PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • Perselingkuhan​—Konsekuensinya yang Tragis
    Sedarlah!—1999 | 22 April
    • Perselingkuhan​—Konsekuensinya yang Tragis

      ”Selamat tinggal,” kata suara di telepon. Kemungkinan besar, itulah kata-kata paling menyakitkan yang pernah diucapkan suami Tinaa kepadanya. ”Saya benar-benar tidak percaya ia tega mengkhianati saya,” katanya. ”Hal yang paling saya takutkan selama ini​—ditinggal suami karena wanita lain​—menjadi kenyataan pahit.”

      TINA, yang berusia 33 tahun, benar-benar ingin mengupayakan bahtera perkawinannya tetap berjalan; sang suami telah meyakinkan Tina bahwa ia tidak akan pernah meninggalkan Tina. ”Kami berjanji untuk tetap bersama, apa pun yang akan terjadi,” kenang Tina. Saya yakin bahwa suami saya serius akan kata-katanya. Tetapi, kemudian . . . ia pergi meninggalkan saya. Sekarang, saya tidak punya apa-apa​—semua dibawanya pergi​—saya tidak punya apa-apa!”

      Hiroshi tidak akan pernah melupakan hari ketika skandal perzinaan ibunya tersingkap. ”Waktu itu, saya baru berusia 11 tahun,” kenangnya. ”Ibu bergegas masuk ke dalam rumah. Ayah berada tepat di belakangnya, katanya, ’Tunggu. Mari kita bicarakan dahulu persoalannya.’ Saya bisa merasakan ada sesuatu yang sangat tidak beres. Hati ayah hancur. Ia tidak pernah pulih seperti sediakala. Lagi pula, ia tak punya tempat mengadu. Jadi, ia berpaling kepada saya. Bayangkan, seorang pria berusia 40-an berpaling kepada putranya yang berusia 11 tahun untuk mendapatkan penghiburan dan empati!”

      Ketidaksetiaan dalam perkawinan​—entah berupa skandal asmara yang telah mengguncang keluarga kerajaan, politikus, bintang film, dan pemimpin agama atau berupa pengkhianatan dan kesedihan dalam keluarga kita sendiri​—tetap saja berakibat tragis. ”Perzinaan,” kata The New Encyclopædia Britannica, ”tampaknya sama-sama bersifat universal, dan dalam beberapa hal, sama-sama umum jika dibandingkan dengan perkawinan.” Beberapa peneliti memperkirakan bahwa 50 sampai 75 persen orang-menikah setidaknya pernah berselingkuh. Seorang peneliti perkawinan, Zelda West-Meads, mengatakan bahwa meskipun banyak perselingkuhan berlangsung tanpa diketahui, ”semua bukti menunjukkan bahwa skandal asmara sedang meningkat”.

      Luapan Berbagai Macam Perasaan

      Meskipun mengejutkan, statistik kasus perselingkuhan dan perceraian tidak menyingkapkan seluruh dampaknya atas kehidupan sehari-hari dari orang-orang yang bersangkutan. Selain kerugian materi yang tidak sedikit, bayangkan perasaan campur aduk yang tersembunyi di balik statistik itu​—banyaknya air mata yang tercurah dan tak terhitung banyaknya kebingungan, kesedihan, kecemasan, serta kepedihan yang sangat dalam yang dialami, belum lagi bila bermalam-malam anggota-anggota keluarga tidak bisa tidur karena tekanan batin. Para korban perselingkuhan mungkin sanggup melewati cobaan berat itu, tetapi luka yang ditinggalkannya tetap terasa untuk waktu yang lama. Kepedihan hati dan kerusakan yang diderita tidak terhapuskan begitu saja.

      ”Gagalnya perkawinan biasanya menimbulkan guncangan emosi yang besar,” jelas buku How to Survive Divorce, ”suatu guncangan yang kadang-kadang berpotensi mengaburkan sudut pandang Anda. Apa yang harus Anda lakukan? Bagaimana sebaiknya reaksi Anda? Bagaimana Anda dapat menanggulanginya? Perasaan Anda mungkin mulai terombang-ambing dari yakin ke ragu-ragu, dari marah ke perasaan bersalah, atau dari percaya ke curiga.”

      Itulah yang dialami Pedro setelah mengetahui perselingkuhan istrinya. ”Apabila perselingkuhan terjadi,” ungkapnya, ”maka datanglah banjir emosi membingungkan.” Perasaan hancur cukup sulit untuk dipahami oleh para korban​—apalagi oleh orang luar yang tidak begitu memahami situasinya. ”Tak seorang pun,” kata Tina, ”yang benar-benar memahami perasaan saya. Sewaktu terlintas di pikiran saya bahwa suami saya sedang bersama wanita itu, tubuh saya benar-benar terasa sakit, rasa sakit yang benar-benar tak terlukiskan.” Ia menambahkan, ”Kadang-kadang saya merasa hampir gila. Suatu hari, saya merasa bisa menguasai diri; keesokan harinya saya tidak bisa. Suatu hari, saya merindukan suami saya; keesokan harinya, terlintas di benak saya semua siasat dan dusta serta perasaan terhina.”

      Kemarahan dan Kecemasan

      ”Kadang-kadang,” ungkap seorang korban perselingkuhan, ”emosi yang melanda Anda adalah kemarahan semata-mata.” Ini bukan sekadar marah karena perbuatan salah yang dilakukan dan kepedihan yang ditimbulkannya. Melainkan, sebagaimana dijelaskan oleh seorang jurnalis, itu adalah ”kekesalan karena perkawinan yang seharusnya berhasil, malah hancur berantakan”.

