PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • Apa yang Telah Terjadi dengan Wewenang?
    Menara Pengawal—1994 | 1 Juli
    • Apa yang Telah Terjadi dengan Wewenang?

      ORANG-ORANG yang suka berpikir melihat perlunya wewenang. Tanpa adanya suatu struktur wewenang, masyarakat manusia akan segera menjadi kacau. Oleh karena itu, sebuah buku pelajaran klasik tentang hukum konstitusi Prancis menyatakan, ”Dalam kelompok manusia mana pun, ada dua kategori orang: mereka yang memerintah dan mereka yang menaati, mereka yang memberikan perintah dan mereka yang mematuhinya, pimpinan dan bawahan, yang mengatur dan yang diatur. . . . Adanya wewenang dapat diamati dalam masyarakat manusia mana pun.”a

      Akan tetapi, sikap terhadap wewenang telah berubah sejak Perang Dunia II dan teristimewa sejak tahun 1960-an. Mengomentari masa itu, Encyclopædia Universalis Prancis berbicara tentang suatu ”masa krisis antihierarki dan antiwewenang”. Krisis demikian tidaklah mengherankan bagi para pelajar Alkitab. Rasul Paulus menubuatkan, ”Ingatlah ini: Pada hari-hari terakhir akan ada banyak kesusahan. Manusia akan mementingkan dirinya sendiri, bersifat mata duitan, sombong dan suka membual. Mereka suka menghina orang, memberontak terhadap orang tua . . . ; tidak suka memberi ampun, . . . suka memakai kekerasan, mereka kejam, . . . angkuh dan tidak berpikir panjang. Mereka lebih suka pada kesenangan dunia daripada menuruti Allah.”​—2 Timotius 3:1-4, BIS.

      Krisis Wewenang

      Nubuat ini dengan jelas menggambarkan zaman kita. Wewenang ditantang dalam segala tingkatan—keluarga, sekolah umum, universitas, perusahaan bisnis, pemerintah daerah dan pusat. Revolusi seksual, musik rap yang mesum, aksi unjuk rasa mahasiswa, pemogokan buruh secara liar, ketidaktundukan masyarakat, dan aksi terorisme merupakan semua tanda hilangnya respek terhadap wewenang.

      Pada sebuah simposium yang diselenggarakan di Paris oleh Institut Ilmu Politik Prancis dan harian Prancis Le Monde, Profesor Yves Mény menyatakan, ”Wewenang akan ada hanya jika didukung oleh hak kekuasaan.” Satu alasan timbulnya krisis wewenang dewasa ini adalah bahwa banyak orang meragukan hak kekuasaan pihak yang berkuasa. Artinya, mereka meragukan hak pihak yang berkuasa untuk menjalankan wewenang. Sebuah pol mengungkapkan bahwa pada awal tahun 1980-an, 9 persen dari penduduk di Amerika Serikat, 10 persen di Australia, 24 persen di Inggris, 26 persen di Prancis, dan 41 persen di India menganggap pemerintah mereka tidak sah.

      Pencarian Manusia akan Wewenang yang Sah

      Menurut Alkitab, manusia sejak semula berada di bawah wewenang langsung dari Allah. (Kejadian 1:27, 28; 2:16, 17) Akan tetapi, sejak mula pertama, manusia menuntut kebebasan moral dari Pencipta mereka. (Kejadian 3:1-6) Karena telah menolak teokrasi, atau pemerintahan Allah, mereka harus menemukan sistem wewenang lain. (Pengkhotbah 8:9) Beberapa orang mendapatkan wewenang mereka secara paksa. Bagi mereka, kuat berarti benar. Yang penting bahwa mereka cukup kuat untuk memaksakan kehendak mereka. Meskipun demikian, kebanyakan merasa perlu mengesahkan hak mereka untuk memerintah.

