Afrika Selatan
JIKA Saudara menyusuri jalan yang ramai di salah satu kota di Afrika Selatan, Saudara dapat melihat keanekaragaman warna kulit, dari warna hitam legam sampai putih pucat. Di tengah-tengah kebisingan lalu lintas, Saudara bisa mendengar cuplikan percakapan dalam berbagai bahasa. Gedung-gedung perkantoran yang menjulang tinggi melindungi Saudara dari matahari yang terik seraya Saudara berjalan melewati para penjaja buah, cenderamata, dan pakaian jadi. Kalau mau, Saudara dapat berhenti untuk bercukur rambut di trotoar.
Di antara lebih dari 44 juta penduduk yang begitu bervariasi, sulit mengenali mana orang Afrika Selatan yang asli. Penduduk pribumi kulit hitam, kira-kira 75 persen total penduduk, terdiri dari orang Zulu, Xhosa, Sotho, Pedi, dan Tswana, serta beberapa kelompok kecil lain. Penduduk kulit putih terutama terdiri dari orang yang berbahasa Inggris dan Afrikaan. Ini termasuk keturunan pemukim asal Belanda dari pertengahan abad ke-17, disusul kaum Huguenot Prancis. Para pemukim Inggris tiba pada awal abad ke-19.
Ada juga komunitas besar orang India, yaitu keturunan para buruh yang bekerja di perkebunan tebu di Natal (sekarang di KwaZulu-Natal). Karena percampuran suku dan kebudayaan ini, Afrika Selatan cocok disebut Bangsa Pelangi.
Dahulu, hubungan antarras diwarnai banyak problem. Kebijakan apartheid mendapat kecaman internasional. Pada tahun-tahun belakangan, dicabutnya apartheid dan didirikannya pemerintahan yang dipilih secara demokratis mendapat publisitas positif.
Sekarang, semua ras dapat bebas berbaur—mereka bisa pergi ke tempat umum mana pun, seperti bioskop atau restoran. Tidak soal apa rasnya, orang bebas memilih tempat tinggalnya, asalkan ia mampu.
Meskipun begitu, setelah perasaan senang yang awal itu mereda, pertanyaan-pertanyaan yang tak terelakkan pun bermunculan. Sejauh mana pemerintahan yang baru akan memulihkan dampak buruk ketidakadilan apartheid? Perlu waktu berapa lama? Setelah lebih dari sepuluh tahun berlalu, problem-problem serius tak kunjung tuntas. Problem-problem besar yang dihadapi pemerintah antara lain ialah kejahatan yang bertambah, tingkat pengangguran sebesar 41 persen lebih, dan pengidap HIV positif yang ditaksir berjumlah lima juta orang. Banyak orang sadar bahwa tidak ada pemerintahan manusia yang dapat menyingkirkan penyakit-penyakit ini sehingga mereka mencari solusi ke tempat lain.
PEMANDANGAN YANG INDAH
Terlepas dari problem-problem di negeri itu, para wisatawan tetap terpukau oleh keindahan alamnya. Objek-objek wisatanya antara lain pantai yang bermandikan cahaya matahari, barisan pegunungan yang megah, serta beragam jalan untuk lintas alam. Di kota-kotanya, Saudara bisa menemukan berbagai toko dan restoran berkelas dunia. Iklim yang sedang menambah daya tarik Afrika Selatan.
Satwa liar yang beraneka ragam merupakan daya tarik utama. Di negeri ini, ada sekitar 200 spesies mamalia, 800 spesies burung, dan 20.000 jenis tanaman berbunga. Orang-orang berdatangan ke cagar-cagar alam, misalnya Taman Nasional Kruger. Di alam bebas sana, Saudara dapat melihat ”lima besar” Afrika: gajah, badak, singa, macan tutul, dan kerbau.
Pengalaman yang tak terlupakan adalah kunjungan ke salah satu hutan khas Afrika Selatan. Di tempat yang damai dan teduh ini, Saudara dapat mengagumi tanaman pakis, lumut kerak, dan bunga-bunga yang unik, serta burung dan serangga yang eksotis. Seraya menengadah ke sebuah pohon yellowwood yang besar, Saudara terkagum-kagum bahwa pohon raksasa ini tumbuh dari benih yang sangat kecil. Beberapa di antaranya bisa mencapai 50 meter dan berumur seribu tahun.
Namun selama satu abad, ada benih jenis lain yang ditanam dan dipupuk di negeri ini. Itu adalah kabar baik Kerajaan Allah, yang telah ditaburkan dalam hati orang-orang. Pemazmur menyamakan orang yang menyambut kabar baik dengan pohon besar ketika ia menulis, ”Orang adil-benar akan berkembang seperti pohon palem; seperti pohon aras di Lebanon, ia akan menjadi besar.” (Mz. 92:12) Orang-orang adil-benar demikian akan hidup lebih lama daripada kebanyakan yellowwood yang paling tua, karena Yehuwa menjanjikan kehidupan abadi kepada mereka.—Yoh. 3:16.
PERTUMBUHAN DARI BEBERAPA BENIH
Selama abad ke-19, negeri itu diguncang oleh peperangan dan konflik politis. Ditemukannya intan dan emas pada pengujung abad itu berdampak luas. Dalam buku The Mind of South Africa, Allister Sparks menjelaskan, ”Dalam sekejap, negeri pastoral berubah menjadi negeri industri, yang menyedot orang dari desa ke kota serta mengubah kehidupan mereka.”
Pada tahun 1902, benih kebenaran Alkitab yang pertama tiba di Afrika Selatan dalam barang bawaan seorang pemimpin agama dari Belanda. Salah satu kotaknya berisi beberapa publikasi dari Siswa-Siswa Alkitab, sebutan bagi Saksi-Saksi Yehuwa kala itu. Publikasi itu sampai di tangan Frans Ebersohn dan Stoffel Empatie, di Klerksdorp. Mereka mengenali apa yang dibacanya sebagai kebenaran dan mulai memberikan kesaksian kepada orang lain. Lebih dari 80 kerabat keluarga Fourie yang mencakup lima generasi dan beberapa keturunan keluarga Ebersohn menjadi hamba Yehuwa yang berbakti. Salah seorang dari keturunan Fourie sekarang melayani di Betel Afrika Selatan.
Pada tahun 1910, William W. Johnston dari Glasgow, Skotlandia, diutus ke Afrika Selatan untuk membuka kantor cabang Siswa-Siswa Alkitab. Saudara Johnston, yang ketika itu baru menginjak usia 30 tahun, berwatak serius dan dapat diandalkan. Kantor cabang yang didirikannya hanya berupa ruangan kecil di sebuah gedung di Durban. Kantor ini dipercayakan untuk mengawasi wilayah yang luas sekali, boleh dikatakan seluruh Afrika bagian selatan di bawah garis khatulistiwa.
Pada tahun-tahun awal itu, kabar baik mulai berakar khususnya di komunitas kulit putih. Ketika itu, lektur Siswa-Siswa Alkitab hanya tersedia dalam bahasa Belanda serta Inggris, dan baru bertahun-tahun kemudian, beberapa publikasi diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa setempat. Belakangan, pekerjaan berkembang di empat ladang—komunitas kulit putih, hitam, berwarna,a dan keturunan India.
Sejak tahun 1911, dilaporkan bahwa ada kemajuan di antara komunitas-komunitas kulit hitam di negeri itu. Johannes Tshange pulang ke kampung halamannya, yaitu Ndwedwe dekat Durban. Ia memiliki pengetahuan tentang kebenaran Alkitab, yang ia bagikan kepada orang-orang lain. Ia memimpin pelajaran Alkitab secara teratur dengan kelompok kecil, menggunakan Studies in the Scriptures dalam bahasa Inggris. Kelompok ini ternyata menjadi sidang kulit hitam pertama di Afrika Selatan.
Kelompok tersebut menarik perhatian pemimpin agama setempat. Anggota-anggota Gereja Metodis Wesley menanyai mereka apakah mereka berpaut pada ajaran gereja. Kelompok itu menjawab bahwa mereka mengajarkan apa yang terdapat dalam Alkitab. Setelah banyak berdiskusi, anggota-anggota kelompok ini dikucilkan dari gereja. Saudara Johnston menghubungi kelompok itu dan secara teratur mengunjungi mereka untuk memimpin perhimpunan serta memberikan bantuan. Meskipun Siswa-Siswa Alkitab hanya sedikit, ada banyak pekerjaan pemberitaan yang telah dilakukan. Sebuah laporan pada tahun 1912 memperlihatkan bahwa sebanyak 61.808 risalah telah disebarkan. Selain itu, pada akhir tahun 1913, 11 surat kabar di Afrika Selatan menerbitkan ceramah-ceramah C. T. Russell, seorang Siswa Alkitab yang terkenal, dalam empat bahasa.
KEMAJUAN TEOKRATIS SELAMA MASA PERANG
Tahun 1914 adalah tahun yang penting bagi kelompok kecil hamba-hamba Yehuwa di Afrika Selatan, seperti halnya bagi umat Allah di seluruh dunia. Banyak yang berharap menerima pahala surgawi pada saat itu. Dalam laporan tahunan yang dikirimkan Saudara Johnston ke kantor pusat sedunia di Brooklyn, New York, ia menulis, ”Dalam laporan tahunan sebelumnya, saya menyatakan harapan bahwa pada kesempatan berikutnya kami akan melapor ke kantor pusat di alam roh. Harapan tersebut tidak terwujud.” Namun, ia menambahkan, ”Tahun lalu adalah tahun tersibuk dalam sejarah pekerjaan panen di Afrika.” Sebagian besar kemudian sadar bahwa ada lebih banyak pekerjaan yang harus dilaksanakan, dan mereka senang untuk ambil bagian. Semangat yang meningkat itu tercermin dalam laporan untuk tahun 1915, yang memperlihatkan bahwa 3.141 eksemplar Studies in the Scriptures telah ditempatkan, kira-kira dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya.
Salah seorang yang menemukan kebenaran pada waktu itu adalah Japie Theron, seorang pengacara yang kompeten. Ia membaca sebuah artikel di surat kabar Durban yang menyebutkan tentang lektur yang diterbitkan oleh Siswa-Siswa Alkitab beberapa puluh tahun sebelumnya. Artikel dalam surat kabar itu memperlihatkan bahwa peristiwa-peristiwa yang berkembang sejak 1914 telah dinubuatkan dalam seri buku Studies in the Scriptures, yang menjelaskan nubuat Alkitab. Japie menulis, ”Saya harus memiliki buku-buku ini, dan setelah berburu ke semua toko buku tanpa hasil, saya akhirnya mendapatkan satu set dengan menyurati kantor cabang di Durban. Benar-benar penyingkapan yang luar biasa! Betapa senangnya memahami ’perkara-perkara tersembunyi’ yang dicatat dalam Alkitab!” Akhirnya, Japie dibaptis, dan ia dengan bersemangat membagikan kebenaran Alkitab kepada orang-orang lain hingga kematiannya yang dini akibat penyakit pada tahun 1921.
Pada bulan April 1914, kebaktian pertama Siswa-Siswa Alkitab Internasional di Afrika Selatan diadakan di Johannesburg. Dari 34 hadirin, ada 16 yang dibaptis.
