-
Negeri-Negeri Bekas YugoslaviaBuku Tahunan Saksi-Saksi Yehuwa 2009
-
-
Sejarah Modern Bosnia dan Herzegovina
”Pada tanggal 16 Mei 1992, kami sekitar 13 orang berkumpul di sebuah apartemen sewaktu bom-bom mortir meledak dan menghujani Sarajevo dengan pecahan-pecahannya. Dua bom mortir menghantam gedung tempat kami berlindung. Meski kami berasal dari latar belakang Kroasia, Serbia, dan Bosnia—ketiga kelompok yang saling membunuh di luar sana—kami bersatu dalam ibadat murni. Menjelang fajar, ketika serangan bom mortir berkurang, kami meninggalkan apartemen untuk mencari tempat yang lebih aman. Seperti yang kami lakukan pada malam sebelumnya, kami berdoa kepada Yehuwa dengan suara keras, dan Ia mendengar kami.”—Halim Curi.
Sarajevo, yang berpenduduk lebih dari 400.000 orang, sedang mengalami pengepungan yang paling lama dan paling berbahaya dalam sejarah modern. Bagaimana saudara-saudari rohani kita menghadapi semua pertikaian etnik dan agama yang memorakporandakan negeri itu? Sebelum kami menceritakannya, marilah kita mencari tahu lebih banyak tentang Bosnia dan Herzegovina.
Negeri yang dikenal sebagai Bosnia dan Herzegovina terletak di jantung bekas Yugoslavia, dikelilingi Kroasia, Serbia, dan Montenegro. Ikatan budaya serta keluarga kuat, dan keramahtamahan sangat ditonjolkan. Menyeruput kopi Turki di rumah tetangga dan duduk-duduk di kafići (kedai kopi) merupakan pengisi waktu yang lazim. Meskipun memiliki ciri-ciri fisik yang tampaknya sama saja, penduduk Bosnia terdiri dari orang Bosnia, Serbia, dan Kroasia. Banyak dari mereka tidak begitu religius; namun, justru agamalah yang telah memecah-belah masyarakat. Kebanyakan orang Bosnia beragama Islam, sedangkan orang Serbia menjadi anggota Gereja Ortodoks Serbia dan orang Kroasia menjadi anggota Gereja Katolik Roma.
Dengan meningkatnya intoleransi agama dan kebencian etnik secara luar biasa pada awal tahun 1990-an, muncullah kebijakan yang memilukan yang disebut sapu bersih etnik. Pasukan tentara bergerak maju dan mengusir penduduk sipil—di desa-desa kecil maupun kota-kota besar—untuk menciptakan daerah-daerah yang hanya dihuni oleh kelompok agama mereka. Hal ini menghadirkan ujian kenetralan bagi saudara-saudari kita. Di Bosnia, sebagaimana di negeri-negeri bekas Yugoslavia lainnya, kebanyakan orang menganut agama orang tuanya, dan nama keluarga sering mengidentifikasi latar belakang agama keluarga. Sewaktu orang-orang berhati jujur menjadi hamba-hamba Yehuwa, mereka bisa dianggap mengkhianati keluarga serta tradisi. Namun, saudara-saudari kita telah mengetahui bahwa keloyalan kepada Yehuwa adalah perlindungan.
KOTA DIKEPUNG
Seperti yang kita lihat, saudara-saudari Yugoslavia sangat tersentuh oleh kasih serta persatuan yang diperlihatkan pada kebaktian ”Para Pencinta Kemerdekaan Ilahi” tahun 1991 di Zagreb, Kroasia. Kebaktian yang tak terlupakan ini memperkuat mereka untuk menghadapi pencobaan hebat di masa depan. Orang Bosnia, orang Serbia, dan orang Kroasia sebelumnya tinggal bersama dengan damai di Sarajevo. Namun tiba-tiba, pasukan tentara mengepung kota itu dan semua orang terjebak—termasuk saudara-saudari kita. Situasi politik bergejolak, dan tidak seorang pun tahu sampai berapa lama pertikaian akan berlangsung.
”Orang-orang kelaparan,” lapor Halim Curi, seorang penatua di Sarajevo. ”Setiap bulan, mereka hanya mendapat jatah beberapa kilogram tepung, seratus gram gula, dan 0,5 liter minyak. Tanah kosong mana pun yang ada di kota digunakan untuk menanam sayur-mayur. Pohon-pohon di Sarajevo ditebang untuk kayu bakar. Sewaktu tidak ada lagi pohon, mereka melepaskan pelapis lantai di apartemen mereka untuk bahan bakar memasak dan pemanas. Mereka memakai apa pun yang bisa dibakar, bahkan sepatu tua.”
Ketika Sarajevo dikepung, Ljiljana Ninković dan suaminya Nenad terperangkap dan terpisah dari dua putri mereka. ”Kami adalah keluarga biasa dengan dua anak, sebuah apartemen, dan sebuah mobil,” kata Ljiljana. ”Lalu, segala sesuatunya tiba-tiba berubah.”
Namun, mereka sering merasakan tangan perlindungan Yehuwa. ”Dua kali apartemen kami dibom hanya beberapa saat setelah kami keluar,” Ljiljana melanjutkan. ”Walaupun mengalami kesukaran ini, kami mendapatkan sukacita dalam hal-hal sederhana. Misalnya, kami senang pergi ke taman dan memetik daun dandelion untuk teman makan nasi putih. Kami belajar untuk merasa puas dengan apa yang kami miliki dan menghargainya.”
MENDAPATKAN MAKANAN JASMANI DAN ROHANI
Salah satu problem terbesar adalah memperoleh air. Di rumah-rumah, jarang ada air leding. Untuk mendapatkan air, orang harus berjalan sejauh lima kilometer melewati daerah yang menjadi target penembak gelap. Di tempat penampungan air, orang harus antre selama berjam-jam menunggu giliran mengisi wadah mereka, lalu mereka harus berjalan pulang dengan bersusah payah sambil membawa muatan air yang berat.
”Ujian datang sewaktu kami mendengar bahwa akan ada air di rumah selama waktu yang singkat,” lapor Halim. ”Maka, setiap orang harus mandi, mencuci baju, serta menampung dan menyimpan air di sebanyak mungkin wadah. Namun, bagaimana jika saat yang sudah lama ditunggu-tunggu itu bertepatan dengan jadwal perhimpunan? Kami harus memutuskan—pergi berhimpun atau tinggal di rumah untuk menampung air.”
Meskipun makanan jasmani perlu, saudara-saudari menghargai betapa pentingnya makanan rohani. Di perhimpunan, saudara-saudari tidak hanya menerima makanan rohani tetapi juga perincian tentang siapa-siapa yang dipenjarakan, yang terluka, atau bahkan yang tewas. ”Kami bagaikan satu keluarga,” cerita Milutin Pajić, yang melayani sebagai penatua. ”Saat kami berhimpun, kami tidak ingin pulang. Selesai perhimpunan, kami sering kali tinggal selama berjam-jam untuk berbicara tentang kebenaran.”
Kehidupan tidak mudah, dan saudara-saudari sering mengkhawatirkan nyawa mereka. Meskipun demikian, mereka mendahulukan kepentingan rohani. Sementara perang memorakporandakan negeri itu, umat Yehuwa semakin dekat dengan satu sama lain dan dengan Bapak surgawi mereka. Anak-anak memperhatikan keloyalan orang tua mereka dan memupuk keloyalan mereka sendiri yang tak tergoyahkan kepada Yehuwa.
Kota Bihać, yang terletak dekat perbatasan Kroasia, terisolasi selama hampir empat tahun. Orang-orang di sana tidak bisa keluar, dan bantuan kemanusiaan tidak bisa masuk. ”Yang paling sulit adalah pada awal perang,” tutur Osman Šaćirbegović, satu-satunya saudara di kota ini, ”bukan karena situasi yang sulit melainkan karena kami menghadapi sesuatu yang masih baru, sesuatu yang belum pernah kami alami. Sungguh menakjubkan, sewaktu tembakan-tembakan mortir mulai, kami tidak begitu tegang lagi karena segera menyadari bahwa tidak setiap granat mengakibatkan kematian. Bahkan ada granat yang tidak meledak.”
Karena tidak seorang pun bisa mengantisipasi berapa lama pertikaian akan berlangsung, rumah-rumah Betel di Zagreb, Kroasia, dan di Wina, Austria, mengkoordinasi pengaturan untuk menyimpan bahan bantuan kemanusiaan di Balai Kerajaan dan rumah para Saksi di Sarajevo, Zenica, Tuzla, Mostar, Travnik, dan Bihać. Seraya pertikaian berlanjut, kota-kota sering mendadak dikepung dan diisolasi. Sewaktu jalur pasokan secara tak terduga ditutup, persediaan cepat habis. Namun, meski berbagai kota di Bosnia terputus hubungan dengan dunia luar, persatuan persaudaraan Saksi-Saksi Yehuwa tetap tak terpatahkan. Ini sangat kontras dibandingkan dengan kebencian etnik dan agama yang melanda seluruh negeri bagaikan api yang menghancurkan.
BERSEMANGAT NAMUN BERHATI-HATI
Di samping tantangan untuk mendapat kebutuhan sehari-hari, ada bahaya dari para penembak gelap yang ditempatkan di sekitar Sarajevo, yang secara acak menembaki warga tidak bersalah. Serangan mortir terus menurunkan hujan kematian dari langit. Kadang-kadang, berjalan-jalan di kota-kota yang terkepung sangat berbahaya. Masyarakat hidup dalam ketakutan. Namun, dengan keberanian yang disertai hikmat, saudara-saudari kita tidak berhenti membagikan kabar baik Kerajaan kepada orang-orang yang sangat membutuhkan penghiburan.
”Dalam salah satu serangan yang lebih gencar atas Sarajevo,” cerita seorang penatua, ”ribuan bom mortir meledak hanya dalam satu hari saja. Pada hari Sabtu pagi itu, saudara-saudari menelepon para penatua dan bertanya, ’Di mana pertemuan dinas lapangan hari ini?’”
”Saya melihat bahwa orang-orang sangat membutuhkan kebenaran,” kata seorang saudari. ”Inilah yang membantu saya, tidak hanya untuk bertekun, tetapi juga untuk memiliki sukacita di bawah keadaan yang sukar.”
Banyak penduduk setempat menyadari bahwa mereka membutuhkan harapan Alkitab. ”Orang-orang mencari kami karena ingin belajar tentang Allah,” kata seorang saudara, ”bukan kami yang mencari mereka. Mereka datang sendiri ke Balai Kerajaan dan meminta PAR.”
Pekerjaan pengabaran selama perang mencapai banyak sukses berkat persatuan persaudaraan Kristen kita, yang tidak luput dari perhatian orang. ”Itu menjadi kesaksian besar,” cerita Nada Bešker, seorang saudari yang melayani sebagai perintis istimewa selama bertahun-tahun. ”Banyak orang melihat saudara-saudari Bosnia dan Serbia bekerja sama dalam pengabaran. Dan, sewaktu melihat seorang saudari Kroasia dan seorang saudari yang dulunya beragama Islam bersama-sama memberikan PAR kepada seorang Serbia, mereka pun tahu bahwa kita berbeda.”
Hasil semangat saudara-saudari kita terlihat hingga hari ini karena banyak saudara yang sekarang melayani Yehuwa menerima kebenaran pada masa perang. Misalnya, sidang di Banja Luka bertambah dua kali lipat, meskipun ada seratus penyiar yang pindah ke sidang-sidang lain.
KELUARGA YANG SETIA
Saudara-saudari kita selalu sangat berhati-hati. Namun, ada juga yang menjadi korban ”waktu dan kejadian yang tidak terduga” saat mereka berada di tempat kejadian. (Pkh. 9:11) Božo Ðorem, seorang Serbia, dibaptis di kebaktian internasional di Zagreb pada tahun 1991. Sekembalinya ke Sarajevo, ia dipenjarakan beberapa kali. Di sana, ia diperlakukan dengan kejam karena pendirian netralnya. Pada tahun 1994, ia dijatuhi hukuman penjara selama 14 bulan. Yang paling membuatnya menderita, ia harus berpisah dengan istrinya, Hena, dan putri mereka yang berusia lima tahun, Magdalena.
Tidak lama setelah Božo dibebaskan dari penjara, terjadilah musibah. Pada suatu sore yang tenang, mereka bertiga pergi untuk mengadakan pelajaran Alkitab di dekat rumah. Dalam perjalanan, keheningan tiba-tiba dibuyarkan oleh ledakan bom misil. Hena dan Magdalena tewas di tempat, dan Božo meninggal belakangan di rumah sakit.
KENETRALAN KRISTEN
Karena prasangka semakin menjadi-jadi, sama sekali tidak ada toleransi terhadap kenetralan. Di Banja Luka, sidang terutama terdiri dari saudara-saudara muda yang militer ingin gunakan untuk berperang. Karena tetap netral, mereka dipukuli.
”Polisi sering kali menginterogasi kami dan menyebut kami pengecut karena tidak mau membela keluarga,” kenang Osman Šaćirbegović.
Osman sering berbicara kepada polisi seperti ini, ”Senapan Bapak untuk melindungi Bapak, bukan?”
”Tentu,” jawab sang polisi.
”Maukah Bapak menukarkannya dengan meriam supaya lebih terlindung lagi?”
”Ya.”
”Maukah Bapak menukarkan meriam itu dengan tank?”
”Tentu saja.”
”Bapak melakukan semua itu supaya lebih terlindung lagi, ’kan,” kata Osman. ”Perlindungan saya datang dari Yehuwa, Allah yang mahakuasa, Pencipta alam semesta. Apakah ada perlindungan yang lebih baik daripada itu?” Maksudnya pun jelas, dan polisi tidak mengganggunya lagi.
BANTUAN KEMANUSIAAN TIBA
Meskipun saudara-saudari di negeri-negeri tetangga tahu bahwa Saksi-Saksi Bosnia menderita, untuk beberapa waktu bantuan kemanusiaan tidak mungkin disalurkan ke saudara-saudari yang membutuhkan. Kemudian, pada bulan Oktober 1993, kalangan berwenang mengisyaratkan bahwa ada kemungkinan bantuan kemanusiaan bisa masuk. Meskipun ada banyak bahaya, saudara-saudara kita memutuskan untuk memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya. Pada tanggal 26 Oktober, lima truk berangkat ke Bosnia dari Wina, Austria, dengan muatan 16 ton makanan dan kayu bakar. Bagaimana konvoi ini bisa melewati begitu banyak daerah yang masih dilanda pertempuran sengit?c
Dalam perjalanan ini, adakalanya saudara-saudara berada dalam bahaya besar. ”Pagi itu, saya berangkat kesiangan,” kenang salah seorang pengemudi, ”dan truk saya berada di belakang beberapa truk lain yang membawa bahan bantuan kemanusiaan. Sewaktu saya mendekati salah satu pos pemeriksaan, semua truk berhenti sementara para petugas memeriksa surat-surat. Tiba-tiba, saya mendengar bunyi senapan penembak gelap, dan kami melihat seorang pengemudi non-Saksi tertembak.”
Karena yang boleh masuk Sarajevo hanya pengemudi dan truknya, saudara-saudara lainnya yang ikut di dalam truk harus menunggu di luar kota. Karena masih ingin membesarkan hati saudara-saudari setempat, mereka mencari telepon, menghubungi para penyiar di Sarajevo, dan menyampaikan khotbah umum yang membina yang sangat dibutuhkan. Sering kali selama perang, para pengawas keliling, para anggota Betel, dan para anggota Panitia Negeri mempertaruhkan nyawa untuk membantu saudara-saudari agar tetap terpelihara hidup secara jasmani maupun rohani.
Selama hampir empat tahun, pengiriman mustahil sampai ke saudara-saudari kita di Bihać. Meskipun makanan jasmani tidak bisa melewati barikade yang mengisolasikan kota itu, saudara-saudari kita berhasil mendapat makanan rohani. Caranya? Mereka bisa mengakses saluran telepon dan mesin faks, sehingga secara berkala bisa menerima Pelayanan Kerajaan Kita dan Menara Pengawal. Publikasi itu diketik dan setiap keluarga mendapat satu salinan. Ketika perang mulai pecah, di sana hanya ada sebuah kelompok kecil yang terdiri dari tiga penyiar terbaptis. Bersama mereka, ada 12 penyiar belum terbaptis yang selama dua tahun dengan harap-harap cemas menunggu kesempatan yang cocok untuk melambangkan pembaktian kepada Yehuwa dengan baptisan air.
Terisolasi selama bertahun-tahun merupakan tantangan. ”Pelajar Alkitab saya tidak pernah menghadiri kebaktian atau dikunjungi pengawas wilayah,” cerita Osman. ”Kami sering membicarakan saatnya kami akan bisa lagi menikmati pergaulan dengan saudara-saudari.”
Bayangkan betapa senangnya saudara-saudari pada tanggal 11 Agustus 1995, ketika dua kendaraan, yang dengan berani memasang tanda ”Bantuan Kemanusiaan Saksi-Saksi Yehuwa”, bergerak memasuki Bihać. Itu adalah kendaraan pribadi pertama yang membawa bantuan kemanusiaan sejak kota dikepung! Dan, tibanya persis ketika saudara-saudari sudah merasa tidak tahan lagi—secara fisik dan mental.
Para tetangga di Bihać mengamati bagaimana saudara-saudari saling memperhatikan, misalnya dengan memperbaiki jendela-jendela yang pecah. ”Para tetangga saya terkesan,” kata Osman, ”karena mereka tahu kami tidak punya uang. Kesaksian ini begitu mengesankan sampai-sampai mereka masih membicarakannya hingga sekarang.” Di Bihać, sekarang ada sebuah sidang yang bersemangat dengan 34 penyiar dan 5 perintis.
PERJALANAN YANG TAK TERLUPAKAN!
Berulang-ulang, saudara-saudari kita mempertaruhkan nyawa untuk membawakan makanan dan lektur ke kota-kota di Bosnia yang diporakporandakan perang. Tetapi, perjalanan tanggal 7 Juni 1994 berbeda. Pagi-pagi sekali, sebuah konvoi tiga truk yang membawa para anggota Panitia Negeri dan pekerja-pekerja tambahan berangkat dari Zagreb, Kroasia. Tujuannya adalah menyampaikan bantuan kemanusiaan dan mempersembahkan acara kebaktian istimewa yang dipersingkat, yang pertama setelah tiga tahun!
Salah satu lokasi untuk acara khusus ini adalah kota Tuzla. Pada awal perang, hanya ada kira-kira 20 penyiar terbaptis di sidang. Betapa mengejutkan melihat lebih dari 200 orang berkumpul untuk mendengarkan acara kebaktian! Ada tiga puluh yang dibaptis. Sekarang, di Tuzla ada tiga sidang dan lebih dari 300 penyiar.
Di Zenica, saudara-saudara menemukan tempat berkumpul yang cocok, namun mereka kesulitan mendapatkan kolam untuk pembaptisan. Akhirnya, setelah mencari-cari, mereka menemukan sebuah drum yang bisa digunakan untuk membaptis. Satu-satunya problem adalah baunya—drum itu bekas menyimpan ikan! Namun para calon baptis, yang telah menerima undangan Yesus untuk menjadi ”penjala manusia”, pantang mundur. (Mat. 4:19) Herbert Frenzel, sekarang anggota Panitia Cabang Kroasia, hadir untuk menyampaikan khotbah baptisan. ”Para calon baptis sudah menunggu begitu lama untuk dibaptis,” lapornya, ”sehingga apa pun tidak akan menghalangi mereka! Setelah dibaptis, mereka merasa menang!” Sekarang, di Zenica ada sebuah sidang yang bersemangat dengan 68 penyiar.
Di Sarajevo, acara hanya bisa diadakan di dekat sebuah persimpangan yang menjadi sasaran penembak gelap. Setelah saudara-saudari tiba dengan selamat di tempat kebaktian, mereka menghadapi masalah untuk mendapatkan bukan saja tempat pembaptisan melainkan juga cara menghemat air yang berharga itu. Guna memastikan bahwa akan ada cukup air bagi semua calon baptis, mereka disuruh berbaris menurut ukuran tubuh dan dibaptis mulai dari yang terkecil hingga yang terbesar!
Sungguh menyenangkan suasana yang dinikmati saudara-saudari kita pada hari itu! Mereka tidak membiarkan kejadian mengerikan apa pun di sekitar mereka mengalahkan sukacita yang tak terbendung untuk beribadat bersama. Sekarang, di Sarajevo terdapat tiga sidang yang berkembang pesat.
SETELAH PRAHARA USAI
Karena jalur pasokan dibuka kembali, dalam bidang-bidang tertentu, kehidupan menjadi lebih mudah bagi saudara-saudari kita. Namun, sapu bersih etnik, dengan pengusiran paksa, terus berlanjut. Ivica Arabadžić, seorang penatua yang melayani di Kroasia, ingat ketika dipaksa meninggalkan rumah keluarganya di Banja Luka. ”Seorang pria bersenjata datang dan menyuruh kami pergi, dengan mengatakan bahwa sekarang rumah ini miliknya. Ia telah dipaksa meninggalkan rumahnya di Šibenik, Kroasia, karena ia orang Serbia. Sekarang, ia mau kami yang pergi. Seorang perwira polisi militer yang belajar dengan saya datang membantu kami. Meskipun tidak mungkin mempertahankan rumah kami, kami berhasil melakukan pertukaran—rumah kami dengan rumah orang Serbia itu. Tidak mudah meninggalkan rumah kami dan sidang yang telah membantu kami belajar kebenaran, tapi tidak ada pilihan. Sambil membawa sedikit sekali barang, kami pun berangkat mencari rumah ’baru’ kami di Kroasia. Akan tetapi, setibanya di Šibenik, sudah ada orang yang menempati rumah kosong yang semestinya menjadi milik kami. Apa yang bisa kami lakukan? Saudara-saudari langsung menyambut kami, dan seorang penatua mengizinkan kami tinggal di rumahnya selama setahun sampai problem perumahan kami dibereskan.”
Ketidakstabilan politik terus ada sampai hari ini, namun kebenaran berkembang pesat di Bosnia dan Herzegovina, di mana hampir 40 persen penduduknya beragama Islam. Sejak perang berakhir, saudara-saudara kita telah membangun Balai-Balai Kerajaan yang baru. Salah satu di antaranya, yang terletak di Banja Luka, bukan sekadar tempat berhimpun yang sangat dibutuhkan. Balai itu menggambarkan kemenangan hukum. Selama bertahun-tahun, saudara-saudara kita berupaya mendapat izin membangun Balai Kerajaan di daerah yang merupakan kantong Gereja Ortodoks Serbia ini. Setelah perang, meskipun sudah mendapat pengakuan hukum, saudara-saudara kita di Bosnia tidak diberi izin membangun Balai Kerajaan di Banja Luka. Akhirnya, setelah banyak berdoa dan berupaya dengan gigih, saudara-saudara memperoleh dokumen-dokumen yang diperlukan. Kemenangan itu merupakan preseden hukum untuk Balai-Balai Kerajaan berikutnya di bagian dari Bosnia dan Herzegovina ini.
Kebebasan beribadat membuka jalan untuk masuknya 32 perintis istimewa, yang banyak di antaranya berasal dari negeri-negeri lain, guna membantu di daerah-daerah yang lebih membutuhkan. Semangat mereka untuk pelayanan maupun keterpautan mereka yang loyal kepada prosedur teokratis benar-benar merupakan berkat.
Sarajevo, di mana baru satu dekade yang lalu saudara-saudari kita selalu terancam peluru penembak gelap, sekarang dengan penuh damai menjadi tuan rumah bagi para delegasi kebaktian dari semua daerah di bekas Yugoslavia. Meskipun perang-perang abad lalu telah memorakporandakan negeri bergunung-gunung yang indah ini, umat Yehuwa semakin dekat dalam ikatan ”kasih sayang persaudaraan yang tidak munafik”. (1 Ptr. 1:22) Sekarang, 16 sidang dengan 163 penyiar di Bosnia dan Herzegovina secara terpadu mendatangkan pujian kepada Allah yang benar, Yehuwa.
-
-
Negeri-Negeri Bekas YugoslaviaBuku Tahunan Saksi-Saksi Yehuwa 2009
-
-
[Kotak/Gambar di hlm. 195, 196]
Kami Berjanji untuk Kembali
HALIM CURI
LAHIR 1968
BAPTIS 1988
PROFIL Ia membantu mengorganisasi serta menyalurkan bantuan kemanusiaan di Sarajevo. Sekarang, ia melayani sebagai penatua, anggota Panitia Penghubung Rumah Sakit, dan wakil hukum Saksi-Saksi Yehuwa di Bosnia dan Herzegovina.
PADA tahun 1992, kota Sarajevo dikepung. Sewaktu tidak ada pengiriman lektur, kami mempelajari majalah-majalah yang lebih tua. Dengan menggunakan mesin tik tua, saudara-saudara mengetik artikel pelajaran yang ada. Meskipun hanya ada 52 penyiar, yang menghadiri perhimpunan ada lebih dari 200, dan kami mengadakan sekitar 240 PAR.
Pada bulan November 1993, selama masa perang yang terburuk, putri kami, Arijana, lahir. Itu adalah masa yang sulit untuk mengurus bayi. Tidak ada air leding atau listrik selama berminggu-minggu. Kami menggunakan perabot sebagai bahan bakar, dan untuk pergi ke perhimpunan kami harus melewati daerah-daerah berbahaya. Para penembak gelap menembak secara membabi buta, maka kami harus berlari melewati jalan serta barikade tertentu.
Pada suatu hari yang tenang, ketika saya, istri saya, bayi kami, dan Saudara Dražen Radišić sedang dalam perjalanan pulang dari perhimpunan, tiba-tiba terdengar letusan senapan mesin. Kami meniarap di jalan, tetapi saya tertembak di perut. Sakitnya luar biasa. Dari jendela mereka, banyak orang melihat apa yang terjadi, dan beberapa pemuda yang berani lari ke luar rumah untuk menyelamatkan kami. Saya dilarikan ke rumah sakit dan didesak untuk menerima transfusi darah. Saya menjelaskan kepada dokter bahwa hati nurani saya tidak mengizinkan saya menerima transfusi darah. Mereka menekan saya untuk mempertimbangkan kembali, namun saya bertekad, dan siap menghadapi konsekuensinya. Mereka pun mengoperasi saya selama dua setengah jam, dan saya pulih tanpa transfusi darah.
Setelah operasi, saya harus beristirahat, dan itu mustahil karena perang sedang berkecamuk. Kami memutuskan untuk mengunjungi keluarga kami di Austria. Namun, satu-satunya cara meninggalkan Sarajevo adalah melalui terowongan di bawah bandar udara. Terowongan itu panjangnya 900 meter dan tingginya kira-kira 120 sentimeter. Istri saya menggendong bayi kami, dan saya mencoba membawa koper. Tetapi, karena baru dioperasi, istri saya harus membantu saya.
Sulit melukiskan sukacita yang kami rasakan di Austria. Sewaktu meninggalkan Sarajevo, kami telah berjanji kepada saudara-saudari dan kepada Pencipta bahwa kami akan kembali. Sangat sulit untuk meninggalkan keluarga kami di Austria, khususnya ibu saya. Namun, kami menjelaskan tentang janji kami kepada Allah untuk kembali ke Sarajevo jika Ia membantu kami keluar dan beristirahat selama beberapa waktu. Mana mungkin kami sekarang mengatakan kepada Allah, ”Terima kasih telah membantu kami untuk datang ke sini. Kami benar-benar senang di sini, dan sekarang kami ingin tetap tinggal”. Selain itu, saudara-saudari di Sarajevo membutuhkan kami. Selama semua pengalaman ini, istri saya, Amra, sangat mendukung.
Maka, pada bulan Desember 1994, kami tiba di terowongan di Sarajevo. Kali ini, kami masuk ke Sarajevo dari luar. Melihat kami kembali melewati terowongan, orang-orang bertanya, ”Kalian mau apa? Semua orang mau keluar, kalian malah kembali ke kota yang terkepung?” Tidak ada kata-kata yang dapat menggambarkan reuni menyenangkan bersama saudara-saudari kita di Balai Kerajaan Sarajevo. Kami tidak pernah menyesal telah datang kembali.
-