      Sejak awal mula, banyak penguasa melakukan hal ini dengan menyatakan bahwa mereka adalah dewa atau bahwa mereka telah menerima kuasa dari dewa. Hal ini adalah konsep mitos dari ”takhta suci”, yang dinyatakan oleh para penguasa Mesopotamia masa awal dan para Firaun Mesir purba.

      Aleksander Agung, raja-raja Yunani yang menggantikannya, dan banyak kaisar Romawi juga mengaku sebagai dewa dan bahkan menuntut untuk disembah. Sistem-sistem di bawah para penguasa demikian dikenal sebagai ”kultus-kultus penguasa”, dan tujuan mereka adalah untuk memperkuat wewenang penguasa atas campuran dari bangsa-bangsa yang telah ditaklukkan. Menolak menyembah penguasa dituduh sebagai tindakan melawan Negara. Dalam buku The Legacy of Rome, Profesor Ernest Barker menulis, ”Pendewaan kaisar [Romawi], dan pengabdian yang ia terima karena keilahiannya, jelas merupakan fondasi, atau setidaknya semacam semen, bagi kekaisarannya.”

      Hal ini tetap demikian bahkan setelah ”kekristenan” disahkan oleh Kaisar Konstantin (memerintah tahun 306-337 M) dan kemudian diadopsi sebagai agama Negara dari Kekaisaran Romawi oleh Kaisar Theodosius I (memerintah tahun 379-395 M). Beberapa dari kaisar ”Kristen” disembah sebagai dewa hingga abad kelima M.

      ”Dua Kekuasaan”, ”Dua Pedang”

      Seraya kepausan menjadi semakin berkuasa, problem antara Gereja dan Negara kian meruncing. Oleh karena itu, pada akhir abad kelima M, Paus Gelasius I mengajukan prinsip ”dua kekuasaan”: wewenang suci dari paus berdampingan dengan kuasa kerajaan dari raja-raja—dengan raja-raja tunduk pada kekuasaan paus. Prinsip ini belakangan berkembang menjadi doktrin ”dua pedang”: ”Pedang rohani yang disandang oleh paus sendiri, dengan mendelegasikan pedang duniawi kepada para penguasa biasa, namun para penguasa ini harus menggunakan pedang duniawi tersebut menurut pengarahan sang paus.” (The New Encyclopædia Britannica) Atas dasar doktrin ini, selama Abad-Abad Pertengahan, Gereja Katolik menyatakan memiliki wewenang untuk menobatkan para kaisar dan raja agar dapat mengesahkan wewenang mereka, dengan demikian melestarikan mitos kuno dari ”takhta suci”.

      Akan tetapi, ini hendaknya tidak dikacaukan dengan apa yang disebut hak ilahi raja-raja, suatu perkembangan yang belakangan timbul yang ditujukan untuk membebaskan para penguasa politik dari ketundukan kepada kepausan. Teori hak pemberian ilahi ini menyatakan bahwa raja-raja mendapat wewenang untuk memerintah langsung dari Allah, bukan melalui paus dari Roma. New Catholic Encyclopedia menyatakan, ”Pada suatu waktu ketika paus mengerahkan kekuasaan rohani universal dan bahkan kekuasaan duniawi atas para kepala negara, gagasan tentang hak yang diberikan ilahi membuat raja-raja dari negara-negara yang berdaulat memiliki kedudukan untuk mengukuhkan wewenang mereka yang dianggap sama ilahinya dengan wewenang paus.”b

      Mitos Kedaulatan Rakyat

      Seraya berlalunya waktu, manusia mengusulkan sumber-sumber wewenang lain. Salah satunya adalah kedaulatan rakyat. Banyak orang percaya bahwa gagasan ini berasal dari Yunani. Akan tetapi, demokrasi Yunani purba hanya diterapkan pada beberapa negara-kota, dan bahkan di sini hanya warga pria yang memberikan suara. Wanita, budak, dan penduduk asing—diperkirakan setengah hingga empat per lima dari penduduk—tidak dilibatkan. Sama sekali bukan kedaulatan rakyat!