      Perasaan yang juga umum dirasakan adalah rendah diri dan tidak lengkap. Pedro mengungkapkan, ”Perasaan Anda akan seperti ini: ’Apakah saya tidak cukup menarik? Apa kekurangan pada diri saya?’ Anda mulai mencari-cari kesalahan dalam diri Anda.” Dalam bukunya To Love, Honour and Betray, Zelda West-Meads dari Lembaga Bimbingan Perkawinan Nasional di Inggris menegaskan, ”Salah satu hal terberat untuk dihadapi . . . adalah hancurnya sebagian besar harga diri Anda.”

      Perasaan Bersalah dan Depresi

      Biasanya, emosi-emosi ini segera diikuti oleh gelombang perasaan bersalah. Seorang istri yang putus asa berkata, ”Saya rasa, wanitalah yang biasanya sangat menderita perasaan bersalah. Anda menyalahkan diri sendiri dan bertanya-tanya, ’Apa salah saya?’”

      Seorang suami yang dikhianati menyingkapkan aspek lain dari apa yang disebutnya badai emosi. Ia menjelaskan, ”Depresi mulai melanda bagaikan cuaca buruk.” Sewaktu ditinggal pergi oleh suaminya, seorang istri mengenang bahwa tak sehari pun terlewat tanpa air mata. ”Masih jelas dalam ingatan saya hari-tanpa-tangis pertama beberapa minggu setelah ditinggal suami saya,” katanya. ”Setelah beberapa bulan, barulah saya menikmati pekan-tanpa-tangis pertama. Hari-tanpa-tangis dan pekan-tanpa-tangis itu menjadi batu loncatan saya untuk memulihkan diri.”

      Pengkhianatan Ganda

      Hal yang tidak disadari oleh banyak orang adalah bahwa sering kali, pihak yang berzina melancarkan pukulan ganda yang menyakitkan terhadap teman hidupnya. Dengan cara bagaimana? Tina memberi kita petunjuknya, ”Hal itu sulit saya terima. Ia bukan hanya suami saya, ia juga sahabat saya​—sahabat karib saya​—selama bertahun-tahun.” Ya, dalam banyak kasus, seorang istri berpaling pada suaminya untuk mendapatkan dukungan sewaktu timbul problem. Sekarang, sang suami bukan saja menjadi penyebab problem yang mengakibatkan trauma yang berat, tetapi ia juga tidak lagi menjadi sumber bantuan yang sangat dibutuhkan. Dengan satu tindakan perselingkuhan saja, ia telah menimbulkan kepedihan hati yang hebat sekaligus merampas orang kepercayaan sang istri.

      Akibatnya, perasaan terkhianati serta hancurnya kepercayaan adalah salah satu perasaan terberat yang diderita oleh teman hidup yang tidak bersalah. Seorang penasihat perkawinan menjelaskan mengapa pengkhianatan dalam perkawinan dapat begitu melumpuhkan secara emosi, ”Kita menginvestasikan sebagian besar kehidupan kita, harapan, impian dan penantian kita, pada perkawinan . . . , mencari seseorang yang benar-benar dapat kita percayai, seseorang yang kita rasa dapat selalu diandalkan. Jika kepercayaan itu tiba-tiba dirampas, halnya dapat disamakan dengan rumah-rumahan dari karton yang langsung ambruk ketika diembus angin.”

      Sangatlah jelas, sebagaimana dinyatakan oleh buku How to Survive Divorce, para korban ”butuh bantuan untuk memilah-milah gejolak emosi . . . Mereka mungkin butuh bantuan untuk menentukan pilihan dan bagaimana melakukannya”. Tetapi, pilihan-pilihan apa saja yang ada?

      ’Apakah rujuk adalah jalan keluarnya?’ Anda mungkin bertanya. ’Atau, haruskah saya bercerai?’ Terutama apabila perkawinan tersebut telah mendingin, mudah saja untuk buru-buru memutuskan bahwa perceraian adalah jalan keluar bagi problem Anda. ’Lagi pula,’ Anda mungkin berpikir, ’Alkitab mengizinkan perceraian atas dasar ketidaksetiaan dalam perkawinan.’ (Matius 19:9) Di pihak lain, Anda mungkin berpikir bahwa Alkitab tidak mengharuskan perceraian. Oleh karenanya, Anda mungkin merasa lebih baik rujuk dan membangun kembali serta menguatkan perkawinan.

      Masalah bercerai-tidaknya dari teman hidup yang tidak setia adalah keputusan pribadi. Namun, bagaimana Anda dapat mengetahui apa yang harus Anda lakukan? Pertama-tama, marilah kita memeriksa beberapa faktor yang mungkin membantu Anda menentukan apakah masih ada kemungkinan untuk rujuk.

  • Mungkinkah Bersatu Kembali?
    Sedarlah!—1999 | 22 April
    • Mungkinkah Bersatu Kembali?

      ”Memang mudah untuk langsung menggugat cerai,” demikian pengamatan buku ”Couples in Crisis”, ”namun, pasti ada banyak perkawinan yang pada dasarnya masih bisa dipertahankan dan bisa sukses jika problem-problemnya diatasi.”