Pada tahun 1916, ”Drama-Foto Penciptaan” tiba dan disambut dengan baik di seluruh negeri. Surat kabar Cape Argus melaporkan, ”Sukses yang dicapai dari hasil produksi seri Film Alkitab yang bagus ini menunjukkan bahwa upaya yang berani dan berwawasan dari Perkumpulan Siswa-Siswa Alkitab Internasional untuk membawanya ke negeri ini sama sekali tidak sia-sia.” Pengaruh ”Drama-Foto” di lapangan tidak segera terlihat, namun ada banyak orang yang datang dan kesaksian yang baik diberikan di daerah yang luas dalam waktu singkat. Saudara Johnston mengadakan perjalanan sejauh kira-kira 8.000 kilometer ke seluruh negeri untuk menayangkannya.
Kematian Saudara Russell pada tahun yang sama membuat pekerjaan pemberitaan di Afrika Selatan mengalami kemunduran untuk sementara, seperti halnya di tempat-tempat lain. Ada yang merasa kesal dengan perubahan yang harus dibuat setelah kematiannya, dan mereka menimbulkan perpecahan di sidang-sidang setempat. Misalnya di Durban, sebagian besar anggota sidang memisahkan diri dan mengadakan perhimpunan sendiri. Mereka menyebut diri ”Associated Bible Students”. Hanya 12 orang yang tersisa dari sidang semula, kebanyakan adalah saudari. Hal ini membuat Henry Myrdal, seorang remaja yang baru dibaptis, berada dalam posisi yang sulit. Ayahnya bergabung dengan para penentang, sedangkan ibunya tetap bergabung dengan sidang yang jumlah anggotanya menyusut. Setelah pemikiran yang cermat disertai doa, Henry memutuskan untuk tetap bergabung dengan sidang itu. Seperti yang umumnya terjadi, kelompok yang memisahkan diri itu berumur pendek.
Pada tahun 1917, kantor cabang dipindahkan dari Durban ke Cape Town. Jumlah penyiar terus meningkat. Pada waktu itu, diperkirakan ada 200 hingga 300 Siswa Alkitab keturunan Eropa serta sejumlah sidang yang berkembang di antara penduduk kulit hitam.
Pada tahun 1917, kantor cabang Afrika Selatan melaporkan, ”Kendati kami tidak memiliki lektur dalam bahasa-bahasa setempat, pemahaman saudara-saudara pribumi tentang kebenaran sekarang sungguh luar biasa. Kami hanya dapat mengatakan, ’Itu pekerjaan dari Tuan dan menakjubkan di mata kami.’” Saudara-saudara dari Nyasaland (sekarang Malawi) datang ke Afrika Selatan untuk bekerja, dan mereka membantu banyak orang di ladang kulit hitam menjadi murid. Di antara yang datang terdahulu adalah James Napier dan McCoffie Nguluh.
PEJUANG YANG TAK GENTAR DEMI KEBENARAN
Pada tahun-tahun awal, kelompok kecil penginjil membela kebenaran tanpa gentar. Di Nylstroom, Transvaal Utara (sekarang Provinsi Limpopo), dua murid sekolah membaca buku kecil What Say the Scriptures About Hell? (Apa Kata Alkitab tentang Neraka?) Mereka sangat senang mengetahui kebenaran tentang orang mati. Salah seorang di antara mereka, Paul Smit,b mengatakan, ”Nylstroom gempar, bak dilanda angin puting beliung, ketika kami dua murid sekolah memberi tahu dengan cara yang sangat gamblang bahwa doktrin-doktrin gereja itu palsu. Dalam waktu singkat, segala macam orang berbicara tentang agama baru ini. Seperti biasa, para pemimpin agama menyalahgambarkan dan menindas umat Allah. Khotbah mereka setiap minggu selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, berkisar pada ’agama palsu’ ini.” Meskipun begitu, pada tahun 1924, ada sebuah kelompok kecil yang terdiri dari 13 penyiar aktif di Nylstroom.
Pada tahun 1917, Piet de Jager mendalami teologi di universitas di Stellenbosch. Seorang teman sekolahnya sedang membaca dan berbicara tentang lektur yang diterbitkan oleh Siswa-Siswa Alkitab. Hal ini membuat cemas para pejabat gereja, yang meminta Piet berbicara kepada siswa tersebut dan mengundangnya menghadiri pelajaran Alkitab mingguan yang diorganisasi oleh Perkumpulan Siswa-Siswa Kristen. Hasilnya tidak seperti yang diharapkan oleh para pejabat itu. Piet sendiri menerima kebenaran. Setelah berdebat tanpa hasil dengan para profesornya tentang jiwa, neraka, dan hal-hal lain, ia meninggalkan universitas.
Belakangan, sebuah debat terbuka diatur antara Piet dan seorang doktor teologi dari Gereja Reformasi Belanda, Dwight Snyman, yang dihadiri 1.500 siswa. Saudara Attie Smit menggambarkan jalannya peristiwa, ”Piet menyanggah setiap pokok bahasan yang diajukan doktor ahli ini dan membuktikan dari Alkitab bahwa gereja menganut doktrin-doktrin yang tidak berdasarkan Alkitab. Salah seorang siswa menyimpulkan pandangannya sendiri, ’Jika saya tidak percaya bahwa Piet de Jager keliru, saya akan bersumpah bahwa ia benar karena ia telah membuktikan segala sesuatu dari Alkitab dengan ayat-ayat!’”
MENABUR BENIH DI KOMUNITAS LAINNYA
Pada kunjungan ke Franschhoek, kota kecil dekat Stellenbosch, Saudara Johnston menghubungi beberapa warga masyarakat kulit berwarna yang tinggal di sana. Bertahun-tahun sebelumnya, seorang guru sekolah setempat, Adam van Diemen, telah keluar dari Gereja Reformasi Belanda dan membentuk sebuah kelompok agama yang kecil. Saudara Johnston mengunjunginya, dan Tn. van Diemen menerima lektur untuk dirinya dan juga untuk teman-temannya.
Van Diemen dan beberapa temannya menerima kebenaran dan dengan giat menyampaikan pengetahuan mereka kepada orang lain. Hal ini membubuh dasar yang baik untuk penyebaran kabar baik Kerajaan di ladang penduduk kulit berwarna. G. A. Daniels, ketika itu berusia 17 tahun, belajar kebenaran pada waktu ini dan membaktikan sisa kehidupannya dalam dinas kepada Yehuwa.
Pada tahun-tahun belakangan, David Taylor, seorang saudara kulit berwarna, juga dengan bersemangat ikut membagikan kebenaran Alkitab di ladang ini. Ia mulai belajar Alkitab dengan Siswa-Siswa Alkitab pada usia 17 tahun. Pada tahun 1950, ia dilantik sebagai pengawas keliling dan ditugasi mengunjungi semua sidang dan kelompok terpencil kulit berwarna di negeri ini, yang ketika itu sudah bertambah menjadi 24. Untuk itu, ia harus mengadakan banyak perjalanan dengan kereta api dan bus.
KEMAJUAN TEOKRATIS PADA MASA-MASA SULIT
Pada tahun 1918, Saudara Johnston ditugasi mengawasi pemberitaan Kerajaan di Australia, dan Henry Ancketill diminta melayani sebagai pengawas cabang di Afrika Selatan. Sebelumnya, ia adalah anggota dewan legislatif di Natal. Ia sudah pensiun, dan walaupun usianya tidak muda lagi, ia melaksanakan tugasnya dengan baik selama enam tahun berikutnya.
Meskipun ada masa pergolakan akibat perang dan penyesuaian secara organisasi, pertambahan terus berlanjut seraya banyak orang dengan antusias menyambut kebenaran Alkitab. Pada tahun 1921, Christiaan Venter, pengawas sebuah tim pekerja bagian perawatan rel kereta api, melihat secarik kertas terselip di bawah rel. Ternyata, itu adalah risalah yang diterbitkan oleh Siswa-Siswa Alkitab. Ia membacanya dan berlari menemui menantunya, Abraham Celliers. Kata Christiaan, ”Abraham, hari ini saya telah menemukan kebenaran!” Kedua pria ini memperoleh lebih banyak lektur berdasarkan Alkitab dan mempelajarinya dengan rajin. Kedua-duanya menjadi Saksi-Saksi yang berbakti dan membantu banyak orang belajar kebenaran. Lebih dari seratus orang keturunan mereka menjadi Saksi-Saksi Yehuwa.
EKSPANSI LEBIH LANJUT
Pada tahun 1924, sebuah mesin cetak dikirimkan ke Cape Town. Selain itu, dua saudara datang dari Inggris untuk membantu—Thomas Walder, yang menjadi pengawas cabang, dan George Phillips,c yang menggantikan dia sebagai pengawas cabang beberapa tahun kemudian. Saudara Phillips melayani dalam kedudukan ini selama hampir 40 tahun dan memberikan sumbangsih yang besar dalam memajukan dan meneguhkan pekerjaan Kerajaan di Afrika Selatan.
Pekerjaan penginjilan semakin digiatkan pada tahun 1931 dengan adanya resolusi untuk menerima nama Saksi-Saksi Yehuwa. Pada saat itu, dirilis buku kecil The Kingdom, the Hope of the World (Kerajaan, Harapan bagi Dunia) yang memuat teks lengkap resolusi tersebut. Buku kecil itu disebarkan ke seluruh negeri, dan upaya dikerahkan untuk menempatkannya kepada setiap pemimpin agama, politikus, dan pengusaha yang terkemuka di daerah tersebut.
KANTOR CABANG YANG BARU
Pada tahun 1933, kantor cabang pindah ke bangunan yang lebih besar yang disewa di Cape Town dan tetap di sana hingga tahun 1952. Ketika itu, anggota keluarga Betel sudah berjumlah 21 orang. Para pekerja Betel masa awal itu tinggal di rumah saudara-saudara, dan setiap hari mereka mengadakan perjalanan ke kantor serta percetakan. Setiap pagi sebelum mulai bekerja, mereka berkumpul di ruang ganti pakaian gedung percetakan untuk membahas ayat harian. Setelah itu, mereka bersama-sama mengucapkan Doa Bapak Kami.
Ada yang tinggal terlalu jauh sehingga tidak bisa pulang untuk makan siang. Mereka diberi satu shilling dan sixpence (15 sen Afrika Selatan) untuk membeli makanan. Dengan uang itu, mereka dapat membeli sepiring kentang lumat dan sepotong kecil sosis di kafe stasiun kereta api atau mereka dapat membeli seketul roti dan sedikit buah.
Pada tahun 1935, Andrew Jack, seorang tukang cetak yang ahli, dikirim untuk membantu pekerjaan percetakan di cabang Cape Town. Ia berkebangsaan Skotlandia, berperawakan ramping, dan murah senyum. Sebelumnya, ia melayani sepenuh waktu di negara-negara Baltik, yakni Lituania, Latvia, dan Estonia. Setibanya di Afrika Selatan, Andrew mendapatkan lebih banyak peralatan cetak, dan tak lama kemudian percetakan yang dioperasikan oleh satu orang itu bekerja dengan kecepatan penuh. Mesin cetak otomatis pertama, sebuah Frontex, dipasang pada tahun 1937. Selama 40 tahun lebih, mesin itu memproduksi jutaan selebaran dan formulir serta majalah dalam bahasa Afrikaan.
