PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • Musa Diserang
    Sedarlah!—2004 | 8 April
    • Musa Diserang

      ORANG Yahudi, orang Kristen, dan Muslim sering kali tidak sependapat tentang banyak hal. Namun, terlepas dari ketidaksepakatan mereka, agama-agama ini memiliki setidak-tidaknya satu persamaan: respek yang dalam terhadap pria yang dikenal sebagai Musa. Orang Yahudi mengakuinya sebagai ”yang terbesar dari semua guru Yahudi”​—pendiri bangsa Yahudi. Orang Kristen menganggapnya sebagai pembuka jalan bagi Yesus Kristus. Orang Muslim memandang Musa sebagai salah seorang nabi mereka yang pertama dan terbesar.

      Musa

      Jadi, Musa adalah salah seorang pria yang paling berpengaruh dalam sejarah manusia. Meskipun demikian, selama lebih dari seabad, Musa telah diserang oleh kalangan cendekiawan maupun pemimpin agama. Banyak orang tidak hanya menantang kepercayaan bahwa Musa melakukan mukjizat dan memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir tetapi bahkan mengatakan bahwa ia tidak ada. Buku Moses​—A Life karya Jonathan Kirsch menyimpulkan, ”Satu-satunya yang dapat kita katakan tentang tokoh sejarah Musa adalah bahwa seseorang seperti pria yang diuraikan dalam Alkitab itu mungkin telah hidup pada suatu masa dan di sebuah tempat yang tidak dapat diketahui jauh di masa lampau, dan kepahlawanannya mungkin hanyalah berupa segelintir pasir yang seperti mutiara diperbesar lapis demi lapis oleh legenda dan kepercayaan turun-temurun selama berabad-abad hingga ia menjadi tokoh yang mengesankan dan kontroversial yang kita baca dalam halaman-halaman Alkitab.”

      Sepintas lalu, skeptisisme seperti itu mungkin layak disimak. Misalnya, para kritikus mengomentari bahwa bukti arkeologis telah ditemukan untuk meneguhkan eksistensi tokoh-tokoh Alkitab seperti Raja Yehu dari Israel, tetapi tidak ada bukti arkeologis yang telah ditemukan untuk meneguhkan eksistensi Musa. Namun, hal ini sama sekali tidak membuktikan bahwa Musa hanyalah tokoh mitos. Orang-orang yang skeptis pernah berpendapat bahwa tokoh lain yang disebutkan dalam Alkitab, seperti Raja Belsyazar dari Babilon dan Raja Sargon dari Asiria, juga adalah tokoh mitos​—sampai arkeologi belakangan meneguhkan eksistensi mereka dalam sejarah.

      Pengarang Jonathan Kirsch mengingatkan kita, ”Sisa dan puing Israel dalam catatan Alkitab begitu langka sehingga sama sekali tidak ditemukannya Musa dalam sumber mana pun selain Alkitab sendiri bukanlah hal yang mengejutkan dan juga tidak bisa dijadikan dasar kesimpulan.” Menurut Kirsch, beberapa orang kemudian berpendapat bahwa kecil kemungkinan Musa hanyalah hasil imajinasi seseorang, karena ”kisah hidup yang begitu kaya dengan perincian dan dialog, begitu kompleks . . . , tidak mungkin dikarang-karang”.

      Tidak soal Anda orang beragama atau bukan, kemungkinan besar Anda setidak-tidaknya mengetahui beberapa peristiwa utama dalam kehidupan Musa: pertemuannya dengan Allah di dekat semak yang bernyala-nyala, Eksodus bangsa Israel dari perbudakan di Mesir, terbelahnya Laut Merah. Tetapi, apakah ada alasan untuk percaya bahwa peristiwa-peristiwa ini benar-benar terjadi? Atau, apakah Musa hanyalah seorang tokoh mitologis? Artikel berikut akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sangat menarik ini.

  • Musa—Tokoh Sejarah atau Mitos?
    Sedarlah!—2004 | 8 April
    • Musa​—Tokoh Sejarah atau Mitos?

      MUSA lahir sambil dibayang-bayangi kematian. Bangsanya adalah sekelompok keluarga nomadis yang telah menetap di Mesir bersama bapak mereka Yakub, atau Israel, agar luput dari kelaparan. Selama puluhan tahun, mereka telah hidup damai berdampingan dengan tetangga mereka orang Mesir. Tetapi kemudian, terjadi perubahan yang mengerikan. Sebuah laporan sejarah yang disegani mengatakan, ”Bangkitlah atas Mesir seorang raja baru . . . Lalu ia mengatakan kepada bangsanya, ’Lihat! Orang-orang Israel lebih banyak jumlahnya dan lebih perkasa daripada kita. Ayo! Mari kita bertindak dengan cerdik terhadap mereka, agar mereka tidak berlipat ganda.’” Rencananya? Mengendalikan populasi bangsa Israel dengan menjadikan mereka ”budak seraya diperlakukan dengan lalim”, lalu dengan memerintahkan para bidan Ibrani untuk membunuh setiap anak laki-laki yang mereka bantu kelahirannya. (Keluaran 1:​8-​10, 13, 14) Berkat keberanian para bidan yang menolak menaati perintah itu, orang Israel terus bertambah banyak. Jadi, raja Mesir menitahkan, ”Setiap anak laki-laki yang baru lahir harus kamu lemparkan ke dalam Sungai Nil.”​—Keluaran 1:22.