      PENGAMATAN ini selaras dengan ajaran Yesus Kristus di masa lampau tentang perceraian. Meskipun ia menyatakan bahwa teman hidup yang tidak bersalah diizinkan bercerai atas dasar ketidaksetiaan perkawinan, ia sama sekali tidak mengatakan bahwa hal itu merupakan keharusan. (Matius 19:3-9) Teman hidup yang setia mungkin memiliki alasan untuk berupaya menyelamatkan perkawinan. Si pelaku kesalahan mungkin masih mencintai istrinya.a Ia mungkin adalah suami yang penuh perhatian dan ayah yang bertanggung jawab, yang dengan sungguh-sungguh menafkahi keluarganya. Mengingat kebutuhannya sendiri dan kebutuhan anak-anaknya, teman hidup yang setia mungkin memutuskan untuk rujuk sebaliknya daripada bercerai. Jika demikian, faktor-faktor apa yang dapat dipertimbangkan dan bagaimana tantangan dalam memulihkan perkawinan dapat diatasi dengan sukses?

      Pertama-tama, dapat dikatakan bahwa perceraian ataupun rujuk bukanlah hal yang mudah. Lagi pula, memaafkan begitu saja teman hidup yang berzina belum tentu menyelesaikan problem perkawinan yang tersembunyi. Biasanya dibutuhkan pemeriksaan diri yang sungguh-sungguh, komunikasi yang terbuka, dan kerja keras untuk menyelamatkan sebuah perkawinan. Pasangan suami-istri sering menyepelekan banyaknya waktu dan upaya yang dibutuhkan untuk membangun kembali perkawinan yang berantakan. Meskipun demikian, banyak pasangan yang berupaya dengan gigih akhirnya menikmati perkawinan yang stabil.

      Pertanyaan-Pertanyaan yang Perlu Dijawab

      Untuk membuat keputusan yang terinformasi, teman hidup yang setia perlu memperjelas perasaan-perasaannya serta pilihan-pilihan yang akan diambilnya. Ia dapat mempertimbangkan hal berikut: Apakah suami saya benar-benar ingin kembali? Apakah ia sudah mengakhiri hubungan zinanya sama sekali, atau ia enggan melakukannya segera? Sudahkah ia mengatakan bahwa ia menyesal? Jika demikian, apakah ia bertobat dengan sungguh-sungguh, dengan tulus menunjukkan penyesalan yang dalam atas perbuatannya? Atau, apakah ia cenderung menyalahkan saya atas perbuatan salahnya? Apakah ia dengan tulus menyesali kerugian yang telah ia timbulkan? Atau, apakah ia malah kesal karena hubungan gelapnya disingkapkan dan dibuka kedoknya?

      Bagaimana dengan masa depan? Sudahkah ia memperbaiki sikap dan tindakannya yang mengarah ke perzinaan? Apakah ia benar-benar bertekad untuk tidak mengulangi kesalahannya? Atau, apakah ia masih memiliki kecenderungan untuk bermain mata dan menjalin ikatan emosi yang tidak pantas dengan lawan jenis? (Matius 5:27, 28) Apakah ia benar-benar bertekad untuk membangun kembali perkawinan tersebut? Jika ya, apa yang ia lakukan untuk itu? Jawaban-jawaban positif untuk pertanyaan-pertanyaan ini dapat menjadi dasar untuk percaya bahwa perkawinan masih mungkin untuk dipulihkan.

      Komunikasi yang Penting

      ”Rencana-rencana gagal,” kata seorang penulis Alkitab, ”apabila tidak ada pembicaraan konfidensial.” (Amsal 15: 22, NW) Inilah yang hendaknya dilakukan apabila teman hidup yang tidak bersalah merasa perlu untuk membicarakan tentang perselingkuhan itu dengan teman hidupnya. Tanpa perlu menyebutkan peristiwanya secara terperinci, mereka dapat mengadakan pembicaraan yang jujur dan sungguh-sungguh yang akan menyingkapkan permasalahan yang sebenarnya dan menjernihkan pemikiran yang salah. Alhasil, ini akan membantu pasangan tersebut agar tidak semakin menjauh satu sama lain karena kesalahpahaman dan kekesalan yang berkepanjangan. Memang, suami maupun istri mungkin akan merasa bahwa diskusi semacam itu terasa menyakitkan. Tetapi, banyak yang mendapati bahwa diskusi-diskusi demikian merupakan bagian penting dari proses pemulihan kepercayaan.

      Langkah penting lainnya untuk memulihkan hubungan secara efektif adalah berupaya mengenali segi-segi apa saja yang menyebabkan problem dalam perkawinan​—hal-hal yang perlu diperbaiki oleh suami maupun istri. Zelda West-Meads menasihati, ”Bila kalian telah membicarakan dengan saksama hal-hal yang memedihkan hati, bila kalian telah yakin bahwa skandal itu benar-benar telah berlalu, dan kalian masih ingin mempertahankan perkawinan, perbaiki apa yang salah dan perbaruilah perkawinan [tersebut].”

      Kemungkinan, kalian telah saling mengabaikan. Kegiatan rohani mungkin telah terlalaikan. Barangkali, kalian kurang banyak menggunakan waktu bersama-sama. Kemungkinan, kalian kurang memberikan cinta, kasih sayang yang lembut, pujian, dan hormat yang dibutuhkan oleh teman hidup kalian. Dengan bersama-sama mengevaluasi kembali cita-cita dan nilai-nilai yang kalian miliki, hal itu banyak berperan dalam mendekatkan kalian dan turut mencegah perselingkuhan di masa depan.

