-
”Ah, Tidak Mungkin!”Bila Seseorang yang Anda Kasihi Meninggal
-
-
”Ah, Tidak Mungkin!”
SEORANG pria dari New York (AS) menceritakan, ”Putra saya, Jonathan, sedang mengunjungi teman-temannya yang beberapa kilometer jauhnya. Istri saya, Valentina, tidak senang ia pergi ke sana. Ia selalu was-was dengan kondisi lalu lintas. Tetapi Jonathan menyukai elektronik, dan teman-temannya memiliki sebuah bengkel kerja tempat ia dapat memperoleh pengalaman yang berguna. Saya sedang berada di rumah di Manhattan barat, New York. Istri saya sedang pergi mengunjungi keluarganya di Puerto Rico. ’Jonathan akan segera pulang,’ pikir saya. Kemudian bel pintu berbunyi. ’Itu pasti dia.’ Rupanya bukan. Ternyata polisi dan tim paramedik. ’Apakah Anda mengenali SIM ini?’ tanya petugas polisi. ’Ya, itu milik putra saya, Jonathan.’ ’Ada berita buruk untuk Bapak. Baru saja terjadi kecelakaan, dan . . . putra Bapak, . . . putra Bapak meninggal.’ Reaksi pertama saya, ’Ah, tidak mungkin!’ Kejutan yang ditimbulkannya telah membuat luka dalam hati kami, yang bahkan bertahun-tahun kemudian belum juga pulih.”
’Ada berita buruk untuk Bapak. Baru saja terjadi kecelakaan, dan . . . putra Bapak, . . . putra Bapak meninggal.’
Seorang ayah di Barcelona (Spanyol) menulis, ”Dahulu di Spanyol pada tahun 1960-an, kami adalah keluarga yang bahagia. Ada María, istri saya, dan ketiga anak kami, David, Paquito, dan Isabel, berusia 13, 11, dan 9 tahun.
”Suatu hari pada bulan Maret 1963, Paquito pulang ke rumah dari sekolah mengeluh sakit kepala yang sangat hebat. Kami bingung apa penyebabnya—namun hanya sebentar saja. Tiga jam kemudian ia meninggal. Pendarahan otak tiba-tiba merenggut nyawanya.
”Kematian Paquito terjadi lebih dari 30 tahun yang lalu. Meskipun demikian, perasaan sakit yang dalam akibat kematian tersebut membekas dalam diri kami sampai hari ini. Mana ada orang-tua yang ditinggal mati seorang anak, tidak merasakan sesuatu yang hilang dari diri mereka—tidak soal seberapa banyak waktu yang telah berlalu atau seberapa banyak anak yang mereka miliki.”
Dua pengalaman ini, ketika orang-tua kehilangan anak-anak, memperlihatkan betapa dalam dan lamanya luka yang timbul sewaktu seorang anak meninggal. Benar sekali pernyataan seorang doktor yang menulis, ”Kematian seorang anak biasanya lebih tragis dan mengakibatkan trauma dibandingkan kematian seorang yang lebih tua karena seorang anak bukanlah anggota keluarga yang diharapkan mati. . . . Kematian seorang anak memperlihatkan pupusnya impian di masa depan, hubungan keluarga [menantu, cucu-cucu], pengalaman-pengalaman . . . yang belum sempat dinikmati.” Dan perasaan kehilangan yang dalam ini juga dapat terjadi atas seorang wanita yang kehilangan bayinya karena keguguran.
Seorang istri yang berkabung menjelaskan, ”Suami saya, Russell, bekerja sebagai seorang tenaga bantuan medis dalam medan perang di Pasifik selama Perang Dunia II. Ia telah menyaksikan dan luput dari beberapa pertempuran yang mengerikan. Ia kembali ke Amerika Serikat dan kembali kepada kehidupan yang jauh lebih tenang. Belakangan ia melayani sebagai seorang rohaniwan Firman Allah. Pada usia 60-an, ia mulai mengalami gejala penyakit jantung. Ia berupaya menjalani kehidupan yang aktif. Kemudian, suatu hari pada bulan Juli 1988, ia menderita serangan jantung yang parah dan meninggal. Kepergiannya sangat memilukan hati. Saya bahkan tidak sempat mengucapkan selamat jalan. Ia bukan hanya suami saya. Ia adalah sahabat terbaik saya. Kami telah menempuh kehidupan bersama-sama selama 40 tahun. Sekarang tampaknya saya harus menghadapi kesepian yang lain daripada yang lain.”
Ini hanyalah sedikit dari ribuan tragedi yang menimpa keluarga-keluarga di seluruh dunia setiap hari. Seperti yang akan dikatakan oleh kebanyakan orang yang berduka cita, sewaktu kematian merenggut anak Anda, suami Anda, istri Anda, orang-tua Anda, teman Anda, benar sekali apa yang dikatakan Paulus sang penulis Kristen bahwa itu adalah ”musuh yang terakhir”. Sering kali, reaksi pertama yang wajar atas berita menyedihkan ini mungkin berupa penyangkalan. ”Ah, tidak mungkin! Saya tidak percaya.” Reaksi-reaksi lain sering kali menyusul, seperti yang akan kita lihat.—1 Korintus 15:25, 26.
Akan tetapi, sebelum kita membahas perasaan duka cita, marilah kita menjawab beberapa pertanyaan penting. Apakah kematian berarti akhir dari orang itu? Apakah ada harapan bahwa kita dapat berjumpa kembali dengan orang-orang yang kita kasihi?
Ada Harapan yang Sejati
Paulus penulis Alkitab menawarkan harapan berupa kelegaan dari ”musuh yang terakhir” tersebut, kematian. Ia menulis, ’Maut akan dibinasakan’. ”Musuh yang terakhir yang akan ditiadakan adalah maut.” (1 Korintus 15:26, The New English Bible) Mengapa Paulus dapat merasa begitu yakin akan hal tersebut? Karena ia telah diajar oleh pribadi yang telah dibangkitkan dari antara orang mati, Yesus Kristus. (Kisah 9:3-19) Itu pula alasannya mengapa Paulus dapat menulis, ”Sama seperti maut datang karena satu orang manusia [Adam], demikian juga kebangkitan orang mati datang karena satu orang manusia [Yesus Kristus]. Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus.”—1 Korintus 15:21, 22.
Yesus sangat berduka cita sewaktu ia bertemu dengan seorang janda dari Nain dan melihat putranya yang meninggal. Catatan Alkitab memberi tahu kita, ”Setelah [Yesus] dekat pintu gerbang kota [Nain], ada orang mati diusung ke luar, anak laki-laki, anak tunggal ibunya yang sudah janda, dan banyak orang dari kota itu menyertai janda itu. Dan ketika Tuhan melihat janda itu, tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia berkata kepadanya: ’Jangan menangis!’ Sambil menghampiri usungan itu Ia menyentuhnya, dan sedang para pengusung berhenti, Ia berkata, ’Hai anak muda, Aku berkata kepadamu, bangkitlah!’ Maka bangunlah orang itu dan duduk dan mulai berkata-kata, dan Yesus menyerahkannya kepada ibunya. Semua orang itu ketakutan dan mereka memuliakan Allah, sambil berkata: ’Seorang nabi besar telah muncul di tengah-tengah kita,’ dan ’Allah telah melawat umatNya.’” Perhatikan bagaimana Yesus tergerak oleh belas kasihan, sehingga ia membangkitkan putra janda tersebut! Bayangkan apa yang diperlihatkan oleh hal tersebut berkenaan masa depan!—Lukas 7:12-16.
