PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • foa artikel 6
  • Bersatu di Negeri yang Dipenuhi Prasangka

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Bersatu di Negeri yang Dipenuhi Prasangka
  • Dari Arsip Kita
  • Subjudul
  • Menghadapi Berbagai Bahaya
  • Beribadah Bersama di Negeri yang Terpecah Belah
  • Mengabar di Wilayah-Wilayah Ras Lain
  • Saling Mengasihi Meskipun Orang-Orang Saling Membenci
Dari Arsip Kita
foa artikel 6
Milton Bartlett dan beberapa saudara kulit hitam mengabar di wilayah kulit hitam selama era apartheid.

DARI ARSIP KITA

Bersatu di Negeri yang Dipenuhi Prasangka

Dari tahun 1948 sampai tahun 1994, pemerintah Afrika Selatan menerapkan sistem politik apartheid.a Selama masa itu, banyak orang memperlakukan orang-orang dari ras lain dengan tidak adil. Kallie, yang pada waktu itu dikategorikan sebagai orang ”kulit berwarna” (ras campuran), mengatakan, ”Di antara orang-orang yang bukan kulit putih, juga ada banyak prasangka.”

Saksi-Saksi Yehuwa di Afrika Selatan berasal dari berbagai macam ras. Apa yang mereka lakukan selama hidup di bawah sistem apartheid? Dan apa yang bisa kita pelajari dari mereka?

Menghadapi Berbagai Bahaya

Di Afrika Selatan, sejumlah orang yang tidak menyukai politik apartheid mengadakan aksi-aksi unjuk rasa untuk memprotes kebijakan pemerintah. Banyak di antara mereka dipenjarakan, dan beberapa bahkan dibunuh. Itu membuat orang-orang yang menentang pemerintah malah menjadi semakin beringas. Tapi, Saksi-Saksi Yehuwa di negeri itu selalu menaati hukum pemerintah dan tidak pernah ikut aksi unjuk rasa atau berupaya menggulingkan pemerintah. Mereka meniru orang Kristen di abad pertama yang terus tunduk kepada ”kalangan berwenang yang lebih tinggi”.​—Roma 13:1, 2, catatan kaki.

Pada waktu itu, orang-orang sering menekan Saksi-Saksi Yehuwa untuk membela salah satu pihak politik dan tidak bersikap netral. Tapi, kalau Saksi-Saksi Yehuwa tidak bersikap netral, mereka bisa terlibat dalam konflik berdarah atau bahkan harus menyerang rekan seiman mereka. Seorang saudari bernama Thembsie bercerita, ”Waktu sebuah kerusuhan besar terjadi pada tahun 1976, banyak pelajar SMA dipaksa mengikuti unjuk rasa. Mereka lalu mendatangi rumah-rumah untuk mengajak para pelajar lainnya bergabung bersama mereka. Kalau kita menolak, rumah kita bisa dibakar. Kita bahkan bisa dipukuli sampai mati.” Salah seorang pemimpin partai oposisi pernah berkata kepada seorang Saksi bernama Theophilus, ”Setelah kami mengalahkan orang kulit putih, kami akan membunuh kalian karena kalian tidak mau membela negara.”

Beribadah Bersama di Negeri yang Terpecah Belah

Meskipun apartheid membuat keadaan menjadi sangat sulit, Saksi-Saksi Yehuwa di Afrika Selatan tetap berkumpul bersama untuk beribadah. (Ibrani 10:24, 25) Apartheid membuat banyak orang menjadi sangat miskin, dan akibatnya, beberapa sidang tidak mampu membangun Balai Kerajaan.b Seorang saudara bernama Enver bercerita, ”Selama bertahun-tahun, kami harus menyewa tempat yang kondisinya sangat buruk. Jadi, ayah saya menawarkan rumah kami untuk dijadikan tempat perhimpunan. Dua kali seminggu, keluarga kami mengatur agar rumah kami bisa dipakai sebagai tempat perhimpunan. Kadang, ada lebih dari 100 orang yang hadir. Kami senang karena setelah perhimpunan, kami bisa berbagi minuman dan makanan kecil kepada semua yang hadir.”

