-
Problem Tunawisma—Problem SeduniaSedarlah!—2005 | 8 Desember
-
-
Problem Tunawisma—Problem Sedunia
OLEH PENULIS SEDARLAH! DI POLANDIA
”BAU, dekil—benar-benar tak punya rumah, tak punya jati diri, sama sekali tak punya apa-apa!” Itulah gambaran umum yang mengejutkan, namun, menurut relawan yang bekerja membantu tunawisma di Czestochowa, Polandia, begitulah persisnya cara orang-orang pada umumnya memandang kaum tunawisma.
Menurut sebuah laporan dalam The Economist beberapa tahun yang lalu, di bawah jalan-jalan di Ulaanbaatar, Mongolia, banyak di antara ribuan anak jalanan kota itu tinggal di gorong-gorong berbau busuk yang menuju pelimbahan atau sistem pemanas kota. Meskipun keberadaan anak-anak tunawisma ini mengejutkan, banyak orang Mongolia menyimpulkan bahwa situasi ini timbul ”karena orang-orang terlalu malas untuk mengurus anak-anak mereka”, kata jurnal tersebut.
Di belahan bumi lainnya, anak-anak jalanan dibantai oleh regu pembunuh yang mengaku sebagai pemberantas kejahatan. Mengapa? Sebuah publikasi Perserikatan Bangsa-Bangsa menjelaskan, ”Di Amerika Latin, banyak orang dari kalangan hakim, polisi, media, bisnis, dan masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa anak-anak jalanan merupakan ancaman moral terhadap masyarakat yang beradab.” Sumber yang sama mengatakan, ”Menurut laporan, rata-rata tiga anak jalanan dibunuh setiap hari di negara bagian Rio de Janeiro.”
Kaum tunawisma ”membuat kita merasa takut dan kurang nyaman . . . , tetapi mereka adalah manusia yang mempunyai rasa lapar seperti kita. Jumlah mereka banyak, dan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka.” Demikian keterangan dalam halaman Internet yang dibuat oleh para relawan yang membantu para tunawisma di Czestochowa. Sumber yang sama menambahkan, ”Kami berharap bahwa . . . akan ada orang-orang yang menanggapi kebutuhan yang sangat besar ini.” Apa sesungguhnya kebutuhan ini, dan seberapa besarkah itu?
[Gambar di hlm. 2, 3]
Sekelompok anak-anak tunawisma tinggal di bawah lubang got ini
[Keterangan]
Jacob Ehrbahn/Morgenavisen Jyllands-Posten
-
-
Problem Tunawisma—Apa Penyebabnya?Sedarlah!—2005 | 8 Desember
-
-
Problem Tunawisma—Apa Penyebabnya?
”DI SELURUH dunia terdapat lebih dari 100 juta tunawisma,” lapor Perserikatan Bangsa-Bangsa. Jika angka itu benar, maka 1 dari setiap kira-kira 60 manusia tidak mempunyai rumah yang memadai! Namun, jangkauan yang sesungguhnya dari problem ini masih sukar dipastikan. Mengapa?
Definisi tunawisma bervariasi di berbagai negeri. Metode dan tujuan yang digunakan oleh para peneliti problem ini mempengaruhi cara mereka mendefinisikannya. Selanjutnya, definisi mereka mempengaruhi statistik yang mereka terbitkan. Jadi, sangat sukar, bahkan mustahil, untuk mendapatkan gambaran yang saksama tentang problem ini.
Buku Strategies to Combat Homelessness, yang diterbitkan oleh Pusat Permukiman Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, mendefinisikan tunawisma sebagai kondisi ”tidak memiliki sarana perumahan dalam taraf yang memadai. Hal itu mencakup segala keadaan di bawah batas yang dianggap memadai” bagi warga masyarakat tempat tunawisma itu tinggal. Beberapa tinggal di jalanan atau di bangunan yang kosong atau rusak, sedangkan yang lain di tempat penampungan. Ada lagi yang tinggal untuk sementara di rumah teman. Apa pun keadaannya, kata penelitian yang sama, ”Menyebut seseorang sebagai tunawisma menunjukkan keadaan bahwa ’sesuatu harus dilakukan’ untuk membantu sang korban.”
