PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • ”Sasaran Kebencian oleh Segala Bangsa”
    Saksi-Saksi Yehuwa—Pemberita Kerajaan Allah
    • Para Pemimpin Agama Menghendaki Debat Umum

      Karena sirkulasi tulisan-tulisan C. T. Russell dengan cepat mencapai puluhan juta eksemplar dalam banyak bahasa, para pemimpin agama Katolik dan Protestan tidak dapat begitu saja mengabaikan ucapan-ucapannya. Mereka marah karena penelanjangan ajaran-ajaran mereka yang tidak berdasarkan Alkitab, dan frustrasi karena kehilangan anggota-anggota mereka, sehingga banyak di antara para pemimpin agama itu menggunakan mimbar untuk mencela tulisan-tulisan Russell. Mereka memerintahkan kawanan mereka agar tidak menerima lektur yang disebarkan oleh Siswa-Siswa Alkitab. Sejumlah orang dari antara mereka berupaya menghasut para pejabat resmi untuk menghentikan pekerjaan ini. Di beberapa tempat di Amerika Serikat—antara lain Tampa, Florida; Rock Island, Illinois; Winston-Salem, Karolina Utara; dan Scranton, Pennsylvania—mereka memimpin pembakaran buku-buku tulisan Russell di depan umum.

      Beberapa di antara para pemimpin agama merasa perlu menghancurkan pengaruh Russell dengan mengekspos dia dalam debat umum. Dekat kantor pusat kegiatan Russell, sekelompok pemimpin agama mengajukan Dr. E. L. Eaton, pastor Gereja Metodis Episkopal North Avenue di Allegheny, Pennsylvania, sebagai juru bicara mereka. Pada tahun 1903 Eaton mengusulkan suatu debat umum, dan Saudara Russell menerima undangan itu.

      Enam pokok bahasan dikemukakan sebagai berikut, Saudara Russell menegaskan, namun Dr. Eaton menyangkal, bahwa jiwa orang mati tidak sadar; bahwa ”kedatangan kedua” dari Kristus sebelum Milenium dan bahwa tujuan ”kedatangan kedua” maupun Milenium Kristus adalah untuk memberkati semua keluarga di bumi; juga bahwa hanya orang-orang kudus ”zaman Injil” yang termasuk dalam kebangkitan pertama namun kumpulan besar orang akan mendapat kesempatan untuk diselamatkan oleh kebangkitan yang terjadi setelahnya. Dr. Eaton menegaskan, namun Saudara Russell menyangkal, bahwa tidak akan ada masa pencobaan sesudah kematian bagi siapa pun; bahwa semua yang diselamatkan akan masuk surga; dan bahwa orang jahat yang tidak dapat diinsafkan lagi akan mengalami siksaan kekal. Suatu rangkaian yang terdiri dari enam debat mengenai pokok-pokok bahasan ini diadakan, setiap debat dilangsungkan di hadapan orang-orang yang memadati Balai Carnegie di Allegheny pada tahun 1903.

      Apa yang ada di balik tantangan untuk berdebat itu? Ditinjau berdasarkan perspektif sejarah, Albert Vandenberg belakangan menulis, ”Debat-debat tersebut dilangsungkan dan rohaniwan aliran Protestan yang berbeda-beda bertindak sebagai moderator dalam setiap diskusi. Selain itu, para rohaniwan dari berbagai gereja di daerah itu duduk di panggung pembicara bersama Pendeta Eaton, kemungkinan untuk memberi dukungan teks dan moral kepadanya. . . . Bahwa suatu persekutuan tidak resmi bahkan dapat terbentuk di antara para pemimpin agama Protestan menandakan bahwa mereka sebenarnya takut akan potensi Russell untuk menobatkan anggota-anggota agama mereka.”—”Charles Taze Russell: Pittsburgh Prophet, 1879-1909”, dimuat dalam The Western Pennsylvania Historical Magazine, Januari 1986, hlm. 14.

      Perdebatan seperti itu relatif sedikit. Mereka tidak memperoleh hasil yang diinginkan oleh persekutuan pemimpin agama. Beberapa jemaat Dr. Eaton sendiri, karena terkesan oleh apa yang mereka dengar selama rangkaian debat pada tahun 1903, meninggalkan gerejanya dan memilih untuk bergabung dengan Siswa-Siswa Alkitab. Bahkan seorang pemimpin agama yang hadir mengakui bahwa Russell telah ’mengarahkan pipa air ke neraka dan memadamkan apinya’. Meskipun demikian, Saudara Russell sendiri merasa bahwa perkara kebenaran dapat ditangani lebih baik dengan mengerahkan waktu dan upaya untuk kegiatan-kegiatan lain daripada perdebatan.

      Para pemimpin agama tidak berhenti menyerang. Sewaktu Saudara Russell berkhotbah di Dublin, Irlandia, dan di Otley, Yorkshire, Inggris, mereka menempatkan pria-pria di antara hadirin untuk meneriakkan sanggahan dan tuduhan palsu melawan Russell secara pribadi. Saudara Russell dengan tangkas menangani situasi-situasi tersebut, senantiasa mengandalkan Alkitab sebagai wewenang bagi jawaban-jawabannya.

      Para pemimpin agama Protestan, tidak soal dari aliran mana, bergabung dengan apa yang dikenal sebagai Perserikatan Evangelis. Wakil-wakil mereka di banyak negeri beragitasi (berpidato dengan berapi-api untuk mempengaruhi massa) menentang Russell serta orang-orang yang menyebarkan lekturnya. Sebagai contoh, di Texas (AS), Siswa-Siswa Alkitab mendapati bahwa setiap pengkhotbah, bahkan di kota-kota yang paling kecil dan distrik-distrik pedesaan, diperlengkapi dengan rangkaian tuduhan palsu yang sama terhadap Russell dan pemutarbalikan yang sama tentang apa yang diajarkannya.