      Berupaya Mengampuni

      Meskipun telah mengerahkan upaya yang tulus, seorang teman hidup yang tersakiti mungkin merasa sulit untuk mengampuni suaminya, apalagi mengampuni perempuan yang berselingkuh dengan suaminya. (Efesus 4:32) Akan tetapi, tidak mustahil untuk setahap demi setahap berupaya melupakan kekesalan dan sakit hati. ”Teman hidup yang setia perlu sadar bahwa ada saatnya mereka harus memulai lembaran baru,” demikian nasihat sebuah karya referensi. ”Penting agar tidak terus mengungkit-ungkit dosa teman hidup Anda di masa lalu untuk menghukum[nya] setiap kali perselisihan timbul.”

      Banyak teman hidup mendapati bahwa dengan berupaya mengurangi dan menyingkirkan perasaan kesal yang hebat, mereka tidak lagi bermusuhan dengan si pelanggar. Ini adalah langkah penting dalam membangun kembali perkawinan.

      Belajar untuk Percaya Kembali

      ”Dapatkah kami saling mempercayai lagi?” ratap seorang istri yang putus asa. Kekhawatirannya beralasan karena kecurangan yang dilakukan si pezina telah menghancurkan kepercayaan—atau setidaknya membuatnya rusak berat. Seperti jambangan yang berharga, kepercayaan mudah dihancurkan tetapi sulit untuk direkatkan kembali. Sebenarnya, kepercayaan dan respek timbal balik harus ada dalam suatu hubungan, bukan hanya agar hubungan itu bertahan, melainkan supaya bisa bertumbuh.

      Biasanya, hal ini mencakup belajar untuk percaya kembali. Daripada terus-menerus menuntut agar dipercaya, teman hidup yang bersalah dapat turut memulihkan kepercayaan dengan bersikap benar-benar terbuka serta jujur tentang kegiatannya. Orang-orang Kristen dianjurkan agar ’menyingkirkan dusta, dan mengatakan kebenaran’ satu sama lain. (Efesus 4:25) Untuk mendapatkan kembali kepercayaan itu, pertama-tama Anda dapat ”memberi [teman hidup] Anda jadwal yang akurat untuk setiap kegiatan Anda”, kata Zelda West-Meads. ”Beri tahu [teman hidup] Anda ke mana Anda hendak pergi, kapan akan kembali dan pastikan bahwa Anda akan ada di tempat yang Anda katakan.” Jika rencana berubah, beri tahu istri Anda.

      Waktu dan upaya dibutuhkan untuk membangun kembali harga diri. Teman hidup yang bersalah dapat membantu dengan bersikap murah hati dalam menyatakan kasih sayang dan pujian—selalu memberi tahu istrinya bahwa ia dihargai dan dikasihi. Seorang penasihat perkawinan yang direspek menasihati, ”Berikan penghargaan padanya atas semua hal yang ia lakukan.” (Amsal 31:31, Today’s English Version) Alhasil, sang istri juga dapat membangun kembali rasa percaya dirinya dengan memusatkan perhatian pada hal-hal yang dilakukan dengan baik dalam kehidupannya.

      Butuh Waktu

      Karena hebatnya kepedihan hati yang diakibatkan oleh perselingkuhan, tidak mengherankan bila setelah bertahun-tahun, kenangan pahit yang jelas dan menyakitkan hati masih bisa muncul. Akan tetapi, seraya luka itu berangsur-angsur sembuh, kerendahan hati, kesabaran, dan ketekunan di pihak suami maupun istri akan membantu membangun kembali kepercayaan dan respek.​—Roma 5:3, 4; 1 Petrus 3:8, 9.

      ”Kepedihan hati yang parah pada bulan-bulan pertama tidak berlangsung selamanya,” demikian pernyataan yang dengan yakin disampaikan dalam buku To Love, Honour and Betray. ”[Hal itu] akhirnya akan sirna . . . Akhirnya, Anda merasa bahwa Anda dapat menjalani hari-hari, minggu-minggu, bulan-bulan, bahkan tahun-tahun tanpa memikirkan hal itu.” Seraya Anda terus menerapkan prinsip-prinsip Alkitab dalam perkawinan Anda dan mencari berkat dan bimbingan Allah, Anda pasti merasakan pengaruh yang menenangkan dari ”kedamaian Allah yang lebih unggul daripada segala akal”.​—Filipi 4:4-7, 9.

      ”Jika dikenang kembali,” lapor Pedro, ”pengalaman itu telah mengubah haluan hidup kami. Dari waktu ke waktu kami masih harus membuat beberapa perbaikan dalam perkawinan kami. Tetapi, kami dapat melewati cobaan yang berat itu. Perkawinan kami masih utuh. Dan, kami bahagia.”

      Tetapi, bagaimana jika teman hidup yang tidak bersalah tidak memiliki alasan untuk mengampuni pihak yang tidak setia? Atau, bagaimana jika ia mengampuni teman hidupnya (hingga taraf melupakan kekesalan) namun, karena alasan yang masuk akal, memilih untuk memanfaatkan persediaan Alkitab berupa perceraian?b Tuntutan-tuntutan apa yang perlu seseorang penuhi setelah bercerai? Kami mengajak Anda untuk mempertimbangkan faktor-faktor yang tercakup dalam perceraian, juga bagaimana beberapa orang berhasil mengatasinya.