      Sepasang suami istri Israel, Amram dan Yokhebed, ”tidak takut kepada perintah raja”. (Ibrani 11:23) Yokhebed melahirkan seorang anak laki-laki yang belakangan dilukiskan memiliki ”keelokan ilahi”.a (Kisah 7:20) Barangkali dengan satu atau lain cara, mereka paham bahwa anak ini diperkenan oleh Allah. Apa pun kejadiannya, mereka menolak menyerahkan putra mereka untuk dieksekusi. Sambil mempertaruhkan nyawa mereka sendiri, mereka memutuskan untuk menyembunyikan dia.

      Setelah tiga bulan, orang tua Musa tidak dapat menyembunyikannya lagi. Karena tidak punya pilihan lain, mereka mengambil tindakan. Yokhebed menaruh anak kecil itu di dalam sebuah peti dari papirus dan mengapungkannya di Sungai Nil. Tanpa sadar, Yokhebed sedang memulai sesuatu yang bersejarah!​—Keluaran 2:3, 4.

      Peristiwa yang Dapat Dipercaya?

      Banyak cendekiawan dewasa ini menolak peristiwa-peristiwa itu dan menganggapnya sebagai fiksi. ”Faktanya adalah,” kata Christianity Today, ”tidak ada secuil pun bukti langsung dari arkeologi yang telah ditemukan mengenai [tahun-tahun ketika] putra-putra Israel berdiam sementara di Mesir.” Meskipun mungkin tidak ada bukti langsung secara fisik, ada cukup banyak bukti tidak langsung bahwa catatan Alkitab tersebut dapat dipercaya. Dalam bukunya, Israel in Egypt, Egiptolog (pakar kebudayaan Mesir) James K. Hoffmeier mengatakan, ”Data arkeologis mempertunjukkan dengan jelas bahwa Mesir sering disinggahi orang Levant [negeri-negeri yang berbatasan dengan Mediterania bagian timur], khususnya akibat problem cuaca yang menimbulkan kemarau . . . Jadi, selama suatu periode kira-kira dari 1800 hingga 1540 SM, Mesir adalah tempat migrasi yang menarik bagi orang-orang berbahasa Semitik dari Asia bagian barat.”

      Selain itu, telah lama diakui bahwa uraian Alkitab tentang perbudakan di Mesir memang akurat. Buku Moses​—A Life melaporkan, ”Catatan Alkitab tentang penindasan orang Israel tampaknya diteguhkan oleh sebuah lukisan makam dari Mesir kuno yang sering direproduksi yang menggambarkan secara sangat terperinci pembuatan batu bata dari lumpur oleh sekelompok budak.”

      Uraian Alkitab tentang peti kecil yang digunakan Yokhebed juga mengandung kebenaran. Alkitab mengatakan bahwa peti itu dibuat dari papirus, yang, menurut Commentary karya Cook, ”biasa digunakan orang Mesir untuk membuat kapal yang ringan dan gesit”.

      Namun, apakah tidak sulit untuk mempercayai bahwa seorang pemimpin bangsa memerintahkan pembunuhan berdarah dingin atas bayi-bayi? Cendekiawan George Rawlinson mengingatkan kita, ”Infantisida . . . telah ada secara luas pada waktu dan di tempat yang berbeda, dan telah dianggap sebagai soal sepele.” Sesungguhnya, kita tidak perlu melihat jauh-jauh untuk menemukan contoh pembunuhan massal yang tak kalah menyeramkannya pada zaman modern. Catatan Alkitab mungkin menggelisahkan, tetapi benar-benar dapat dipercaya.

      Penyelamatan Musa​—Legenda Kafir?

      Musa sewaktu masih bayi

      Beberapa kritikus menyatakan bahwa penyelamatan Musa dari Sungai Nil tampak mencurigakan karena sangat mirip dengan legenda kuno tentang Raja Sargon dari Akad​—cerita yang menurut beberapa orang sudah ada sebelum cerita Musa. Legenda itu juga bercerita tentang seorang bayi dalam keranjang yang diselamatkan dari sungai.

      Namun, sejarah sarat dengan kebetulan. Dan, meletakkan anak kecil di sungai mungkin tidak seganjil kelihatannya. Biblical Archaeology Review mengatakan, ”Kita hendaknya ingat bahwa Babilonia dan Mesir kedua-duanya adalah kebudayaan tepi sungai dan bahwa meletakkan bayi dalam keranjang kedap air mungkin adalah cara yang sedikit lebih berterima untuk membuang anak itu daripada melemparkannya ke tumpukan sampah, yang lebih umum. . . . Cerita tentang bayi yang ditemukan lalu menjadi tokoh menonjol mungkin merupakan tema umum cerita rakyat, tetapi alasannya pastilah karena cerita itu berulang kali terjadi dalam kehidupan nyata.”

      Dalam bukunya, Exploring Exodus, Nahum M. Sarna mengomentari bahwa meskipun ada beberapa kemiripan, cerita kelahiran Musa berbeda dengan ”Legenda Sargon” dalam ”banyak aspek yang signifikan”. Maka, pernyataan bahwa catatan Alkitab diambil dari legenda kafir hanyalah seperti tong kosong.