Di sana, di hadapan para saksi mata, Yesus mempertunjukkan sebuah kebangkitan yang tak terlupakan. Hal itu merupakan suatu jaminan akan kebangkitan yang telah ia nubuatkan beberapa waktu sebelum peristiwa ini, suatu kebangkitan kepada kehidupan di bumi di bawah ”langit yang baru”. Pada kesempatan itu Yesus berkata, ”Janganlah kamu heran akan hal itu, sebab saatnya akan tiba, bahwa semua orang yang di dalam kuburan akan mendengar suara-Nya, dan . . . akan keluar.”—Wahyu 21:1, 3, 4; Yohanes 5:28, 29; 2 Petrus 3:13.
Saksi-saksi mata lain dari suatu kebangkitan adalah Petrus, bersama beberapa orang lainnya dari antara ke-12 yang menyertai Yesus dalam perjalanannya. Mereka benar-benar mendengar Yesus yang telah dibangkitkan berbicara di Laut Galilea. Catatannya memberi tahu kita, ”Kata Yesus kepada mereka: ’Marilah dan sarapanlah.’ Tidak ada di antara murid-murid itu yang berani bertanya kepada-Nya: ’Siapakah Engkau?’ Sebab mereka tahu, bahwa Ia adalah Tuhan. Yesus maju ke depan, mengambil roti dan memberikannya kepada mereka, demikian juga ikan itu. Itulah ketiga kalinya Yesus menampakkan diri kepada murid-murid-Nya sesudah Ia bangkit dari antara orang mati.”—Yohanes 21:12-14.
Oleh karena itu, Petrus dapat menulis dengan sangat yakin, ”Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, yang karena rahmat-Nya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan.”—1 Petrus 1:3.
Rasul Paulus menyatakan harapannya yang pasti sewaktu ia berkata, ”Aku percaya kepada segala sesuatu yang ada tertulis dalam hukum Taurat dan dalam kitab nabi-nabi. Aku menaruh pengharapan kepada Allah, sama seperti mereka juga, bahwa akan ada kebangkitan semua orang mati, baik orang-orang yang benar maupun orang-orang yang tidak benar.”—Kisah 24:14, 15.
Oleh karena itu, jutaan orang dapat memiliki harapan yang teguh untuk berjumpa dengan orang-orang yang mereka kasihi yang hidup kembali di bumi ini namun di bawah keadaan-keadaan yang sangat berbeda. Keadaan-keadaan yang bagaimana kelak? Perincian-perincian selanjutnya berkenaan harapan yang berdasarkan Alkitab bagi orang-orang yang kita kasihi yang telah meninggal akan dibahas dalam bagian terakhir dari brosur ini, dengan judul, ”Harapan yang Pasti Bagi Orang Mati”.
Namun, pertama-tama mari kita pertimbangkan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin Anda miliki jika Anda sedang berduka cita karena kehilangan seseorang yang dikasihi: Apakah normal untuk berduka cita seperti ini? Bagaimana saya dapat mengatasi duka cita saya? Apa yang dapat orang-orang lain lakukan untuk membantu saya mengatasinya? Bagaimana saya dapat membantu orang lain yang berduka cita? Dan yang terutama, Apa yang Alkitab katakan berkenaan harapan yang pasti bagi orang mati? Apakah saya akan berjumpa kembali dengan orang-orang yang saya kasihi? Dan di mana?
-
-
Apakah Normal untuk Merasa seperti Ini?Bila Seseorang yang Anda Kasihi Meninggal
-
-
Apakah Normal untuk Merasa seperti Ini?
SEORANG yang sedang berkabung menulis, ”Sebagai seorang anak di Inggris, saya diajar untuk tidak mengungkapkan perasaan saya di hadapan umum. Saya masih ingat ayah saya, seorang mantan perwira militer, berbicara kepada saya sambil menggertakkan giginya, ’Awas, jangan berani menangis!’ sewaktu ada sesuatu yang menyakitkan saya. Saya tidak ingat lagi apakah ibu saya pernah mencium atau memeluk kami anak-anak (kami empat bersaudara). Saya berusia 56 tahun ketika saya melihat ayah saya meninggal. Saya merasakan kehilangan yang luar biasa. Namun, pada mulanya, saya tidak sanggup menangis.”
Dalam beberapa kebudayaan, orang-orang mengungkapkan perasaan mereka secara terbuka. Apakah mereka sedang gembira atau sedih, orang-orang lain mengetahui bagaimana perasaan mereka. Di lain pihak, di beberapa bagian dunia, terutama di Eropa bagian utara dan Inggris, orang-orang, khususnya kaum pria, telah dibentuk oleh masyarakat untuk menyembunyikan perasaan mereka, untuk menekan emosi mereka, untuk tetap tenang dan tidak emosional serta tidak membiarkan perasaan mereka terbaca. Namun bila Anda kehilangan seseorang yang dikasihi, apakah sebenarnya salah untuk memperlihatkan duka cita Anda? Apa yang Alkitab katakan?
Mereka yang Menangis dalam Alkitab
Alkitab ditulis oleh orang-orang Ibrani dari daerah Laut Tengah sebelah timur, yang berpembawaan ekspresif. Alkitab memuat banyak contoh dari orang-orang yang secara terbuka memperlihatkan duka cita mereka. Raja Daud meratapi kematian Amnon, putranya yang terbunuh. Sesungguhnya, ia ”menangis dengan suara nyaring”. (2 Samuel 13:28-39) Ia bahkan berduka cita atas kematian dari Absalom, putranya yang berkhianat, yang berupaya merebut takhta. Catatan Alkitab memberi tahu kita, ”Maka terkejutlah raja [Daud] dan dengan sedih ia naik ke anjung pintu gerbang lalu menangis. Dan beginilah perkataannya sambil berjalan: ’Anakku Absalom, anakku, anakku Absalom! Ah, kalau aku mati menggantikan engkau, Absalom, anakku, anakku!’” (2 Samuel 18:33) Daud berkabung seperti ayah mana pun yang normal. Dan betapa sering orang-tua berharap agar mereka saja yang mati menggantikan anak-anak mereka! Tampak sangat tidak wajar jika seorang anak mati sebelum orang-tuanya.
Bagaimana reaksi Yesus terhadap kematian Lazarus temannya? Ia menangis di dekat kuburannya. (Yohanes 11:30-38) Belakangan, Maria Magdalena menangis sewaktu ia mendekati makam Yesus. (Yohanes 20:11-16) Memang, seorang Kristen yang memahami harapan kebangkitan dari Alkitab tidak berduka cita sampai tak dapat dihibur, seperti yang dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki dasar Alkitab yang jelas bagi kepercayaan mereka berkenaan keadaan orang mati. Namun sebagai manusia dengan perasaan-perasaan yang normal, seorang Kristen yang sejati, bahkan dengan harapan kebangkitan, benar-benar berduka cita dan meratapi kematian orang yang dikasihi.—1 Tesalonika 4:13, 14.