      [Catatan Kaki]

      a Agar lebih mudah, secara umum kami akan membicarakan sang istri sebagai teman hidup yang setia. Akan tetapi, prinsip-prinsip yang dibahas juga berlaku bagi suami-suami yang istrinya tidak setia.

      b Silakan lihat artikel ”Pandangan Alkitab: Perzinaan​—Melupakan Atau Mengampuni?” dalam Sedarlah! terbitan 8 Agustus 1995.

      [Kotak di hlm. 6]

      DUKUNGAN YANG BERARTI

      Melihat banyaknya faktor yang dapat dipertimbangkan, ada baiknya untuk mencari bantuan dari penasihat yang berpengalaman dan berpandangan seimbang. Saksi-Saksi Yehuwa, misalnya, dapat menghubungi para penatua yang baik dan beriba hati.​—Yakobus 5:13-15.

      Para penasihat, sahabat, dan sanak keluarga dianjurkan agar tidak memaksakan pilihan mereka sendiri atau menganjurkan atau melarang tindakan perceraian yang berdasarkan Alkitab atau rujuk kembali. Seorang wanita Kristen yang bercerai menganjurkan, ”Berikan saja banyak dukungan, dan biarkan kami memutuskan sendiri apa yang harus kami lakukan.”

      Nasihat hendaknya benar-benar berdasarkan Alkitab. ”Jangan memberi tahu mereka apa yang boleh dan tidak boleh mereka rasakan,” saran seorang yang bercerai. ”Sebaliknya, biarkan mereka mengungkapkan perasaan mereka.” Sikap seperasaan, kasih sayang persaudaraan, dan keibaan hati yang lembut akan turut mengobati luka yang dalam akibat pengkhianatan perkawinan. (1 Petrus 3:8) Seorang penasihat yang berpengalaman menyatakan, ”Ada orang yang lancang mulutnya seperti tikaman pedang, tetapi lidah orang bijak mendatangkan kesembuhan.”​—Amsal 12:18.

      ”Saya butuh pengertian, ucapan yang menghibur, dan anjuran,” ungkap seorang suami yang setia. ”Dan, istri saya sangat menginginkan pengarahan dan pujian spesifik atas upaya yang ia lakukan—bantuan nyata yang dapat membuatnya bertahan.”

      Jika setelah melakukan renungan yang cermat dan sungguh-sungguh seseorang memutuskan untuk bercerai atau berpisah karena alasan Alkitab, nasihat hendaknya tidak disampaikan sedemikian rupa sehingga membuat orang tersebut merasa bersalah. Sebaliknya, orang yang bersangkutan dapat dibantu untuk mengatasi perasaan bersalah yang tidak semestinya.

      ”Jika Anda ingin menjadi sumber penghiburan yang sejati,” kata seorang korban, ”jangan pernah lupa bahwa yang terlibat adalah emosi-emosi manusia yang mendalam.”

      [Kotak di hlm. 7]

      MENGAPA BEBERAPA PASANGAN TETAP BERSAMA

      Dalam banyak komunitas, ada istri-istri yang mau tidak mau harus tetap serumah dengan suami yang berbuat zina, namun tidak bertobat. Misalnya, beberapa istri Kristen yang tinggal di wilayah yang dilanda pertikaian atau yang rendah pendapatan penduduknya, tetap tinggal serumah dengan suami yang tidak setia, yang dalam segi-segi lain masih memenuhi kebutuhan rumah tangganya, meskipun ia mungkin tidak seiman. Hasilnya, mereka memiliki rumah, perlindungan yang dibutuhkan, pendapatan tetap, dan kestabilan yang relatif karena adanya seorang suami di rumah​—meskipun ia mungkin tidak setia. Mereka telah mempertimbangkan bahwa dengan tetap serumah meskipun terpaksa atau tidak mudah, telah memberi mereka—​dalam situasi mereka yang khusus—pengawasan yang lebih besar terhadap kehidupan mereka dibandingkan jika mereka harus berjuang sendiri.

      Setelah bertahan dalam situasi semacam itu​—kadang-kadang selama bertahun-tahun—​beberapa dari istri-istri ini telah merasakan berkat yang mendatangkan sukacita karena akhirnya melihat suami-suami mereka berubah haluan dan menjadi suami Kristen yang setia dan pengasih.​—Bandingkan 1 Korintus 7:12-16.

      Oleh karena itu, orang-orang yang memilih untuk tetap serumah dengan teman hidupnya​—sekalipun ia tidak bertobat—​tidak perlu dikritik. Mereka telah membuat keputusan yang sulit dan perlu diberi bantuan serta dukungan yang mereka butuhkan.

      [Kotak di hlm. 8]

      SIAPAKAH YANG BERTANGGUNG JAWAB?

      Memang, dalam beberapa kasus, ketidaksempurnaan pada diri teman hidup yang tidak bersalah boleh jadi turut menyebabkan hubungan menjadi tegang, namun Alkitab menyatakan bahwa ”masing-masing orang dicobai dengan ditarik dan dipikat oleh keinginannya sendiri. Kemudian keinginan itu, apabila telah menjadi subur, melahirkan dosa”. (Yakobus 1:14, 15) Meskipun ada beragam faktor penyebab, ’keinginan orang itu sendiri’-lah yang paling bertanggung jawab atas perzinaannya. Jika kegagalan teman hidup menyebabkan problem perkawinan, berzina jelas bukan penyelesaiannya.​—Ibrani 13:4.

      Sebaliknya, problem perkawinan dapat diatasi bila suami maupun istri bertekun menerapkan prinsip-prinsip Alkitab. Hal ini termasuk ”bertahan dengan sabar menghadapi satu sama lain dan ampuni satu sama lain dengan lapang hati”. Mereka juga harus terus-menerus memperlihatkan sifat-sifat seperti ”kasih sayang yang lembut dari keibaan hati, kebaikan hati, kerendahan pikiran, kelemahlembutan, dan panjang sabar.” Yang paling penting, mereka hendaknya ’mengenakan kasih, sebab itu adalah ikatan pemersatu yang sempurna’.​—Kolose 3:12-15.

  • Memilih Bercerai
    Sedarlah!—1999 | 22 April
    • Memilih Bercerai

      ”Jika kita ditinggal mati oleh teman hidup, orang-orang akan memaklumi kita sekalipun kita bukanlah teman hidup yang ideal. Tetapi, jika kita ditinggal lari oleh suami​—ada yang beranggapan bahwa kitalah yang tidak becus mengurus suami. Tolong bantu saya!”​—Seorang pembaca Sedarlah! di Afrika Selatan.

      PERSELINGKUHAN dan perceraian dapat mengakibatkan trauma. Meskipun banyak orang telah menemukan alasan untuk rujuk dengan teman hidup mereka dan mempertahankan perkawinan, yang lain-lain memiliki alasan yang sah untuk mengambil pilihan yang Allah berikan yakni menceraikan teman hidup yang berbuat zina. (Matius 5:32; 19:9) Misalnya, keamanan, kerohanian, dan kesejahteraan teman hidup yang setia dan anak-anaknya secara umum boleh jadi terancam. Sang istri mungkin juga khawatir akan tertular penyakit hubungan seksual. Atau, barangkali sang istri telah memaafkan sang suami yang berzina, tetapi ia tidak punya dasar yang kuat untuk berharap bahwa kepercayaannya yang tulus pada sang suami akan pulih dan bahwa ia tidak sanggup untuk hidup serumah dengan sang suami.

      ”Ini adalah keputusan yang paling sulit dalam kehidupan saya,” demikian pengakuan seorang istri yang putus asa. Ini memang keputusan yang sulit​—bukan hanya karena pengkhianatan itu begitu menyakitkan melainkan juga karena perceraian memiliki konsekuensi jangka panjang yang bisa mempengaruhi seluruh kehidupan sang istri. Oleh karena itu, mengenai harus-tidaknya sang istri bercerai dari teman hidupnya yang tidak setia, itu adalah pilihan pribadi. Teman hidup yang tak bersalah mempunyai hak yang berdasarkan Alkitab untuk mengambil keputusan, dan hak itu hendaknya direspek oleh orang-orang lain.

      Akan tetapi, tragisnya, banyak orang terburu-buru bercerai tanpa memperhitungkan untung-ruginya dengan saksama. (Bandingkan Lukas 14:28.) Apa saja faktor-faktor yang tercakup jika pilihannya adalah bercerai?

      Jika Ada Anak-Anak

      ”Kebutuhan anak-anak sering kali terlupakan atau terabaikan oleh orang-tua yang tenggelam dalam problem mereka sendiri,” kata buku Couples in Crisis. Jadi, sewaktu memikirkan perceraian, ingatlah akan kerohanian dan kesejahteraan anak-anak Anda. Banyak peneliti memperhatikan bahwa apabila suatu perceraian dilangsungkan secara baik-baik, semakin kecil kemungkinannya anak-anak menderita. Bahkan di bawah keadaan yang sulit, kelemahlembutan akan membantu seseorang untuk ’tidak berkelahi, melainkan lembut terhadap semua, menahan diri menghadapi apa yang jahat’.​—2 Timotius 2:24, 25.a

      Jika seseorang memilih untuk bercerai, perlu dipikirkan bahwa suami dan istri​—bukan anak-anak​—yang bercerai. Anak-anak masih membutuhkan Ayah dan Ibu. Memang, ada situasi yang ekstrem, misalnya bila sang anak terancam bahaya penganiayaan. Tetapi, perbedaan agama atau perselisihan pribadi hendaknya tidak digunakan untuk menghalangi sang anak memperoleh nafkah lahir-batin dari kedua orang-tuanya.

      Yang juga perlu diperhitungkan adalah emosi yang rapuh dari anak-anak kecil dan kebutuhan mereka akan kepastian, cinta dan kasih sayang yang limpah. ”Cinta yang terus diberikan ini,” kata sebuah buku, ”akan menyediakan dukungan dan dasar bagi mereka untuk menghadapi situasi baru.” Selain itu, dengan memberikan perhatian kepada kebutuhan rohani mereka setiap hari dapat membantu mereka memelihara kestabilan.​—Ulangan 6:6, 7; Matius 4:4.

      Prosedur Finansial dan Hukum

      Tak dielakkan lagi, perceraian mendatangkan risiko atas kedua belah pihak, berupa terenggutnya sejumlah pendapatan dan harta milik, sejumlah kenyamanan dan mungkin rumah yang penuh kenangan. Karena pribadi yang bersangkutan mungkin harus menutupi pengeluaran yang bertambah padahal pendapatannya berkurang, adalah bijaksana untuk mengatur anggaran yang masuk akal menurut prioritas finansial. Dorongan untuk mengeluarkan lebih banyak uang atau terlibat utang sebagai kompensasi atas perasaan kehilangan dan sakit hati, perlu dihindari.