      Diadopsi ke dalam Rumah Tangga Firaun

      Yokhebed tidak membiarkan nasib anaknya ditentukan oleh kebetulan belaka. Ia ”menaruh peti itu di antara batang-batang teberau di tepi Sungai Nil”. Kemungkinan ia berharap agar di tempat inilah peti itu akan ditemukan. Di sini putri Firaun datang untuk mandi, kemungkinan secara rutin.b​—Keluaran 2:2-4.

      Peti kecil itu segera ditemukan. ”Ketika [putri Firaun] membukanya ia melihat anak tersebut, dan anak laki-laki itu sedang menangis. Melihat itu ibalah hatinya kepadanya, meskipun ia mengatakan, ’Ini salah seorang anak orang Ibrani.’” Putri Mesir itu pun memutuskan untuk mengadopsinya. Nama apa pun yang semula diberikan orang tuanya telah lama dilupakan. Dewasa ini, ia dikenal di seluruh dunia dengan nama yang diberikan ibu angkatnya​—Musa.c​—Keluaran 2:5-10.

      Namun, apakah tidak mengada-ada untuk percaya bahwa seorang putri Mesir akan mengasuh anak semacam itu? Tidak, karena agama orang Mesir mengajarkan bahwa perbuatan baik adalah prasyarat untuk masuk ke surga. Mengenai pengadopsian itu sendiri, arkeolog Joyce Tyldesley mengatakan, ”Wanita Mesir sederajat dengan pria Mesir. Mereka menikmati hak yang sama dalam bidang hukum dan ekonomi, setidaknya dalam teori, dan . . . para wanita dapat mengadopsi anak.” Papirus Adopsi kuno sebenarnya mencatat tentang seorang wanita Mesir yang mengadopsi budak-budaknya. Mengenai mengupah ibu Musa sebagai inang penyusu, The Anchor Bible Dictionary mengatakan, ”Diupahnya ibu kandung Musa untuk menyusui dia . . . mirip dengan pengaturan yang identik dalam kontrak-kontrak adopsi orang Mesopotamia.”

      Mengingat ia telah diadopsi, apakah asal usul Musa sebagai orang Ibrani akan disembunyikan darinya sebagai rahasia yang membawa aib? Beberapa film Hollywood telah membuatnya tampak seperti itu. Alkitab menunjukkan hal yang sebaliknya. Kakaknya, Miriam, dengan cerdik mengatur agar Musa disusui oleh ibunya sendiri, Yokhebed. Pastilah wanita yang saleh ini tidak akan menyembunyikan kebenaran dari putranya! Dan, karena anak-anak pada zaman dahulu sering kali disusui selama beberapa tahun, Yokhebed memiliki banyak kesempatan untuk mengajar Musa tentang ’Allah Abraham, Ishak, dan Yakub’. (Keluaran 3:6) Fondasi rohani semacam itu sangat bermanfaat bagi Musa, karena setelah diserahkan kepada putri Firaun, ”Musa diajar tentang segala hikmat orang Mesir”. Pernyataan sejarawan Yosefus bahwa Musa meraih kedudukan sebagai jenderal dalam suatu perang dengan Etiopia tidak dapat dipastikan kebenarannya. Namun, Alkitab memang mengatakan bahwa ”perkataan dan perbuatannya penuh kuasa”.d​—Kisah 7:​22.

      Pada usia 40 tahun, Musa kemungkinan besar siap menjadi pemimpin Mesir yang menonjol. Kuasa dan kekayaan bisa menjadi miliknya seandainya ia tetap berada dalam rumah tangga Firaun. Lalu, terjadilah suatu peristiwa yang mengubah kehidupannya.

      Pengasingan di Midian

      Pada suatu hari, Musa ’melihat seorang Mesir memukul seorang Ibrani, yaitu salah seorang dari antara saudara-saudaranya’. Selama bertahun-tahun, Musa telah menikmati keuntungan sebagai orang Ibrani sekaligus orang Mesir. Tetapi, ketika melihat sesamanya orang Israel dipukuli​—mungkin bisa menewaskannya​—Musa tergerak untuk membuat pilihan yang drastis. (Keluaran 2:11) Ia ”menolak untuk disebut sebagai putra dari putri Firaun, dan memilih untuk diperlakukan dengan kejam bersama umat Allah”.​—Ibrani 11:24, 25.

      Musa mengambil tindakan yang gesit dan tidak mungkin dibatalkan lagi, ”Ia membunuh orang Mesir itu dan menyembunyikan dia dalam pasir.” (Keluaran 2:12) Ini bukan tindakan seseorang yang ”didorong oleh ledakan amarah seketika”, tandas seorang kritikus. Kemungkinan besar, itu adalah tindakan yang menunjukkan iman​—sekalipun salah arah​—akan janji Allah bahwa Israel akan dibebaskan dari Mesir. (Kejadian 15:13, 14) Barangkali Musa dengan naif percaya bahwa tindakannya akan memicu bangsanya untuk memberontak. (Kisah 7:25) Namun, betapa kecewanya dia karena rekan-rekan sebangsanya tidak mau mengakui kepemimpinannya. Sewaktu berita pembunuhan itu sampai ke telinga Firaun, Musa terpaksa melarikan diri ke pengasingan. Ia menetap di Midian, menikahi seorang wanita bernama Zipora, putri seorang kepala suku nomadis bernama Yitro.