Menangis atau Tidak Menangis
Bagaimana dengan reaksi-reaksi kita dewasa ini? Apakah Anda merasa sulit atau malu memperlihatkan perasaan-perasaan Anda? Apa yang dianjurkan oleh para penasihat? Pandangan mereka yang modern sering kali sekadar mengulangi hikmat kuno dari Alkitab yang terilham. Mereka mengatakan bahwa kita hendaknya menyatakan duka cita kita, bukan memendamnya. Ini mengingatkan kita kepada pria-pria yang setia pada zaman dahulu, seperti misalnya Ayub, Daud, dan Yeremia, yang pernyataan duka cita mereka dimuat dalam Alkitab. Mereka tentunya tidak memendam perasaan mereka. Maka, tidak bijaksana untuk mengasingkan diri dari orang-orang. (Amsal 18:1) Tentu saja, perkabungan diperlihatkan dengan cara-cara yang berbeda dalam berbagai ragam kebudayaan, juga bergantung kepada kepercayaan agama yang lazim.a
Bagaimana jika Anda merasa ingin menangis? Adalah bagian dari sifat alamiah manusia untuk menangis. Ingatlah peristiwa kematian Lazarus, ketika Yesus ”mengerang dalam roh dan . . . mengeluarkan air mata”. (Yohanes 11:33, 35, NW) Ia dengan demikian memperlihatkan bahwa menangis merupakan reaksi yang normal atas kematian orang yang dikasihi.
Adalah normal untuk berduka cita dan menangis bila seseorang yang dikasihi meninggal
Hal ini didukung oleh kasus seorang ibu, Anne, yang kehilangan bayinya yang bernama Rachel karena Sindroma Kematian Anak Mendadak (SIDS). Suaminya berkomentar, ”Hal yang mengejutkan adalah Anne maupun saya tidak menangis pada saat pemakaman. Orang-orang lain menangis.” Menanggapi hal ini, Anne berkata, ”Ya, tetapi saya telah banyak menangis untuk kami berdua. Saya rasa, saya benar-benar mengalami goncangan emosi beberapa minggu setelah tragedi ini, sewaktu saya akhirnya pada suatu hari berada sendirian di rumah. Saya menangis sepanjang hari. Namun saya yakin hal itu justru membantu saya. Saya merasa lebih baik setelah itu. Saya harus berkabung atas kematian bayi saya. Saya sangat yakin bahwa Anda hendaknya membiarkan orang-orang yang berduka cita menangis. Meskipun merupakan reaksi yang wajar bagi orang-orang lain untuk berkata, ’Jangan menangis’, hal itu tidak benar-benar membantu.”
Bagaimana Beberapa Orang Bereaksi
Bagaimana beberapa orang bereaksi sewaktu merasa kesepian karena kehilangan orang yang dikasihi? Misalnya, pertimbangkan Juanita. Ia mengetahui bagaimana rasanya kehilangan seorang bayi. Ia telah lima kali keguguran. Kini ia mengandung lagi. Maka sewaktu sebuah kecelakaan mobil menyebabkannya harus diopname, masuk akal ia merasa khawatir. Dua minggu kemudian ia melahirkan—secara prematur. Tak lama berselang si kecil Vanessa lahir—dengan berat badan hanya 0,9 kilogram, ”Saya sangat gembira,” kenang Juanita, ”Akhirnya saya menjadi seorang ibu!”
Namun kebahagiaannya berumur pendek. Empat hari kemudian Vanessa meninggal. Juanita mengenang, ”Saya merasa sangat hampa. Peran saya sebagai ibu dirampas. Saya merasa tidak utuh lagi. Sedih sekali pulang ke rumah ke kamar yang telah kami persiapkan untuk Vanessa dan melihat baju dalamnya yang mungil yang saya belikan untuknya. Selama beberapa bulan berikutnya, saya membayangkan kembali kelahirannya. Saya menarik diri dari pergaulan.”
Suatu reaksi yang ekstrem? Mungkin sulit bagi orang-orang lain untuk memahami, namun orang-orang, seperti Juanita, yang telah mengalaminya menjelaskan bahwa mereka yang berduka cita karena kematian bayi mereka sama seperti mereka yang berduka cita karena kematian seseorang yang telah hidup sekian lama. Menurut mereka, lama sebelum seorang anak lahir, ia telah dikasihi oleh orang-tuanya. Terjalin suatu ikatan yang istimewa dengan sang ibu. Sewaktu bayi itu meninggal, sang ibu merasa bahwa suatu pribadi utuh telah hilang. Dan inilah yang perlu dipahami orang-orang lain.
Bagaimana Kemarahan dan Perasaan Bersalah Dapat Mempengaruhi Anda
Ibu yang lain menyatakan perasaannya sewaktu ia diberi tahu bahwa putranya yang berusia enam tahun tiba-tiba meninggal karena kelainan jantung sejak lahir. ”Saya mengalami serangkaian reaksi—mati rasa, perasaan tidak percaya, perasaan bersalah, dan kemarahan terhadap suami saya dan dokter karena tidak menyadari seberapa serius keadaannya.”
Kemarahan dapat merupakan gejala lain dari duka cita. Ini bisa jadi kemarahan kepada para dokter atau juru rawat, merasa bahwa dulu mereka seharusnya berbuat lebih banyak dalam merawat orang yang meninggal. Atau bisa jadi kemarahan kepada teman-teman dan sanak saudara yang, tampaknya, mengucapkan atau melakukan sesuatu yang salah. Beberapa menjadi marah kepada orang yang meninggal karena mengabaikan kesehatannya. Stella mengenang, ”Saya ingat saya marah kepada suami saya karena saya tahu seharusnya keadaannya tidak begini. Ia menderita sakit parah, tapi ia mengabaikan peringatan dokter.” Dan kadang-kadang kemarahan ditujukan kepada orang yang meninggal karena beban yang ditimpakan oleh kematiannya kepada mereka yang ditinggalkan.
Beberapa merasa bersalah karena kemarahan—yaitu, mereka mungkin menyalahkan diri mereka karena mereka merasa marah. Yang lain-lain menyalahkan diri karena kematian orang yang mereka kasihi. ”Sebetulnya dia tidak perlu mati,” mereka meyakinkan diri, ”seandainya saja saya menyuruhnya pergi ke dokter lebih awal” atau ”menyuruhnya pergi ke dokter lain” atau ”membuatnya lebih menjaga kesehatannya.”
Kehilangan seorang anak merupakan trauma yang menyakitkan—simpati dan empati yang tulus dapat membantu orang-tua
Bagi orang-orang lain perasaan bersalah melampaui hal itu, khususnya bila orang yang mereka kasihi meninggal secara mendadak dan tak terduga. Mereka mulai mengenang saat-saat manakala mereka marah kepada orang yang meninggal atau bertengkar dengan mereka. Atau mereka mungkin merasa bahwa dulu mereka seharusnya tidak berlaku demikian terhadap orang yang meninggal.
Proses berduka cita yang berlangsung lama dari banyak ibu mendukung apa yang banyak ahli katakan, bahwa kematian seorang anak meninggalkan suatu kesenjangan permanen dalam kehidupan orang-tua, khususnya sang ibu.
Bila Anda Kehilangan Teman Hidup
Kematian seorang teman hidup merupakan trauma lain lagi, khususnya jika keduanya menjalani kehidupan yang sangat aktif bersama-sama. Ini dapat berarti akhir dari seluruh gaya hidup yang mereka tempuh bersama, berkenaan perjalanan, pekerjaan, hiburan, dan ketergantungan kepada satu sama lain.
Eunice menjelaskan apa yang terjadi sewaktu suaminya tiba-tiba meninggal karena serangan jantung. ”Pada minggu pertama, saya berada dalam keadaan mati rasa secara emosi, seolah-olah saya berhenti berfungsi. Saya bahkan tidak dapat mengecap rasa atau mencium bau. Namun, akal sehat berjalan terpisah. Karena saya berada bersama suami saya sewaktu mereka berupaya menstabilkan dengan RJP (Resusitasi Jantung Paru) dan obat-obatan, saya tidak mengalami gejala penyangkalan yang biasa. Namun, ada perasaan frustrasi yang kuat, seolah-olah saya menyaksikan sebuah mobil terjun ke sebuah tebing dan saya tak mampu berbuat apa-apa untuk mencegahnya.”