Di Polandia, negeri yang berpenduduk sekitar 40 juta orang, terdapat 300.000 tunawisma. Tidak seorang pun tahu jumlah yang sesungguhnya, karena mereka tidak terdaftar di suatu lokasi yang tetap dan terus berpindah-pindah. Ada yang menaksir angka sesungguhnya hampir setengah juta orang!
Karena problem tunawisma semakin meluas, mungkin ada kenalan Anda yang mengalaminya. Keadaan para tunawisma yang menyedihkan menimbulkan beberapa pertanyaan. Bagaimana orang-orang ini sampai tidak mempunyai perumahan yang memadai? Bagaimana mereka memenuhi kebutuhan pokok mereka? Siapa yang membantu mereka? Apa masa depan para tunawisma?
Bolak-Balik Jadi Tunawisma
Sabrinaa adalah seorang ibu tanpa pasangan dari kawasan miskin di Harlem, bagian dari New York City. Dia putus sekolah setelah masuk SMA. Sabrina tinggal dengan tiga anaknya yang masih kecil di sebuah penampungan yang dikelola pemerintah kota bagi tunawisma jangka-panjang. Dia menempati sebuah apartemen satu-kamar bersama ketiga anak laki-lakinya—berusia sepuluh bulan, tiga tahun, dan sepuluh tahun. Pemerintah kota menyediakan tempat penampungan bagi orang-orang yang tidak mempunyai tempat tinggal yang aman.
Sabrina meninggalkan apartemen ibunya sepuluh tahun yang lalu. Sejak itu, dia telah tinggal bersama pacarnya, tinggal bersama teman-teman dan kaum kerabat, dan kalau keadaannya buruk, dia pindah ke tempat penampungan. ”Adakalanya saya menganggur, adakalanya bekerja, sering kali mengepang rambut untuk mendapat uang,” kata Sabrina, ”tetapi, saya lebih sering mengandalkan bantuan sosial.”
Ironisnya, problem Sabrina, seperti yang dikisahkan dalam majalah Parents, dimulai sewaktu dia mendapatkan pekerjaan yang baik sebagai penata graha di sebuah hotel. Waktu itu, penghasilannya di atas persyaratan untuk menerima bantuan sosial, namun tidak cukup untuk menutupi semua pengeluarannya, termasuk biaya perumahan, makanan, pakaian, transportasi, dan perawatan anak. Oleh karena itu, berat baginya untuk membayar uang sewa dan pemilik rumah berupaya mengusir dia. Akhirnya, Sabrina meninggalkan pekerjaannya dan terpaksa ditampung di tempat penampungan darurat sampai tersedia kamar yang dia tinggali sekarang.
”Keadaan benar-benar sulit sekali bagi anak-anak saya,” kata Sabrina. ”Putra sulung saya sudah tiga kali ganti sekolah. Seharusnya dia duduk di kelas lima, tetapi ketinggalan satu tahun . . . Kami terlalu sering pindah.” Sabrina tercantum dalam daftar antrean untuk mendapatkan rumah yang disubsidi.
Bagi orang-orang yang sama sekali tidak mempunyai tempat untuk tinggal, situasi Sabrina jauh lebih beruntung. Namun, tinggal di tempat penampungan bukanlah pemecahan yang disukai oleh para tunawisma. Menurut Panitia Bantuan Masyarakat Polandia, beberapa orang ”takut terhadap disiplin dan peraturan di tempat penampungan” dan menolak bantuan yang disediakan. Misalnya, mereka yang tinggal di tempat penampungan tunawisma diharuskan bekerja dan menjauhi minuman keras serta narkoba. Tidak semua orang siap menyesuaikan diri. Jadi, bergantung musimnya, para tunawisma ada yang tidur di stasiun kereta api, tangga, ruang bawah tanah, dan juga di bangku taman, di bawah jembatan, dan di kawasan industri. Pemandangan yang sama terlihat di mana-mana di seluruh dunia.