      Selama 40 tahun yang panjang, Musa hidup sederhana sebagai gembala, pupus sudah harapannya untuk menjadi seorang pembebas. Namun, pada suatu hari, ia menuntun kumpulan ternak Yitro ke sebuah tempat dekat Gunung Horeb. Di sana, malaikat Yehuwa menampakkan diri kepada Musa dalam sebuah semak yang bernyala-nyala. Bayangkan situasinya: ’Bawalah umatku, putra-putra Israel, keluar dari Mesir,’ perintah Allah. Tetapi, sewaktu menjawab, Musa bimbang, ragu-ragu, dan tidak percaya diri. ”Siapakah aku,” ia berdalih, ”sehingga aku harus pergi kepada Firaun dan membawa putra-putra Israel keluar dari Mesir?” Ia bahkan menyingkapkan sebuah cacat pribadi yang ditutupi oleh beberapa pembuat film: Ia rupanya memiliki gangguan bicara. Betapa berbedanya Musa dengan para pahlawan dalam mitos dan legenda kuno! Empat puluh tahun menjadi gembala telah merendahkan dan melembutkan hati pria ini. Meskipun Musa merasa tidak percaya diri, Allah yakin bahwa ia cocok untuk menjadi pemimpin!—Keluaran 3:1–4:20.

      Pembebasan dari Mesir

      Musa meninggalkan Midian dan menghadap Firaun, menuntut agar umat Allah dibebaskan. Sewaktu raja yang keras kepala itu menolak, sepuluh tulah yang menghancurkan pun dikeluarkan. Tulah kesepuluh mengakibatkan kematian putra sulung Mesir, dan Firaun yang kalah telak akhirnya membebaskan bangsa Israel.​—Keluaran, pasal 5-13.

      Peristiwa-peristiwa ini dikenal baik oleh sebagian besar pembaca. Tetapi, apakah peristiwa-peristiwa ini sesuai dengan sejarah? Ada yang membantah bahwa karena sang Firaun tidak disebutkan namanya, kisah itu pastilah fiksi.e Namun, Hoffmeier, yang dikutip sebelumnya, mengomentari bahwa para penulis Mesir sering kali sengaja tidak mencantumkan nama musuh-musuh Firaun. Ia berpendapat, ”Pastilah para sejarawan tidak akan membantah keakuratan sejarah operasi militer Tutmose III di Megido meski nama raja-raja Kades dan Megido tidak dicatat.” Hoffmeier memperkirakan bahwa Firaun tidak disebutkan namanya karena ”alasan teologis yang bagus”. Antara lain, dengan tidak menyebutkan nama Firaun, catatan itu menarik perhatian kepada Allah, bukan Firaun.

      Sekalipun demikian, para kritikus menolak adanya eksodus orang Yahudi secara besar-besaran dari Mesir. Cendekiawan Homer W. Smith berargumen bahwa kepindahan massal seperti itu ”pastilah akan dilaporkan dengan nyaring dalam sejarah Mesir atau Siria . . . Lebih besar kemungkinannya bahwa legenda eksodus itu adalah catatan yang simpang siur dan mengada-ada tentang pelarian dari Mesir ke Palestina oleh relatif sedikit orang”.

      Memang, catatan Mesir tentang peristiwa ini belum ditemukan. Tetapi, orang Mesir pastilah tidak ragu-ragu untuk mengubah catatan sejarah apabila kebenarannya ternyata memalukan atau berlawanan dengan kepentingan politis mereka. Sewaktu Tutmose III meraih kekuasaan, ia mencoba menghapus kenangan akan pendahulunya, Hatsyepsut. Kata Egiptolog John Ray, ”Inskripsinya dihapus, obelisknya dikelilingi tembok, dan monumennya ditelantarkan. Namanya tidak muncul dalam catatan sejarah yang belakangan.” Upaya serupa untuk mengubah atau menyembunyikan fakta yang memalukan bahkan telah dilakukan pada zaman modern.

      Mengenai tidak adanya bukti arkeologis tentang persinggahan di padang belantara, kita harus ingat bahwa orang Yahudi adalah nomad. Mereka tidak membangun kota; mereka tidak bercocok tanam. Dapat disimpulkan, mereka tidak meninggalkan apa pun kecuali jejak kaki. Meskipun demikian, bukti yang meyakinkan tentang persinggahan itu dapat ditemukan dalam Alkitab sendiri. Rujukan tentang hal itu terdapat di seluruh kitab suci tersebut. (1 Samuel 4:8; Mazmur 78; Mazmur 95; Mazmur 106; 1 Korintus 10:1-5) Menarik sekali, Yesus Kristus juga memberikan kesaksian bahwa peristiwa di padang belantara itu benar-benar terjadi.—Yohanes 3:14.