Andrew melayani di Betel Afrika Selatan sepanjang sisa kehidupannya. Bahkan ketika sudah sangat lanjut usia, ia menjadi teladan bagi keluarga Betel, dengan ikut dalam dinas lapangan secara teratur. Sebagai seorang saudara terurap yang setia, Andrew, menyelesaikan kehidupannya di bumi pada tahun 1984 ketika berusia 89 tahun, setelah membaktikan 58 tahun dalam dinas.
PERTUMBUHAN PESAT SELAMA MASA PERANG
Dampak perang dunia kedua di Afrika Selatan tidaklah sedramatis di Eropa, meskipun banyak orang Afrika Selatan ikut berperang di Afrika dan Italia. Publisitas yang luas diberikan agar orang-orang mendukung perang dan tertarik untuk direkrut. Meskipun semangat patriotis yang sangat tinggi di kalangan masyarakat saat itu, pada akhir tahun dinas 1940 ada puncak baru sebanyak 881 penyiar—kenaikan 58,7 persen dibanding puncak tahun sebelumnya, 555 penyiar!
Pada bulan Januari 1939, Consolation (kini Sedarlah!) diterbitkan untuk pertama kalinya dalam bahasa Afrikaan. Ini juga adalah majalah pertama yang dicetak oleh Saksi-Saksi Yehuwa di Afrika Selatan. Huruf-huruf untuk majalah ini disusun dengan tangan, suatu proses yang lambat. Segera, diputuskan untuk menerbitkan Menara Pengawal dalam bahasa Afrikaan. Meskipun saudara-saudara tidak menyadarinya saat itu, keputusan tersebut ternyata tepat waktu mengingat peristiwa-peristiwa yang akan datang di Eropa. Sebuah mesin Linotype dan mesin pelipat dipasang. Terbitan pertama muncul pada tanggal 1 Juni 1940.
Hingga saat itu, saudara-saudara menerima Menara Pengawal berbahasa Belanda dari Negeri Belanda bagi para pembaca berbahasa Afrikaan, mengingat kedua bahasa tersebut mirip. Namun, pada bulan Mei 1940, karena invasi Hitler ke Negeri Belanda, kantor cabang di negeri itu mendadak ditutup. Akan tetapi, pencetakan Menara Pengawal berbahasa Afrikaan telah dimulai di Afrika Selatan, sehingga saudara-saudara tidak kehilangan satu terbitan pun. Penempatan majalah setiap bulan naik menjadi 17.000 eksemplar.
KEMAJUAN MESKI ADA PENYENSORAN
Akibat tekanan dari para pemimpin agama Susunan Kristen dan kekhawatiran pemerintah atas pendirian kita yang netral, majalah Menara Pengawal dan Consolation dari para pelanggan disita oleh badan sensor pada tahun 1940. Pengumuman resmi dikeluarkan untuk melarangkan publikasi ini. Setibanya dari luar negeri, kiriman majalah dan lektur langsung disita.
Meskipun begitu, saudara-saudara tetap menerima makanan rohani tepat waktu. Sebuah Menara Pengawal dalam bahasa Inggris entah bagaimana selalu diterima kantor cabang, yang kemudian dipersiapkan dan dicetak. George Phillips menulis, ”Sewaktu berada di bawah pelarangan, kami mempunyai . . . bukti yang paling menakjubkan mengenai pemeliharaan dan perlindungan Yehuwa yang pengasih atas umat-Nya. Kami tidak pernah kehilangan satu pun terbitan Menara Pengawal. Sering kali, hanya satu eksemplar yang lolos. Kadang-kadang, majalah yang dibutuhkan tersedia melalui pelanggan yang tinggal di Rhodesia Utara atau Selatan [kini Zambia dan Zimbabwe] atau di Afrika Timur jajahan Portugis [kini Mozambik] atau di pertanian terpencil di Afrika Selatan atau melalui pengunjung dari kapal yang merapat sejenak di Cape Town.”
Pada bulan Agustus 1941, semua surat yang dikirim oleh kantor cabang disita oleh badan sensor tanpa penjelasan. Belakangan pada tahun itu, menteri dalam negeri mengeluarkan surat perintah untuk menyita semua publikasi organisasi di negeri itu. Suatu hari, pada pukul sepuluh pagi, Departemen Investigasi Kriminal (CID) tiba di kantor cabang dengan truk-truk untuk mengangkut semua lektur. Saudara Phillips memeriksa surat perintah itu dan memperhatikan bahwa surat itu tidak benar-benar mengikuti peraturan. Buku-buku tidak terdaftar menurut namanya, sebagaimana diharuskan dalam Government Gazette.
Saudara Phillips kemudian meminta para petugas CID menunggu sementara ia menghubungi seorang pengacara dan membuat permohonan yang mendesak kepada mahkamah agung untuk meminta surat larangan sehingga menteri dalam negeri tidak bisa menyita lektur. Permohonannya dikabulkan. Pada siang hari, surat larangan itu diperoleh dan polisi pergi dengan tangan kosong. Lima hari kemudian, sang menteri mencabut surat perintah tersebut dan membayar biaya-biaya hukum yang terkait.
Perjuangan hukum mengenai pelarangan lektur kita berlanjut selama beberapa tahun. Saudara-saudara menyembunyikan lektur di rumah mereka. Meskipun lektur yang bisa digunakan di lapangan kini lebih sedikit, mereka memanfaatkannya dengan bijaksana. Mereka akan meminjamkan buku kepada orang-orang yang ingin belajar Alkitab. Banyak yang menerima kebenaran pada waktu ini.
Pada akhir tahun 1943, menteri dalam negeri yang baru dilantik. Sepucuk surat permohonan untuk mencabut pelarangan diajukan dan berhasil. Pada awal tahun 1944, pelarangan dicabut dan sejumlah besar lektur yang tadinya disita oleh kalangan berwenang diantar kembali ke kantor cabang.
Seberapa berhasilkah upaya para penentang ibadat yang benar untuk menghentikan kegiatan pemberitaan Kerajaan? Angka-angka untuk tahun dinas 1945 menunjukkan bahwa Yehuwa memberkati dinas yang dibaktikan umat-Nya yang setia, dan pekerjaan terus berkembang lebih dari yang sudah-sudah. Rata-rata 2.991 penyiar menempatkan 370.264 lektur dan memimpin 4.777 pelajaran Alkitab. Kenaikan ini cukup tinggi dibanding puncak sebanyak 881 penyiar pada tahun 1940.
MANFAAT PELATIHAN TEOKRATIS
Ketika Kursus Pelayanan Teokratis (kini disebut Sekolah Pelayanan Teokratis) dimulai pada tahun 1943, banyak saudara dilatih sehingga memenuhi syarat sebagai pembicara umum. Sekolah itu juga membantu lebih banyak orang menjadi efektif dalam dinas lapangan. Pada tahun 1945, ada cukup banyak pembicara yang terlatih, dan sebuah kampanye Perhimpunan Umum dimulai. Saudara-saudara mengiklankan khotbah-khotbah, dengan menggunakan selebaran dan plakat.
Ketika itu, Piet Wentzeld adalah seorang perintis muda. Sewaktu menceritakan tahun-tahun awal itu, ia mengenang, ”Saya dipindahkan ke Vereeniging, dan Frans Muller adalah rekan perintis saya. Sebelum kami memulai kampanye Perhimpunan Umum pada bulan Juli 1945, saya mempersiapkan dua di antara empat khotbah yang harus disampaikan. Saya pergi ke sungai setiap waktu makan siang, dan selama satu jam saya berbicara kepada sungai dan pohon-pohon, melatih khotbah saya selama satu bulan penuh sebelum saya merasa cukup percaya diri untuk berbicara di hadapan hadirin.” Ketika khotbah pertama disampaikan di Vereeniging, ada 37 peminat yang hadir. Mereka menjadi tulang punggung untuk sidang yang didirikan belakangan.
Setelah bertahun-tahun sebagai pengawas keliling, Piet, bersama istrinya, Lina, diundang ke Betel. Kini sebagai anggota Panitia Cabang, ia tetap bersemangat untuk dinas dan masih rajin mempelajari Alkitab. Lina meninggal pada tanggal 12 Februari 2004, setelah 59 tahun melayani sebagai hamba Yehuwa sepenuh waktu.
BANTUAN PENGASIH DISEDIAKAN
Perkembangan lain di bawah pengarahan kantor pusat di Brooklyn adalah pelantikan pria-pria yang disebut hamba-hamba bagi saudara-saudara. Mereka adalah pelopor dari pengawas keliling dewasa ini. Yang dilantik adalah pria-pria lajang yang sehat dan cukup kuat untuk mengikuti jadwal yang padat.
Awalnya, sidang-sidang besar dikunjungi selama dua atau tiga hari; kelompok kecil hanya satu hari. Jadi, saudara-saudara yang ditugasi itu mengadakan banyak sekali perjalanan. Mereka terutama menggunakan angkutan umum, sering kali naik kereta api dan bus pada jam-jam yang tidak lazim. Selama kunjungan, mereka dengan cermat memeriksa berkas sidang. Namun, tujuan utamanya adalah menggunakan waktu di lapangan bersama saudara-saudara dan melatih mereka dalam dinas.
Seorang hamba bagi saudara-saudara yang dilantik pada tahun 1943 adalah Gert Nel, yang memperoleh pengetahuan tentang kebenaran pada tahun 1934 sementara mengajar di sekolah di Transvaal Utara. Ia membantu sejumlah besar penyiar, dan banyak saudara masih mengingat dinasnya yang setia. Perawakannya tinggi serta ramping dan, walaupun tampak agak kaku, ia seorang pembela kebenaran yang bersemangat. Ia terkenal karena ingatannya yang tajam, tetapi ia juga sangat mengasihi orang-orang. Dari pukul tujuh pagi hingga pukul tujuh atau delapan malam, ia terus berdinas tanpa berhenti untuk beristirahat. Dalam perjalanannya sebagai pengawas keliling, ia naik kereta api pada siang atau malam hari tidak soal pukul berapa; tinggal beberapa hari bersama sebuah sidang, bergantung besarnya sidang itu; lalu pergi ke sidang berikutnya. Begitulah jadwal kegiatannya, minggu demi minggu. Ia diundang ke Betel pada tahun 1946 sebagai penerjemah bahasa Afrikaan, dan ia terus melayani di sana dengan setia hingga kematiannya pada tahun 1991. Ia adalah saudara terurap terakhir yang melayani di Betel Afrika Selatan. Antara tahun 1982 dan 1985, para hamba terurap yang setia lainnya—George Phillips, Andrew Jack, dan Gerald Garrard—menyelesaikan kehidupan mereka di bumi.
MEREKA MELAYANI DENGAN MURAH HATI
Hamba-hamba Yehuwa menghargai dinas para pengawas keliling dan istri mereka, yang melayani tanpa menahan-nahan diri seraya menguatkan sidang-sidang secara rohani. Misalnya, Luke Dladla dilantik sebagai pengawas wilayah pada tahun 1965 dan sekarang melayani sebagai perintis biasa. Ia mengatakan, ”Sekarang, pada tahun 2006, saya berusia 81 tahun dan istri saya 68 tahun, namun kami masih bisa naik turun gunung dan menyeberangi sungai untuk menyampaikan kabar baik di daerah kami. Kami telah menggunakan lebih dari 50 tahun di lapangan.”