Apakah dia menangis? ”Tentu saja, khususnya sewaktu saya membaca ratusan kartu belasungkawa yang saya terima. Saya menangis membaca setiap kartu. Ini membantu saya untuk tegar sepanjang hari tersebut. Tetapi tidak ada yang dapat membantu jika saya berulang kali ditanya bagaimana perasaan saya. Jelas sekali, saya sangat sengsara.”
Apa yang membantu Eunice untuk menghadapi duka citanya? ”Tanpa disengaja, secara tidak sadar saya telah membuat keputusan untuk terus melanjutkan kehidupan saya,” katanya. ”Akan tetapi, apa yang masih menyakitkan saya adalah sewaktu saya ingat bahwa suami saya, yang sangat mengasihi kehidupan, tidak berada di sini untuk menikmatinya.”
”Jangan Biarkan Orang-Orang Lain Mendikte . . .”
Pengarang dari buku Leavetaking—When and How to Say Goodbye (Perpisahan—Kapan dan Bagaimana Mengucapkan Selamat Tinggal) menyarankan ”Jangan biarkan orang-orang lain mendikte tindakan atau perasaan Anda. Proses berduka cita berbeda atas masing-masing orang. Orang-orang lain mungkin berpendapat—dan memberi tahu pendapat mereka—bahwa Anda terlalu berduka cita atau kurang berduka cita. Maafkan mereka dan lupakan hal itu. Dengan berupaya memaksakan diri Anda kepada cetakan yang diciptakan oleh orang-orang lain atau oleh masyarakat secara keseluruhan, Anda menghambat perkembangan untuk memulihkan kesehatan emosi Anda.”
Tentu saja, setiap orang menangani duka cita mereka dengan cara-cara yang berbeda. Kami tidak berupaya menyarankan bahwa satu cara pasti lebih baik daripada cara yang lain bagi masing-masing orang. Akan tetapi, bahaya muncul sewaktu terjadi stagnasi, manakala orang yang dilanda duka cita tidak dapat menerima kenyataan. Saat itulah, bantuan mungkin dibutuhkan dari teman-teman yang berbelas kasihan. Alkitab berkata, ”Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.” Maka janganlah takut untuk mencari bantuan, untuk berbicara, dan untuk menangis.—Amsal 17:17.
Duka cita merupakan reaksi yang normal atas kematian, dan tidak salah jika duka cita Anda terbaca oleh orang-orang lain. Namun pertanyaan-pertanyaan selanjutnya membutuhkan jawaban: ’Bagaimana saya dapat mengatasi duka cita saya? Apakah normal untuk merasa bersalah dan marah? Bagaimana saya harus mengatasi reaksi-reaksi ini? Apa yang dapat membantu saya bertahan menghadapi perasaan kehilangan dan duka cita?’ Bagian berikut akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dan beberapa pertanyaan lain.
a Misalnya, orang-orang Yoruba di Nigeria memiliki kepercayaan tradisional akan reinkarnasi jiwa. Maka, sewaktu seorang ibu kehilangan anaknya, ada duka cita yang dalam namun untuk jangka pendek saja, karena seperti yang dikatakan oleh sebuah refrain nyanyian Yoruba, ”Airnya saja yang tumpah. Kalabas (sejenis labu) tidak hancur.” Menurut orang-orang Yoruba, ini berarti bahwa kalabas yang mengandung air tersebut, sang ibu, dapat melahirkan anak lain—barangkali reinkarnasi dari anak yang mati. Saksi-Saksi Yehuwa tidak mengikuti tradisi mana pun yang didasarkan atas takhayul yang berasal dari gagasan palsu berkenaan jiwa yang tidak berkematian dan reinkarnasi, yang tidak ada dasarnya dalam Alkitab.—Pengkhotbah 9:5, 10; Yehezkiel 18:4, 20.
-
-
Bagaimana Saya Dapat Mengatasi Duka Cita Saya?Bila Seseorang yang Anda Kasihi Meninggal
-
-
Bagaimana Saya Dapat Mengatasi Duka Cita Saya?
”SAYA merasa sangat sulit untuk menekan perasaan saya,” tutur Mike sewaktu mengenang kematian ayahnya. Bagi Mike, menekan duka citanya merupakan tindakan yang jantan. Namun belakangan ia menyadari bahwa ia keliru. Maka, sewaktu sahabat Mike kehilangan kakeknya, Mike tahu apa yang harus diperbuat. Ia berkata, ”Beberapa tahun yang lalu, saya pasti akan menepuk bahunya dan berkata, ’Bersikaplah sebagai laki-laki.’ Namun kini saya menggenggam tangannya dan berkata, ’Rasakan apa saja yang kau harus rasakan. Itu akan membantumu mengatasinya. Jika kau mau ditinggalkan sendirian, saya akan pergi. Jika kau mau ditemani, saya akan tinggal. Tapi jangan takut merasakannya.’”
MaryAnne juga merasa sangat sulit untuk menekan perasaannya sewaktu suaminya meninggal. ”Saya berjuang untuk menjadi contoh yang baik bagi orang-orang lain,” kenangnya, ”sehingga saya tidak memperbolehkan diri saya mengalami perasaan yang normal. Namun pada akhirnya saya belajar bahwa berupaya menjadi tiang yang kuat bagi orang-orang lain tidak membantu saya. Saya mulai menganalisis keadaan saya dan berkata, ’Menangislah jika kau harus menangis. Jangan berupaya untuk terlalu tegar. Keluarkan semua perasaanmu.’”
Jadi, Mike maupun MaryAnne menganjurkan: Biarkanlah diri Anda berduka cita! Dan mereka benar. Mengapa? Karena berduka cita merupakan pengungkapan emosi yang dibutuhkan. Mengungkapkan perasaan Anda dapat meringankan tekanan yang membebani Anda. Pernyataan emosi yang wajar, jika disertai dengan pemahaman dan keterangan yang saksama, memungkinkan Anda menaruh perasaan Anda dalam perspektif yang sepatutnya.
Tentu saja, tidak semua orang menyatakan duka cita dengan cara yang sama. Dan faktor-faktor seperti apakah orang yang dikasihi meninggal secara tiba-tiba atau meninggal setelah lama sakit dapat berpengaruh atas reaksi emosi dari orang-orang yang ditinggalkan. Namun satu hal tampak pasti: Memendam perasaan Anda dapat berbahaya secara fisik maupun emosi. Jauh lebih sehat untuk mengungkapkan duka cita Anda. Bagaimana? Alkitab memuat beberapa saran praktis.
Mengungkapkan Duka Cita—Bagaimana?
Berbicara dapat menjadi pengungkapan yang berguna. Setelah kematian dari kesepuluh anaknya, selain beberapa tragedi pribadi lain, patriark zaman dahulu, Ayub, berkata, ”Aku telah bosan hidup, aku hendak melampiaskan [bahasa Ibrani, ”melepaskan”] keluhanku, aku hendak berbicara dalam kepahitan jiwaku!” (Ayub 1:2, 18, 19; 10:1) Ayub tidak dapat lagi menahan kekhawatirannya. Ia perlu membiarkannya lepas; ia harus ”berbicara”. Demikian pula, dramatikus Inggris, Shakespeare, menulis dalam Macbeth, ”Nyatakan kesedihan dengan kata-kata; duka cita yang terpendam dapat secara senyap membuat diri kewalahan.”