      Maka, tidak diragukan lagi bahwa catatan Alkitab tentang Musa dapat dipercaya, merupakan kebenaran. Sekalipun demikian, ia hidup lama berselang. Apa pengaruh Musa terhadap kehidupan Anda dewasa ini?

      a Secara harfiah, ”elok bagi Allah”. Menurut The Expositor’s Bible Commentary, pernyataan itu bisa memaksudkan tidak hanya sifat fisik yang luar biasa dari anak itu, tetapi ”sifat hatinya”.

      b Mandi di Sungai Nil ”adalah kebiasaan umum di Mesir kuno”, kata Commentary karya Cook. ”Sungai Nil disembah sebagai sesuatu yang berasal . . . dari Osiris, dan airnya dianggap memiliki kekuatan yang unik untuk memberikan kehidupan dan kesuburan.”

      c Etimologi nama ini menjadi sumber perdebatan di antara para cendekiawan. Dalam bahasa Ibrani, Musa berarti ”Ditarik Keluar; Diselamatkan dari Air”. Sejarawan Flavius Yosefus berpendapat bahwa Musa adalah gabungan dua kata Mesir yang berarti ”air” dan ”diselamatkan”. Dewasa ini, beberapa cendekiawan juga percaya bahwa nama Musa berasal dari bahasa Mesir tetapi merasa bahwa kata itu kemungkinan besar berarti ”Putra”. Namun, argumen ini didasarkan pada kemiripan bunyi kata ”Musa” dan beberapa nama orang Mesir. Karena tidak seorang pun benar-benar tahu cara pelafalan bahasa Ibrani atau Mesir kuno, teori-teori semacam itu bersifat spekulatif.

      d Buku Israel in Egypt mengatakan, ”Seluruh gagasan bahwa Musa dibesarkan di istana Mesir tampak seperti cerita legenda. Tetapi, pengamatan yang lebih dekat terhadap istana Kerajaan Baru menunjukkan hal yang sebaliknya. Tutmose III . . . memprakarsai praktek membawa para pangeran dari raja-raja taklukan di Asia bagian barat ke Mesir untuk dilatih menurut cara orang Mesir . . . Dengan demikian, keberadaan pangeran dan putri mancanegara bukan sesuatu yang asing dalam istana Mesir.”

      e Beberapa sejarawan mengatakan bahwa Firaun pada masa Eksodus adalah Tutmose III. Yang lain mengatakan Amenhotep II, Ramses II, dan sebagainya. Karena kronologi orang Mesir yang kacau balau, mustahil menentukan dengan pasti siapa Firaun ini.

      Siapa yang Menulis Kelima Buku Pertama Alkitab?

      Menurut kisah turun-temurun, Musa dianggap sebagai pengarang kelima buku pertama dalam Alkitab, yang disebut Pentateukh. Musa mungkin telah mendapatkan sebagian informasinya dari sumber sejarah yang lebih awal. Namun, banyak kritikus percaya bahwa Musa sama sekali tidak menulis Pentateukh. ”Maka, lebih jelas daripada matahari di siang bolong bahwa Pentateukh bukan ditulis oleh Musa,” tegas filsuf abad ke-17, Spinoza. Pada paruh kedua abad ke-19, cendekiawan Jerman bernama Julius Wellhausen mempopulerkan teori ”dokumentasi”​—bahwa buku-buku Musa adalah gabungan karya beberapa pengarang atau tim pengarang.

      Musa dengan rendah hati mencatat kegagalannya untuk memuliakan Allah

      Wellhausen mengatakan bahwa salah seorang pengarang secara konsisten menggunakan nama pribadi Allah, Yehuwa. Yang lain menyebut Allah ”Elohim”. Yang lain diyakini menulis kaidah keimaman dalam Imamat, dan yang lain lagi menulis Ulangan. Meskipun beberapa pakar telah menerima teori ini selama puluhan tahun, buku The Pentateuch, karya Joseph Blenkinsopp, menyebut hipotesis Wellhausen sebagai teori yang ”dilanda krisis”.

      Buku Introduction to the Bible, karya John Laux, menjelaskan, ”Teori Dokumentasi dibangun berdasarkan pernyataan-pernyataan yang bersifat selera pribadi atau kalau tidak, yang sama sekali keliru. . . . Jika Teori Dokumentasi yang ekstrem ini memang benar, berarti bangsa Israel telah menjadi korban penipuan yang tidak masuk akal sewaktu mereka mengizinkan Hukum yang sangat membebani itu diletakkan di atas pundak mereka. Itu akan menjadi penipuan terbesar yang pernah dilakukan di sepanjang sejarah dunia.”

      Argumen lain adalah bahwa perbedaan gaya dalam Pentateukh membuktikan adanya banyak pengarang. Namun, K. A. Kitchen menyatakan dalam bukunya Ancient Orient and Old Testament, ”Perbedaan gaya tidak berarti apa-apa, dan mencerminkan perbedaan dalam pokok bahasan tertentu.” Variasi gaya yang serupa dapat juga ditemukan ”dalam teks-teks kuno yang kesatuan kesastraannya sama sekali tidak diragukan”.