Andrew Masondo dilantik sebagai pengawas keliling pada tahun 1954. Ia mengatakan, ”Pada tahun 1965, saya ditugasi ke Botswana, dan tugas itu mirip tugas utusan injil. Negeri itu dilanda bala kelaparan, karena sudah tiga tahun tidak turun hujan. Saya dan istri saya, Georgina, mengalami seperti apa rasanya tidur tanpa makan malam dan pergi mengabar pada pagi hari tanpa sarapan. Kami biasa makan hanya satu kali, pada siang hari.
”Sekembalinya ke Afrika Selatan, saya dilantik sebagai pengawas distrik dan dilatih oleh Ernest Pandachuk. Kata-kata perpisahannya kepada saya adalah, ’Jangan pernah meninggikan kepalamu di atas saudara-saudara, tetapi jadilah seperti setangkai padi yang semakin berisi semakin merunduk.’”
KEBAKTIAN WILAYAH YANG PERTAMA
Pada bulan April 1947, kebaktian wilayah yang pertama di Afrika Selatan diadakan di Durban. Milton Bartlett, lulusan Gilead kelas kelima dan utusan injil pertama ke Afrika Selatan, melukiskan kesannya tentang saudara-saudara yang menghadiri kebaktian ini, ”Sungguh mengharukan melihat sikap para Saksi kulit hitam. Mereka begitu bersih, tenang, berpenampilan rapi, amat tulus dan ingin sekali belajar lebih banyak kebenaran, sangat menggebu-gebu untuk berdinas.”
Seraya para peminat di kalangan penduduk kulit hitam terus bertambah, lebih banyak bantuan diberikan. Terbitan pertama majalah Menara Pengawal dalam bahasa Zulu adalah 1 Januari 1949. Majalah tersebut dicetak dengan mesin pengganda kecil yang dioperasikan dengan tangan di kantor cabang di Cape Town. Walaupun tidak semenarik dan penuh warna seperti majalah kita sekarang, majalah itu menyajikan makanan rohani yang berharga. Pada tahun 1950, kursus pemberantasan buta huruf dimulai dalam enam bahasa. Kursus ini memperlengkapi ratusan saudara-saudari yang bersemangat untuk membaca sendiri Firman Allah.
Seraya pekerjaan penginjilan berkembang, muncul kebutuhan untuk tempat perhimpunan yang layak. Pada tahun 1948, seorang perintis ditugasi ke Strand, dekat Cape Town, dan di sana ia mendapat hak istimewa mengorganisasi pembangunan Balai Kerajaan yang pertama di Afrika Selatan. Seorang saudari setempat mendanai proyek tersebut. George Phillips mengatakan, ”Andaikan saja saya bisa menaruh balai kerajaan yang baru itu di atas roda-roda dan membawanya keliling negeri agar saudara-saudara terdorong untuk membangun lebih banyak Balai Kerajaan.” Butuh waktu beberapa tahun sebelum pembangunan Balai Kerajaan yang terorganisasi bisa berlangsung di seluruh negeri.
SAMBUTAN YANG MEMBESARKAN HATI DI KOMUNITAS INDIA
Antara tahun 1860 dan 1911, para buruh kontrak didatangkan dari India untuk bekerja di perkebunan tebu di Natal. Banyak yang tetap tinggal setelah kontrak kerja mereka selesai, dan populasi India yang cukup besar—sekarang lebih dari satu juta orang—menetap di negeri itu. Pada awal tahun 1950-an, minat akan kebenaran Alkitab mulai bertumbuh di komunitas India.
Velloo Naicker lahir pada tahun 1915, putra keempat dalam keluarga dengan sembilan anak. Orang tuanya bekerja di perkebunan tebu dan adalah penganut Hindu yang saleh. Mata pelajaran Alkitab di sekolah membangkitkan minatnya, dan ketika Velloo masih muda, seseorang memberinya sebuah Alkitab. Ia membacanya setiap hari, menyelesaikannya dalam waktu empat tahun. Ia menulis, ”Matius 5:6 menarik bagi saya. Ketika saya membacanya, saya sadar bahwa Allah merasa bahagia jika ada yang lapar akan kebenaran dan apa yang benar.”
Velloo akhirnya dihubungi seorang Saksi dan mulai belajar Alkitab. Ia termasuk orang India pertama di Afrika Selatan yang dibaptis, pada tahun 1954. Ketika itu, ia tinggal dalam komunitas Hindu di Actonville, Gauteng, yang sangat menentang Saksi-Saksi Yehuwa, dan seorang tokoh terkemuka bahkan mengancam akan membunuh Velloo. Velloo kehilangan pekerjaannya sebagai manajer sebuah bisnis dry-cleaning karena pendiriannya yang teguh demi kebenaran Alkitab. Meskipun demikian, ia terus melayani Yehuwa dengan setia hingga kematiannya pada tahun 1981. Teladannya menghasilkan buah, karena lebih dari 190 anggota keluarganya (termasuk keluarga melalui perkawinan) dalam empat generasi kini melayani Yehuwa.
Gopal Coopsammy berumur 14 tahun ketika ia pertama kali mendengar kebenaran dari pamannya, Velloo. ”Velloo berbicara tentang Alkitab kepada kami, beberapa anak muda, meskipun saya tidak belajar Alkitab,” kenangnya. ”Alkitab adalah buku yang asing bagi saya, seorang Hindu. Namun, beberapa hal yang saya baca masuk akal. Suatu hari, saya melihat Velloo pergi ke Pelajaran Buku Sidang dan saya bertanya apakah saya boleh ikut. Ia setuju, dan sejak itu, saya berhimpun. Saya ingin menambah pengetahuan Alkitab, maka saya pergi ke sebuah perpustakaan umum dan menemukan beberapa publikasi Saksi-Saksi Yehuwa. Keluarga saya sangat menentang, namun saya selalu mengingat kata-kata di Mazmur 27:10, ’Apabila bapakku sendiri dan ibuku sendiri meninggalkan aku, Yehuwa akan menerima aku.’ Saya dibaptis pada tahun 1955, ketika berumur 15 tahun.”
Gopal adalah pengawas umum di sidang yang ia layani sekarang, bersama istrinya, Susila. Mereka telah membantu kira-kira 150 orang menjadi hamba Yehuwa yang berbakti. Sewaktu ditanya bagaimana mereka bisa mencapai hal ini, ia menjelaskan, ”Ada banyak anggota keluarga tinggal di daerah kami, dan saya dapat memberikan kesaksian kepada mereka. Banyak di antaranya menyambut dengan baik. Saya juga mengelola bisnis sendiri, sehingga ada waktu luang untuk berdinas. Saya merintis selama empat tahun, bekerja keras dalam dinas serta dengan rajin mengunjungi kembali siapa pun yang berminat.”
KASIH DAN KESABARAN BERBUAH
Doreen Kilgour lulus dari Gilead pada tahun 1956 dan Isabella Elleray pada tahun 1957. Mereka melayani selama 24 tahun di komunitas India di Chatsworth, kawasan permukiman di pinggiran kota Durban.
Doreen menggambarkan kegiatan di daerahnya, ”Kami harus sabar. Ada yang belum pernah mendengar tentang Adam dan Hawa. Orang-orang senang menerima tamu. Menurut orang Hindu, tidak baik membiarkan orang berdiri di depan pintu. Mereka sering mengatakan, ’Ayo, minum teh dulu, baru pergi’, artinya kami harus minum teh sebelum pergi ke rumah berikutnya. Setelah beberapa lama, perut kami terasa sudah kembung dengan teh. Bagi kami, rasanya seperti mukjizat setiap kali seorang India meninggalkan kepercayaan agamanya yang sudah berurat berakar dan menjadi penyembah Yehuwa.”
Isabella menceritakan pengalaman berikut, ”Sewaktu berdinas, saya berbicara kepada seorang pria yang menerima majalah. Istrinya, Darishnie, yang baru pulang dari gereja, ikut bercakap-cakap. Ia sedang menggendong bayi mereka. Kami menikmati diskusi yang menyenangkan, dan saya mengatur untuk mengunjungi mereka. Namun, Darishnie tidak pernah ada di rumah. Belakangan, dia memberi tahu saya bahwa pastornya menyuruh dia pergi sewaktu saya berkunjung. Sang pastor bernalar bahwa hal ini akan membuat saya mengira Darishnie tidak berminat. Saya pergi ke Inggris untuk mengunjungi keluarga saya. Sementara berada di sana, saya terus teringat pada Darishnie. Sekembalinya ke Afrika Selatan, saya mengunjunginya. Ia ingin tahu ke mana saja saya selama ini. Katanya, ’Saya yakin bahwa Ibu mengira saya tidak berminat. Saya senang sekali bertemu Ibu lagi.’ Kami mulai belajar, meskipun suaminya tidak ikut. Darishnie adalah siswa yang serius dan akhirnya ia dibaptis.
”Menurut ajaran agamanya, seorang wanita yang menikah harus mengenakan perhiasan emas yang diikatkan pada tali kuning di lehernya. Itu disebut tali. Ia hanya boleh melepaskannya jika suaminya meninggal. Ketika Darishnie ingin ikut mengabar, ia tahu bahwa ia harus melepaskan tali itu. Ia bertanya kepada saya apa yang harus ia lakukan. Saya menyarankan agar ia bertanya dulu kepada suaminya dan melihat tanggapannya. Ia melakukannya, namun suaminya tidak setuju. Saya memberi tahunya agar bersabar, menunggu beberapa waktu dan, ketika hati suaminya sedang senang, meminta izin lagi. Akhirnya, suaminya setuju. Kami menganjurkan para siswa Alkitab kami untuk berlaku bijaksana dan memperlihatkan respek pada ajaran Hindu seraya pada waktu yang sama berpihak pada kebenaran Alkitab. Dengan demikian, mereka sebisa mungkin tidak melukai perasaan teman dan kerabat, yang selanjutnya akan lebih mudah menerima perubahan agama sang pelajar Alkitab.”
Ketika ditanya apa yang membantu mereka bertekun sebagai utusan injil selama bertahun-tahun, Doreen mengatakan, ”Kami semakin mengasihi orang-orang. Kami menjadi asyik dalam tugas kami dan benar-benar menikmatinya.” Isabella menambahkan, ”Kami mendapat banyak teman akrab. Kami sedih harus meninggalkan daerah tugas, namun kesehatan kami memburuk. Kami dengan senang hati menerima undangan yang pengasih untuk melayani di Betel.” Isabella meninggal pada tanggal 22 Desember 2003.
Para utusan injil lainnya yang melayani di Chatsworth juga mendapati bahwa karena usia lanjut, mereka tidak bisa lagi tetap berada di daerah tugas sambil mengurus rumah utusan injil, jadi mereka pun ditugasi ke Betel. Mereka adalah Eric dan Myrtle Cooke, Maureen Steynberg, dan Ron Stephens, yang sekarang sudah meninggal.
PROYEK BESAR
Ketika Nathan Knorr dan Milton Henschel, yang melayani di kantor pusat di Brooklyn, mengunjungi Afrika Selatan pada tahun 1948, diputuskan untuk membeli tanah guna membangun rumah Betel dan percetakan di Elandsfontein, dekat Johannesburg. Proyek itu rampung pada tahun 1952. Untuk pertama kalinya, para anggota keluarga Betel dapat tinggal bersama di bawah satu atap. Banyak peralatan cetak tambahan dipasang, termasuk mesin cetak flatbed. Menara Pengawal diterbitkan dalam delapan bahasa, dan Sedarlah! dalam tiga bahasa.