Sebuah buku yang membahas masalah ini mendaftarkan banyak faktor yang menyebabkan adanya tunawisma di Polandia. Ini mencakup kehilangan pekerjaan, utang, dan problem keluarga. Terdapat kekurangan perumahan bagi para lansia, tunadaksa, dan orang-orang yang terinfeksi HIV. Banyak tunawisma memiliki problem mental dan fisik atau kecanduan, terutama terhadap minuman keras. Kebanyakan wanita tunawisma adalah wanita yang kabur—atau lari dari—suami mereka, diusir dari rumah, atau pernah terlibat dalam pelacuran. Tampaknya di balik setiap kasus, ada kisah sedih.
Korban Keadaan
Stanisława Golinowska, seorang spesialis dalam ilmu sosial-ekonomi, berkata, ”Di sini [di Polandia], tidak ada yang menjadi tunawisma oleh karena pilihan pribadi. . . . Sebaliknya, itu diakibatkan oleh berbagai kegagalan dalam hidup, yang menyebabkan kehancuran dan hilangnya keinginan untuk hidup.” Keadaan ini tampaknya dialami orang-orang, yang karena berbagai alasan, merasa tidak mampu mengatasi problem-problem mereka. Beberapa orang, misalnya, adalah narapidana yang baru bebas tetapi mendapati rumah mereka telah dirusak oleh berandalan. Ada lagi yang diusir dari rumah mereka. Banyak yang kehilangan rumah setelah bencana alam.b
Sebuah penelitian mendapati bahwa hampir separuh dari tunawisma yang disurvei di Polandia pernah menjadi bagian dari sebuah keluarga dan tinggal bersama pasangan mereka, meskipun sering mempunyai problem keluarga. Kebanyakan diusir dari rumah atau terpaksa keluar karena tekanan yang sangat berat. Hanya 14 persen yang pergi atas kemauan sendiri.
Setelah tinggal di tempat penampungan, beberapa bisa mandiri lagi dan memperoleh tempat tinggal sendiri. Bagi yang lain, situasinya lebih sulit diatasi. Mereka menjadi ”tunawisma abadi” antara lain karena penyakit mental atau fisik, penyalahgunaan narkoba atau alkohol, kurangnya keinginan untuk bekerja, kebiasaan kerja yang buruk, kurangnya pendidikan yang memadai, atau gabungan beberapa faktor. Di Amerika Serikat, kira-kira 30 persen tunawisma terperangkap dalam apa yang oleh sebuah lembaga nirlaba disebut ”sistem tunawisma”—sebuah sistem yang mencakup berpindah-pindah antara tempat penampungan, rumah sakit, dan yang menyedihkan, penjara. Konon, para tunawisma kambuhan yang bergantung pada sistem ini menghabiskan sebanyak 90 persen dana nasional yang dialokasikan untuk menanggulangi problem tersebut.
Bantuan bagi Tunawisma?
Beberapa tempat penampungan menawarkan jasa untuk membantu orang-orang keluar dari kehidupan sebagai tunawisma. Orang perorangan bisa dibantu untuk mendapatkan bantuan sosial, bantuan keuangan dari sumber lain, bantuan hukum, dukungan untuk membina kembali hubungan dengan keluarga, atau kesempatan untuk mempelajari keterampilan dasar. Pusat penampungan remaja di London menawarkan nasihat tentang pola makan, memasak, gaya hidup yang lebih sehat, dan mendapatkan lapangan kerja. Tujuan konseling adalah meningkatkan harga diri serta motivasi dan membantu orang-orang mendapatkan kebebasan yang lebih besar sehingga mereka dapat memiliki dan memelihara rumah sendiri. Pengaturan demikian tentu patut dipuji.