      Yang khususnya lemah adalah argumen bahwa penggunaan nama dan gelar yang berbeda untuk Allah membuktikan adanya banyak pengarang. Dalam satu bagian kecil dari buku Kejadian saja, Allah disebut ”Allah Yang Mahatinggi”, ”Yang Menjadikan langit dan bumi”, ”Tuan Yang Berdaulat Yehuwa”, ”Allah yang melihat”, ”Allah Yang Mahakuasa”, ”Allah”, ”Allah yang benar”, dan ”Hakim segenap bumi”. (Kejadian 14:18, 19; 15:2; 16:13; 17:1, 3, 18; 18:25) Apakah setiap ayat Alkitab ini ditulis oleh pengarang yang berbeda? Atau, bagaimana dengan Kejadian 28:13, tempat istilah ”Elohim” (Allah) dan ”Yehuwa” digunakan bersama-sama? Apakah dua pengarang bekerja sama untuk menulis satu ayat itu?

      Kelemahan jalur penalaran ini menjadi sangat jelas sewaktu diterapkan pada sebuah karya tulis kontemporer. Dalam sebuah buku terbaru tentang Perang Dunia II, kanselir Jerman disebut ”Führer”, ”Adolf Hitler”, dan cukup ”Hitler” dalam rentang beberapa halaman saja. Apakah ada yang berani menyatakan bahwa ini membuktikan adanya tiga pengarang yang berbeda?

      Meskipun demikian, variasi-variasi teori Wellhausen terus menjamur. Di antaranya adalah teori yang dikemukakan oleh dua cendekiawan tentang pengarang yang konsisten menggunakan nama pribadi Allah, Yehuwa, tadi. Mereka tidak hanya menyangkal bahwa itu adalah Musa, tetapi juga menegaskan bahwa pengarang ini adalah wanita.

  • Musa—Bagaimana Kehidupannya Mempengaruhi Anda?
    Sedarlah!—2004 | 8 April
    • Musa​—Bagaimana Kehidupannya Mempengaruhi Anda?

      BAGI banyak cendekiawan dan kritikus, Musa tidak lebih dari seorang tokoh mitos. Mereka menolak catatan Alkitab, menerapkan standar pembuktian yang bakal membuat pria-pria seperti Plato dan Sokrates juga dianggap sebagai tokoh mitos.

      Namun, seperti yang telah kita lihat, tidak ada alasan yang sah untuk menolak catatan Alkitab tentang Musa. Sebaliknya, bagi orang-orang yang beriman, ada bukti yang berlimpah bahwa segenap Alkitab adalah ”firman Allah”.a (1 Tesalonika 2:13; Ibrani 11:1) Bagi orang-orang seperti itu, mempelajari kehidupan Musa bukan sekadar praktek akademis, melainkan, sebaliknya, sarana membangun iman.

      Musa yang Sesungguhnya

      Para pembuat film sering kali menonjolkan kepahlawanan dan keberanian fisik Musa​—sifat-sifat yang menarik minat penonton. Memang, Musa memiliki keberanian. (Keluaran 2:16-19) Tetapi, pertama dan terutama, ia adalah pria yang beriman. Allah nyata bagi Musa—begitu nyatanya sehingga belakangan rasul Paulus mengatakan bahwa Musa ”tetap kokoh seperti melihat Pribadi yang tidak kelihatan”.​—Ibrani 11:24-28.

      Oleh karena itu, Musa mengajar kita perlunya memupuk hubungan dengan Allah. Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita pun dapat bertindak seolah-olah kita melihat Allah! Jika kita melakukannya, kita tidak akan pernah bertindak dengan cara yang membuat-Nya tidak senang. Perhatikan juga bahwa iman Musa ditanamkan dalam dirinya sewaktu ia masih bayi. Imannya cukup dalam untuk bertahan menghadapi ”segala hikmat orang Mesir”. (Kisah 7:22) Benar-benar anjuran yang bagus bagi orang tua agar mulai mengajar anak-anak mereka tentang Allah sejak masa bayi!​—Amsal 22:6; 2 Timotius 3:15.

      Yang patut diperhatikan juga adalah kerendahan hati Musa. Ia adalah ”pria yang paling lembut, jauh melebihi semua orang yang ada di permukaan bumi”. (Bilangan 12:3) Selain itu, Musa bersedia mengakui kekeliruannya. Ia menuliskan kelalaiannya sendiri untuk menyunat putranya. (Keluaran 4:24-26) Ia dengan terus terang menceritakan kegagalannya untuk memuliakan Allah pada satu peristiwa dan hukuman yang serius dari Allah ke atasnya. (Bilangan 20:2-12; Ulangan 1:37) Musa juga bersedia menerima saran dari orang lain. (Keluaran 18:13-24) Bukankah Musa teladan yang bagus untuk ditiru oleh para suami, ayah, dan pria-pria lain yang memiliki wewenang?

      Memang, beberapa kritikus mempertanyakan apakah Musa benar-benar lembut, sambil mengutip tindakan kekerasan yang dilakukannya. (Keluaran 32:26-28) Kata penulis Jonathan Kirsch, ”Tokoh Musa dalam Alkitab jarang bersikap rendah hati dan tidak pernah lembut, dan tindakannya tidak dapat selalu dianggap adil-benar. Pada saat-saat tertentu yang mencekam, . . . Musa digambarkan sebagai orang yang angkuh, haus darah, dan kejam.” Kritikan tersebut benar-benar picik. Kritikan itu mengabaikan fakta bahwa tindakan Musa didorong oleh, bukan kekejaman, melainkan oleh kasih yang dalam terhadap keadilan dan intoleransi terhadap kefasikan. Pada zaman sekarang, manakala toleransi terhadap gaya hidup yang amoral sedang populer, Musa tampil sebagai pengingat akan perlunya memiliki standar moralitas yang tidak dapat dikompromikan.—Mazmur 97:10.