      Akan tetapi, kadang-kadang serangan-serangan melawan Russell ini menghasilkan hal-hal yang tidak diharapkan oleh para pemimpin agama. Di New Brunswick, Kanada, ketika seorang pengkhotbah menggunakan mimbar untuk berkhotbah dengan kata-kata yang menghina Russell, ada seorang pria di antara hadirin yang secara pribadi telah membaca lektur yang ditulis oleh Saudara Russell. Ia merasa muak ketika pengkhotbah dengan sengaja mulai menyatakan hal-hal yang palsu. Kira-kira pada pertengahan khotbah, pria itu berdiri, memegang tangan istrinya, dan berseru kepada ketujuh putrinya yang turut menyanyi dalam paduan suara, ”Mari, anak-anak, kita pulang saja.” Kesembilan orang itu berjalan ke luar, dan sang pemimpin agama memandang seraya pria yang telah membangun gereja dan adalah penyumbang dana utama dari jemaat itu pergi. Tidak lama sesudah itu sidang jemaat tersebut menjadi berantakan, dan sang pengkhotbah pergi.

      Mengambil Langkah Mengejek dan Memfitnah

      Dalam upaya mereka yang nekad untuk memadamkan pengaruh C. T. Russell dan rekan-rekannya, para pemimpin agama melecehkan pengakuannya sebagai seorang rohaniwan Kristen. Dengan alasan-alasan yang serupa, para pemimpin agama Yahudi abad pertama memperlakukan rasul Petrus dan rasul Yohanes sebagai ”orang biasa yang tidak terpelajar”.—Kis. 4:13.

      Saudara Russell bukan lulusan dari salah satu sekolah teologi Susunan Kristen. Namun dengan berani ia mengatakan, ”Kami menantang [para pemimpin agama] untuk membuktikan bahwa mereka pernah menerima pelantikan Ilahi atau bahwa mereka pernah memikirkan hal itu. Mereka semata-mata memikirkan tentang pelantikan, atau wewenang, dalam ruang lingkup sekte, masing-masing dari sekte atau golongannya sendiri. . . . Pelantikan, atau wewenang dari Allah kepada seseorang untuk mengabar adalah dengan pencurahan Roh Kudus atas dirinya. Siapa pun yang menerima Roh Kudus menerima kuasa dan wewenang untuk mengajar dan berkhotbah dalam nama Allah. Siapa pun yang tidak menerima Roh Kudus tidak memiliki wewenang atau persetujuan Ilahi atas khotbahnya.”—Yes. 61:1, 2.

      Agar reputasinya diragukan, beberapa pemimpin agama memberitakan dan mempublikasikan dusta-dusta keji mengenai dia. Salah satu yang sering mereka gunakan—sampai sekarang—menyangkut situasi perkawinan Saudara Russell. Kesan yang ingin mereka sampaikan ialah bahwa Russell tidak bermoral. Apa fakta-faktanya?

      Pada tahun 1879, Charles Taze Russell menikahi Maria Frances Ackley. Mereka memiliki hubungan yang baik selama 13 tahun. Kemudian pujian yang bersifat menjilat terhadap Maria dan sorotan orang lain terhadap harga dirinya mulai merongrong hubungan tersebut; namun ketika tujuan para penjilat itu menjadi jelas, ia tampaknya memperoleh kembali keseimbangannya. Sesudah seorang bekas rekan menyebarkan dusta tentang Saudara Russell, ia bahkan meminta izin kepada suaminya untuk mengunjungi sejumlah sidang guna menyangkal tuduhan-tuduhan itu, karena Saudara Russell dituduh telah menganiaya dia. Akan tetapi, sambutan baik yang diberikan kepadanya dalam perjalanan tersebut pada tahun 1894 rupanya telah menyumbang kepada perubahan secara bertahap dalam pandangan mengenai dirinya sendiri. Ia berupaya memperoleh suara yang lebih banyak bagi dirinya sendiri dalam mengarahkan apa yang akan muncul dalam Watch Tower.a Ketika ia menyadari bahwa tidak satu pun tulisannya akan dimuat kecuali jika suaminya, sang redaktur majalah, menyetujui isinya (atas dasar keselarasannya dengan Alkitab), ia menjadi sangat gelisah. Saudara Russell berupaya sungguh-sungguh untuk membantu istrinya, tetapi pada bulan November 1897, sang istri meninggalkan dia. Meskipun demikian, Saudara Russell memberikan kepadanya tempat tinggal dan tunjangan hidup. Bertahun-tahun kemudian, sesudah proses perkara pengadilan yang diadukan oleh sang istri pada tahun 1903, pengadilan memberikan keputusan kepadanya pada tahun 1908, bukan perceraian mutlak, melainkan perpisahan, dengan hak mendapat tunjangan.

      Setelah gagal memaksa suaminya tunduk kepada permintaan-permintaannya, ia berupaya keras untuk mendiskreditkan nama suaminya setelah ia meninggalkannya. Pada tahun 1903, ia menerbitkan sebuah risalah yang memuat, bukan kebenaran-kebenaran Alkitab, melainkan gambaran yang sangat keliru tentang Saudara Russell. Ia berupaya memperoleh bantuan dari rohaniwan-rohaniwan berbagai aliran agama untuk menyebarkan risalah-risalah itu di tempat-tempat Siswa-Siswa Alkitab mengadakan perhimpunan-perhimpunan istimewa. Para rohaniwan tersebut patut dipuji karena tidak banyak yang rela digunakan secara demikian pada waktu itu. Akan tetapi, para pemimpin agama lain sejak itu telah memperlihatkan semangat yang berbeda.