Namun, pusat penampungan tidak selalu menawarkan kepada tunawisma bantuan yang paling mereka butuhkan. Jacek, seorang tunawisma di Warsawa, menjelaskan bahwa tinggal di penampungan tidak memperlengkapi penghuninya untuk menghadapi dunia luar. Ia merasa bahwa para penghuni, karena bergaul dan berbincang-bincang hanya di kalangan mereka, cenderung mengembangkan ”pola berpikir yang aneh”. Dia berkata, ”Tempat penampungan yang memisahkan kami dari dunia luar telah menjadi semacam panti anak-anak yang dihuni orang dewasa.” Menurutnya, banyak penghuni mempunyai ”pikiran yang tidak beres”.
Menurut sebuah penelitian di Polandia, kesepian merupakan emosi paling menyakitkan yang dirasakan oleh tunawisma. Karena problem keuangan dan status sosial yang rendah, para tunawisma cenderung merasa diri tidak berharga. Akibatnya, ada yang berpaling ke minuman keras. Jacek berkata, ”Karena melihat tidak ada harapan akan perubahan, banyak di antara kami perlahan-lahan kehilangan keyakinan bahwa ada yang dapat kami lakukan untuk mengatasi keadaan kami yang malang.” Mereka malu akan penampilan mereka, kemiskinan dan ketidakberdayaan mereka, dan fakta sederhana bahwa mereka itu tunawisma.
”Entah kita berbicara tentang penghuni gubuk-gubuk liar di kota Bombay [Mumbai] dan Kalkuta atau gelandangan compang-camping di London, atau Anak-Anak Jalanan di Brasilia,” kata Francis Jegede, seorang spesialis masalah kependudukan, ”keadaan tunawisma terlalu serius dan menyedihkan untuk dibayangkan, apalagi dialami sendiri.” Kemudian, ia menambahkan, ”Tidak soal apa penyebab atau penyebab-penyebab fenomena ini, pertanyaan yang terus diajukan ialah mengapa dunia, yang begitu kaya dan berhikmat dengan segala kemampuan teknologinya, tampaknya tak sanggup mengatasi problem tunawisma?”
Sudah jelas bahwa semua tunawisma membutuhkan bantuan—bukan hanya bantuan jasmani, melainkan juga bantuan yang dapat menyejukkan hati dan mengangkat semangat hidup mereka. Bantuan demikian dapat menguatkan orang-orang untuk menghadapi dan mengatasi berbagai problem penyebab tunawisma. Tetapi, di mana para tunawisma dapat memperoleh bantuan demikian? Dan, apakah ada harapan bahwa tragedi kehidupan sebagai tunawisma akan benar-benar diakhiri?
[Catatan Kaki]
a Beberapa nama dalam artikel-artikel ini telah diubah.
b Jutaan orang di seluruh dunia terpaksa meninggalkan rumah mereka karena ketidakstabilan politik atau konflik bersenjata. Untuk mendapat gambaran tentang keadaan mereka yang menyedihkan, lihat seri artikel berjudul ”Pengungsi—Apakah Mereka Akan Menemukan Tempat Tinggal?” dalam Sedarlah! terbitan 22 Januari 2002.
[Kotak/Gambar di hlm. 6]
Akibat Kemelaratan
Ratusan ribu orang tinggal di jalan-jalan kota di India. Menurut perhitungan yang lalu, di kota Mumbai saja, ada sekitar 250.000 orang tinggal di kaki-lima. Penaungan mereka hanya terpal yang diikatkan di antara tiang-tiang dan bangunan di dekatnya. Mengapa mereka tinggal di tempat-tempat seperti ini, bukannya di perumahan yang relatif lebih terjangkau di dekat pinggiran kota? Karena mereka bekerja di dekat pusat kota—sebagai pedagang kecil, pedagang asongan, penarik becak, atau pemulung. ”Mereka tidak punya pilihan,” kata Strategies to Combat Homelessness. ”Kemiskinan memaksa mereka untuk memilih membeli makanan ketimbang membayar sewa rumah.”