      Siapa yang mempromosikan gagasan kedaulatan rakyat? Sungguh mengherankan, ini diperkenalkan pada Abad-Abad Pertengahan oleh para teolog Katolik Roma. Pada abad ke-13, Thomas Aquinas berpendapat bahwa walaupun kedaulatan berasal dari Allah, ini diberikan kepada rakyat. Gagasan ini terbukti populer. New Catholic Encyclopedia mengatakan, ”Gagasan ini bahwa rakyat adalah sumber wewenang didukung oleh mayoritas terbesar teolog Katolik abad ke-17.”

      Mengapa para teolog gereja, yang rakyatnya tidak punya suara sama sekali dalam memilih paus, uskup, atau imam, mempromosikan gagasan kedaulatan rakyat? Karena beberapa raja di Eropa semakin resah di bawah wewenang kepausan. Teori kedaulatan rakyat memberi paus kekuasaan untuk menggulingkan kaisar atau raja jika dipandang perlu. Sejarawan Will dan Ariel Durant menulis, ”Para pembela kedaulatan rakyat termasuk banyak penganut Yesuit, yang melihat dalam pandangan ini suatu cara untuk melemahkan kerajaan yang menentang wewenang kepausan. Kardinal Bellarminus berkilah bahwa jika wewenang para raja berasal dari, dan oleh karena itu tunduk kepada, rakyat, jelaslah bahwa wewenang ini lebih rendah daripada wewenang paus . . . Luis Molina, seorang Yesuit berkebangsaan Spanyol, berkesimpulan bahwa rakyat, sebagai sumber wewenang duniawi, dapat dibenarkan—namun melalui prosedur yang tertib—memecat raja yang tidak adil.”

      Tentu saja, ”prosedur yang tertib” diatur oleh paus. Menegaskan hal ini, harian Katolik Prancis Histoire Universelle de l’Eglise Catholique mengutip Biographie universelle, yang menyatakan, ”Bellarminus . . . mengajarkan sebagai doktrin Katolik yang umum bahwa para pangeran memperoleh kekuasaan karena dipilih rakyat, dan bahwa rakyat dapat menjalankan hak ini hanya di bawah pengaruh paus.” (Cetak miring Red.) Dengan demikian, kedaulatan rakyat menjadi alat yang dapat digunakan paus untuk mempengaruhi pemilihan para penguasa dan, jika perlu, memecat mereka. Baru-baru ini, kedaulatan rakyat telah memungkinkan hierarki Katolik mempengaruhi orang-orang Katolik yang memberikan suara dalam demokrasi perwakilan.

      Dalam demokrasi modern, hak kekuasaan pemerintah didasarkan atas apa yang disebut ”persetujuan dari mereka yang diperintah”. Namun, sebaik apa pun, hal ini merupakan ”persetujuan mayoritas”, dan karena adanya ketidakpedulian para pemberi suara dan tipu daya politik, dalam kenyataan ”mayoritas” ini sering kali hanya merupakan minoritas dari rakyat. Dewasa ini, ”persetujuan dari mereka yang diperintah” sering mengartikan tidak lebih daripada ”persetujuan tanpa protes, atau pengunduran, dari mereka yang diperintah”.

      Mitos Kedaulatan Nasional

      Mitos takhta suci yang dipromosikan oleh para paus yang mula-mula, membawa dampak buruk bagi kepausan sewaktu hal itu berubah menjadi hak ilahi raja-raja. Demikian pula, teori kedaulatan rakyat menjadi bumerang bagi Gereja Katolik. Selama abad ke-17 dan ke-18, para filsuf duniawi, seperti Thomas Hobbes dan John Locke yang berkebangsaan Inggris dan Jean-Jacques Rousseau yang berkebangsaan Prancis, menganggap rendah gagasan kedaulatan rakyat. Mereka mengembangkan jenis teori ”kontrak sosial” antara para penguasa dan mereka yang dikuasai. Prinsip-prinsip mereka didasarkan bukan pada teologi namun pada ”hukum alam”, dan konsep tersebut menghasilkan gagasan yang sangat membahayakan Gereja Katolik dan kepausan.