      Sebelumnya, Maria Russell, secara lisan dan tulisan, telah mencela mereka yang menuduh Saudara Russell melakukan hal-hal yang tidak terpuji dan tuduhan inilah yang kini ia sendiri lontarkan terhadapnya. Dengan menggunakan pernyataan-pernyataan yang belum dibuktikan kebenarannya dalam proses persidangan pada tahun 1906 (dan pernyataan-pernyataan yang dihapus dari catatan atas perintah pengadilan), beberapa penentang agama dari Saudara Russell telah mempublikasikan tuduhan-tuduhan yang dirancang untuk memberi kesan bahwa ia seorang yang amoral dan karenanya tidak layak menjadi rohaniwan Allah. Akan tetapi, catatan pengadilan jelas memperlihatkan bahwa tuduhan-tuduhan demikian adalah palsu. Pengacaranya sendiri bertanya kepada Ny. Russell apakah ia percaya bahwa suaminya bersalah karena zina. Ia menjawab, ”Tidak.” Patut diperhatikan juga bahwa ketika sebuah panitia yang terdiri dari penatua-penatua Kristen mendengar tuduhan-tuduhan Ny. Russell melawan suaminya pada tahun 1897, ia tidak menyebut apa-apa tentang hal-hal yang belakangan dinyatakannya dalam pengadilan guna meyakinkan juri bahwa ada dasar untuk mensahkan perceraian, walaupun peristiwa-peristiwa yang dituduhkan itu terjadi sebelum pertemuan tersebut.

      Sembilan tahun setelah Ny. Russell pertama kali membawa perkara ini ke pengadilan, Hakim James Macfarlane menulis sepucuk surat jawaban kepada seseorang yang berusaha memperoleh tembusan dokumen pengadilan agar salah seorang rekannya dapat mengekspos Russell. Hakim itu dengan terus terang berkata kepadanya bahwa keinginannya itu hanya akan membuang waktu dan uang saja. Suratnya berbunyi, ”Alasan untuk permohonan beliau dan surat keputusan berdasarkan keputusan juri adalah ’penghinaan’ dan bukan zina dan sepanjang pengetahuan saya, tidak ada kesaksian yang menunjukkan bahwa Russell menempuh ’kehidupan zina dengan orang ketiga (orang yang disebutkan telah berzina dengan tertuduh)’. Dalam kenyataannya, tidak ada orang ketiga.”

      Pengakuan yang sudah terlambat dari Maria Russell sendiri datang pada saat pemakaman Saudara Russell di Balai Carnegie di Pittsburgh pada tahun 1916. Dengan mengenakan kerudung, ia berjalan menyusuri gang antara deretan tempat duduk menuju ke peti jenazah dan meletakkan di sana seikat bunga bakung lembah. Pada bunga itu terikat sebuah pita dengan kata-kata, ”Kepada Suamiku yang Kukasihi.”

      Jelaslah bahwa para pemimpin agama telah menggunakan taktik serupa seperti yang digunakan oleh padanan mereka pada abad pertama. Dahulu, mereka berupaya merusak reputasi Yesus dengan menuduh bahwa ia makan bersama pedosa-pedosa dan bahwa ia sendiri adalah seorang pedosa dan penghujah. (Mat. 9:11; Yoh. 9:16-24; 10:33-37) Tuduhan-tuduhan demikian tidak mengubah kebenaran tentang Yesus, tetapi justru mengekspos bahwa bapa rohani mereka yang menggunakan fitnah demikian—dan mengekspos bahwa bapa rohani mereka yang menggunakan taktik yang sama dewasa ini—adalah si Iblis, yang namanya berarti ”Pendusta”.—Yoh. 8:44.

      Menggunakan Demam Perang untuk Mencapai Tujuan Mereka

      Dengan adanya demam nasionalisme yang menyapu dunia selama perang dunia pertama, senjata baru ditemukan dan digunakan untuk melawan Siswa-Siswa Alkitab. Permusuhan para pemimpin agama Protestan dan Katolik Roma dapat dilampiaskan di balik perisai patriotisme. Mereka menarik keuntungan dari histeria masa perang untuk mencap Siswa-Siswa Alkitab sebagai orang-orang yang suka menghasut—tuduhan sama yang dilontarkan terhadap Yesus Kristus dan rasul Paulus oleh para pemimpin agama abad pertama di Yerusalem. (Luk. 23:2, 4; Kis. 24:1, 5) Tentu saja, supaya para pemimpin agama dapat melontarkan tuduhan demikian, mereka sendiri harus menjadi pejuang aktif dari kekuatan perang, tetapi hal itu agaknya tidak menjadi masalah bagi kebanyakan dari antara mereka, sekalipun itu berarti pemuda-pemuda harus dikirim untuk membunuh anggota-anggota agama mereka sendiri di negeri lain.

      Pada bulan Juli 1917, sesudah Russell meninggal, Lembaga Menara Pengawal mengumumkan terbitnya buku The Finished Mystery, sebuah pembahasan mengenai Wahyu dan Yehezkiel serta Kidung Agung. Buku tersebut dengan terus terang membeberkan kemunafikan para pemimpin agama Susunan Kristen! Buku itu disebarluaskan dalam waktu yang relatif singkat. Menjelang akhir bulan Desember 1917 dan awal tahun 1918, Siswa-Siswa Alkitab di Amerika Serikat dan Kanada juga menyebarkan 10.000.000 risalah The Bible Students Monthly yang memuat berita yang pedas. Risalah berukuran tabloid dengan empat halaman ini berjudul ”Kejatuhan Babel”, dan ada judul kecil ”Mengapa Susunan Kristen Harus Menderita Sekarang—Hasil Akhirnya”. Risalah tersebut mengidentifikasi organisasi agama Katolik maupun Protestan sebagai Babel zaman modern, yang harus segera jatuh. Untuk mendukung kata-kata tersebut, risalah itu memuat kembali pembahasan The Finished Mystery mengenai nubuat-nubuat yang menyatakan penghakiman ilahi terhadap ”Babel yang Mistik”. Pada halaman belakang terdapat gambar kartun yang memperlihatkan sebuah tembok yang runtuh. Batu-batu besar dari tembok diberi nama seperti ”Doktrin Tritunggal (’3 X 1 = 1’)”, ”Jiwa yang Tak Berkematian”, ”Teori Siksaan Kekal”, ”Protestanisme—kredo, golongan pemimpin agama, dsb.”, ”Romaisme—golongan paus, golongan kardinal, dsb., dsb.”—dan semuanya itu berjatuhan.