Sekitar 2.300 pria, wanita, dan anak-anak tinggal di Stasiun Park, Johannesburg, Afrika Selatan. Mereka tidur di peron-peron terbuka, menggunakan selimut bekas sebagai tempat tidur, atau gubuk-gubuk dari kardus. Kebanyakan tidak mempunyai pekerjaan dan sudah kehilangan harapan untuk mendapatkannya. Ribuan orang hidup dengan cara seperti itu di seluruh bagian kota. Mereka tidak mempunyai fasilitas air, kamar kecil, dan listrik. Dalam kondisi demikian, penyakit bisa menular dengan cepat.
Alasan mengapa orang-orang dari kedua kelompok ini dan masih banyak lagi menjadi tunawisma sederhana saja—kemelaratan.
[Kotak/Gambar di hlm. 7]
Kegagalan Masyarakat Modern
Buku Strategies to Combat Homelessness, yang diterbitkan oleh Pusat Permukiman Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengidentifikasi sejumlah kegagalan sistem sosial, politik, dan ekonomi sekarang dalam menyediakan perumahan bagi semua orang. Hal ini mencakup:
● ”Masalah utama berkenaan dengan tunawisma adalah ketidakmampuan pemerintah membaktikan sumber daya yang cukup untuk mewujudkan sepenuhnya hak masyarakat guna mendapatkan perumahan yang memadai.”
● ”Adanya peraturan-peraturan yang rancu dan sistem perencanaan yang tidak efisien dapat . . . menimbulkan kekacauan dalam menyediakan perumahan bagi mayoritas orang miskin.”
● ”Problem tunawisma merupakan bukti tidak meratanya penyaluran dana yang dialokasikan oleh pemerintah untuk perumahan dan penyewaan bagi masyarakat.”
● ”Krisis tunawisma adalah puncak dari kebijakan-kebijakan yang mengabaikan atau salah memperhitungkan dampak yang merugikan dari pergeseran ekonomi, kurangnya perumahan yang terjangkau, meningkatnya penyalahgunaan narkoba, dan problem kesehatan fisik serta mental lainnya dari orang-orang yang paling rapuh dalam . . . masyarakat.”
● ”Terdapat kebutuhan yang sangat besar untuk mengubah pelatihan para profesional yang menangani warga-warga yang rapuh. Kaum tunawisma, khususnya anak-anak jalanan, harus dipandang sebagai aset yang potensial tetapi belum digunakan ketimbang sebagai beban bagi masyarakat.”
[Gambar]
Seorang ibu mengemis bersama dua putrinya, Meksiko
[Keterangan]
© Mark Henley/ Panos Pictures
[Gambar di hlm. 6]
Bekas stasiun kereta api diubah menjadi tempat penampungan tunawisma di Pretoria, Afrika Selatan
[Keterangan]
© Dieter Telemans/Panos Pictures
[Keterangan Gambar di hlm. 4]
Left: © Gerd Ludwig/Visum/Panos Pictures; inset: © Mikkel Ostergaard/Panos Pictures; right: © Mark Henley/Panos Pictures
-
-
Problem Tunawisma—Apa Solusinya?Sedarlah!—2005 | 8 Desember
-
-
Problem Tunawisma—Apa Solusinya?
”BERI seseorang seekor ikan, maka Anda memberinya makanan untuk sehari. Ajar dia menangkap ikan, maka Anda memberinya makanan untuk seumur hidup.” Peribahasa ini menjelaskan kebenaran bahwa sekadar memenuhi kebutuhan fisik sesaat hanya terbatas nilainya. Jauh lebih baik untuk membantu orang-orang mempelajari caranya mengatasi problem dan memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Banyak orang perlu diajar keterampilan hidup atau bahkan pandangan dan pendekatan yang sama sekali berbeda tentang cara hidup.