Pada tahun 1959, rumah Betel dan percetakan diperluas. Bangunan tambahannya lebih luas daripada bangunan semula. Sebuah mesin cetak Timson dipasang, mesin cetak rotari pertama di cabang itu.
Guna membantu pengoperasian percetakan, Saudara Knorr mengundang empat saudara muda dari Kanada untuk pindah ke Afrika Selatan: Bill McLellan, Dennis Leech, Ken Nordin, dan John Kikot. Mereka tiba pada bulan November 1959. Bill McLellan dan istrinya, Marilyn, masih melayani di Betel Afrika Selatan, sedangkan John Kikot dan istrinya, Laura, kini melayani di Betel Brooklyn, New York. Ken Nordin dan Dennis Leech tetap tinggal di Afrika Selatan, menikah dan berkeluarga. Mereka terus memberikan sumbangsih yang bagus demi kepentingan Kerajaan. Kedua anak Ken melayani di Betel Afrika Selatan.
Bangunan Betel yang sudah diperluas dan peralatan-peralatan baru itu digunakan sepenuhnya untuk mengurus kebutuhan peminat yang semakin meningkat di negeri itu. Pada tahun 1952, jumlah penyiar di Afrika Selatan melampaui angka 10.000. Pada tahun 1959, angka tersebut menjadi 16.776.
MEMPERTAHANKAN PERSATUAN KRISTEN DI BAWAH APARTHEID
Guna memahami problem yang dihadapi saudara-saudara di bawah sistem apartheid, kita sebaiknya mengetahui bagaimana apartheid diberlakukan. Hukum mengizinkan orang kulit hitam, orang kulit putih (dari keturunan Eropa), orang kulit berwarna (dari keturunan campuran), dan orang India bekerja di kota dalam gedung yang sama, seperti pabrik, kantor, dan restoran. Namun pada malam hari, setiap kelompok ras harus kembali ke daerah permukiman mereka sendiri di pinggiran kota. Jadi, setiap ras dipisah-pisahkan sehubungan dengan tempat tinggalnya. Di semua gedung harus ada fasilitas makan dan kamar mandi yang terpisah bagi orang kulit putih dan orang dari ras lain.
Ketika kantor cabang pertama dibangun di Elandsfontein, kalangan berwenang tidak membolehkan saudara-saudara kulit hitam, kulit berwarna, dan India tinggal di gedung yang sama dengan saudara-saudara kulit putih. Saat itu, sebagian besar mereka yang tinggal di Betel berkulit putih karena sulit memperoleh izin kerja di kota bagi ras-ras lain. Namun, ada 12 saudara-saudari kulit hitam dan kulit berwarna di Betel, khususnya para penerjemah bahasa-bahasa setempat. Pemerintah memberi izin untuk membangun lima kamar di bagian belakang yang terpisah dari bangunan tempat tinggal utama sebagai akomodasi bagi saudara-saudara ini. Belakangan, izin itu dicabut ketika aturan-aturan apartheid diberlakukan dengan lebih ketat, dan saudara-saudara kita harus mengadakan perjalanan ke kota terdekat yang dikhususkan bagi orang kulit hitam Afrika, sekitar 20 kilometer jauhnya, dan tinggal di losmen pria. Kedua saudari kulit hitam ditampung di rumah pribadi Saksi-Saksi di kota itu.
Hukum bahkan tidak mengizinkan para anggota Betel ini makan bersama saudara-saudara kulit putih di ruang makan utama, dan para inspektur dari kotamadya setempat mengawasi kalau-kalau ada pelanggaran hukum. Namun, para saudara kulit putih tidak bisa menerima bahwa mereka harus makan terpisah. Maka, mereka mengganti kaca jendela bening di ruang makan dengan panel-panel yang tidak tembus pandang sehingga seluruh keluarga bisa makan bersama tanpa gangguan.
Pada tahun 1966, George Phillips harus meninggalkan Betel karena istrinya, Stella, kurang sehat. Harry Arnott, seorang saudara yang cakap, ditugasi sebagai pengawas cabang, dan ia melayani dalam corak dinas ini selama dua tahun. Sejak tahun 1968, Frans Mullere melayani sebagai pengawas cabang dan belakangan sebagai koordinator Panitia Cabang.
SEBUAH BOM BIRU MEMICU PERTUMBUHAN
Buku Kebenaran yang Membimbing kepada Hidup yang Kekal dirilis pada kebaktian distrik tahun 1968. Buku yang dikenal dengan nama kesayangan bom biru ini memberikan pengaruh yang menggugah hati di lapangan. Departemen Pengiriman telah mengirimkan sekitar 90.000 buku ke sidang-sidang setiap tahun, namun, selama tahun dinas 1970, sebanyak 447.000 buku dikirim.
Pada tahun 1971, Saudara Knorr kembali mengunjungi Afrika Selatan. Saat itu, Betel sudah terlalu sempit lagi. Kini, anggota keluarga berjumlah 68 orang. Perluasan direncanakan, dan saudara-saudara dengan rela menawarkan jasa mereka atau menyumbangkan dana untuk proyek tersebut. Pekerjaan pembangunan rampung pada tanggal 30 Januari 1972. Perluasan lain rampung pada tahun 1978. Semua perluasan ini memberikan jaminan yang membesarkan hati akan dukungan Yehuwa, karena ketika itu umat Allah menghadapi tekanan yang semakin gencar dari kalangan pemerintahan.
UJIAN KENETRALAN
Afrika Selatan keluar dari keanggotaan British Commonwealth dan menjadi negara republik pada bulan Mei 1961. Masa ini diwarnai pergolakan politis dan aksi kekerasan yang kian meningkat di negeri itu. Untuk mengendalikan situasinya, pemerintah yang berkuasa mengobarkan semangat nasionalisme, dan hal ini menimbulkan kesulitan bagi Saksi-Saksi Yehuwa pada tahun-tahun berikutnya.
Selama bertahun-tahun, Saksi-Saksi Yehuwa tidak diwajibkan mengikuti dinas militer. Keadaan berubah pada akhir tahun 1960-an ketika negeri itu semakin terlibat dalam operasi militer di Namibia dan Angola. Undang-undang yang baru mewajibkan setiap orang kulit putih yang muda dan sehat untuk mengikuti dinas militer. Saudara-saudara yang menolak divonis mendekam di barak tahanan militer selama 90 hari.
Mike Marx ditahan bersama sekelompok saudara yang diharuskan memakai seragam dan helm tentara. Ia mengenang, ”Karena tidak mau dianggap bagian dari militer, kami menolak. Sang komandan, seorang kapten, lalu mencabut beberapa hak kami, memasukkan kami ke sel khusus, dan mengurangi jatah makanan kami.” Hal ini berarti saudara-saudara itu tidak boleh menulis atau menerima surat, menerima tamu, atau memiliki bahan bacaan apa pun kecuali Alkitab. Jatah makanan yang dikurangi—seyogianya bagi tahanan yang sudah tidak dapat diperbaiki lagi—terdiri dari air dan setengah ketul roti per hari selama dua hari, disusul jatah normal tentara selama tujuh hari, lalu roti dan air selama dua hari berikutnya. Sebenarnya, jatah yang disebut normal pun sering kali tidak bermutu dan tidak cukup.
Segala upaya dikerahkan untuk mematahkan integritas saudara-saudara. Setiap saudara disekap di sel yang kecil. Sekali waktu, mereka tidak boleh mandi. Sebagai gantinya, masing-masing diberi satu ember air untuk buang hajat dan satu ember lagi untuk membasuh diri. Belakangan, mereka boleh mandi lagi.
”Suatu hari,” kenang Keith Wiggill, ”setelah kami mandi dengan air dingin pada pertengahan musim dingin, para penjaga mengambil kasur dan selimut kami. Karena tidak boleh memakai baju sipil, kami hanya mengenakan celana pendek dan kaus oblong. Kami tidur di atas handuk basah di lantai semen yang sedingin es. Pada pagi harinya, sersan mayor heran melihat kami tampak bahagia dan sehat. Ia mengakui bahwa Allah kami telah memperhatikan kami selama malam yang membeku di musim dingin tersebut.”
Tidak lama sebelum menyelesaikan hukuman 90 hari itu, saudara-saudara diadili lagi karena tidak mau memakai seragam atau mengikuti latihan bersama tahanan militer lain. Lalu, mereka dikembalikan ke tahanan. Kalangan berwenang dengan jelas menyatakan bahwa mereka bermaksud menghukum saudara-saudara berulang-ulang sampai mereka berusia 65 tahun, yaitu batas usia maksimum untuk dinas militer.
Pada tahun 1972, setelah mendapat tekanan publik dan politis yang keras, hukum itu diubah. Saudara-saudara menerima satu kali hukuman penjara yang panjangnya sama dengan masa latihan militer. Awalnya, panjang hukuman itu 12 hingga 18 bulan. Belakangan, hukuman ditambah menjadi tiga tahun dan akhirnya enam tahun. Kemudian, kalangan berwenang memberikan kelonggaran, dan saudara-saudara diizinkan mengadakan perhimpunan satu kali seminggu.
Sementara berada di barak tahanan, saudara-saudara tidak lupa akan perintah Kristus untuk membuat murid. (Mat. 28:19, 20) Mereka berbicara kepada sesama tahanan, kalangan berwenang, dan orang-orang lain yang mereka jumpai. Selama beberapa waktu, mereka diizinkan menggunakan hari Sabtu sore untuk menyampaikan kabar baik dengan menulis surat.
Sekali peristiwa, kalangan berwenang militer memerintahkan ke-350 Saksi untuk makan bersama 170 narapidana militer. Barak tahanan itu menjadi satu-satunya daerah pengabaran dengan rasio 2 Saksi banding 1 non-Saksi, dan kalangan berwenang pun segera memutuskan bahwa saudara-saudara harus makan terpisah lagi.
SUSUNAN KRISTEN DAN KENETRALAN
Bagaimana tanggapan gereja-gereja Susunan Kristen terhadap isu dinas wajib militer? Dewan Gereja Afrika Selatan (SAAC) mengeluarkan resolusi sehubungan dengan keberatan berdasarkan hati nurani pada bulan Juli 1974. Namun, bukannya berpaut pada isu agama, pernyataan tersebut memuat makna politis yang berbeda, yaitu mendukung keberatan berdasarkan hati nurani atas dasar bahwa kalangan militer membela ”masyarakat yang tidak adil dan diskriminatif” dan karena itu memperjuangkan perang yang tidak adil. Gereja-gereja Afrika, serta kelompok-kelompok gereja lainnya, tidak mendukung resolusi SACC tersebut.
Gereja Reformasi Belanda mendukung aksi militer pemerintah dan menolak resolusi SACC sebagai pelanggaran terhadap Roma pasal 13. Kelompok lain yang menentang pendirian SACC adalah kelompok pendeta yang melayani dalam Pasukan Pertahanan Afrika Selatan, sebagian adalah pemimpin agama dari gereja-gereja anggota SACC. Dalam sebuah pernyataan bersama, para pendeta gereja-gereja berbahasa Inggris mengecam resolusi itu dan menyatakan, ”Kami . . . mendesak setiap anggota gereja-gereja kami dan khususnya pria-pria mudanya untuk memberikan sumbangsih pribadi demi membela negeri ini.”