      Para pemimpin agama geram karena penyingkapan demikian, sama seperti para pemimpin agama Yahudi dahulu ketika Yesus menyingkapkan kemunafikan mereka. (Mat. 23:1-39; 26:3, 4) Di Kanada para pemimpin agama cepat bereaksi. Pada bulan Januari 1918, lebih dari 600 pemimpin agama di Kanada menandatangani sebuah petisi yang memohon kepada pemerintah agar memberangus publikasi-publikasi dari International Bible Students Association. Sebagaimana dilaporkan dalam surat kabar Winnipeg Evening Tribune, sesudah Charles G. Paterson, pastor dari Gereja St. Stephen di Winnipeg, mengecam The Bible Students Monthly, yang memuat artikel ”Kejatuhan Babel” dari mimbar, Jaksa Agung Johnson menghubungi dia untuk memperoleh satu eksemplar. Tidak lama kemudian, pada tanggal 12 Februari 1918, suatu dekrit pemerintah Kanada menyatakan bila seseorang didapati memiliki buku The Finished Mystery atau risalah yang ditunjukkan di atas dapat terkena hukuman denda dan pemenjaraan.

      Pada bulan itu juga, tanggal 24 Februari, Saudara Rutherford, presiden yang baru terpilih dari Lembaga Menara Pengawal, berbicara di Amerika Serikat di Temple Auditorium di Los Angeles, Kalifornia. Pokok pembicaraannya mencengangkan, ”Dunia Telah Berakhir—Jutaan Orang yang Sekarang Hidup Mungkin Tidak Pernah Mati”. Dalam mengemukakan bukti bahwa dunia sebagaimana dikenal hingga waktu itu benar-benar telah berakhir pada tahun 1914, ia menunjuk kepada peperangan yang ketika itu sedang berlangsung, bersama dengan bencana kelaparan yang menyertainya, dan mengidentifikasikannya sebagai bagian dari tanda yang dinubuatkan oleh Yesus. (Mat. 24:3-8) Kemudian ia memusatkan perhatian kepada para pemimpin agama, dengan berkata,

      ”Sebagai suatu golongan, menurut Alkitab, para pemimpin agama adalah orang-orang yang paling bertanggung jawab di bumi atas peperangan besar yang kini melanda umat manusia. Selama 1.500 tahun mereka telah mengajarkan kepada orang-orang doktrin setan tentang hak ilahi bagi raja-raja untuk memerintah. Mereka telah memadukan politik dan agama, gereja dan negara; telah terbukti tidak loyal kepada hak istimewa yang diberikan Allah untuk mengumumkan berita tentang kerajaan Mesias, dan telah merelakan diri untuk menganjurkan para penguasa agar percaya bahwa raja memerintah dengan hak ilahi dan oleh karena itu apa pun yang dilakukannya adalah benar.” Dengan menunjukkan akibatnya, ia berkata, ”Raja-raja yang ambisius di Eropa mempersenjatai diri untuk berperang, karena mereka ingin merebut daerah bangsa-bangsa lain; dan para pemimpin agama memberkati mereka dan berkata, ’Berbuatlah sesuka Anda, Anda tidak dapat berbuat salah; apa pun yang Anda lakukan adalah baik.’” Namun bukan hanya para pemimpin agama di Eropa yang melakukan hal tersebut, dan para pengkhotbah di Amerika mengetahuinya.

      Laporan yang panjang lebar tentang khotbah ini dimuat keesokan harinya dalam surat kabar Morning Tribune di Los Angeles. Para pemimpin agama begitu marah sehingga asosiasi rohaniwan mengadakan pertemuan pada hari itu juga dan mengutus presiden mereka ke para manajer surat kabar itu dan memberitahukan bahwa mereka sangat tidak senang. Setelah itu, terdapat masa yang penuh gangguan terus-menerus yang dilancarkan kepada kantor-kantor Lembaga Menara Pengawal oleh anggota-anggota biro intelijen pemerintah.

      Selama masa dengan perasaan nasionalisme yang meluap-luap ini, suatu konferensi para pemimpin agama diadakan di Philadelphia, di Amerika Serikat, dan pada konferensi tersebut sebuah resolusi diambil yang meminta diadakannya revisi atas Undang-Undang Spionase sehingga mereka yang dituduh melanggarnya dapat diadili oleh mahkamah militer dan diancam dengan hukuman mati. John Lord O’Brian, asisten khusus jaksa agung untuk urusan perang, dipilih untuk mengajukan perkara itu kepada Senat. Presiden Amerika Serikat tidak mengizinkan rancangan undang-undang tersebut menjadi undang-undang. Namun Mayor Jenderal James Franklin Bell, dari Angkatan Bersenjata AS, dalam luapan amarah membocorkan kepada J. F. Rutherford dan W. E. Van Amburgh mengenai apa yang telah terjadi pada konferensi itu dan niat untuk menggunakan rancangan undang-undang tersebut melawan para pengurus Lembaga Menara Pengawal.