Saksi-Saksi Yehuwa yakin bahwa cara terbaik untuk membantu para tunawisma ialah dengan mengajar orang-orang cara hidup yang terbaik. Itu berarti menerapkan nasihat terbaik yang tersedia—nasihat dari Pencipta manusia. Siapa lagi yang paling cocok untuk memberikan nasihat demikian? Nasihat-Nya membantu orang-orang menghindari problem-problem yang bisa membuat seseorang menjadi tunawisma. Nasihat itu juga membantu orang-orang yang tulus yang sudah mempunyai problem itu untuk mengatasinya. Tentu saja, membaca Alkitab tidak dengan sendirinya membuat semua problem yang kita hadapi lenyap. Namun, Alkitab dapat membantu seseorang membuang kebiasaan-kebiasaan buruk yang mahal, mendapatkan harga diri yang sepatutnya, dan menempuh kehidupan yang lebih bermartabat.
Banyak orang kehilangan rumah mereka akibat penyalahgunaan narkoba atau alkohol, kehidupan yang penuh kejahatan, problem keuangan, atau keluarga yang berantakan. Alkitab memberikan nasihat praktis untuk mengatasi semua hal tersebut. Dengan menerapkan nasihat itu, jutaan orang telah dibantu untuk mengubah pandangan hidup mereka—malah, mengubah seluruh kepribadian mereka—menjadi lebih baik. Tentu saja, penerapan nasihat Alkitab saja tidak mengatasi semua problem yang menyangkut tunawisma. Dalam jangka pendek, problem-problem seperti bencana alam, gangguan kesehatan, kemiskinan yang meluas, kecanduan, dan sebagainya memerlukan bantuan jenis lain. Seraya Saksi-Saksi Yehuwa berupaya sebisa-bisanya untuk membantu orang-orang yang terkena dampak penderitaan demikian, mereka sadar bahwa hanya Pembuat manusia yang dapat menuntaskan problem-problem tersebut sekali untuk selama-lamanya. Apakah Ia akan melakukannya?
Maksud-Tujuan Allah yang Semula
Ada alasan yang kuat untuk berharap bahwa problem tunawisma akan segera berakhir. Atas dasar apa? Pertimbangkanlah: Allah Yehuwa menyediakan rumah yang bagus bagi pasangan manusia pertama. Allah menempatkan mereka di sebuah firdaus, tempat tersedianya semua kebutuhan mereka. Seandainya mereka mengikuti bimbingan Pembuat mereka, mereka akan memperluas Firdaus itu sampai ke seluruh bumi. Keturunan mereka akan menikmati kelimpahan dan perumahan yang nyaman. Setiap anggota keluarga manusia akan dapat mengandalkan kasih dan kerja sama dari semua orang. Itulah maksud-tujuan Allah yang semula. Ia belum berubah.—Mazmur 37:9-11, 29.
Selain itu, apa pun yang Allah niatkan pasti terwujud. (Yesaya 55:10, 11) Alkitab menubuatkan bahwa akan tiba waktunya manakala setiap orang akan mempunyai rumah dan semua keperluan materinya secara berlimpah. Namun, sebelum hal itu terjadi, seluruh tatanan manusia yang kita kenal harus berubah. Perubahan demikian akan terjadi melalui campur tangan ilahi terhadap urusan umat manusia. Itulah yang ada dalam pikiran Yesus ketika dia mengajar murid-muridnya untuk berdoa, ”Biarlah kerajaanmu datang. Biarlah kehendakmu terjadi, seperti di surga, demikian pula di atas bumi.”—Matius 6:9, 10.
Di bawah pemerintahan Kerajaan Allah yang adil, umat manusia yang taat akan mengalami penggenapan nubuat yang menggembirakan ini, ”Mereka akan membangun rumah dan menghuninya; . . . Mereka tidak akan membangun dan orang lain yang menghuni; mereka tidak akan menanam dan orang lain yang makan. . . . Orang-orang pilihanku akan menggunakan sepenuhnya hasil karya tangan mereka.” (Yesaya 65:21, 22) Singkat kata, tak seorang pun akan menjadi tunawisma.