Jadi mengutarakan perasaan Anda kepada seorang ”sahabat” yang akan mendengarkan dengan sabar dan penuh simpati dapat memberikan sejumlah kelegaan. (Amsal 17:17) Mengutarakan pengalaman dan perasaan dalam kata-kata sering membuatnya lebih mudah untuk memahami dan mengatasi kedua hal tersebut. Dan jika sang pendengar adalah seorang yang juga sedang berkabung yang telah dengan efektif mengatasi perasaan kehilangannya sendiri, Anda mungkin dapat memperoleh beberapa saran praktis berkenaan bagaimana Anda dapat mengatasinya. Sewaktu anaknya meninggal, seorang ibu menjelaskan mengapa sangat membantu untuk berbicara kepada wanita lain yang juga pernah menghadapi kehilangan yang serupa, ”Mengetahui bahwa orang lain telah mengalami hal yang sama, telah pulih kembali dengan waras, dan bahwa ia masih bertahan dan kehidupannya mengalami keadaan yang bisa dikatakan kembali normal benar-benar menguatkan saya.”
Contoh-contoh Alkitab memperlihatkan bahwa menulis perasaan Anda dapat membantu Anda untuk menyatakan duka cita
Bagaimana jika Anda tidak merasa leluasa untuk membicarakan perasaan Anda? Setelah kematian Saul dan Yonatan, Daud menggubah sebuah nyanyian ratapan yang sangat emosional yang ke dalamnya ia mencurahkan duka citanya. Gubahan yang sarat dengan ratapan ini akhirnya menjadi bagian dari catatan tertulis buku Dua Samuel dalam Alkitab. (2 Samuel 1:17-27; 2 Tawarikh 35:25) Demikian pula, banyak yang mengalami bahwa lebih mudah menyatakan diri mereka dengan menulis. Seorang janda menceritakan bahwa ia menulis perasaannya dan beberapa hari kemudian membaca apa yang ia tulis. Ia mendapati hal ini suatu pengungkapan yang berguna.
Tidak soal dengan berbicara atau menulis, mengkomunikasikan perasaan Anda dapat membantu Anda mengungkapkan duka cita Anda. Ini juga dapat membantu untuk menjernihkan kesalahpahaman. Seorang ibu yang berkabung menjelaskan, ”Suami saya dan saya mendengar tentang pasangan suami-istri yang bercerai setelah kehilangan seorang anak, dan kami tidak mau hal itu terjadi atas diri kami. Maka kapan saja kami merasa marah, ingin saling mempersalahkan, kami akan mendiskusikannya. Saya rasa kami benar-benar menjadi lebih dekat satu sama lain dengan melakukan hal itu.” Maka, menyatakan perasaan Anda dapat membantu Anda memahami bahwa meskipun Anda mungkin merasakan kehilangan yang sama, orang-orang lain dapat berduka cita dengan cara berbeda—dengan langkah mereka sendiri dan pada jalan mereka sendiri.
Hal lain yang dapat memudahkan pengungkapan duka cita adalah menangis. Ada ”waktu untuk menangis”, kata Alkitab. (Pengkhotbah 3:1, 4) Tentu saja, kematian dari seseorang yang kita kasihi mendatangkan waktu demikian. Mencucurkan air mata duka cita tampaknya merupakan bagian yang perlu dari proses pemulihan.
Seorang wanita muda menjelaskan bagaimana seorang sahabat karib membantunya menghadapi keadaan sewaktu ibunya meninggal. Ia mengenang, ”Sahabat saya selalu siap membantu saya. Ia menangis bersama saya. Ia berbicara bersama saya. Saya dapat sangat berterus terang dengan perasaan saya, dan hal itu yang penting bagi saya. Saya tidak perlu malu untuk menangis.” (Lihat Roma 12:15.) Anda hendaknya juga jangan merasa malu mencucurkan air mata. Seperti yang telah kita lihat, Alkitab memuat contoh dari pria-pria dan wanita-wanita yang beriman—termasuk Yesus Kristus—yang terang-terangan mencucurkan air mata duka cita dan tidak tampak merasa malu.—Kejadian 50:3; 2 Samuel 1:11, 12; Yohanes 11:33, 35.
Dalam setiap kebudayaan, orang-orang yang berduka cita senang menerima penghiburan
Anda mungkin mendapati bahwa untuk beberapa waktu emosi Anda sedikit tidak dapat diduga. Air mata mungkin mengalir tanpa tanda-tanda sebelumnya. Seorang janda mendapati bahwa berbelanja di pasar swalayan (sesuatu yang sering ia lakukan bersama suaminya) dapat membuatnya menangis, khususnya jika, karena terbiasa, ia mengambil makanan yang adalah kesukaan suaminya. Bersabarlah terhadap diri Anda sendiri. Dan jangan merasa bahwa Anda harus menahan air mata. Ingat, menangis merupakan bagian yang wajar dan perlu dari berduka cita.
Mengatasi Rasa Bersalah
Seperti disebutkan sebelumnya, beberapa orang memiliki rasa bersalah setelah kehilangan seseorang yang dikasihi. Ini dapat membantu untuk menjelaskan duka cita yang sangat parah dari Yakub yang setia sewaktu ia dikelabui sehingga percaya bahwa putranya, Yusuf telah terbunuh oleh ”binatang buas”. Yakub sendiri yang mengutus Yusuf untuk memastikan keselamatan saudara-saudaranya. Maka Yakub boleh jadi ditimpa perasaan bersalah, seperti ’Mengapa saya menyuruh Yusuf pergi seorang diri? Mengapa saya menyuruhnya pergi ke daerah yang penuh dengan binatang buas?’—Kejadian 37:33-35.
Barangkali Anda merasa bahwa ada kelalaian di pihak Anda yang berpengaruh atas kematian seseorang yang Anda kasihi. Menyadari rasa bersalah tersebut—yang nyata atau hanya khayalan—merupakan reaksi duka cita yang normal yang dapat berguna. Dalam hal ini juga, jangan merasa bahwa Anda harus memendam perasaan-perasaan itu dalam diri Anda. Mengutarakan betapa Anda merasa bersalah dapat menyediakan banyak kelegaan yang dibutuhkan.
Namun, sadarilah bahwa tidak soal seberapa dalam kasih kita kepada orang lain, kita tidak dapat mengendalikan kehidupannya, kita juga tidak dapat mencegah ”saat dan kejadian yang tak terduga” agar tidak menimpa orang-orang yang kita kasihi. (Pengkhotbah 9:11, NW) Lagi pula, tidak diragukan bahwa motivasi Anda tidak buruk. Misalnya, dengan tidak membuat janji dengan dokter lebih awal, apakah Anda berniat agar orang yang Anda kasihi menjadi sakit atau mati? Tentu saja tidak! Maka apakah Anda benar-benar bersalah karena menyebabkan kematian orang tersebut? Tidak.
Seorang ibu belajar untuk mengatasi rasa bersalah setelah putrinya tewas dalam sebuah kecelakaan mobil. Ia menjelaskan, ”Saya merasa bersalah karena telah menyuruhnya pergi. Namun saya mulai sadar bahwa tidak masuk akal untuk merasa demikian. Tidak ada yang salah dengan menyuruh dia dan ayahnya melakukan suatu tugas. Itu hanyalah kecelakaan yang tragis.”
Anda mungkin berkata, ’Ada banyak hal yang saya sesali tidak saya katakan atau lakukan.’ Memang, tetapi siapa di antara kita yang dapat berkata bahwa kita telah menjadi ayah, ibu, atau anak yang sempurna? Alkitab memperingatkan kita, ”Kita semua bersalah dalam banyak hal; barangsiapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang sempurna.” (Yakobus 3:2; Roma 5:12) Maka, terimalah fakta bahwa Anda tidak sempurna. Terus memikirkan segala macam ”seandainya saja” tidak akan mengubah apa pun, justru akan memperlambat kesembuhan Anda.