      Yesus​—Seorang Nabi seperti Musa

      Berikut ini adalah beberapa hal yang membuktikan kesamaan antara Yesus dan Musa:

      • Musa maupun Yesus luput dari pembantaian besar-besaran atas bayi laki-laki yang diperintahkan oleh penguasa pada zaman mereka.​—Keluaran 1:22; 2:1-10; Matius 2:13-18.

      • Musa dipanggil keluar dari Mesir bersama ’anak sulung’ Yehuwa, bangsa Israel. Yesus dipanggil keluar dari Mesir sebagai Putra sulung Allah.​—Keluaran 4:22, 23; Hosea 11:1; Matius 2:15, 19-21.

      • Musa maupun Yesus berpuasa selama 40 hari di padang belantara.​—Keluaran 34:28; Matius 4:1, 2.

      • Musa dan Yesus luar biasa lembut dan rendah hati.​—Bilangan 12:3; Matius 11:28-30.

      • Musa maupun Yesus melakukan mukjizat.​—Keluaran 14:21-31; Mazmur 78:12-54; Matius 11:5; Markus 5:38-43; Lukas 7:11-15, 18-23.

      • Musa maupun Yesus menjadi perantara perjanjian antara Allah dan umat-Nya.​—Keluaran 24:3-8; 1 Timotius 2:5, 6; Ibrani 8:10-13; 12:24.

      Warisan Berupa Tulisan Musa

      Musa meninggalkan kumpulan tulisan yang mengagumkan. Ini mencakup puisi (Ayub, Mazmur 90), prosa bersejarah (Kejadian, Keluaran, Bilangan), silsilah (Kejadian, pasal 5, 11, 19, 22, 25), dan suatu kumpulan hukum yang luar biasa yang disebut Hukum Musa. (Keluaran, pasal 20-40; Imamat; Bilangan; Ulangan) Hukum yang diilhamkan Allah ini memuat konsep, hukum, dan prinsip pemerintahan yang berabad-abad lebih maju daripada hukum lain pada zamannya.

      Di negeri-negeri yang kepala Negaranya juga menjadi kepala Gereja, akibatnya sering kali adalah intoleransi, penindasan agama, dan penyalahgunaan kekuasaan. Hukum Musa mencakup prinsip pemisahan Gereja dan Negara. Raja tidak diperbolehkan melakukan tugas imam.​—2 Tawarikh 26:16-18.

      Hukum Musa juga memuat konsep higiene dan pengendalian penyakit, seperti mengarantinakan orang sakit dan membuang kotoran manusia, yang selaras dengan sains saat ini. (Imamat 13:1-59; 14:38, 46; Ulangan 23:13) Ini sesuatu yang menakjubkan, mengingat sebagian besar ilmu pengobatan orang Mesir pada zaman Musa adalah campuran yang berbahaya antara praktek yang tidak becus dan takhayul. Di negara-negara berkembang dewasa ini, jutaan orang bisa terhindar dari penyakit dan kematian seandainya standar higiene yang diajarkan Musa dipraktekkan.

      Orang Kristen tidak diwajibkan mengikuti Hukum Musa. (Kolose 2:13, 14) Tetapi, mempelajarinya masih sangat bermanfaat. Hukum itu mendesak Israel untuk memberi Yehuwa pengabdian yang eksklusif dan menjauhi penyembahan berhala. (Keluaran 20:4; Ulangan 5:9) Hukum itu memerintahkan anak-anak untuk menghormati orang tua mereka. (Keluaran 20:12) Hukum itu juga mengutuk pembunuhan, perzinaan, pencurian, dusta, dan ketamakan akan milik orang lain. (Keluaran 20:13-17) Prinsip-prinsip itu sangat dijunjung orang Kristen dewasa ini.

      Prinsip higiene yang diajarkan dalam Hukum Musa dapat turut mencegah penyakit

      Seorang Nabi seperti Musa

      Yesus bersama murid-muridnya

      Hanya Yesus nabi yang benar-benar mirip dengan Musa

      Kita hidup pada masa yang menyesakkan. Umat manusia pastilah membutuhkan seorang pemimpin seperti Musa—seseorang yang tidak hanya memiliki kuasa dan wewenang, tetapi juga integritas, keberanian, keibaan hati, dan kasih yang sepenuh hati terhadap keadilan. Ketika Musa meninggal, bangsa Israel pasti bertanya-tanya, ’Apakah dunia akan melihat orang seperti dia lagi?’ Musa sendiri menjawab pertanyaan itu.

      Tulisan Musa menjelaskan asal usul penyakit dan kematian serta mengapa Allah mengizinkan kefasikan terus ada. (Kejadian 3:1-19; Ayub, pasal 1, 2) Di Kejadian 3:15, nubuat ilahi yang paling awal dicatat​—suatu janji bahwa kejahatan pada akhirnya akan diremukkan! Caranya? Nubuat itu menunjukkan bahwa seseorang akan lahir dan melalui dia keselamatan akan tiba. Janji ini melahirkan harapan bahwa seorang Mesias akan tampil dan menyelamatkan umat manusia. Tetapi, siapa yang akan menjadi Mesias itu? Musa membantu kita mengidentifikasi dia dengan pasti.