Saksi-Saksi Yehuwa berupaya menyediakan bantuan yang sangat dibutuhkan orang-orang sekarang juga. Mereka ingin memberi orang lain perhatian yang pengasih seperti yang dianjurkan Yesus. (Matius 22:36-39) Keprihatinan yang sama akan orang lain menggerakkan mereka untuk membantu orang-orang yang kehilangan rumah akibat bencana alam.a
Secara realistis, Saksi-Saksi Yehuwa memahami bahwa mustahil membantu setiap orang. Jacek, dari Polandia, yang tinggal di tempat penampungan tunawisma, mengakui berkenaan dengan para tunawisma, ”Beberapa di antara mereka garang atau di bawah pengaruh narkoba. Yang lain bersikap antipati terhadap topik-topik religius, beranggapan bahwa Allah tidak mempedulikan mereka. Tetapi, ada juga yang senang menyambut Firman Allah.” Jacek sendiri, misalnya, telah melakukannya. Ia mulai belajar lebih banyak tentang apa yang sebenarnya Alkitab ajarkan.
Tunawisma lain yang memberikan tanggapan positif ialah Roman, seorang penderita AIDS yang hingga belum lama ini masih tinggal di jalanan. ”Ketika saya tiba di tempat penampungan yang disediakan Dinas Sosial, saya tidak tahu bahwa Saksi-Saksi Yehuwa mengadakan pertemuan di dekat tempat itu,” kenangnya. ”Segera, mereka memulai percakapan dengan saya di jalanan dan menjelaskan bahwa seruan minta tolong para tunawisma tidaklah diabaikan Allah. Mereka juga mengundang saya menghadiri pertemuan agama mereka.”—Mazmur 72:12, 13.
Apa pengaruh hal itu atas dirinya? ”Saya belajar bahwa saya dapat hidup kekal di Firdaus di bumi dan bahwa saya berharga di mata Allah. Dikelilingi sahabat-sahabat baru yang peduli, saya berhenti mengasihani diri dan mulai mengubah kepribadian saya. Karena mengasihi Allah, saya berhenti merokok dan dalam doa saya berjanji kepada-Nya bahwa saya akan menempuh jalan keadilbenaran.”
Roman membuat kemajuan rohani yang baik dan segera dibaptis sebagai salah seorang Saksi-Saksi Yehuwa. Dengan bantuan rekan-rekan seiman dan kalangan berwenang, dia berhasil pindah ke pemondokan yang lebih cocok. Dengan sukacita, Roman berkata, ”Kebahagiaan yang tak terlukiskan memenuhi hati saya. Saya telah mendekat kepada Allah yang pengasih, yang memulihkan dalam diri saya tujuan hidup. Dia memberi saya keluarga yang menyenangkan, saudara dan saudari, dan juga sebuah rumah!”
Masa Depan Tunawisma
Saksi-Saksi Yehuwa berupaya memperlihatkan empati kepada semua sesama mereka, termasuk para tunawisma. Mereka sangat ingin membagikan kebenaran-kebenaran Alkitab tentang masa depan yang lebih baik—kebenaran yang dapat mengubah kehidupan bahkan sekarang juga.—Yohanes 8:32.
”Apa yang dibengkokkan tidak dapat diluruskan,” kata Alkitab. (Pengkhotbah 1:15) Ya, terlepas dari niat baik para relawan dan kalangan berwenang, problem sosial yang sudah berurat berakar seperti problem tunawisma dan kemiskinan sangat susah disingkirkan. Namun, Alkitab meyakinkan kita bahwa tak lama lagi, di bawah pemerintahan Kerajaan Allah, semua orang yang taat akan menikmati kondisi kehidupan yang sempurna.
[Catatan Kaki]
a Sebagai contoh, lihat Sedarlah! tertanggal 8 Januari 1993, halaman 14-21; 22 Oktober 2001, halaman 23-7; dan 8 Agustus 2003, halaman 10-15.
[Gambar di hlm. 8]
Seorang ibu pengungsi dari Somalia sedang memegang kartu jatah makanan
[Keterangan]
© Trygve Bolstad/Panos Pictures
[Gambar di hlm. 9]
Di atas segalanya, para tunawisma membutuhkan harapan akan masa depan
[Gambar di hlm. 10]
Di bawah pemerintahan Kerajaan Allah tidak ada lagi tunawisma
-