      Tidak lama setelah kematian Rousseau, Revolusi Prancis meletus. Revolusi ini melenyapkan beberapa gagasan tentang hak kekuasaan, namun hal ini menciptakan gagasan yang baru, kedaulatan nasional. The New Encyclopædia Britannica mengomentari, ”Orang-orang Prancis menyangkal hak ilahi raja-raja, kekuasaan kaum bangsawan, hak-hak istimewa Gereja Katolik Roma.” Namun, Britannica mengatakan, ”Revolusi telah menghasilkan penemuan baru, negara-bangsa, menuju kedewasaan.” Para revolusioner membutuhkan ”penemuan” baru ini. Mengapa?

      Karena di bawah sistem yang telah dianjurkan Rousseau, semua warga memiliki suara yang sama dalam memilih para penguasa. Ini akan menghasilkan suatu demokrasi yang didasarkan pada hak pilih universal—sesuatu yang tidak disukai para pemimpin Revolusi Prancis. Profesor Duverger menjelaskan, ”Sangatlah tepat untuk menghindari akibat ini, yang dianggap tidak menyenangkan, bahwa, sejak tahun 1789 hingga 1791, kaum borjuis dari Dewan Konstituante menemukan teori kedaulatan nasional. Mereka mengidentifikasi rakyat dengan ’Bangsa’, yang mereka anggap sebagai suatu kesatuan yang nyata, berbeda dari bagian-bagian yang membentuknya. Bangsa itu sendiri, melalui wakil-wakilnya, berhak menjalankan kedaulatan . . . Demokrasi dalam penampilan, doktrin tentang kedaulatan nasional sebenarnya sama sekali bukan demokrasi, karena ini dapat digunakan untuk membenarkan hampir semua bentuk pemerintahan, khususnya autokrasi.” (Cetak miring Red.)

      Upaya Manusia Suatu Kegagalan

      Diterimanya Negara-Bangsa sebagai sumber wewenang yang sah menimbulkan nasionalisme. The New Encyclopædia Britannica menyatakan, ”Nasionalisme sering dianggap sudah sangat tua; kadang-kadang dengan keliru nasionalisme dianggap sebagai faktor yang permanen dalam perilaku politik. Sebenarnya, revolusi Amerika dan Prancis dapat dianggap sebagai perwujudan pertamanya yang kuat.” Sejak terjadinya revolusi itu, nasionalisme telah melanda benua Amerika, Eropa, Afrika, dan Asia. Perang-perang yang kejam telah disahkan demi nasionalisme.

      Sejarawan Inggris Arnold Toynbee menulis, ”Semangat Nasionalisme adalah ragi yang asam dari anggur baru Demokrasi dalam botol-botol tua Sukuisme. . . . Kompromi yang aneh antara Demokrasi dan Kesukuan ini telah jauh lebih kuat dalam politik praktis dari Dunia Barat modern kita daripada Demokrasi itu sendiri.” Nasionalisme tidak menghasilkan dunia yang damai. Toynbee berkata, ”Setelah berhenti sejenak, Peperangan Agama telah diikuti oleh Peperangan Kebangsaan; dan dalam Dunia Barat modern kita, semangat fanatisme agama dan kebangsaan jelas merupakan nafsu jahat yang sama.”

      Melalui mitos-mitos dari ”takhta suci”, ”hak ilahi raja-raja”, ”kedaulatan rakyat”, dan ”kedaulatan nasional”, para penguasa telah berupaya mengesahkan kekuasaan mereka atas sesama manusia. Akan tetapi, setelah mempertimbangkan catatan mengenai para penguasa manusiawi, seorang Kristen mau tidak mau setuju dengan kata-kata yang diucapkan oleh Salomo, ”Orang yang satu menguasai orang yang lain hingga ia celaka.”—Pengkhotbah 8:9.