Jika Anda memiliki alasan yang kuat untuk percaya bahwa rasa bersalah Anda nyata, bukan khayalan, maka pertimbangkan faktor yang paling penting dari segalanya dalam menyembuhkan rasa bersalah—pengampunan Allah. Alkitab meyakinkan kita, ”Jika Engkau, ya [Yehuwa], mengingat-ingat kesalahan-kesalahan, Tuhan, siapakah yang dapat tahan? Tetapi pada-Mu ada pengampunan.” (Mazmur 130:3, 4) Anda tidak dapat kembali ke masa lalu dan mengubah segala sesuatunya. Namun, Anda dapat memohon pengampunan Allah atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan dahulu. Lalu bagaimana? Nah, jika Allah berjanji untuk mengampuni kesalahan-kesalahan Anda yang lewat, bukankah Anda hendaknya mengampuni diri sendiri?—Amsal 28:13; 1 Yohanes 1:9.
Mengatasi Kemarahan
Apakah Anda juga merasa sedikit marah, barangkali kepada para dokter, juru rawat, teman-teman, atau bahkan kepada orang yang meninggal? Sadarilah bahwa hal ini juga merupakan reaksi yang lazim atas kehilangan. Barangkali kemarahan Anda merupakan akibat wajar yang timbul dari perasaan terluka yang Anda rasakan. Seorang penulis berkata, ”Hanya dengan menyadari kemarahan itu—tidak bertindak menuruti kemarahan tetapi mengetahui bahwa Anda merasakannya—Anda dapat bebas dari pengaruhnya yang merusak.”
Yang juga dapat membantu adalah jika Anda menyatakan atau berbagi kemarahan. Bagaimana? Tentu saja bukan dalam luapan kemarahan yang tidak terkendali. Alkitab memperingatkan kita bahwa kemarahan yang berlarut-larut sangat berbahaya. (Amsal 14:29, 30) Tetapi Anda dapat memperoleh penghiburan dengan membicarakannya dengan seorang teman yang penuh pengertian. Dan ada yang mengalami bahwa gerak badan yang penuh semangat merupakan pengungkapan yang berguna bila mereka marah.—Lihat juga Efesus 4:25, 26.
Meskipun sangat penting bersikap terus terang dan jujur berkenaan perasaan-perasaan Anda, ada yang perlu diingat. Terdapat perbedaan besar antara menyatakan perasaan Anda dan menumpahkannya atas diri orang-orang lain. Tidak perlu menyalahkan orang-orang lain karena kemarahan dan frustrasi Anda. Maka berhati-hatilah dalam mengutarakan perasaan-perasaan Anda, jangan dengan cara-cara yang kasar. (Amsal 18:21) Ada sebuah bantuan yang utama dalam mengatasi duka cita, dan kita sekarang akan membahasnya.
Bantuan dari Allah
Alkitab meyakinkan kita, ”[Yehuwa] itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.” (Mazmur 34:18) Ya, di atas segalanya, hubungan dengan Allah dapat membantu Anda mengatasi kematian dari seseorang yang Anda kasihi. Bagaimana? Semua saran praktis yang ditawarkan sejauh ini didasarkan atas atau selaras dengan Firman Allah, Alkitab. Menerapkannya dapat membantu Anda mengatasinya.
Tambahan pula, jangan menganggap rendah nilai dari doa. Alkitab mendesak kita, ”Serahkanlah kuatirmu kepada [Yehuwa], maka Ia akan memelihara engkau.” (Mazmur 55:23) Jika mengutarakan perasaan-perasaan Anda kepada teman yang penuh simpati dapat membantu, betapa jauh lebih membantu bila Anda mencurahkan hati Anda kepada ”Allah sumber segala penghiburan”!—2 Korintus 1:3.
Bukan doa itu sendiri yang membuat kita merasa lebih baik. Sang ’Pendengar doa’ berjanji untuk memberikan roh kudus-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang dengan tulus meminta hal tersebut. (Mazmur 65:3; Lukas 11:13) Dan roh kudus Allah, atau tenaga aktif, dapat memperlengkapi Anda dengan ”kekuatan yang melimpah-limpah” untuk bertahan dari hari ke hari. (2 Korintus 4:7) Ingatlah: Allah dapat membantu hamba-hamba-Nya yang setia untuk menanggung setiap dan semua problem yang mungkin mereka hadapi.
Seorang wanita yang kehilangan anaknya mengenang bagaimana kuasa doa membantu dia dan suaminya melewati kesedihan mereka. ”Jika kami berdua berada di rumah pada malam hari dan rasa duka cita menjadi tak tertanggungkan lagi, kami akan berdoa bersama dengan suara keras,” ia menjelaskan. ”Saat pertama kami harus melakukan segala sesuatu tanpa anak kami—perhimpunan pertama yang kami ikuti, kebaktian pertama yang kami hadiri—kami akan berdoa memohon kekuatan. Sewaktu kami bangun di pagi hari dan kenyataan dari hal itu tampak tak dapat dipikul lagi, kami akan berdoa kepada Yehuwa untuk membantu kami. Karena beberapa alasan, sangat menimbulkan trauma bagi saya untuk berjalan di dalam rumah seorang diri. Jadi setiap kali saya pulang ke rumah sendirian, saya akan memanjatkan doa kepada Yehuwa memohon agar membantu saya mempertahankan sedikit ketenangan.” Wanita yang setia ini dengan teguh dan benar yakin bahwa doa-doa tersebut sangat membantu. Anda juga mungkin mendapati bahwa, sebagai tanggapan atas doa-doa Anda yang terus-menerus, ’damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu’.—Filipi 4:6, 7; Roma 12:12.
Bantuan yang Allah sediakan jelas sangat berguna. Paulus rasul Kristen mengatakan bahwa Allah ”menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan”. Memang, bantuan ilahi tidak melenyapkan rasa sakit, namun ini dapat membuatnya lebih mudah ditanggung. Hal ini tidak berarti bahwa Anda tidak akan menangis lagi atau akan melupakan orang yang Anda kasihi. Namun Anda dapat pulih. Dan seraya Anda pulih, apa yang telah Anda alami dapat membuat Anda lebih penuh pengertian dan simpatik dalam membantu orang-orang lain mengatasi rasa kehilangan yang serupa.—2 Korintus 1:4.
-
-
Bagaimana Orang Lain Dapat Membantu?Bila Seseorang yang Anda Kasihi Meninggal
-
-
Bagaimana Orang Lain Dapat Membantu?
”JIKA ada sesuatu yang dapat saya bantu, jangan segan memberi tahu saya.” Kebanyakan di antara kita berkata demikian kepada seorang teman atau sanak saudara yang baru saja berkabung. Ya, kita mengucapkannya dengan tulus. Kita akan melakukan apa saja untuk membantu. Namun, apakah orang yang berkabung mendatangi kita dan berkata, ”Terpikir oleh saya akan sesuatu yang Anda dapat lakukan untuk saya”? Biasanya tidak. Jelaslah, kita perlu mengambil beberapa inisiatif jika kita benar-benar ingin membantu dan menghibur orang yang berduka cita.
Sebuah amsal Alkitab berkata, ”Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak.” (Amsal 15:23; 25:11) Dibutuhkan hikmat untuk mengetahui apa yang harus dikatakan dan apa yang jangan dikatakan, apa yang harus dilakukan dan apa yang jangan dilakukan. Berikut ini adalah beberapa saran berdasarkan Alkitab yang didapati berguna oleh beberapa orang yang berkabung.