      Berkas-berkas resmi dari pemerintahan AS menunjukkan bahwa sedikitnya sejak tanggal 21 Februari 1918 dan seterusnya, John Lord O’Brian secara pribadi terlibat dalam upaya menyusun suatu kasus hukum melawan Siswa-Siswa Alkitab. Dokumen Kongres tertanggal 24 April dan 4 Mei memuat memorandum-memorandum dari John Lord O’Brian yang dengan sengit berargumen bahwa jika hukum mengizinkan ucapan tentang ”apa yang benar, dengan motif yang baik, dan untuk tujuan yang dapat dibenarkan”, sebagaimana dinyatakan dalam apa yang dinamakan Amandemen Prancis untuk Undang-Undang Spionase dan sebagaimana telah didukung oleh Senat AS, maka ia tidak dapat menuntut Siswa-Siswa Alkitab dengan sukses.

      Di Worcester, Massachusetts, ”Pdt.” B. F. Wyland selanjutnya mengeksploitasi demam perang dengan menegaskan bahwa Siswa-Siswa Alkitab melancarkan propaganda untuk musuh. Ia menerbitkan sebuah artikel dalam surat kabar Daily Telegram dengan pernyataan, ”Salah satu kewajiban patriotik Anda yang dihadapkan kepada Anda sebagai warga negara adalah pemberangusan International Bible Students Association, yang berkantor pusat di Brooklyn. Dengan berkedok agama, mereka telah melancarkan propaganda Jerman di Worcester dengan menjual buku mereka, ’The Finished Mystery’.” Dengan terus terang ia mengatakan kepada kalangan berwenang bahwa mereka wajib menangkap Siswa-Siswa Alkitab dan mencegah pertemuan-pertemuan mereka selanjutnya.

      Pada musim semi dan musim panas tahun 1918 terjadilah penganiayaan di banyak tempat terhadap Siswa-Siswa Alkitab, di Amerika Utara maupun di Eropa. Penghasutnya antara lain para pemimpin agama gereja Baptis, Metodis, Episkopal, Luteran, Katolik Roma dan gereja-gereja lainnya. Lektur Alkitab dirampas oleh para petugas tanpa surat perintah, dan banyak Siswa-Siswa Alkitab dipenjarakan. Yang lain-lain dikejar oleh gerombolan, dipukul, dicambuk, dilumuri dengan ter dan ditempeli bulu ayam, atau dihajar hingga tulang rusuk patah atau kepala terluka. Beberapa menjadi cacat seumur hidup. Pria dan wanita Kristen ditahan dalam penjara tanpa tuduhan atau tanpa diadili. Lebih dari seratus kasus spesifik mengenai perlakuan yang memalukan demikian dilaporkan dalam The Golden Age tanggal 29 September 1920.

      Dituduh Sebagai Mata-Mata

      Puncak serangan terjadi pada tanggal 7 Mei 1918, ketika surat perintah federal dikeluarkan di Amerika Serikat untuk menangkap J. F. Rutherford, presiden Watch Tower Bible and Tract Society, dan rekan-rekannya yang terdekat.

      Sehari sebelumnya, di Brooklyn, New York, dua dakwaan diajukan terhadap Saudara Rutherford dan rekan-rekannya. Jika hasil-hasil yang diinginkan tidak diperoleh dari kasus yang satu, maka dakwaan lainnya dapat ditempuh. Dakwaan pertama, yang memberikan tuntutan terhadap lebih banyak orang, mencakup empat tuduhan: Dua tuduhan tentang berkomplot untuk melanggar Undang-Undang Spionase tertanggal 15 Juni 1917; dan dua tuduhan tentang upaya untuk melaksanakan rencana-rencana mereka yang tidak sah atau memang telah melakukannya. Mereka dituduh berkomplot untuk menimbulkan pembangkangan terhadap perintah dan penolakan tugas di kalangan angkatan bersenjata Amerika Serikat dan bahwa mereka berkomplot untuk menghalangi pengerahan dan pendaftaran pria-pria untuk dinas demikian pada waktu negara sedang berperang, juga bahwa mereka telah berupaya untuk melakukan atau memang telah melakukan kedua hal ini. Dakwaan itu secara khusus menyebutkan penerbitan dan pengedaran buku The Finished Mystery. Dakwaan kedua menafsirkan bahwa pengiriman sebuah cek ke Eropa (yang dimaksudkan untuk digunakan dalam pekerjaan pendidikan Alkitab di Jerman) berlawanan dengan kepentingan Amerika Serikat. Ketika para terdakwa dibawa ke pengadilan, maka dakwaan pertama, yakni dakwaan dengan empat tuduhan, yang dituduhkan.

      Namun dakwaan lain terhadap C. J. Woodworth dan J. F. Rutherford di bawah Undang-Undang Spionase pada waktu itu sedang ditangguhkan di Scranton, Pennsylvania. Namun, menurut sepucuk surat dari John Lord O’Brian tertanggal 20 Mei 1918, anggota-anggota dari Departemen Kehakiman khawatir bahwa Hakim Distrik AS, Witmer yang menangani pengadilan kasus itu, tidak akan setuju apabila mereka menggunakan Undang-Undang Spionase untuk memberangus kegiatan orang-orang yang, karena keyakinan agama yang tulus, mengatakan hal-hal yang mungkin ditafsirkan oleh orang lain sebagai propaganda anti perang. Maka Departemen Kehakiman menangguhkan kasus Scranton, menunggu hasil kasus di Brooklyn. Pemerintah juga mengendalikan situasi sehingga Hakim Harland B. Howe, dari Vermont, yang diketahui oleh John Lord O’Brian setuju dengan pendiriannya mengenai perkara-perkara demikian, ditunjuk sebagai hakim yang menangani kasus Pengadilan Distrik AS, untuk Distrik New York Bagian Timur. Pengadilan kasus itu mulai berlangsung pada tanggal 5 Juni, dengan Isaac R. Oeland dan Charles J. Buchner, seorang Katolik Roma, sebagai jaksa penuntut. Selama pengadilan berlangsung, Saudara Rutherford memperhatikan bahwa para imam Katolik sering berunding dengan Buchner dan Oeland.

      Seraya kasus itu berjalan, ditunjukkan bahwa para pengurus Lembaga dan para penyusun buku itu tidak berniat mencampuri upaya negara untuk berperang. Bukti yang diajukan selama pengadilan menunjukkan bahwa rencana penulisan buku itu—sesungguhnya, penulisan hampir seluruh manuskripnya—telah terjadi sebelum Amerika Serikat menyatakan perang (pada tanggal 6 April 1917) dan bahwa kontrak asli untuk penerbitan telah ditandatangani sebelum Amerika Serikat mensahkan undang-undang (pada tanggal 15 Juni) yang dikatakan telah dilanggar oleh mereka.

      Pihak penuntut menonjolkan bagian-bagian yang ditambahkan kepada buku itu yang dibuat selama bulan April dan Juni 1917, pada saat tahap pemrosesan buku itu dan pembacaan proofs (cetakan percobaan). Ini mencakup sebuah kutipan dari John Haynes Holmes, seorang pemimpin agama yang telah menyatakan dengan tegas bahwa perang merupakan pelanggaran atas Kekristenan. Sebagaimana dinyatakan oleh salah seorang pembela, komentar pemimpin agama itu, yang diterbitkan di bawah judul A Statement to My People on the Eve of War masih dijual di pasaran Amerika Serikat pada saat pengadilan berlangsung. Sang pemimpin agama ataupun si penerbit tidak diadili karena hal itu. Namun justru Siswa-Siswa Alkitab yang merujuk kepada khotbahnya yang dianggap bersalah karena perasaan yang tercetus di dalamnya.

      Buku ini tidak mengatakan kepada masyarakat di dunia bahwa mereka tidak berhak terlibat dalam peperangan. Namun, dalam menjelaskan nubuat, buku itu memang mengutip petikan-petikan dari terbitan The Watch Tower tahun 1915 untuk menunjukkan betapa tidak konsistennya para pemimpin agama yang mengaku sebagai rohaniwan Kristus namun bertindak sebagai agen perekrut tenaga untuk negara yang sedang berperang.

      Sewaktu diberitahu bahwa pemerintah keberatan terhadap buku itu, Saudara Rutherford segera mengirim telegram kepada percetakan untuk menghentikan produksinya, dan bersamaan waktu, seorang wakil Lembaga diutus ke seksi intelijen Angkatan Bersenjata AS untuk mencari tahu apa yang menjadi keberatan mereka. Ketika diberi tahu bahwa karena perang yang saat itu sedang berlangsung, halaman 247-53 dari buku itu dianggap tidak dapat disetujui, maka Lembaga memberi petunjuk agar halaman-halaman tersebut disingkirkan dari semua buku sebelum ditawarkan kepada umum. Dan sewaktu pemerintah memberi tahu para jaksa distrik bahwa peredaran selanjutnya merupakan pelanggaran atas Undang-Undang Spionase (walaupun pemerintah menolak menyatakan pendapatnya kepada Lembaga atas buku itu dalam bentuknya yang sudah berubah), Lembaga memberikan pengarahan agar semua pengedaran buku itu kepada umum ditangguhkan.

      Mengapa Hukumannya Begitu Berat?

      Tanpa mempedulikan semua ini, pada tanggal 20 Juni 1918, juri memberikan keputusan bersalah kepada setiap terdakwa atas setiap tuduhan dalam dakwaan. Keesokan harinya, tujuhb orang dari antara mereka dihukum dengan empat masa hukuman yang masing-masing 20 tahun lamanya, dan yang harus dijalani bersamaan waktu. Pada tanggal 10 Juli, kedelapan orang ituc dijatuhi hukuman empat masa hukuman, masing-masing selama 10 tahun yang dijalani bersamaan waktu. Seberapa beratkah hukuman-hukuman tersebut? Dalam sebuah memo kepada jaksa agung pada tanggal 12 Maret 1919, presiden AS Woodrow Wilson mengakui bahwa ”masa-masa pemenjaraan itu jelas berlebihan.” Kenyataannya, oknum yang menembak di Sarajevo yang membunuh putra mahkota Kekaisaran Austria-Hongaria—yang insidennya telah memicu peristiwa-peristiwa yang menjerumuskan bangsa-bangsa ke kancah Perang Dunia I—tidak dihukum lebih berat. Hukumannya dipenjarakan 20 tahun—bukan empat masa hukuman yang masing-masing 20 tahun lamanya, sebagaimana halnya Siswa-Siswa Alkitab!

      Motivasi apa yang ada di balik masa hukuman penjara yang begitu berat atas Siswa-Siswa Alkitab? Hakim Harland B. Howe menyatakan, ”Menurut pendapat Pengadilan, propaganda agama yang dengan penuh gairah didukung dan disebarkan oleh para terdakwa ini ke seluruh negeri maupun di kalangan sekutu kita, merupakan bahaya yang lebih besar daripada satu divisi Angkatan Bersenjata Jerman. . . . Seorang yang memberitakan agama biasanya memiliki banyak pengaruh, dan jika ia tulus, justru menjadi lebih efektif. Hal ini memberatkan, sebaliknya daripada meringankan kesalahan yang telah mereka lakukan. Oleh karena itu, sebagai satu-satunya hal bijaksana yang dapat dilakukan terhadap orang-orang demikian, maka Mahkamah telah memutuskan bahwa hukumannya harus berat.” Akan tetapi, patut pula diperhatikan, bahwa sebelum menjatuhkan hukuman, Hakim Howe mengatakan bahwa pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh para pembela bagi para terdakwa telah mempertanyakan dan memperlakukan secara pedas bukan hanya para penegak hukum pemerintahan melainkan ”semua rohaniwan di seluruh negeri”.

      Keputusan itu segera ditanggapi dengan naik banding kepada pengadilan banding AS tingkat wilayah. Namun permohonan bebas dengan uang jaminan sambil menantikan pemeriksaan naik banding tersebut ditolak secara sewenang-wenang oleh Hakim Howe,d dan pada tanggal 4 Juli, sebelum permohonan bebas dengan uang jaminan yang ketiga dan terakhir ini dapat diperiksa, tujuh orang saudara yang pertama dengan tergesa-gesa dipindahkan ke rumah tahanan federal di Atlanta, Georgia. Sesudah itu, diperlihatkan adanya 130 kesalahan dalam prosedur pengadilan yang sarat akan prasangka itu. Upaya berbulan-bulan dikerahkan untuk mempersiapkan surat-surat yang diperlukan guna pemeriksaan naik banding. Sementara itu, perang berakhir. Pada tanggal 19 Februari 1919, kedelapan saudara dalam penjara mengirimkan imbauan untuk klemensi eksekutif kepada Woodrow Wilson, presiden Amerika Serikat. Surat-surat lain yang mendesak agar saudara-saudara itu dibebaskan, dikirim oleh sejumlah besar warga negara kepada jaksa agung yang baru diangkat. Kemudian, pada tanggal 1 Maret 1919, sebagai jawaban atas pertanyaan dari jaksa agung, Hakim Howe merekomendasikan ”peringanan segera” dari hukuman penjara. Sementara ini akan meringankan hukuman, hal itu juga akan berpengaruh dalam hal mengukuhkan kesalahan para terdakwa. Sebelum hal ini dapat dilakukan, para pembela saudara-saudara menyampaikan surat perintah pengadilan kepada jaksa AS yang membawa kasus itu ke hadapan pengadilan banding.

      Sembilan bulan sesudah Rutherford dan rekan-rekannya dihukum—dan dengan berlalunya perang—pada tanggal 21 Maret 1919, pengadilan banding memerintahkan agar delapan orang terdakwa seluruhnya dibebaskan dengan uang jaminan, dan pada tanggal 26 Maret, mereka dibebaskan di Brooklyn dengan uang jaminan sebesar 10.000 dolar masing-masing. Pada tanggal 14 Mei 1919, pengadilan banding tingkat wilayah AS di New York menetapkan, ”Para terdakwa dalam kasus ini tidak menjalani pengadilan yang tidak memihak dan tidak berat sebelah yang seharusnya menjadi hak mereka, dan untuk alasan itu keputusannya diubah.” Kasus itu dilimpahkan kembali agar dapat diadakan pengadilan baru. Akan tetapi, pada tanggal 5 Mei 1920, setelah para terdakwa, karena menerima panggilan, muncul di pengadilan, lima kali, jaksa penuntut di pihak pemerintah, dalam sidang terbuka di Brooklyn, mengumumkan bahwa tuntutan ditarik kembali.e Mengapa? Sebagaimana tersingkap dalam surat-surat yang disimpan dalam Arsip Nasional AS, Departemen Kehakiman takut bahwa jika permasalahan itu dikemukakan kepada suatu juri yang tidak berat sebelah, sedangkan histeria perang sudah tidak ada lagi, dalam kasus itu mereka akan kalah. Jaksa AS yakni L. W. Ross menyatakan dalam sepucuk surat kepada jaksa agung, ”Saya pikir, demi hubungan kita dengan masyarakat umum, adalah lebih baik jika atas prakarsa kita sendiri” menyatakan bahwa kasus itu tidak akan dituntut lebih lanjut.

      Pada hari yang sama, tanggal 5 Mei 1920, dakwaan alternatif yang telah dimasukkan pada bulan Mei 1918 terhadap J. F. Rutherford dan empat orang rekannya juga dibatalkan demi hukum.

      Siapa yang Sebenarnya Menghasut?

      Apakah semua ini benar-benar hasil hasutan para pemimpin agama? John Lord O’Brian menyangkalnya. Tetapi fakta-faktanya diketahui benar oleh mereka yang hidup pada waktu itu. Pada tanggal 22 Maret 1919 Appeal to Reason, sebuah surat kabar yang terbit di Girard, Kansas, memprotes, ”Para pengikut Pastor Russell, Dikejar oleh Kedengkian Para Pemimpin Agama ’Ortodoks’, Dihukum dan Dipenjarakan Tanpa Pembebasan Dengan Uang Jaminan, Walaupun Mereka Berupaya Sedapat Mungkin untuk Memenuhi Ketentuan-Ketentuan Hukum Spionase. . . . Kami menyatakan bahwa, tidak soal apakah Undang-Undang Spionase secara teknis dibenarkan menurut konstitusi atau menurut etika atau tidak, para pengikut Pastor Russell ini dihukum secara keliru di bawah ketentuan-ketentuannya. Suatu penelitian dengan pandangan terbuka terhadap bukti ini akan dengan cepat meyakinkan siapa pun bahwa orang-orang ini bukan saja tidak berniat untuk melanggar undang-undang itu, tetapi mereka memang tidak melanggarnya.”

      Bertahun-tahun kemudian, dalam buku Preachers Present Arms, Dr. Ray Abrams mengamati, ”Adalah penting bahwa begitu banyak pemimpin agama ambil bagian secara agresif dalam usaha melenyapkan para pengikut Russell [sebagai julukan yang menghina bagi Siswa-Siswa Alkitab]. Pertengkaran dan kebencian agama yang sudah sekian lama berlangsung, yang di masa damai sama sekali tidak dipertimbangkan oleh pengadilan, kini mendapat kesempatan untuk diajukan ke meja hijau di bawah serangan histeria masa perang.” Ia juga menyatakan, ”Suatu analisis dari seluruh kasus menghasilkan kesimpulan bahwa gereja-gereja dan para pemimpin agama sejak semula berada di belakang gerakan untuk membasmi Russellites (para pengikut Russell).”—Hlm. 183-5.

      Akan tetapi, berakhirnya perang tidak mengakhiri penganiayaan terhadap Siswa-Siswa Alkitab. Itu hanya membuka suatu era baru dalam sejarah penganiayaan terhadap mereka.

      Para Imam Melancarkan Tekanan Terhadap Polisi

      Dengan berakhirnya peperangan, permasalahan lain dikobarkan oleh para pemimpin agama untuk sedapat mungkin menghentikan kegiatan Siswa-Siswa Alkitab. Di Bavaria Katolik dan di daerah-daerah lain di Jerman, sejumlah besar penangkapan dilakukan pada tahun 1920-an di bawah undang-undang perdagangan keliling. Namun ketika kasus-kasus itu mulai ditangani oleh pengadilan tingkat banding, hakim-hakim biasanya berpihak kepada Siswa-Siswa Alkitab. Akhirnya, setelah pengadilan-pengadilan dibanjiri oleh ribuan kasus demikian, Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan suatu surat edaran pada tahun 1930 kepada semua pejabat polisi yang menyuruh mereka untuk tidak lagi memprakarsai tindakan hukum terhadap Siswa-Siswa Alkitab atas dasar undang-undang perdagangan keliling. Demikianlah, selama waktu yang singkat, tekanan dari sumber ini mengendur, dan Saksi-Saksi Yehuwa melangsungkan kegiatan mereka dalam skala yang luar biasa di ladang Jerman.

  • ”Sasaran Kebencian oleh Segala Bangsa”
    Saksi-Saksi Yehuwa—Pemberita Kerajaan Allah
    • [Kotak di hlm. 655]

      Pemimpin Agama Memperlihatkan Perasaan Mereka

      Reaksi dari majalah-majalah berkala agama terhadap hukuman yang dijatuhkan kepada J. F. Rutherford dan rekan-rekannya pada tahun 1918 menarik untuk diperhatikan:

      ◆ ”The Christian Register”, ”Apa yang di sini Pemerintah hantam secara langsung dan memautkan ialah anggapan bahwa gagasan-gagasan agama, betapapun gila dan merusak, dapat disebarluaskan tanpa mendapat hukuman. Anggapan itu adalah kekeliruan yang lama, dan hingga kini kita telah bersikap lalai sama sekali tentang hal itu. . . . Kelihatannya itulah akhir dari Russellisme.”

      ◆ ”The Western Recorder”, sebuah publikasi Baptis, berkata, ”Tidaklah mengherankan bahwa pemimpin dari aliran yang keras kepala ini harus dipenjarakan dalam salah satu tempat pengasingan bagi para pembangkang. . . . Yang benar-benar menjadi masalah rumit dalam kaitan ini ialah apakah para terdakwa harus dikirim ke sebuah rumah sakit jiwa atau sebuah penjara.”

      ◆ ”The Fortnightly Review” menarik perhatian kepada komentar surat kabar ”Evening Post” New York, yang mengatakan, ”Kami percaya bahwa guru-guru agama di mana-mana akan memberi perhatian kepada pendapat hakim ini bahwa mengajarkan suatu agama kecuali yang mutlak sesuai dengan hukum-hukum tertulis merupakan kejahatan yang serius yang semakin meningkat kadarnya jika, sebagai rohaniwan injil, Anda kebetulan harus bersikap tulus.”

      ◆ ”The Continent” dengan menghina menjuluki para tertuduh sebagai ”pengikut-pengikut dari almarhum ’Pastor’ Russell” dan memutarbalikkan kepercayaan mereka dengan mengatakan bahwa mereka mengaku ”bahwa semua kecuali para pedosa sepatutnya dibebaskan dari perang melawan kaisar Jerman.” Majalah ini menyatakan bahwa menurut jaksa agung di Washington DC, ”pemerintah Italia beberapa waktu yang lalu mengeluh kepada Amerika Serikat bahwa Rutherford dan rekan-rekannya . . . telah menyebarkan sejumlah propaganda anti perang di kalangan pasukan Italia.”

      ◆ Seminggu kemudian ”The Christian Century” mempublikasikan sebagian besar dari kutipan mengenai pokok di atas, memperlihatkan bahwa mereka setuju sepenuhnya.

      ◆ Majalah Katolik ”Truth” dengan singkat melaporkan hukuman yang dijatuhkan dan kemudian menyatakan perasaan para redakturnya, dengan berkata, ”Lektur dari perkumpulan ini sangat berbau busuk dengan serangan-serangan yang dahsyat atas Gereja Katolik dan para imamnya.” Dalam upaya mencap ”subversif” siapa pun yang kedapatan di depan umum tidak setuju terhadap Gereja Katolik, majalah ini menambahkan, ”Kian hari kian jelas bahwa semangat tidak toleran berkaitan erat dengan semangat subversif.”

      ◆ Dr. Ray Abrams, dalam bukunya ”Preachers Present Arms”, menyatakan pengamatannya, ”Ketika berita mengenai hukuman dua puluh tahun sampai ke meja para redaktur pers agama, praktis setiap orang dari publikasi-publikasi ini, besar dan kecil, bergembira atas peristiwa itu. Saya tidak berhasil menemukan sepatah pun kata simpati di setiap jurnal agama yang ortodoks.”

Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
Log Out
Log In
  • Indonesia
  • Bagikan
  • Pengaturan
  • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
  • Syarat Penggunaan
  • Kebijakan Privasi
  • Pengaturan Privasi
  • JW.ORG
  • Log In
Bagikan