      Sebaliknya daripada menyembah Negara politik, orang-orang Kristen menyembah Allah dan mengakui bahwa Ia adalah sumber dari segala wewenang yang sah. Mereka setuju dengan pemazmur Daud yang berkata, ”Ya [Yehuwa], punya-Mulah kebesaran dan kejayaan, kehormatan, kemasyhuran dan keagungan, ya, segala-galanya yang ada di langit dan di bumi! Ya [Yehuwa], punya-Mulah kerajaan dan Engkau yang tertinggi itu melebihi segala-galanya sebagai kepala.” (1 Tawarikh 29:11) Namun, untuk menghormati Allah, mereka memperlihatkan respek yang sepatutnya kepada kalangan berwenang duniawi maupun rohani. Bagaimana dan mengapa mereka dapat melakukan hal ini dengan sukacita akan dibahas dalam dua artikel berikut ini.

      [Catatan Kaki]

      a Droit constitutionnel et institutions politiques, oleh Maurice Duverger.

      b The Catholic Encyclopedia menyatakan, ”’Hak ilahi raja-raja ini’ (sangat berbeda dengan doktrin bahwa semua wewenang, milik raja atau republik, berasal dari Allah), tidak pernah disetujui oleh Gereja Katolik. Pada waktu timbulnya Reformasi, gagasan ini bertanggung jawab atas suatu bentuk permusuhan sengit terhadap paham Katolik, raja-raja seperti Henry VIII, dan James I, dari Inggris, menuntut wewenang penuh secara rohani dan sipil.”

      [Gambar di hlm. 15]

      Gereja Katolik menyatakan memiliki wewenang untuk menobatkan para kaisar dan raja

      [Keterangan]

      Consecration of Charlemagne: Bibliothèque Nationale, Paris

  • Pandangan Kristen terhadap Wewenang
    Menara Pengawal—1994 | 1 Juli
    • Pandangan Kristen terhadap Wewenang

      ”Tidak ada wewenang kecuali oleh Allah.”​—ROMA 13:1, ”NW”.

      1. Mengapa dapat dikatakan bahwa Yehuwa adalah Wewenang Tertinggi?

      WEWENANG dikaitkan dengan kedudukan sebagai pencipta. Pribadi Tertinggi yang menjadikan segala ciptaan, yang hidup maupun benda mati, adalah Allah Yehuwa. Ia tak disangkal lagi adalah Wewenang Tertinggi. Orang-orang Kristen sejati memiliki perasaan yang sama seperti makhluk-makhluk surgawi yang berseru, ”Ya Tuhan dan Allah kami, Engkau layak menerima puji-pujian dan hormat dan kuasa; sebab Engkau telah menciptakan segala sesuatu; dan oleh karena kehendak-Mu semuanya itu ada dan diciptakan.”—Wahyu 4:11.

      2. Bagaimana para penguasa manusia pada zaman dahulu dalam beberapa hal mengakui bahwa mereka tidak memiliki hak bawaan untuk menguasai sesama mereka, dan apa yang dikatakan Yesus kepada Pontius Pilatus?

      2 Fakta bahwa banyak penguasa manusia pada zaman dahulu berupaya mengesahkan wewenang mereka dengan mengaku sebagai dewa atau sebagai wakil dewa merupakan pengakuan bisu bahwa tak seorang manusia pun memiliki hak warisan untuk memerintah atas manusia lain.a (Yeremia 10:23) Satu-satunya sumber wewenang yang sah adalah Allah Yehuwa. Kristus memberi tahu Pontius Pilatus, gubernur Romawi untuk Yudea, ”Engkau tidak mempunyai kuasa [”wewenang”, NW] apapun terhadap Aku, jikalau kuasa [”wewenang”, NW] itu tidak diberikan kepadamu dari atas.”—Yohanes 19:11.