Selain itu, gereja-gereja anggota SACC tidak mengambil pendirian yang jelas sehubungan dengan kenetralan. Buku War and Conscience in South Africa mengakui, ”Kebanyakan . . . tidak menjelaskan kedudukan mereka kepada para anggota gereja, apalagi mendorong anggota mereka untuk menolak berdasarkan hati nurani.” Buku itu memperlihatkan bahwa reaksi keras pemerintah terhadap resolusi SACC, yang didukung oleh undang-undang yang ketat, membuat gereja-gereja ragu-ragu menegaskan keyakinan mereka, ”Upaya untuk mendesak gereja mengambil langkah-langkah yang konstruktif telah gagal.”
Sebagai kontras, buku ini mengakui, ”Sejauh ini, mayoritas orang yang menolak berdasarkan hati nurani dan dipenjarakan adalah Saksi-Saksi Yehuwa.” Buku itu menambahkan, ”Saksi-Saksi Yehuwa berfokus pada hak setiap orang untuk menentang segala macam perang berdasarkan hati nurani.”
Pendirian Saksi-Saksi murni bersifat religius. Meskipun mengakui bahwa ”kalangan berwenang yang ada ditempatkan oleh Allah dalam kedudukan mereka yang bersifat relatif”, Saksi-Saksi tetap netral secara politik. (Rm. 13:1) Mereka terutama setia kepada Yehuwa, yang menyingkapkan dalam Firman-Nya, Alkitab, bahwa para penganut ibadat sejati tidak akan ikut dalam perang yang bersifat duniawi.—Yes. 2:2-4; Kis. 5:29.
Setelah sistem penahanan beroperasi selama beberapa tahun, tampak jelas bahwa Saksi-Saksi Yehuwa tidak akan mengingkari pendirian netral mereka demi menghindari perlakuan bengis. Selain itu, barak-barak tahanan sering kali melebihi kapasitas dan mengundang publisitas negatif. Ada tekanan dari beberapa pejabat pemerintah untuk mengirim saudara-saudara ke penjara sipil.
Beberapa pejabat militer yang baik tidak sependapat. Mereka merespek saudara-saudara muda kita karena memiliki standar moral yang tinggi. Seandainya saudara-saudara dimasukkan ke penjara sipil, mereka akan mempunyai catatan kriminal. Selain itu, mereka akan terekspos pada unsur masyarakat yang terburuk serta ancaman pemerkosaan. Jadi, pengaturan pun dibuat agar mereka memberikan layanan masyarakat dalam departemen-departemen pemerintah yang tidak berkaitan dengan militer. Ketika iklim politik di negeri itu berubah pada tahun 1990-an, dinas wajib militer dihapus.
Apa pengaruhnya atas saudara-saudara muda kita setelah ditahan untuk jangka waktu yang panjang pada masa yang begitu kritis dalam kehidupan mereka? Banyak saudara telah membuat catatan bagus berupa dinas yang loyal kepada Yehuwa dan dengan bijaksana menggunakan kesempatan ini untuk mempelajari Firman Allah serta bertumbuh secara rohani. ”Keberadaan saya di barak tahanan merupakan titik balik yang penting dalam kehidupan saya,” kata Cliff Williams. ”Karena melihat bukti jelas perlindungan dan berkat Yehuwa selama ditahan, saya dimotivasi untuk lebih mengerahkan diri demi memajukan kepentingan Kerajaan. Tidak lama setelah dibebaskan pada tahun 1973, saya mulai melayani sebagai perintis biasa, dan pada tahun berikutnya saya melayani di Betel, dan masih di sini sampai sekarang.”
Stephen Venter, yang berusia 17 tahun saat masuk ke barak tahanan, mengatakan, ”Saya seorang penyiar belum terbaptis dengan pengetahuan yang minim tentang kebenaran. Dukungan rohani yang saya terima dari pembahasan ayat Alkitab setiap hari—yang diadakan setiap pagi sementara kami menggosok lantai—perhimpunan yang teratur, serta pelajaran Alkitab yang diadakan dengan saya oleh saudara yang lebih berpengalaman membuat saya bisa bertahan. Meskipun ada saat-saat yang tidak menyenangkan, sungguh mengherankan bahwa saya nyaris tidak mengingatnya lagi! Malah, ketiga tahun di tahanan itu barangkali adalah tahun-tahun terbaik kehidupan saya. Pengalaman tersebut membantu saya beralih dari orang muda menjadi orang dewasa. Saya mengenal Yehuwa, dan hal itu memotivasi saya untuk terjun dalam dinas sepenuh waktu.”
Penahanan yang tidak adil atas saudara-saudara mendatangkan hasil yang bagus. Gideon Benade, yang mengunjungi saudara-saudara di barak tahanan menulis, ”Sewaktu mengenang kembali, kita menyadari betapa ampuhnya kesaksian yang telah diberikan.” Ketekunan saudara-saudara kita dan banyak laporan berita tentang persidangan serta hukuman mereka menggoreskan catatan yang tak terhapuskan tentang pendirian netral Saksi-Saksi Yehuwa, yang mengesankan kalangan militer serta seluruh negeri.
INTEGRITAS SAUDARA-SAUDARA KULIT HITAM
Selama tahun-tahun awal pemerintahan apartheid, saudara-saudara kulit hitam tidak menghadapi ujian kenetralan yang sama seperti yang dialami saudara-saudara kulit putih. Misalnya, orang kulit hitam tidak dipanggil untuk dinas militer. Namun, ketika kelompok-kelompok politik kulit hitam mulai menantang pemerintahan apartheid, ujian yang hebat menimpa para Saksi kulit hitam. Ada yang dibunuh, yang lain dipukuli, ada lagi yang melarikan diri karena rumah dan harta mereka dibakar—semua itu karena mereka tidak mau melanggar kenetralan mereka. Ya, mereka bertekad menaati perintah Yesus untuk tidak menjadi ”bagian dari dunia”.—Yoh. 15:19.
Beberapa kelompok politik mewajibkan setiap orang di daerah mereka untuk membeli kartu partai politik. Wakil-wakil berbagai kelompok tersebut mengunjungi orang-orang di rumah, meminta uang untuk membeli senjata atau untuk biaya pemakaman teman-teman mereka yang mati dalam peperangan melawan pasukan keamanan kulit putih. Karena saudara-saudara kulit hitam dengan penuh respek menolak memberikan uang, mereka dituduh sebagai mata-mata pemerintah apartheid. Sewaktu melakukan dinas lapangan, ada saudara-saudari yang diserang serta dituduh menyebarkan propaganda orang Afrika kulit putih.
Sebagai contoh, Elijah Dlodlo, yang meninggalkan karier yang bagus dalam bidang olahraga untuk menjadi hamba Yehuwa yang berbakti. Dua minggu sebelum pemilu demokratis pertama di Afrika Selatan, ketegangan memuncak di antara komunitas-komunitas kulit hitam yang bersaing. Sidang Elijah memutuskan untuk mengabar di daerah yang jarang dikerjakan, yang jauhnya beberapa kilometer. Elijah, yang baru dua bulan dibaptis, ditugasi bekerja bersama dua anak lelaki yang adalah penyiar belum terbaptis. Ketika sedang berbicara kepada seorang wanita di depan rumahnya, mereka diadang sekelompok pemuda, anggota suatu gerakan politik. Pemimpinnya memegang sjambok, sebuah cambuk kulit yang tebal. ”Ada apa ini?” tanyanya.
”Kami sedang berbicara tentang Alkitab,” jawab sang penghuni rumah.
Pria yang marah itu tidak menggubris wanita tersebut tetapi berkata kepada Elijah dan kedua temannya, ”Kalian bertiga, ikut kami. Sekarang bukan waktunya untuk Alkitab; sekarang waktunya untuk berperang memperjuangkan hak kita.”
Elijah dengan berani menjawab, ”Tidak bisa, kami sedang bekerja untuk Yehuwa.”
Pria itu kemudian mendorong Elijah dan mulai memukulinya dengan sjambok. Setiap kali melayangkan pukulan, pria itu berteriak, ”Ikut kami!” Setelah pukulan pertama, Elijah tidak merasa sakit lagi. Ia dikuatkan oleh kata-kata rasul Paulus, yang mengatakan bahwa semua orang Kristen sejati ”akan dianiaya”.—2 Tim. 3:12.
Pria itu akhirnya kelelahan dan berhenti. Kemudian, salah seorang penyerang mengkritik pria yang memegang cambuk itu, mengatakan bahwa Elijah bukan dari komunitas mereka. Kelompok itu terpecah dan mulai bertengkar, lalu pemimpin tadi dicambuki dengan keras menggunakan sjambok miliknya. Sementara itu, Elijah dan kedua temannya lolos. Ujian ini menguatkan iman Elijah, dan ia terus membuat kemajuan sebagai pemberita kabar baik yang tak gentar. Sekarang, ia sudah menikah, mempunyai anak-anak, serta melayani sebagai penatua di sidangnya.
Saudari-saudari kulit hitam kita juga memperlihatkan keberanian yang luar biasa di bawah tekanan untuk berhenti mengabar. Perhatikan contoh Florah Malinda. Putrinya yang terbaptis, Maki, dibakar hingga mati oleh segerombolan anak muda karena mencoba membela kakak lelakinya yang menolak ikut dalam gerakan politik. Meskipun mengalami kehilangan yang tragis ini, Florah tidak menjadi getir tetapi terus menyebarkan Firman Allah di komunitasnya. Suatu hari, wakil-wakil dari gerakan politik yang telah membunuh putrinya memaksa dia mengikuti gerakan mereka atau merasakan akibatnya. Para tetangga datang membantunya, menjelaskan bahwa dia tidak berpihak dalam politik tetapi sibuk membantu orang belajar Alkitab. Hal ini menimbulkan perbantahan di antara para aktivis itu, dan akhirnya mereka memutuskan untuk membiarkan Florah pergi. Sepanjang masa penuh ujian itu sampai sekarang, Florah terus melayani dengan setia sebagai perintis biasa.
Seorang saudara perintis biasa menceritakan apa yang terjadi sewaktu ia naik bus menuju daerah pengabarannya. Seorang aktivis politis mendorongnya dan bertanya mengapa ia membawa lektur yang diproduksi orang Afrika kulit putih serta menjualnya kepada orang kulit hitam. Saudara itu menjelaskan apa yang terjadi selanjutnya, ”Ia menyuruh saya melemparkan lektur itu lewat jendela bus. Karena saya menolak, ia menampar muka saya dan menyundut pipi saya dengan ujung rokoknya yang menyala. Saya tidak bereaksi. Kemudian, ia merampas tas lektur saya dan melemparkannya keluar jendela. Ia juga menarik dasi saya, dan mengatakan bahwa itu gaya berpakaian orang kulit putih. Ia terus menghina dan mengolok-olok saya, sambil mengatakan bahwa orang seperti saya seharusnya dibakar hidup-hidup. Yehuwa melindungi saya karena saya berhasil keluar dari bus tanpa cedera lebih banyak lagi. Pengalaman ini tidak mencegah saya untuk terus mengabar.”