Apa yang Harus Dilakukan . . .
Dengarkan: ’Cepatlah mendengar’, kata Yakobus 1:19. Salah satu hal paling berguna yang dapat Anda lakukan adalah ikut merasakan kesedihan dari orang yang berkabung dengan mendengarkan. Beberapa orang yang berkabung mungkin perlu berbicara mengenai orang yang mereka kasihi yang telah meninggal, mengenai kecelakaan atau penyakit yang menyebabkan kematiannya, atau mengenai perasaan-perasaan mereka setelah kematian tersebut. Maka tanyakanlah, ”Apakah Anda ingin membicarakannya?” Biarkan mereka yang memutuskan. Ketika mengenang saat ketika ayahnya meninggal, seorang pria muda berkata, ”Saya merasa sangat dibantu sewaktu orang-orang menanyakan apa yang telah terjadi dan kemudian benar-benar mendengarkan.” Maka dengarkanlah dengan sabar dan penuh simpati tanpa perlu merasa bahwa Anda harus menyediakan jawaban atau jalan keluarnya. Biarkan mereka mengutarakan apa pun yang ingin mereka katakan.
Tenteramkan hati mereka: Yakinkan mereka bahwa mereka telah melakukan sebisa mungkin (atau hal-hal lain yang Anda tahu benar dan positif). Tenteramkan hati mereka bahwa apa yang mereka rasakan—kesedihan, kemarahan, perasaan bersalah, atau beberapa emosi lain—sama sekali bukannya tidak lazim. Beri tahu mereka tentang orang-orang lain yang Anda ketahui berhasil pulih dari kehilangan yang serupa. ”Perkataan yang menyenangkan” demikian merupakan ”obat bagi tulang-tulang”, kata Amsal 16:24.—1 Tesalonika 5:11, 14.
Sediakan diri: Sediakan diri Anda, tidak hanya beberapa hari pertama sewaktu banyak teman dan sanak saudara masih ada, tetapi bahkan berbulan-bulan kemudian, sewaktu orang-orang lain telah kembali ke rutin yang normal. Dengan cara ini Anda membuktikan diri Anda sebagai ”sahabat”, yang selalu siap membantu seorang sahabat pada masa ”kesukaran”. (Amsal 17:17) ”Teman-teman kami memastikan bahwa setiap malam kami ada kesibukan supaya kami tidak perlu menghabiskan terlalu banyak waktu sendirian di rumah,” kata Teresea menjelaskan, yang anaknya tewas dalam sebuah kecelakaan mobil. ”Hal ini membantu kami mengatasi perasaan hampa yang kami miliki.” Selama bertahun-tahun setelah itu, hari-hari peringatan, seperti ulang tahun perkawinan atau tanggal dari kematian itu, dapat merupakan saat yang penuh tekanan bagi orang yang ditinggalkan. Mengapa tidak menandai tanggal-tanggal demikian di kalender Anda sehingga pada waktu hari itu tiba, Anda dapat menyediakan diri, jika perlu, untuk memberi dukungan yang penuh simpati?
Jika Anda melihat ada kebutuhan yang sesungguhnya, jangan menunggu untuk dimintai bantuan—ambil inisiatif yang cocok
Ambil inisiatif yang cocok: Apakah ada tugas-tugas yang perlu dikerjakan? Apakah seseorang diperlukan untuk mengasuh anak-anak? Apakah teman-teman dan sanak saudara yang berkunjung membutuhkan tempat menginap? Orang-orang yang baru saja berkabung sering kali begitu tergoncang sehingga mereka bahkan tidak tahu apa yang perlu mereka lakukan, apa lagi memberi tahu orang-orang lain bagaimana mereka dapat membantu. Jadi jika Anda memperhatikan kebutuhan yang sebenarnya, jangan menunggu untuk diminta; ambillah inisiatif. (1 Korintus 10:24; bandingkan 1 Yohanes 3:17, 18.) Seorang wanita yang suaminya meninggal mengenang, ”Banyak yang berkata, ’Jika ada yang dapat saya bantu, jangan segan memberi tahu saya.’ Namun seorang sahabat tidak menanyakannya. Ia langsung pergi ke kamar tidur, menarik sprei dari tempat tidur, dan mencuci hal-hal yang kotor karena kematiannya. Yang lain mengambil sebuah ember, air, dan alat-alat pembersih dan menggosok permadani yang terkena muntahan suami saya. Beberapa minggu kemudian, salah seorang penatua sidang mampir dengan pakaian kerjanya dan berkata, ’Saya yakin pasti ada sesuatu yang perlu diperbaiki. Apa yang bisa saya perbaiki?’ Hati saya tersentuh oleh kasih saudara tersebut karena ia memperbaiki pintu yang engselnya lepas dan karena memperbaiki sebuah peralatan listrik!”—Bandingkan Yakobus 1:27.
Bersifat suka menerima tamu: ”Janganlah kamu lupa memberi tumpangan [”sifat suka menerima tamu”, NW],” demikian Alkitab mengingatkan kita. (Ibrani 13:2) Kita teristimewa harus ingat untuk memperlihatkan sifat suka menerima tamu kepada orang-orang yang berduka cita. Sebaliknya daripada undangan ”datanglah kapan saja”, tetapkan hari dan waktunya. Jika mereka menolak, jangan cepat menyerah. Anjuran yang lembut mungkin dibutuhkan. Barangkali mereka menolak undangan Anda karena mereka takut kehilangan kendali atas emosi-emosi mereka di hadapan orang-orang lain. Atau mereka mungkin merasa bersalah karena menikmati makan bersama dan pergaulan pada saat seperti itu. Ingatlah tentang Lidia, wanita yang suka menerima tamu yang disebutkan dalam Alkitab. Setelah diundang ke rumahnya, Lukas berkata, ”Ia mendesak sampai kami menerimanya.”—Kisah 16:15.
Bersabar dan berpengertian: Jangan terlalu terkejut dengan apa yang mungkin dikatakan oleh orang-orang yang berkabung pada mulanya. Ingat, mereka mungkin merasa marah dan merasa bersalah. Jika ledakan emosi ditujukan kepada Anda, dibutuhkan pemahaman dan kesabaran di pihak Anda untuk tidak menanggapi dengan perasaan kesal. ”Kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran,” demikian saran Alkitab.—Kolose 3:12, 13.
Tulis sepucuk surat: Yang sering diabaikan adalah nilai dari sepucuk surat yang menyatakan belasungkawa atau sebuah kartu yang menyatakan turut berduka cita. Manfaatnya? Cindy, yang kehilangan ibunya karena kanker, menjawab, ”Seorang teman menulis surat yang indah. Itu benar-benar membantu karena saya dapat membacanya berulang kali.” Surat atau kartu yang menganjurkan seperti itu dapat disusun ”dengan sedikit kata-kata”, namun itu hendaknya benar-benar keluar dari hati. (Ibrani 13:22) Anda dapat menulis bahwa Anda turut prihatin dan Anda memiliki kenangan khusus akan orang yang meninggal, atau Anda dapat memperlihatkan bagaimana orang yang meninggal itu telah meninggalkan kesan khusus dalam kehidupan Anda.
Berdoa bersama mereka: Jangan meremehkan nilai dari doa-doa Anda bersama dan untuk orang yang sedang berkabung. Alkitab berkata di Yakobus 5:16, ”Doa orang yang benar . . . sangat besar kuasanya.” (Yakobus 5:16) Misalnya, mendengarkan Anda berdoa demi kepentingan mereka dapat membantu mereka menyembuhkan perasaan-perasaan negatif seperti rasa bersalah.—Bandingkan Yakobus 5:13-15.