Para Saksi, berkulit hitam dan berkulit putih, berkumpul bersama, April 1950

Kebaktian yang dihadiri orang-orang dari berbagai ras, Rand Stadium, Johannesburg, 1980

Para Saksi tidak pernah kehabisan akal untuk mengatasi berbagai kesulitan akibat apartheid. Misalnya, di Provinsi Limpopo, seorang saudara kulit putih diminta untuk menyampaikan khotbah pada kebaktian wilayah yang diadakan di daerah orang kulit hitam. Tapi, dia tidak diizinkan untuk masuk ke daerah itu. Nah, persis di sebelah perbatasan daerah orang kulit hitam dengan kulit putih, ada sebuah peternakan milik seorang pria kulit putih. Jadi, saudara itu meminta izin kepada pria tersebut untuk menyampaikan khotbah dari peternakannya. Saudara itu pun menyampaikan khotbah dari salah satu sisi pagar peternakan itu, dan hadirin kebaktian itu mendengarkan khotbahnya dari sisi lain pagar tersebut.

Mengabar di Wilayah-Wilayah Ras Lain

Apartheid juga membuat wilayah tempat tinggal diatur berdasarkan ras seseorang. Karena itu, para penyiar yang tergabung dalam sebuah sidang biasanya berasal dari ras yang sama. Jadi, para penyiar itu harus menyesuaikan diri sewaktu mengabar di wilayah-wilayah tertentu. Misalnya, mereka biasanya menghadapi kesulitan sewaktu mengabar di daerah yang belum pernah dikerjakan. Seorang saudara bernama Krish, yang pada waktu itu dikategorikan sebagai ”orang India”, bercerita, ”Di beberapa wilayah, tidak ada tempat bermalam yang disediakan untuk orang yang bukan kulit putih. Jadi, kami biasanya tidur di mobil kami atau di bawah pohon. Di pagi harinya, kami akan mencari toilet di pom bensin untuk membersihkan diri. Tapi itu tidak selalu mudah, karena toilet-toilet itu kadang dikhususkan hanya untuk orang kulit putih. Meski menghadapi berbagai kesulitan seperti itu, para penyiar berdinas dengan bersemangat, dan mereka senang sekali karena bisa mengabar kepada banyak orang yang berminat di daerah pedesaan.”

Para Saksi dari berbagai ras mengabar di daerah pedesaan, 1981

Meskipun keadaan di Afrika Selatan tidak mudah, umat Yehuwa terus bertambah. Sewaktu apartheid mulai diberlakukan pada tahun 1948, di negeri itu ada 4.831 penyiar. Saat sistem politik itu dihapus pada tahun 1994, jumlah penyiar di sana sudah mencapai 58.729. Dan jumlah itu terus meningkat. Pada tahun 2021, ada puncak penyiar sebanyak 100.112 orang.

Saling Mengasihi Meskipun Orang-Orang Saling Membenci

Seorang saudara kulit putih mengabar kepada seorang wanita kulit hitam dan anaknya yang masih kecil di pedesaan.

Meskipun tinggal di negeri yang memisahkan orang-orang berdasarkan rasnya, Saksi-Saksi Yehuwa di Afrika Selatan terus berupaya untuk mengasihi semua orang dan bersatu dengan semua saudara-saudari. Mereka melakukannya dengan mengajarkan prinsip-prinsip Alkitab dan mengikutinya. (Kisah 10:34, 35) Meskipun orang-orang di sekitar mereka saling membenci, mereka saling mengasihi.​—Yohanes 13:34, 35.

Pada tahun 1993, Saksi-Saksi Yehuwa mengadakan kebaktian besar di Afrika Selatan, yang dihadiri orang-orang dari berbagai ras. Sewaktu para delegasi dari luar negeri tiba di bandara, para Saksi di Afrika Selatan dengan hangat menyambut dan memeluk mereka. Hal ini disaksikan oleh seorang pemimpin politik. Dia mengatakan, ”Kalau saja semua orang bersatu seperti kalian, banyak masalah pasti sudah bisa diselesaikan sejak dulu.”

Milton Henschel, dari Kantor Pusat Saksi-Saksi Yehuwa, menyampaikan khotbah di pertemuan besar yang dihadiri para Saksi dari berbagai ras, 1955

Seorang saudara kulit putih dan seorang saudara kulit hitam memperbaiki sebuah kendaraan bersama-sama.