Kantor cabang Afrika Selatan menerima banyak surat dari orang-orang dan sidang-sidang yang menceritakan integritas saudara-saudara kulit hitam. Satu surat semacam itu berasal dari seorang penatua di sebuah sidang di KwaZulu-Natal. Isinya, ”Kami menulis surat ini untuk memberitahukan tentang meninggalnya Saudara Moses Nyamussua yang kami kasihi. Pekerjaannya adalah mengelas dan memperbaiki mobil. Sekali peristiwa, ia menolak permintaan salah satu kelompok politik untuk mengelas senapan rakitan mereka. Kemudian, pada tanggal 16 Februari 1992, mereka mengadakan kampanye politik, dan terjadi baku tembak dengan orang-orang dari kelompok lawan. Pada malam hari itu juga ketika mereka pulang dari pertarungan, mereka berjumpa dengan saudara kita sedang menuju pusat perbelanjaan. Di sana, mereka membunuhnya dengan tombak mereka. Alasannya? ’Gara-gara kamu tidak mau mengelas senapan kami, dan sekarang teman-teman kami mati dalam pertarungan itu.’ Saudara-saudara sangat terpukul, namun kami akan terus melanjutkan dinas kami.”
TENTANGAN DI SEKOLAH
Problem timbul di berbagai sekolah di kota-kota yang dikhususkan bagi orang kulit hitam karena anak-anak Saksi tidak mau ikut berdoa dan menyanyikan himne keagamaan pada apel pagi. Hal ini tidak menjadi problem di sekolah-sekolah bagi murid kulit putih. Para orang tua cukup menulis surat yang menjelaskan pendirian mereka, dan anak-anak mereka dikecualikan. Tetapi, di sekolah-sekolah bagi murid kulit hitam, menolak ikut upacara keagamaan dianggap menantang wewenang sekolah. Guru-guru tidak biasa ditantang seperti ini. Sewaktu orang tua datang untuk menjelaskan pendirian Saksi-Saksi, para guru mengatakan bahwa tidak ada pengecualian.
Pihak berwenang sekolah berkeras bahwa anak Saksi-Saksi Yehuwa harus hadir pada apel pagi karena ada pengumuman tentang masalah-masalah di sekolah. Anak-anak hadir tetapi tidak ikut dalam nyanyian dan doa, hanya berdiri dengan senyap. Beberapa guru berjalan di antara barisan untuk memastikan apakah anak-anak memejamkan mata sewaktu berdoa dan apakah mereka menyanyikan himne keagamaan. Sangat menghangatkan hati sewaktu mengetahui bahwa anak-anak ini, beberapa di antaranya masih sangat kecil, mempertahankan integritas dengan berani.
Setelah cukup banyak anak dikeluarkan dari sekolah, saudara-saudara memutuskan untuk mengajukan masalah tersebut ke pengadilan. Pada tanggal 10 Agustus 1976, Mahkamah Agung Johannesburg mengeluarkan keputusan atas kasus penting yang menyangkut 15 murid di satu sekolah. Berita acaranya berbunyi, ”Terdakwa . . . harus mengakui hak anak-anak pihak pemohon untuk tidak berpartisipasi dalam doa dan menyanyikan himne, dan . . . juga harus mengakui bahwa tindakan menskors dan mengeluarkan murid . . . berlawanan dengan hukum.” Ini merupakan kemenangan hukum yang penting, dan akhirnya masalah itu dituntaskan di semua sekolah yang terkait.
KESULITAN LAIN DI SEKOLAH
Banyak anak Saksi yang mengikuti sekolah untuk orang kulit putih menghadapi ujian integritas lain yang menyebabkan mereka dikeluarkan dari sekolah. Pemerintah apartheid ingin memobilisasi kaum muda kulit putih untuk mendukung ideologinya. Pada tahun 1973, pemerintah memperkenalkan suatu program yang disebut Kesiagaan Pemuda. Hal itu mencakup baris-berbaris, bela diri, dan kegiatan patriotis lainnya.
Beberapa orang tua Saksi berkonsultasi kepada penasihat hukum, dan masalahnya diajukan kepada menteri pendidikan namun tidak berhasil. Menteri itu menegaskan bahwa program Kesiagaan Pemuda tersebut murni bersifat pendidikan. Pemerintah menciptakan banyak publisitas negatif tentang Saksi-Saksi Yehuwa mengenai masalah ini. Di beberapa sekolah, kepala sekolah bersikap toleran dan membebaskan anak-anak dari aspek-aspek yang tidak berdasarkan Alkitab dalam program tersebut, tetapi di sekolah-sekolah lain anak-anak dikeluarkan.
Tidak banyak orang tua Kristen yang mampu mengirim anak-anak mereka ke sekolah swasta. Ada orang tua yang mengatur agar anak-anak mereka mengikut kursus melalui surat-menyurat. Saksi-Saksi yang adalah guru menyediakan program bersekolah di rumah. Meskipun demikian, banyak anak yang dikeluarkan itu tidak menyelesaikan pendidikan dasar sekolah menengah mereka. Namun, mereka mendapat manfaat dari pelatihan berdasarkan Alkitab di rumah dan di sidang mereka. (Yes. 54:13) Banyak di antara mereka terjun dalam dinas sepenuh waktu. Anak-anak muda yang berani ini senang bahwa mereka bertekun di bawah pencobaan, menaruh kepercayaan penuh kepada Yehuwa. (2 Ptr. 2:9) Setelah beberapa waktu, iklim politik di negeri itu berubah, dan anak-anak tidak lagi dikeluarkan karena menolak ikut dalam kegiatan patriotis.
APARTHEID DAN KEBAKTIAN KITA
Untuk mematuhi hukum Afrika Selatan, saudara-saudara harus mengatur kebaktian yang terpisah bagi setiap kelompok ras. Pertama kalinya semua ras bertemu di satu tempat adalah sewaktu menghadiri kebaktian nasional di Stadion Wembley, Johannesburg, pada tahun 1952. Ketika itu, Saudara Knorr dan Saudara Henschel berkunjung ke Afrika Selatan dan menyampaikan khotbah di kebaktian ini. Karena mengikuti aturan apartheid, setiap kelompok ras harus duduk secara terpisah. Saudara kulit putih duduk di tribun barat, saudara kulit hitam di tribun timur, saudara kulit berwarna dan keturunan India di tribun utara. Pengaturan kafetaria pun harus terpisah. Meskipun adanya pembatasan ini, Saudara Knorr menulis mengenai kebaktian tersebut, ”Hal yang menggembirakan adalah bahwa kami semua berkumpul di stadion yang sama untuk menyembah Yehuwa dengan perhiasan kudus.”
Pada bulan Januari 1974, ada tiga kebaktian di daerah Johannesburg, satu untuk saudara kulit hitam, satu untuk saudara kulit berwarna dan keturunan India, dan satu untuk saudara kulit putih. Tetapi, pada hari terakhir kebaktian ada pengaturan istimewa: Semua ras berkumpul bersama di Stadion Rand di Johannesburg untuk sesi siang. Sebanyak 33.408 orang memenuhi stadion itu. Peristiwa yang sungguh menggembirakan! Kali ini, semua ras berbaur dengan leluasa dan duduk bersama. Banyak tamu dari Eropa juga hadir, sehingga peristiwa itu lebih berkesan lagi. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Tanpa disadari ketika itu, para pengorganisasi kebaktian telah memesan sebuah stadion yang disediakan untuk ajang internasional antarras, sehingga tidak perlu izin untuk satu sesi ini.
KEBAKTIAN MESKI ADANYA PRASANGKA
Beberapa tahun sebelumnya, pengaturan dibuat untuk kebaktian nasional di Johannesburg. Namun, seorang wakil pemerintah dari Pretoria mengunjungi kantor-kantor pemerintah di Johannesburg yang menangani urusan orang Bantu (orang kulit hitam) dan memperhatikan dari notula rapat mereka bahwa Mofolo Park telah dipesan oleh Saksi-Saksi Yehuwa untuk kebaktian yang akan menampung saudara-saudara kulit hitam.
Ia melaporkannya ke kantor pusat di Pretoria, dan Departemen Urusan Orang Bantu langsung membatalkan pesanan itu, menyatakan bahwa Saksi-Saksi bukan ”agama yang diakui”. Pada waktu yang sama, saudara-saudara kulit putih telah memesan tempat untuk kebaktian mereka di Milner Park Show Grounds di pusat Johannesburg, dan saudara-saudara kulit berwarna akan bertemu di Stadion Union, di kawasan pinggiran kota bagian barat.
Dua saudara dari Betel menghadap menteri yang terkait, yang kebetulan adalah mantan pemimpin agama Gereja Reformasi Belanda. Mereka menyampaikan bahwa Saksi-Saksi telah bertahun-tahun mengadakan kebaktian di Mofolo Park dan bahwa saudara-saudara kulit putih serta kulit berwarna mengadakan kebaktian mereka, jadi mengapa menolak hak saudara-saudara kulit hitam untuk berkumpul bersama? Menteri itu tidak mau berubah pikiran.
Mengingat Mofolo Park terletak di sisi barat Johannesburg, kedua saudara ini memutuskan untuk mencoba mengatur agar kebaktian diadakan di sisi timur Johannesburg, yang juga memiliki kota-kota besar yang dikhususkan bagi orang kulit hitam. Mereka menghadap direktur yang bertugas, tetapi mereka tidak memberi tahu dia tentang kunjungan mereka ke menteri di Pretoria. Ia sangat bersimpati ketika mereka meminta tempat untuk kebaktian. Ia mengatur agar mereka menggunakan Stadion Wattville. Di fasilitas ini ada tribun, tidak seperti di Mofolo Park.
Semua saudara segera diberi tahu tentang perubahan tempat. Mereka menikmati kebaktian yang berlangsung sukses dengan hadirin sekitar 15.000 orang tanpa gangguan dari Pretoria. Selama beberapa tahun setelah itu, saudara-saudara terus mengadakan kebaktian di Stadion Wattville tanpa masalah.
BADAN HUKUM DIDIRIKAN
Pada tanggal 24 Januari 1981, atas pengarahan Badan Pimpinan, sebuah badan hukum yang terdiri dari 50 anggota dibentuk: Saksi-Saksi Yehuwa Afrika Selatan. Badan hukum ini turut memajukan kepentingan rohani dalam beberapa cara.
Selama bertahun-tahun, saudara-saudara dari kantor cabang telah berupaya tanpa hasil untuk memperoleh izin agar Saksi-Saksi Yehuwa mempunyai petugas pencatat perkawinan sendiri. Frans Muller mengenang, ”Setiap kali, pejabat pemerintah menolak permintaan kami, menunjukkan bahwa mereka merasa agama kita belum memiliki status yang jelas dan belum cukup stabil untuk mempunyai petugas pencatat perkawinan sendiri.”
Selain itu, karena tidak memiliki badan hukum, mustahil kami memperoleh izin untuk membangun Balai Kerajaan di kota-kota yang dikhususkan bagi orang kulit hitam. Saudara-saudara selalu ditolak karena kalangan berwenang mengatakan, ”Kalian bukan agama yang diakui.”
Namun, tidak lama setelah badan hukum dibentuk, saudara-saudara diizinkan mempunyai petugas pencatat perkawinan. Mereka juga diizinkan membangun Balai Kerajaan di kota-kota yang dikhususkan bagi orang kulit hitam. Di Afrika Selatan sekarang, ada lebih dari 100 penatua yang menjadi petugas pencatat perkawinan. Mereka dapat mengadakan upacara pernikahan di Balai Kerajaan, sehingga saudara-saudari tidak perlu pergi ke pengadilan dulu untuk catatan sipil.