      Jika keputusan dibuat untuk bercerai, adalah penting untuk membicarakan dengan teman hidup Anda cara penggunaan rekening-rekening milik bersama. Untuk mencegah penyalahgunaan dana dalam rekening bank milik bersama, misalnya, sebaiknya mintalah kepada manajer bank agar pasangan suami-istri sama-sama membubuhkan tanda tangan untuk pengambilan uang, sampai sang istri atau suami memiliki rekening terpisah.

      Juga, adalah bijaksana untuk menyimpan catatan yang akurat sehubungan dengan pemasukan dan pengeluaran, sebagai persiapan untuk merundingkan uang tunjangan hidup setelah bercerai. Selain itu, di banyak negeri, hukum menuntut agar orang-orang memberi tahu petugas pajak mengenai perubahan status mereka.

      Selain itu, kebanyakan orang mendapatkan manfaat dengan meminta nasihat ahli hukum​—orang yang berpengalaman khusus dalam menangani kasus-kasus perceraian. Beberapa negeri mengizinkan perantara atau juru runding untuk membantu pasangan suami-istri bekerja sama agar mencapai perjanjian yang diterima kedua pihak dan secara damai, yang kemudian diteguhkan oleh pengadilan. Khususnya bila anak-anak terlibat, banyak orang-tua memilih untuk menggunakan jasa seorang ahli yang tidak memihak. Sebaliknya daripada ingin menang sendiri, orang-tua ingin mengurangi konflik dan sakit hati. Keuntungan materi tertentu tidak berarti sama sekali jika dibandingkan dengan kerugian emosi dan finansial untuk mendapatkannya.

      Hubungan yang Berubah

      ”Kita hendaknya tidak menyepelekan kecanggungan dan kebingungan yang dirasakan banyak orang terhadap teman-teman mereka yang bercerai,” kata seorang peneliti. Bahkan, sekalipun teman hidup yang setia bertindak menurut hak-haknya yang berdasarkan hukum, moral, dan Alkitab, barangkali ada beberapa orang yang menganggap orang yang bersangkutan sebagai penyebab retaknya hubungan perkawinan itu. Reaksi mereka boleh jadi bermacam-macam, mulai dari sapaan yang dingin hingga benar-benar menghindar. Yang lebih buruk lagi, kebencian mungkin diperlihatkan secara terang-terangan oleh bekas teman-teman dekat.

      Banyak yang tidak sadar betapa besar dukungan yang seseorang butuhkan setelah bercerai; mereka mungkin berpikir bahwa surat singkat atau kartu sudah cukup. Akan tetapi, biasanya ada teman-teman yang ”memberikan hiburan yang tepat”, kata buku Divorce and Separation, ”dan akan menelepon untuk memastikan apakah Anda ingin ditemani sewaktu bepergian, ingin melakukan sesuatu, atau hanya ingin berbicara”. Memang, pada saat semacam itu dalam kehidupan, seseorang membutuhkan, sebagaimana dikatakan Alkitab, ”sahabat yang lebih karib dari pada seorang saudara”.​—Amsal 18:24.

      Berupaya untuk Pulih

      Enam belas tahun setelah perceraiannya, seorang ibu mengakui, ”Ada saat-saat manakala saya merasa benar-benar kesepian​—bahkan sewaktu saya berada bersama orang-orang.” Bagaimana ia mengatasinya? ”Saya telah membangun semacam perlindungan,” kenangnya, ”dengan tetap sibuk bekerja, mengurus putra saya, dan menata rumah. Saya juga mulai hadir dalam perhimpunan Saksi-Saksi Yehuwa, membagikan kepercayaan saya kepada para tetangga, dan melakukan sesuatu untuk orang lain. Hal itu sangat membantu.”

      Tanggal dan hari tertentu dalam setahun dapat membangkitkan kembali kenangan dan emosi yang menyakitkan: hari ketika perselingkuhan itu tersingkap, dan saat ketika teman hidup meninggalkan rumah, tanggal dikeluarkannya keputusan pengadilan. Saat-saat bahagia yang pernah dinikmati pasangan itu​—seperti liburan dan ulang tahun perkawinan​—dapat menjadi pengalaman yang sulit dihadapi secara emosi. ”Saya mengatasi hari-hari dengan mengatur kegiatan yang saya nikmati bersama keluarga atau teman-teman dekat yang memahami keadaan saya,” kata Tina. ”Kami melakukan hal-hal yang dapat mengubur kenangan masa lalu dan membuat kenangan-kenangan baru. Tetapi, bantuan terbesar saya adalah hubungan saya dengan Yehuwa​—mengetahui bahwa ia mengerti bagaimana perasaan saya.”

