjurkan perilaku menguasai dengan sewenang-wenang. Tetapi apa pun yang dipelajari dapat—dengan waktu dan upaya—tidak dipelajari lagi. Alkitab adalah bantuan terbesar dalam hal ini. Ia dapat membantu seseorang untuk membalikkan bahkan perilaku yang sudah berurat-berakar dengan kuat. (Bandingkan 2 Korintus 10:4, 5.) Bagaimana caranya?
Pandangan yang Sepatutnya Berkenaan Peranan yang Diberikan Allah
Sering kali, para pria yang melukai secara lisan memiliki pandangan yang menyimpang berkenaan peranan yang diberikan Allah bagi suami dan istri. Misalnya, penulis Alkitab, Paulus, menyatakan bahwa istri-istri harus ”tunduk kepada suami mereka” dan bahwa ”suami adalah kepala atas istrinya”. (Efesus 5:22, 23) Seorang suami mungkin merasa bahwa kekepalaan memberikan dia hak kendali mutlak. Tetapi tidak demikian halnya. Istrinya, meskipun tunduk, bukan budaknya. Ia adalah ”penolong” dan ”pelengkap” (NW) baginya. (Kejadian 2:18) Oleh karena itu, Paulus menambahkan, ”Suami-suami harus mengasihi istri mereka seperti tubuh mereka sendiri. Ia yang mengasihi istrinya mengasihi dirinya sendiri, sebab tidak seorang pun pernah membenci dagingnya sendiri; tetapi ia memberi makan dan menyayanginya, sebagaimana yang juga Kristus lakukan terhadap sidang jemaat.”—Efesus 5:28, 29.
Sebagai kepala sidang Kristen, Yesus tidak pernah mencaci maki murid-muridnya, sehingga menyebabkan mereka bertanya-tanya dengan gelisah kapan ledakan kritikan berikutnya. Sebaliknya, ia bersikap lembut, dengan demikian menjaga harga diri mereka. ”Aku akan menyegarkan kamu,” janjinya kepada mereka. ”Aku berwatak lemah lembut dan rendah hati.” (Matius 11:28, 29) Renungan yang sungguh-sungguh tentang bagaimana Yesus menjalankan kekepalaan dapat membantu seorang suami memandang kekepalaannya dengan pandangan yang lebih seimbang.
Bila Timbul Ketegangan
Mengetahui prinsip-prinsip Alkitab tidaklah begitu sulit; menerapkannya sewaktu di bawah tekanan merupakan hal yang lebih sulit. Bila timbul ketegangan, bagaimana seorang suami dapat menghindar untuk tidak kembali ke pola perkataan yang kasar?
Bukanlah tanda kejantanan bagi seorang suami untuk menjadi agresif secara lisan sewaktu ia sedang kesal. Alkitab menyatakan, ”Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota.” (Amsal 16:32) Pria sejati dapat mengendalikan emosinya. Ia memperlihatkan empati dengan mempertimbangkan, ’Bagaimana perasaan istri saya mendengar kata-kata saya? Bagaimana perasaan saya jika saya adalah dia?’—Bandingkan Matius 7:12.
Walaupun demikian, Alkitab mengakui bahwa beberapa situasi dapat memancing kemarahan. Mengenai keadaan demikian sang pemazmur menulis, ”Biarlah kamu marah, tetapi jangan berbuat dosa; berkata-katalah dalam hatimu di tempat tidurmu, tetapi tetaplah diam.” (Mazmur 4:5) Juga telah dinyatakan seperti berikut, ”Marah itu tidak salah sama sekali, tetapi yang salah adalah menyerang dengan kata-kata yang sarkastis, merendahkan atau menghina.”
Jika seorang suami merasa bahwa ia mulai kehilangan kendali atas perkataannya, ia dapat belajar untuk berhenti sejenak. Mungkin bijaksana meninggalkan rumah, pergi berjalan-jalan, atau pergi ke suatu tempat pribadi untuk menenangkan diri. Amsal 17:14 mengatakan, ”Undurlah sebelum perbantahan mulai.” Lanjutkan pembicaraan setelah kemarahan mereda.
Tentu saja, tidak seorang pun yang sempurna. Seorang suami yang memiliki problem dengan perkataan yang kasar dapat kambuh kembali. Sewaktu hal ini terjadi, ia hendaknya meminta maaf. Mengenakan ”kepribadian baru” adalah suatu proses yang terus-menerus, tetapi menuai upah yang besar.—Kolose 3:10.
Perkataan yang Menyembuhkan
Ya, ”hidup dan mati dikuasai lidah”. (Amsal 18:21) Perkataan yang menyakitkan harus diganti dengan kata-kata yang membangun dan memperkuat perkawinan. Amsal Alkitab berbunyi, ”Perkataan yang menyenangkan adalah seperti sarang madu, manis bagi hati dan obat bagi tulang-tulang.”—Amsal 16:24.
Beberapa tahun lalu, suatu penelitian diadakan untuk menentukan faktor-faktor apa yang menyebabkan keluarga-keluarga yang akrab berfungsi dengan efektif. ”Penelitian tersebut mendapati bahwa anggota dari keluarga-keluarga ini menyukai satu sama lain, dan senantiasa mengatakan kepada satu sama lain bahwa mereka saling menyukai,” seorang pakar perkawinan, David R. Mace, melaporkan. ”Mereka saling bersikap positif, satu sama lain saling menghargai, dan memanfaatkan setiap kesempatan yang masuk akal untuk berbicara dan bertindak dengan kasih sayang. Sangat wajar, hasilnya adalah bahwa mereka menikmati kebersamaan dan memperkuat satu sama lain dengan cara-cara yang membuat hubungan mereka sangat memuaskan.”
Tidak ada suami yang takut akan Allah dapat dibenarkan jika mengatakan bahwa ia mencintai istrinya padahal ia sengaja melukai istrinya dengan kata-katanya. (Kolose 3:19) Tentu saja, halnya juga sama berkenaan seorang istri yang memukuli suaminya secara lisan. Sebenarnya, kedua belah pihak berkewajiban mengikuti peringatan Paulus kepada orang-orang Efesus, ”Hendaklah perkataan busuk jangan keluar dari mulutmu, melainkan perkataan apa pun yang baik untuk membangun sebagaimana dibutuhkan, agar hal itu dapat memberikan apa yang baik kepada para pendengar.”—Efesus 4:29.
[Catatan Kaki]
a Walaupun kami menyebut pria sebagai pelanggarnya, prinsip-prinsip yang tersangkut juga berlaku bagi kaum wanita.
b Agar memenuhi syarat untuk melayani atau terus melayani sebagai penatua, seorang pria hendaknya bukan orang yang suka memukul. Ia tidak boleh seseorang yang memukul orang-orang secara fisik atau memojokkan mereka dengan pernyataan-pernyataan yang menyayat hati. Para penatua dan hamba pelayanan haruslah memimpin rumah tangga mereka sendiri dengan cara yang baik. Tidak soal seberapa baik hati ia mungkin bertindak di lain tempat, seorang pria tidak memenuhi syarat jika ia seorang yang lalim di rumah.—1 Timotius 3:2-4, 12.
c Merupakan keputusan pribadi seorang Kristen apakah ia perlu menjalani perawatan tertentu. Akan tetapi, ia hendaknya memastikan bahwa perawatan apa pun yang ia dapatkan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Alkitab.
-