Apa yang Jangan Dilakukan . . .
Kehadiran Anda di rumah sakit dapat menganjurkan orang yang berkabung
Jangan menjauhi mereka karena Anda tidak tahu apa yang harus dikatakan atau dilakukan: ’Saya yakin sekarang mereka perlu berada seorang diri,’ kita mungkin berkata kepada diri kita sendiri. Namun barangkali kebenarannya adalah bahwa kita menjauhi mereka karena kita takut akan mengatakan atau melakukan sesuatu yang salah. Akan tetapi, dihindari oleh teman-teman, sanak saudara, atau rekan-rekan seiman hanya membuat orang yang berkabung semakin kesepian, menambah kepada rasa sedih mereka. Ingat, kata-kata dan tindakan yang paling baik sering kali adalah yang paling sederhana. (Efesus 4:32) Kehadiran Anda saja dapat menjadi sumber anjuran. (Bandingkan Kisah 28:15.) Mengenang hari ketika putrinya meninggal, Teresea berkata, ”Dalam waktu satu jam, ruang tunggu rumah sakit dipenuhi oleh teman-teman kami; semua penatua dan istri mereka berada di sana. Beberapa saudari bahkan belum sempat melepaskan rol rambut mereka, beberapa masih mengenakan baju kerja mereka. Mereka meninggalkan apa yang mereka kerjakan dan segera datang. Banyak dari mereka memberi tahu kami bahwa mereka tidak tahu apa yang harus dikatakan, tetapi itu tidak menjadi soal karena kehadiran mereka saja sangat berarti.”
Jangan mendesak mereka untuk berhenti berduka cita: ’Sudah, sudah, jangan menangis,’ kita mungkin ingin berkata demikian. Namun bisa jadi lebih baik untuk membiarkan air mata bercucuran. ”Saya rasa penting untuk membiarkan orang yang berkabung memperlihatkan emosi mereka dan benar-benar melampiaskan perasaan mereka,” kata Katherine, mengenang kematian suaminya. Lawanlah kecenderungan untuk memberi tahu orang-orang lain apa yang harus mereka rasakan. Dan jangan menduga bahwa Anda harus menyembunyikan perasaan-perasaan Anda untuk menjaga perasaan mereka. Sebaliknya, ”menangislah dengan orang yang menangis”, demikian saran Alkitab.—Roma 12:15.
Jangan tergesa-gesa menganjurkan mereka untuk menyingkirkan baju atau barang-barang pribadi lain dari orang yang meninggal sebelum mereka merasa siap: Kita mungkin merasa bahwa lebih baik bagi mereka untuk menyingkirkan barang-barang yang menggugah kenangan karena hal-hal itu setidaknya memperpanjang duka cita. Namun pepatah ”Jauh di mata, jauh di hati”: mungkin tidak berlaku di sini. Orang yang berkabung mungkin perlu perlahan-lahan melepas orang yang meninggal. Ingatlah gambaran Alkitab berkenaan reaksi Yakub sewaktu ia dikelabui sehingga percaya bahwa Yusuf putranya yang masih remaja telah dibunuh oleh binatang buas. Setelah jubah Yusuf yang berlumuran darah diberikan kepada Yakub, ”berkabunglah ia berhari-hari lamanya karena anaknya itu. Sekalian anaknya laki-laki dan perempuan berusaha menghiburkan dia, tetapi ia menolak dihiburkan”.—Kejadian 37:31-35.
Jangan mengatakan, ’Anda dapat memiliki bayi lagi’: ”Saya benci orang-orang memberi tahu saya bahwa saya dapat memiliki anak lagi,” kenang seorang ibu yang ditinggal mati anaknya. Mereka mungkin bermaksud baik, tetapi bagi orang-tua yang berduka cita, ucapan yang menyatakan bahwa anak yang meninggal bisa digantikan dapat menjadi ’seperti tikaman pedang’. (Amsal 12:18) Seorang anak tidak dapat digantikan oleh anak lain. Mengapa? Karena masing-masing anak unik.
Bila tidak perlu jangan menghindari menyebutkan nama orang yang meninggal: ”Banyak orang bahkan tidak mau menyebutkan nama putra saya Jimmy atau berbicara tentangnya,” kenang seorang ibu. ”Saya harus akui saya merasa sedikit terluka sewaktu orang-orang melakukan hal itu.” Jadi, tidak perlu mengganti topik percakapan sewaktu nama orang yang meninggal disebutkan. Tanyakan orangnya apakah ia ingin membicarakan orang yang ia kasihi. (Bandingkan Ayub 1:18, 19 dan 10:1.) Beberapa orang yang berkabung senang mendengarkan teman-teman mereka menceritakan sifat-sifat istimewa yang membuat mereka menyayangi orang yang telah meninggal.—Bandingkan Kisah 9:36-39.
Jangan tergesa-gesa berkata, ’Ini yang terbaik baginya’: Berupaya mencari sesuatu yang positif berkenaan kematian tidak selalu ’menghibur mereka yang tawar hati’ yang sedang berduka cita. (1 Tesalonika 5:14) Ketika mengenang saat ibunya meninggal, seorang wanita muda berkata, ”Orang-orang lain berkata, ’Ia tidak menderita lagi sekarang’ atau, ’Setidaknya ia berada dalam damai sekarang.’ Tetapi saya tidak suka mendengar hal-hal semacam itu.” Komentar-komentar demikian secara tidak langsung dapat menyatakan bahwa orang-orang yang ditinggalkan tidak boleh merasa sedih atau bahwa kematian ini tidak berarti. Akan tetapi, mereka bisa jadi merasa sangat sedih karena mereka sangat kehilangan orang yang mereka kasihi.
Sebaiknya jangan berkata, ’Saya tahu bagaimana perasaan Anda’: Apakah memang demikian? Misalnya, mungkinkah Anda mengetahui apa yang dirasakan orang-tua sewaktu seorang anak meninggal jika Anda sendiri tidak pernah mengalami kehilangan demikian? Dan bahkan jika Anda telah mengalaminya, sadarilah bahwa orang-orang mungkin tidak merasakan hal yang persis sama seperti yang Anda rasakan. (Bandingkan Ratapan 1:12.) Di lain pihak, jika tampak cocok, mungkin ada beberapa manfaat dengan memberi tahu bagaimana Anda telah pulih dari perasaan kehilangan orang yang Anda kasihi. Seorang wanita yang putrinya mati dibunuh merasa terbina sewaktu seorang ibu yang putrinya telah meninggal memberi tahu dia bagaimana ibu itu kembali kepada kehidupan yang normal. Ia berkata, ”Ibu dari anak yang meninggal itu tidak mengawali ceritanya dengan ’Saya tahu bagaimana perasaan Anda’. Ia sekadar memberi tahu saya segala sesuatu yang ia alami dan membiarkan saya memberi tanggapan atasnya.”
Membantu orang yang berkabung menuntut kasih sayang, daya pengamatan, dan banyak kasih di pihak Anda. Jangan menunggu sampai orang yang berkabung datang kepada Anda. Jangan sekadar berkata, ”Jika ada sesuatu yang dapat saya bantu . . .” Cari tahu apa ”sesuatu” itu, dan kemudian ambil inisiatif yang cocok.
Masih ada beberapa pertanyaan: Bagaimana dengan harapan Alkitab tentang kebangkitan? Hal itu dapat berarti apa bagi Anda dan orang yang dikasihi yang telah meninggal? Bagaimana kita dapat merasa yakin bahwa itu merupakan harapan yang dapat diandalkan?
-