Para Saksi yang berbeda warna kulit bekerja sama di kantor cabang Afrika Selatan, 1986

Thomas Skosana (kiri) dan Alfred Steynberg, dua Saksi kawakan, di sebuah kebaktian, 1985

Para Saksi yang berbeda warna kulit bekerja sama menyajikan makanan di kebaktian, 1985

Ribuan Saksi Yehuwa dari berbagai ras berkumpul di Stadion FNB, Johannesburg, 2011

a Apartheid adalah sebuah kebijakan politik yang mengharuskan orang-orang dibedakan berdasarkan ras mereka. Ras seseorang akan menentukan pendidikan apa yang akan dia terima, pekerjaan apa yang boleh dia lakukan, di mana dia bisa tinggal, dan dengan siapa dia boleh menikah. Untuk tahu lebih banyak tentang sistem politik ini, silakan baca ”Apa Apartheid Itu?” di Buku Tahunan Saksi-Saksi Yehuwa 2007.

b Sejak tahun 1999, dana yang disumbangkan oleh sidang-sidang jemaat Saksi-Saksi Yehuwa di seluruh dunia digunakan untuk membangun dan merenovasi Balai Kerajaan di mana pun ada kebutuhan.

Tetap Bersatu di Negeri yang Dipenuhi Prasangka

Meskipun menjalani kehidupan di bawah sistem politik apartheid, banyak Saksi terus melayani Yehuwa dengan setia. Bagaimana kita bisa meniru mereka? Coba perhatikan beberapa pengalaman berikut:

Minki.

Berupayalah untuk membuang prasangka. (Kolose 3:10, 11)

Seorang saudari bernama Minki dan suaminya mengenal kebenaran sewaktu mereka sudah dewasa. Minki bercerita, ”Sejak kami kecil, kami dikelilingi orang-orang yang merasa bahwa orang kulit putih itu adalah ras yang paling unggul. Setelah menjadi Saksi, kami merelakan diri untuk melayani di daerah yang bukan daerah kulit putih. Kami harus berupaya keras untuk membuang prasangka di hati kami, dan kami mendoakan hal itu.” Upaya Minki dan suaminya berhasil, dan mereka diberkati. Minki melanjutkan, ”Hanya dalam waktu tiga tahun, kelompok terpencil tempat kami melayani sudah menjadi sebuah sidang, dan hadirin perhimpunannya lebih dari 100 orang.”

Braaf.

”Jangan cepat tersinggung.” (Pengkhotbah 7:9)

Seorang saudara bernama Braaf mengatakan, ”Waktu ada rekan seiman yang mengatakan atau melakukan sesuatu yang menurut saya menunjukkan prasangka, saya berupaya mengingat bahwa Yehuwa sangat sabar. Saya sadar bahwa kita semua memang butuh waktu untuk mengenakan kepribadian baru.” (Efesus 4:23, 24) ”Saya berdoa agar Yehuwa membantu saya untuk meniru kesabaran-Nya dan terus menunjukkan kasih.”

Loyiso.

Jauhi informasi yang bisa membuat Saudara tidak netral. (Yohanes 17:16)

”Pada waktu itu, ada banyak majalah anti-apartheid,” kata seorang saudara bernama Loyiso. ”Saya ingin bisa tetap netral, jadi saya tidak mau membaca majalah-majalah itu.”

Ronnie.

Teruslah sibuk melakukan kehendak Allah. (1 Yohanes 2:17)

Seorang saudara bernama Ronnie berkata, ”Karena menjadi bagian dari organisasi Yehuwa, hidup saya jadi bermakna dan saya jadi merasa bersatu dengan saudara-saudari. Dan karena saya sangat sibuk melakukan pelayanan dan berbagai kegiatan rohani lainnya, saya jadi tidak terlalu berfokus pada berbagai kesulitan akibat apartheid.”

Ernest.

Ikuti petunjuk organisasi Yehuwa, dan jangan terpengaruh pandangan dunia ini. (Yakobus 3:13, 17, 18)

”Saya mulai melayani sebagai pengawas wilayah waktu berusia 26 tahun,” kata Ernest, seorang saudara yang dikategorikan sebagai orang ”kulit berwarna” pada masa apartheid. ”Di beberapa sidang yang saya kunjungi, ada penatua-penatua kulit putih yang usianya jauh lebih tua dari saya. Tapi, mereka sama sekali tidak pernah merasa lebih unggul dari saya. Waktu saya menyampaikan petunjuk organisasi atau memberikan nasihat, mereka selalu mau menerimanya dengan rendah hati.”

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan