-
Penguasa Kaya yang Membuat Pilihan BurukMenara Pengawal—2007 | 1 Oktober
-
-
Penguasa Kaya yang Membuat Pilihan Buruk
ADA seorang penguasa muda yang kaya, jujur, taat hukum, dan religius. Ia mendatangi Yesus, lalu berlutut dan bertanya, ”Guru, kebaikan apa yang harus kulakukan untuk memperoleh kehidupan abadi?”
Sebagai jawaban, Yesus menunjukkan bahwa untuk memperoleh kehidupan pria itu harus menjalankan perintah-perintah Allah. Sewaktu dimintai penjelasan yang lebih spesifik, Yesus mengatakan, ”Jangan membunuh, jangan berzina, jangan mencuri, jangan memberikan kesaksian palsu, hormatilah bapakmu dan ibumu, dan: engkau harus mengasihi sesamamu seperti dirimu sendiri.” Ini adalah perintah-perintah utama yang terdapat dalam Hukum yang diberikan kepada Musa. Pria itu kemudian mengatakan, ”Aku telah mematuhi semuanya itu; apa lagi yang masih kurang padaku?”—Matius 19:16-20.
Yesus ”menaruh kasih terhadapnya” dan mengatakan, ”Satu hal kurang padamu: Pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikan kepada orang miskin, dan engkau akan memperoleh harta di surga, dan mari jadilah pengikutku.”—Markus 10:17-21.
Tiba-tiba, penguasa muda itu dihadapkan pada keputusan yang berat. Apa yang akan ia lakukan? Apakah ia akan dengan rela melepaskan kekayaan materi dan menjadi pengikut Yesus, atau apakah ia akan mempertahankan hartanya? Apakah ia akan mengejar harta di bumi, atau apakah ia akan mencari harta di surga? Pastilah itu pilihan yang sulit baginya. Ia jelas berminat akan nilai-nilai rohani, karena ia menjalankan Hukum dan ingin tahu apa lagi yang harus ia lakukan untuk mendapat perkenan Allah. Apa keputusannya? Ia ”pergi dengan pedih hati, sebab dia memiliki banyak harta”.—Markus 10:22.
Keputusan penguasa muda itu tidak bijaksana. Seandainya ia menjadi pengikut Yesus yang setia, ia bisa memperoleh apa yang ia cari—kehidupan abadi. Kita tidak diberi tahu apa yang terjadi dengan pria muda itu. Namun, kita memang tahu bahwa sekitar 40 tahun kemudian, pasukan Romawi menghancurkan Yerusalem dan sebagian besar Yudea. Banyak orang Yahudi kehilangan kekayaan dan juga kehidupan mereka.
Kontras dengan penguasa muda itu, rasul Petrus dan murid-murid lain membuat pilihan yang baik. Mereka ”meninggalkan segala sesuatu” dan mengikuti Yesus. Betapa bermanfaatnya keputusan itu bagi mereka! Yesus memberi tahu mereka bahwa mereka akan menerima berkali-kali lebih banyak daripada apa yang telah mereka tinggalkan. Selain itu, mereka akan mewarisi kehidupan abadi. Keputusan yang mereka buat tidak perlu mereka sesali di kemudian hari.—Matius 19:27-29.
Kita semua harus membuat berbagai keputusan dalam kehidupan—ada yang kecil, ada yang besar. Apa nasihat Yesus tentang berbagai keputusan itu? Apakah Saudara akan menerima nasihatnya? Jika ya, Saudara akan diberkati dengan limpah. Sekarang, mari kita bahas bagaimana kita dapat mengikuti Yesus dan memperoleh manfaat dari apa yang ia katakan.
-
-
Pilihan-Pilihan yang Menghasilkan KebahagiaanMenara Pengawal—2007 | 1 Oktober
-
-
Pilihan-Pilihan yang Menghasilkan Kebahagiaan
”SEANDAINYA saja saya . . . ” Sudah berapa kali Saudara mengatakan hal itu kepada diri sendiri? Kita semua ingin membuat pilihan yang tidak akan kita sesali, khususnya apabila pilihan tersebut mempengaruhi haluan hidup kita. Namun, bagaimana kita dapat membuat pilihan yang menghasilkan kebahagiaan?
Pertama-tama, kita perlu memiliki standar yang benar-benar andal. Adakah standar seperti itu? Banyak orang mengatakan tidak ada. Menurut sebuah survei di Amerika Serikat, 75 persen mahasiswa tingkat akhir berpendapat bahwa tidak ada standar tentang apa yang benar dan salah, dan bahwa konsep tentang baik dan jahat berbeda-beda menurut ”nilai-nilai pribadi dan keanekaragaman budaya”.
Masuk akalkah untuk berpikir bahwa standar moral semata-mata soal pendapat pribadi atau pendapat yang populer? Tidak. Jika orang bebas melakukan sesukanya, akibatnya adalah kekacauan. Siapa yang mau hidup di tempat yang tidak ada hukum, tidak ada pengadilan, dan tidak ada polisi? Selain itu, pendapat pribadi bukan selalu pedoman yang andal. Kita mungkin memilih melakukan sesuatu yang kita yakini benar, tetapi belakangan baru sadar bahwa kita keliru. Sesungguhnya, seluruh sejarah manusia membuktikan kebenaran kaidah Alkitab ini, ”Manusia, yang berjalan, tidak mempunyai kuasa untuk mengarahkan langkahnya.” (Yeremia 10:23) Kalau begitu, ke mana kita bisa berpaling untuk memperoleh bimbingan ketika membuat keputusan mengenai masalah-masalah penting dalam kehidupan?
Penguasa muda yang disebut di artikel sebelumnya dengan bijaksana menemui Yesus. Seperti yang telah kita lihat, Yesus menjawab pertanyaan pria muda ini dengan mengacu ke Hukum Allah. Yesus mengakui bahwa Allah Yehuwa adalah Sumber pengetahuan dan hikmat tertinggi dan bahwa Ia tahu apa yang terbaik bagi makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Karena itu, Yesus mengatakan, ”Apa yang aku ajarkan bukanlah milikku, melainkan milik dia yang telah mengutus aku.” (Yohanes 7:16) Sesungguhnya, Firman Allah adalah sumber bimbingan yang andal yang akan membantu kita membuat pilihan yang bijaksana dalam kehidupan. Mari kita kupas beberapa prinsip yang terdapat dalam Firman Allah yang jika diterapkan akan menambah kebahagiaan kita.
Aturan Emas
Dalam Khotbah di Gunung yang terkenal, Yesus mengajarkan prinsip dasar yang dapat membantu kita membuat keputusan yang bijaksana dalam hubungan kita dengan orang lain. Inilah yang ia katakan, ”Karena itu, segala sesuatu yang kamu ingin orang lakukan kepadamu, demikian juga harus kamu lakukan kepada mereka.” (Matius 7:12) Prinsip tingkah laku ini sering disebut Aturan Emas.
Ada yang menggunakan pernyataan serupa tetapi dalam bentuk negatif, ”Jangan lakukan kepada orang lain, apa yang kamu tidak ingin orang lain lakukan kepadamu.” Untuk memperlihatkan perbedaan antara Aturan Emas dan bentuk negatifnya, perhatikan perumpamaan Yesus mengenai orang Samaria yang baik hati. Seorang Yahudi dipukuli dan dibiarkan sekarat di pinggir jalan. Seorang imam dan seorang Lewi melihatnya tetapi berjalan terus. Karena tidak melakukan apa pun yang menambah kemalangan orang itu, mereka dapat dikatakan bertindak menurut versi negatif Aturan Emas. Sebagai kontras, seorang Samaria yang lewat berhenti untuk menolong. Ia membalut luka-lukanya serta membawanya ke tempat penginapan. Ia melakukan bagi pria ini apa yang ia ingin orang lain lakukan baginya. Ia menerapkan Aturan Emas—dan membuat pilihan yang benar.—Lukas 10:30-37.
Ada banyak cara kita dapat menerapkan aturan tingkah laku ini dengan hasil-hasil yang menyenangkan. Misalkan ada sebuah keluarga yang pindah ke daerah Saudara. Maukah Saudara berinisiatif untuk berkenalan dan menyambut mereka? Saudara dapat membantu mereka mengenal daerah itu atau memberi mereka bantuan dengan cara lain. Dengan berinisiatif untuk memperlihatkan kepedulian yang baik hati, Saudara akan mengembangkan hubungan baik dengan tetangga baru Saudara. Saudara pun akan puas karena tahu bahwa Saudara telah melakukan apa yang menyenangkan Allah. Bukankah itu keputusan yang bijaksana?
Pilihan atas Dasar Kasih kepada Orang Lain
Selain Aturan Emas, Yesus memberikan petunjuk lain yang akan membantu Saudara membuat pilihan yang bijaksana. Ketika ditanya apa perintah terbesar dalam Hukum Musa, Yesus menjawab, ”’Engkau harus mengasihi Yehuwa, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap pikiranmu.’ Inilah perintah yang terbesar dan yang pertama. Perintah yang kedua, yang seperti itu, adalah ini, ’Engkau harus mengasihi sesamamu seperti dirimu sendiri.’ Pada kedua perintah ini tergantung seluruh Hukum dan Kitab Para Nabi.”—Matius 22:36-40.
Pada malam sebelum kematiannya, Yesus memberi murid-muridnya ”perintah baru”, untuk mengasihi satu sama lain. (Yohanes 13:34) Mengapa ia menyebut perintah itu sebagai perintah baru? Bukankah ia sudah menjelaskan bahwa mengasihi sesama mereka adalah salah satu dari kedua perintah yang padanya seluruh Hukum tergantung? Di bawah Hukum Musa, orang Israel diperintahkan, ”Engkau harus mengasihi sesamamu seperti dirimu sendiri.” (Imamat 19:18) Namun, Yesus kini memerintahkan murid-muridnya untuk melakukan lebih banyak lagi. Pada malam itu juga, Yesus memberi tahu murid-muridnya bahwa ia bakal menyerahkan kehidupannya bagi mereka. Lalu, ia memberi tahu mereka, ”Inilah perintahku, agar kamu mengasihi satu sama lain sebagaimana aku telah mengasihi kamu. Tidak seorang pun mempunyai kasih yang lebih besar daripada ini, bahwa seseorang menyerahkan jiwanya demi kepentingan sahabat-sahabatnya.” (Yohanes 15:12, 13) Ya, perintah ini baru dalam hal orang dituntut untuk mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingan sendiri.
Ada banyak cara kita dapat memperlihatkan kasih yang tidak mementingkan diri, melakukan lebih daripada sekadar mengurus kepentingan diri sendiri. Misalnya, katakanlah Saudara tinggal di permukiman yang rapat dan ingin mendengarkan musik dengan volume yang keras untuk membangkitkan semangat, tetapi membuat tetangga kesal. Apakah Saudara bersedia membatasi diri agar tetangga Saudara tidak terganggu ketenangannya? Dengan kata lain, apakah Saudara menaruh kenyamanan tetangga di atas kenyamanan pribadi?
Perhatikan situasi lain. Pada suatu hari yang dingin dan bersalju di Kanada, seorang pria lansia dikunjungi dua Saksi Yehuwa. Di tengah pembicaraan, pria itu mengatakan bahwa ia tidak bisa membuang salju di depan rumahnya karena mengidap penyakit jantung. Sekitar satu jam kemudian, ia mendengar bunyi keras alat serok. Kedua Saksi ternyata kembali untuk membersihkan jalan masuk dan anak-anak tangga di depan pintu rumahnya. ”Hari ini saya merasakan kasih Kristen sejati,” tulisnya dalam sepucuk surat ke kantor cabang Saksi-Saksi Yehuwa di Kanada. ”Pandangan saya yang umumnya pesimistis terhadap dunia sekarang ini benar-benar membaik dan respek saya yang memang sudah besar pada kegiatan kalian di seluruh dunia semakin kuat.” Ya, memilih untuk mengulurkan bantuan, tidak soal seberapa pun kecilnya, dapat mempengaruhi orang lain secara positif. Membuat pilihan yang rela berkorban demikian sungguh membahagiakan!
Pilihan Berdasarkan Kasih kepada Allah
Faktor lain yang harus kita pikirkan sewaktu membuat pilihan adalah apa yang Yesus gambarkan sebagai perintah terbesar, yaitu mengasihi Allah. Kata-kata Yesus ditujukan kepada orang Yahudi, yang sebagai bangsa sudah berada dalam hubungan yang berbakti dengan Yehuwa. Namun, orang Israel secara perorangan harus memilih apakah mereka akan melayani Allah mereka dengan kasih yang sepenuh jiwa dan sepenuh hati.—Ulangan 30:15, 16.
Demikian pula, pilihan yang Saudara buat mencerminkan bagaimana perasaan Saudara tentang Allah. Misalnya, seraya penghargaan Saudara terhadap nilai praktis Alkitab bertambah, Saudara juga menghadapi pilihan. Relakah Saudara mengikuti pelajaran Alkitab yang sistematis, dengan tujuan menjadi pengikut Yesus? Memilih untuk melakukan hal itu pastilah menghasilkan kebahagiaan bagi Saudara, karena Yesus mengatakan, ”Berbahagialah mereka yang sadar akan kebutuhan rohani mereka.”—Matius 5:3.
Kita tidak tahu apakah penguasa muda itu menyesali keputusannya. Namun, kita memang tahu bagaimana perasaan rasul Petrus setelah mengikuti Yesus Kristus selama bertahun-tahun. Kira-kira pada tahun 64 M, menjelang akhir kehidupannya, Petrus menganjurkan rekan-rekan seimannya, ”Upayakanlah sebisa-bisanya agar pada akhirnya kamu didapati oleh [Allah] tidak bernoda dan tidak bercacat dan dalam damai.” (2 Petrus 1:14; 3:14) Jelaslah, Petrus tidak menyesali pilihan yang telah ia buat lebih dari 30 tahun sebelumnya, dan ia menganjurkan orang-orang lain untuk berpaut pada pilihan yang telah mereka buat.
Mengikuti nasihat Petrus berarti membuat pilihan untuk menerima tanggung jawab menjadi murid Yesus dan menjalankan perintah-perintah Allah. (Lukas 9:23; 1 Yohanes 5:3) Hal ini mungkin kelihatannya tidak mudah, tetapi kita memiliki janji Yesus yang membesarkan hati, ”Marilah kepadaku, kamu semua yang berjerih lelah dan dibebani tanggungan yang berat, dan aku akan menyegarkan kamu. Pikullah kuk aku atas kamu dan belajarlah padaku, karena aku berwatak lembut dan rendah hati, dan kamu akan menemukan kesegaran bagi jiwamu. Karena kuk aku nyaman dan tanggunganku ringan.”—Matius 11:28-30.
Perhatikan pengalaman Arthur. Pada usia sepuluh tahun, Arthur mulai belajar memainkan biola, dan bercita-cita menjadi musikus profesional. Sewaktu berusia 14 tahun, ia sudah ikut konser. Namun, ia tidak bahagia. Ayahnya selalu mempunyai banyak pertanyaan tentang makna kehidupan dan ia mengundang guru-guru agama ke rumahnya; tetapi jawaban mereka tidak pernah memuaskannya. Mereka sekeluarga membahas apakah Allah memang ada dan mengapa Ia mengizinkan kejahatan. Kemudian, ayah Arthur mulai berdiskusi dengan Saksi-Saksi Yehuwa. Hatinya tersentuh dan seluruh keluarga pun belajar Alkitab.
Belakangan, Arthur mulai memahami dari Alkitab mengapa Allah mengizinkan penderitaan, dan ia dengan jelas melihat tujuan hidup. Bersama tiga anggota lain dari keluarganya, Arthur membuat pilihan yang tidak ia sesali. Ia membaktikan kehidupannya kepada Yehuwa. ”Saya begitu bahagia bahwa Yehuwa telah memberkati saya dengan pengetahuan tentang kebenaran dan bahwa Ia membebaskan saya dari persaingan yang selalu terjadi di kalangan musikus profesional. Agar sukses, orang rela menghalalkan segala cara.”
Arthur masih senang memainkan biola untuk menghibur teman-temannya, tetapi kehidupannya tidak berkisar seputar hal itu. Sebaliknya, kehidupannya berpusat pada pelayanan kepada Allah. Ia melayani di salah satu kantor cabang Saksi-Saksi Yehuwa. Seperti Arthur dan jutaan orang lain, tetapi tidak seperti penguasa muda yang kaya itu, Saudara juga dapat membuat pilihan yang akan menghasilkan kebahagiaan terbesar—yakni menyambut undangan Yesus untuk menjadi pengikutnya.
[Gambar di hlm. 6]
Keputusan Saudara dapat mempengaruhi kehidupan orang lain
[Gambar di hlm. 7]
Apakah Saudara mau belajar Alkitab dan menjadi pengikut Yesus?
-