      Menjelang akhir kehidupannya, Musa mengucapkan kata-kata yang mengandung nubuat ini, ”Seorang nabi dari tengah-tengahmu, dari antara saudara-saudaramu, seperti aku, akan dibangkitkan bagimu oleh Yehuwa, Allahmu​—kepadanya kamu sekalian harus mendengarkan.” (Ulangan 18:15) Rasul Petrus belakangan mengaitkan kata-kata itu langsung kepada Yesus.​—Kisah 3:20-26.

      Kebanyakan komentator Yahudi menyangkal keras kesamaan apa pun antara Musa dan Yesus. Mereka berargumen bahwa kata-kata dalam ayat ini berlaku untuk nabi sejati mana pun yang muncul setelah Musa. Namun, menurut Tanakh—The Holy Scriptures, diterbitkan oleh Lembaga Publikasi Yahudi, Ulangan 34:10 berbunyi, ”Tidak pernah lagi muncul di Israel seorang nabi seperti Musa—yang TUAN pilih, muka dengan muka.”

      Ya, banyak nabi yang setia, seperti Yesaya dan Yeremia, muncul setelah Musa. Tetapi, tidak satu pun yang memiliki hubungan yang unik dengan Allah seperti yang dinikmati Musa—berbicara dengan Dia ”muka dengan muka”. Oleh karena itu, janji Musa tentang seorang nabi ’seperti dia’ pastilah berlaku pada satu individu—sang Mesias! Patut diperhatikan bahwa sebelum munculnya Kekristenan—dan penganiayaan agama dari orang Kristen palsu​—para cendekiawan Yahudi memiliki pandangan yang serupa. Gaungnya dapat terlihat dalam tulisan orang Yahudi, seperti Midrash Rabbah, yang melukiskan Musa sebagai pembuka jalan bagi ”Penebus yang kemudian”, atau Mesias.

      Fakta bahwa Yesus mirip dengan Musa dalam banyak hal tidak dapat disangkal. (Lihat kotak ”Yesus​—Seorang Nabi seperti Musa”.) Yesus memiliki kuasa dan wewenang. (Matius 28:19) Yesus ”berwatak lembut dan rendah hati”. (Matius 11:29) Yesus membenci pelanggaran hukum dan ketidakadilan. (Ibrani 1:9) Jadi, ia dapat menjadi pemimpin yang teramat kita butuhkan! Dialah yang akan segera meremukkan kefasikan dan mengubah bumi menjadi Firdaus yang Alkitab lukiskan.b

      a Lihat buku Alkitab​—Firman dari Allah Atau dari Manusia? yang diterbitkan oleh Saksi-Saksi Yehuwa.

      b Jika Anda ingin mengetahui lebih banyak tentang janji Alkitab akan suatu bumi firdaus di bawah Kerajaan Kristus, silakan hubungi Saksi-Saksi Yehuwa. Mereka akan senang memberikan pengajaran Alkitab kepada Anda secara cuma-cuma.

      Musa​—Fakta versus Fiksi

      Cara film menggambarkan Musa telah melestarikan sejumlah mitos dan ketidakakuratan. Berikut ini beberapa di antaranya:

      Mitos: Musa tidak mengetahui asal usul Ibraninya.

      Fakta: Musa diasuh oleh ibunya, seorang Yahudi, tampaknya selama beberapa tahun. Kisah 7:23-25 menunjukkan bahwa Musa menganggap budak-budak Yahudi sebagai ”saudara-saudaranya”.

      Mitos: Musa adalah saingan untuk takhta Mesir.

      Fakta: Alkitab tidak menyatakan demikian. Daily Bible Illustrations, karya John Kitto, mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk percaya bahwa Musa ”melalui pengadopsiannya menjadi ahli waris kerajaan. . . . Tidak terlihat adanya kekurangan ahli waris pria untuk kerajaan”.

      Mitos: Musa kembali ke Mesir untuk menghadapi musuhnya.

      Fakta: Alkitab mengatakan bahwa semua musuhnya sudah mati sewaktu ia kembali.​—Keluaran 4:19.

      Mitos: Allah pertama kali mengucapkan Sepuluh Perintah setelah Musa turun dari Gunung Sinai.

      Fakta: Sepuluh Perintah diucapkan oleh Allah, melalui malaikatnya, kepada seluruh bangsa Israel. Setelah itu, orang Israel yang ketakutan meminta Musa naik dan berbicara mewakili mereka.—Keluaran 19:20–20:19; 24:12-14; Kisah 7:53; Ibrani 12:18, 19.

      Mitos: Firaun selamat dari pembinasaan bala tentaranya di Laut Merah.

      Fakta: ”Firaun dan pasukan militernya” binasa di Laut Merah.—Keluaran 14:28; Mazmur 136:15.

Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
Log Out
Log In
  • Indonesia
  • Bagikan
  • Pengaturan
  • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
  • Syarat Penggunaan
  • Kebijakan Privasi
  • Pengaturan Privasi
  • JW.ORG
  • Log In
Bagikan