      Jangan Putus Asa

      Teman hidup yang tidak bersalah yang menerapkan prinsip-prinsip Alkitab dan memilih menggunakan hak yang Allah berikan untuk menceraikan teman hidup yang berzina, tidak perlu merasa bersalah atau takut bahwa mereka diabaikan oleh Yehuwa. Pengkhianatan teman hidup yang berzina​—yang telah menyebabkan ”tangisan dan rintihan”​—adalah perbuatan yang Allah benci. (Maleakhi 2:13-16) Bahkan Yehuwa, Allah ”keibaan hati yang lembut”, mengetahui bagaimana rasanya ditolak oleh orang yang dikasihi. (Lukas 1:78; Yeremia 3:1; 31:31, 32) Maka, yakinlah bahwa ”TUHAN mencintai hukum, dan Ia tidak meninggalkan orang-orang yang dikasihi-Nya”.​—Mazmur 37:28.

      Tentu saja, jauh lebih baik jika ketidaksetiaan perkawinan dan konsekuensinya yang tragis dapat dihindari sejak awal. Buku Rahasia Kebahagiaan Keluarga,b tuntunan yang praktis bagi keluarga, telah membantu banyak orang di seluruh dunia untuk membangun keluarga bahagia dan menjauhi ketidaksetiaan perkawinan. Buku itu berisi pasal-pasal tentang membina perkawinan yang bahagia, melatih anak-anak, dan menghadapi problem perkawinan. Saksi-Saksi Yehuwa di daerah Anda atau penerbit majalah ini bersedia memberikan lebih banyak informasi mengenai pokok ini.

      [Catatan Kaki]

      a Lebih banyak informasi dapat diperoleh dari seri ”Perwalian Anak​—Bagaimana Pandangan yang Seimbang?” dan artikel ”Helping the Children of Divorce” (”Membantu Anak-Anak Korban Perceraian”), dalam terbitan Sedarlah! tanggal 8 Desember 1997, dan Awake! 22 April 1991.

      b Diterbitkan oleh Watchtower Bible and Tract Society of New York, Inc.

      [Kotak di hlm. 10]

      ANAK-ANAK TIDAK PANTAS MENDERITA DAMPAK PERCERAIAN

      Pada tahun 1988, mendiang Diana, Putri Wales, mengatakan bahwa di Inggris saja, hampir 420 anak setiap harinya menghadapi perceraian orang-tua. Sepertiga dari anak-anak itu masih balita. Tragisnya, sebanyak 40 persen anak-anak kehilangan kontak dengan salah satu dari orang-tua mereka setelah perceraian.

      Bertentangan dengan anggapan banyak orang, ”sangat sedikit anak yang orang-tuanya bercerai, dapat menerima perpisahan itu”, demikian pengamatan seorang penulis masalah kesehatan dan kedokteran yang direspek. ”Kebanyakan anak lebih suka bila melihat orang-tua mereka tetap bersama sekalipun suasana keluarga terasa sulit.” Bahkan, jika sewaktu perselingkuhan terungkap, suami-istri menjadi sering bertengkar, mereka hendaknya tidak lekas-lekas menyimpulkan bahwa mengakhiri perkawinan akan lebih baik bagi anak-anak. Dengan mengubah sikap dan perilaku, mereka masih dapat tinggal bersama demi kebaikan seluruh keluarga.

      ”Suami-suami yang berzina,” kata penulis Pamela Winfield, ”harus memikirkan luka hati yang akan diderita anak-anak saat keluarga mereka berantakan gara-gara kebodohan mereka sendiri.”

      [Kotak di hlm. 11]

      APAKAH ALLAH MEMBENCI SEMUA PERCERAIAN?

      ”Hal yang sangat meresahkan saya,” ungkap Tina, ”adalah pandangan bahwa ’Yehuwa membenci perceraian.’ Yang kerap kali muncul dalam pikiran saya adalah pertanyaan, ’Apakah tindakan saya menyenangkan Yehuwa?’”

      Mari kita periksa isi Maleakhi 2:16 untuk menjawab pertanyaan itu. Pada zaman Maleakhi, banyak pria Israel menceraikan istri-istri mereka, kemungkinan untuk menikah dengan wanita-wanita kafir yang lebih muda. Allah mengutuk sikap yang licik dan penuh tipu daya ini. (Maleakhi 2:13-16) Akan tetapi, yang sebenarnya Yehuwa benci adalah menyingkirkan begitu saja seorang teman hidup supaya dapat menikahi yang lain. Seseorang yang dengan tipu daya melakukan perzinaan dan kemudian menceraikan teman hidupnya atau memaksanya untuk bercerai telah melakukan dosa yang licik dan keji.

      Akan tetapi, ayat-ayat ini tidak menyalahkan semua perceraian. Hal ini dapat dipastikan oleh kata-kata Yesus, ”Barangsiapa menceraikan istrinya, kecuali atas dasar percabulan, dan menikah dengan orang lain, berbuat zina.” (Matius 19:9) Di sini, Yesus mengakui bahwa percabulan adalah dasar yang berterima bagi suatu perceraian yang berdasarkan Alkitab​—jelas, inilah satu-satunya dasar untuk kawin lagi. Teman hidup yang tidak bersalah mungkin memutuskan untuk mengampuni pasangannya yang bersalah. Akan tetapi, seseorang yang memilih untuk menggunakan pernyataan Yesus sebagai dasar untuk menceraikan teman hidupnya yang berzina tidak melakukan sesuatu yang Yehuwa benci. Tingkah laku teman hidup yang tidak setialah yang dibenci Allah.

Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
Log Out
Log In
  • Indonesia
  • Bagikan
  • Pengaturan
  • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
  • Syarat Penggunaan
  • Kebijakan Privasi
  • Pengaturan Privasi
  • JW.ORG
  • Log In
Bagikan