      ”Tidak Ada Wewenang kecuali oleh Allah”

      3. Apa yang dikatakan rasul Paulus berkenaan ”kalangan berwenang yang lebih tinggi”, dan pertanyaan-pertanyaan apa ditimbulkan oleh kata-kata Yesus dan Paulus?

      3 Rasul Paulus menulis kepada orang-orang Kristen yang hidup di bawah kekuasaan Kekaisaran Romawi, ”Hendaklah setiap jiwa tunduk kepada kalangan berwenang yang lebih tinggi, karena tidak ada wewenang kecuali oleh Allah; wewenang-wewenang yang ada ditempatkan dalam kedudukan mereka yang relatif oleh Allah.” (Roma 13:1, NW) Apa yang dimaksud Yesus sewaktu ia berkata bahwa wewenang Pilatus telah diberikan kepadanya ”dari atas”? Dan dengan cara apa Paulus menganggap bahwa wewenang politik pada zamannya ditempatkan dalam kedudukan mereka oleh Allah? Apakah mereka bermaksud bahwa Yehuwa secara pribadi bertanggung jawab atas pelantikan setiap penguasa politik dunia?

      4. Apa julukan yang diberikan Yesus dan Paulus kepada Setan, dan pengakuan apa dari Setan tidak disangkal Yesus?

      4 Mengapa bisa demikian, mengingat Yesus menyebut Setan ”penguasa dunia ini”, dan rasul Paulus menjuluki Setan ”ilah zaman ini”? (Yohanes 12:31; 16:11; 2 Korintus 4:4) Selanjutnya, sewaktu menggoda Yesus, Setan menawarkan kepadanya ”wewenang” atas ”semua kerajaan dari bumi yang berpenduduk”, mengaku bahwa wewenang ini telah diserahkan kepadanya. Yesus menolak tawarannya, namun ia tidak menyangkal bahwa Setan dapat memberikan wewenang demikian.—Lukas 4:5-8, NW.

      5. (a) Bagaimana kita seharusnya memahami kata-kata Yesus dan Paulus berkenaan kalangan berwenang manusia? (b) Dalam arti apa kalangan berwenang yang lebih tinggi ”ditempatkan dalam kedudukan mereka yang relatif oleh Allah”?

      5 Yehuwa menyerahkan pemerintahan atas dunia ini kepada Setan dengan mengizinkannya hidup setelah pemberontakannya dan setelah ia menggoda Adam serta Hawa dan telah menyebabkan mereka memberontak melawan kedaulatan-Nya. (Kejadian 3:1-6; bandingkan Keluaran 9:15, 16.) Oleh karena itu, kata-kata Yesus dan Paulus pasti berarti bahwa setelah pasangan manusia pertama di Eden menolak teokrasi, atau pemerintahan oleh Allah, Yehuwa mengizinkan manusia yang jauh dari-Nya untuk menciptakan struktur wewenang yang akan memungkinkan mereka hidup dalam suatu masyarakat yang teratur. Kadang-kadang, demi melaksanakan maksud-tujuan-Nya, Yehuwa telah menyebabkan kejatuhan beberapa penguasa atau pemerintahan. (Daniel 2:19-21) Yang lain-lain Ia biarkan tetap berkuasa. Berkenaan para penguasa yang keberadaannya telah ditoleransi oleh Yehuwa, dapat dikatakan bahwa mereka ”ditempatkan dalam kedudukan mereka yang relatif oleh Allah”.

Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
Log Out
Log In
  • Indonesia
  • Bagikan
  • Pengaturan
  • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
  • Syarat Penggunaan
  • Kebijakan Privasi
  • Pengaturan Privasi
  • JW.ORG
  • Log In
Bagikan