PERUBAHAN REVOLUSIONER DALAM BIDANG PERCETAKAN
Metode percetakan cepat berubah, dan peralatan cetakan huruf mulai ketinggalan zaman. Lagi pula, suku cadangnya langka dan mahal. Maka, diputuskan bahwa sudah saatnya untuk beralih ke metode penyusunan huruf serta tata-letak-gambar yang terkomputerisasi dan percetakan ofset. Unit-unit terpisah untuk pencatatan data dan penyusunan huruf serta tata-letak-gambar dibeli, dan pada tahun 1979 sebuah mesin cetak ofset rotari TKS dipasang—hadiah yang murah hati dari kantor cabang Jepang.
Karena Saksi-Saksi Yehuwa menghasilkan lektur dalam begitu banyak bahasa, mereka melihat manfaatnya mengembangkan sistem penyusunan huruf serta tata-letak-gambar mereka sendiri. Pada tahun 1979, saudara-saudara di Brooklyn, New York, mulai menggarap apa yang kemudian disebut MEPS (singkatan untuk sistem penyusunan huruf dan tata-letak-gambar elektronik multibahasa). MEPS dipasang di Afrika Selatan pada tahun 1984. Penggunaan komputer dalam penerjemahan dan penyusunan huruf serta tata-letak-gambar memungkinkan lektur diterbitkan secara simultan dalam beragam bahasa.
PERENCANAAN DI MUKA UNTUK PERTUMBUHAN LEBIH LANJUT
Pada awal 1980-an, kompleks Betel di Elandsfontein sudah terlalu kecil untuk memenuhi kebutuhan di lapangan yang terus meningkat. Karena itu, tanah dibeli di kota Krugersdorp, kira-kira 30 menit naik mobil dari Johannesburg. Properti seluas 87 hektar itu adalah daerah berbukit-bukit yang menarik, berbatasan dengan sebuah aliran air yang indah. Banyak saudara meninggalkan pekerjaan mereka untuk membantu proyek pembangunan, dan yang lain-lain menggunakan waktu cuti mereka. Beberapa relawan datang dari negeri-negeri lain, seperti Selandia Baru dan Amerika Serikat, dan pembangunan rampung dalam waktu enam tahun.
Masih ada kesulitan untuk mendapatkan izin tinggal di properti cabang bagi Saksi-Saksi kulit hitam, yang khususnya adalah para penerjemah. Izin diperoleh, tetapi untuk 20 orang saja, dan akomodasi yang terpisah harus dibangun bagi mereka. Namun belakangan, pemerintah memperlunak kebijakan apartheidnya, dan saudara-saudara dari semua ras boleh tinggal di kamar mana pun di Betel.
Keluarga Betel sangat senang dengan bangunan yang kokoh dan kamar-kamar yang luas serta dirancang dengan baik. Bangunan batu-bata-merah tiga tingkat itu dikelilingi taman yang indah. Sewaktu pembangunan dimulai di Krugersdorp, ada 28.000 Saksi yang aktif di Afrika Selatan. Pada waktu penahbisan, tanggal 21 Maret 1987, jumlahnya telah meningkat menjadi 40.000. Meskipun demikian, ada yang bertanya-tanya apakah fasilitas yang seluas itu memang perlu. Satu lantai di bagian kantor tidak digunakan, dan satu sayap bangunan tempat tinggal tidak dihuni. Saudara-saudara telah berupaya merencanakan di muka dan merasa yakin bahwa mereka telah membuat pengaturan untuk pertumbuhan di masa depan.
MEMENUHI SEBUAH KEBUTUHAN YANG PENTING
Ada kebutuhan yang mendesak untuk lebih banyak Balai Kerajaan bagi sidang-sidang yang jumlahnya terus bertambah. Saudara-saudara di daerah-daerah yang didominasi orang kulit hitam mengadakan perhimpunan di bawah keadaan yang sukar. Mereka menggunakan garasi, bedeng, dan ruang kelas sekolah, di mana mereka duduk di bangku-bangku kecil yang dirancang untuk anak-anak. Mereka juga harus bersabar dengan kelompok agama lain yang menggunakan ruang kelas di sekolah yang sama, menyanyi dengan nyaring dan memukul-mukul genderang, membuat bunyi yang memekakkan telinga.
Pada akhir tahun 1980-an, Panitia Pembangunan Regional mulai bereksperimen dengan metode pembangunan yang baru untuk mempercepat pembangunan Balai Kerajaan. Pada tahun 1992, 11 Saksi asal Kanada yang berpengalaman dengan proyek sistem pembangunan cepat merelakan diri untuk membantu pembangunan Balai Kerajaan ganda—bangunan dua tingkat—di Hillbrow, Johannesburg. Saudara-saudara ini membagikan keahliannya kepada saudara-saudara setempat dan membantu mereka memperbaiki metode pembangunan mereka.
Balai Kerajaan pertama yang dibangun dengan cepat didirikan di Diepkloof, Soweto, pada tahun 1992. Saudara-saudara telah berupaya memperoleh tanah untuk Balai Kerajaan di daerah ini sejak tahun 1962. Zechariah Sedibe, yang ikut dalam upaya memperoleh tanah itu, menghadiri acara penahbisan Balai Kerajaan pada tanggal 11 Juli 1992. Ia mengatakan sambil tersenyum lebar, ”Kami mengira tidak bakal pernah memiliki Balai Kerajaan. Kala itu, kami masih muda. Sekarang, saya sudah pensiun, tetapi kami memiliki balai, balai pertama di Soweto yang dibangun dalam beberapa hari.”
Sekarang, ada 600 Balai Kerajaan di negeri-negeri di bawah pengawasan cabang Afrika Selatan. Balai-balai ini menjadi pusat ibadat yang murni kepada Yehuwa. Namun, masih ada sekitar 300 sidang yang masing-masing terdiri dari 30 penyiar atau lebih yang membutuhkan Balai Kerajaan.
Di bawah pengawasan kantor cabang, 25 Panitia Pembangunan Regional memberikan bantuan praktis kepada sidang-sidang yang ingin membangun balai. Sidang-sidang dapat memperoleh pinjaman tanpa bunga untuk membiayai proyek mereka. Peter Butt, yang telah membantu pembangunan Balai Kerajaan selama 18 tahun lebih, adalah ketua Panitia Pembangunan Regional Gauteng. Ia mengatakan bahwa saudara-saudara dalam panitia-panitia ini biasanya sudah berkeluarga dan harus mencari nafkah, namun mereka dengan senang hati mengorbankan banyak waktu demi kepentingan saudara-saudara mereka.
Anggota lain sebuah panitia regional, Jakob Rautenbach, menjelaskan bahwa anggota-anggota panitia biasanya bekerja di lokasi selama pembangunan. Selain itu, mereka terlibat dalam semua perencanaan sebelum pembangunan dimulai. Ia dengan antusias menggambarkan semangat kerja sama yang penuh sukacita di antara para relawan. Mereka mengadakan perjalanan ke lokasi, yang kadang-kadang jauh sekali, dengan biaya sendiri.
Jakob mengatakan bahwa banyak saudara lain dengan senang hati menyumbangkan waktu dan sumber daya mereka untuk pekerjaan pembangunan Balai Kerajaan dan ia menyebutkan contoh berikut, ”Dua saudari kakak beradik yang memiliki perusahaan transportasi mengatur untuk memindahkan kontainer sepanjang 13 meter berisi perlengkapan kami ke berbagai lokasi pembangunan di seluruh negeri—dan bahkan ke negeri-negeri tetangga—dan mereka telah melakukannya sejak tahun 1993. Jika dihitung-hitung, ini merupakan sumbangan yang luar biasa! Banyak perusahaan yang berurusan dengan kami tergerak untuk menyumbang atau memberikan potongan harga sewaktu melihat apa yang kami kerjakan.”
Setelah dengan cermat membuat rencana dan mengorganisasi tim-tim kerja, saudara-saudara sering kali mendirikan balai dalam tiga hari. Hal ini membuat banyak pengamat menaruh respek. Menjelang akhir hari pertama pembangunan di suatu lokasi, dua pria yang baru minum-minum bir di bar dekat lokasi mendekati saudara-saudara. Mereka menjelaskan bahwa biasanya mereka pulang melewati tanah kosong, tetapi sekarang ada balai di tanah itu. Mereka menanyakan jalan karena yakin bahwa mereka sudah tersesat.
SEMANGAT RELA BERKORBAN
Perubahan politik pada awal tahun 1990-an tidak menghasilkan perdamaian dan kestabilan. Sebaliknya, kekerasan berkecamuk lebih dari yang sudah-sudah. Situasinya rumit, dan orang-orang memberikan banyak alasan mengapa timbul tindakan kekerasan yang memuncak, sebagian besar berkaitan dengan persaingan politis dan ketidakpuasan ekonomi.
Namun, pembangunan Balai Kerajaan terus berlangsung. Para relawan dari berbagai ras ditemani saudara-saudara setempat sewaktu memasuki kota-kota yang dikhususkan bagi orang kulit hitam. Beberapa relawan diserang oleh gerombolan yang mengamuk. Selama pembangunan sebuah balai di Soweto pada tahun 1993, gerombolan yang beringasan melemparkan batu ke tiga saudara kulit putih yang sedang menuju ke lokasi Balai Kerajaan dengan membawa bahan bangunan. Semua kaca mobil pecah, dan saudara-saudara cedera. Mereka berhasil melaju tanpa berhenti dan sampai di lokasi. Saudara-saudara setempat lalu melarikan mereka ke rumah sakit lewat rute yang lebih aman.
Pekerjaan di proyek tidak tertunda. Tindakan pencegahan diambil, dan ratusan orang dari semua ras bekerja di lokasi itu pada akhir pekan berikutnya. Para perintis setempat melakukan pekerjaan kesaksian di jalan di daerah sekitar balai. Sewaktu ada tanda-tanda masalah, mereka memperingatkan saudara-saudara di lokasi. Beberapa hari kemudian, saudara-saudara yang cedera itu sudah cukup sehat untuk kembali bekerja membangun balai.
Sidang-sidang menghargai pengabdian yang diperlihatkan dan pengorbanan yang dibuat oleh saudara-saudara yang merelakan diri untuk bekerja membangun Balai Kerajaan. Selama periode 15 tahun, Fanie dan Elaine Smit, yang sering kali mengadakan perjalanan jauh dengan biaya sendiri, telah membantu 46 sidang membangun Balai Kerajaan mereka.
Sebuah sidang di KwaZulu-Natal menyurati Panitia Pembangunan Regional, ”Saudara mengorbankan waktu tidur, saat-saat bersama keluarga, rekreasi—dan banyak hal lagi—agar bisa datang ke sini dan membangun balai bagi kami. Selain itu, kami tahu bahwa Saudara juga mengorbankan banyak uang Saudara sendiri demi menyukseskan proyek ini. Semoga Yehuwa mengingat Saudara ’demi kebaikan’.—Nehemia 13:31.”
Sewaktu sidang mempunyai Balai Kerajaan sendiri, ada pengaruh yang positif untuk lingkungan tetangga. Berikut komentar yang khas dari sebuah sidang, ”Jumlah hadirin setelah Balai Kerajaan dibangun meningkat sedemikian pesatnya sehingga sidang harus dibagi dalam dua kelompok untuk khotbah umum dan Pelajaran Menara Pengawal. Tidak lama lagi, sidang baru harus dibentuk.”
Sidang kecil di daerah pedesaan kadang-kadang sulit mendanai sebuah balai. Namun, banyak yang menemukan cara untuk menggalang dana. Di sebuah sidang, saudara-saudara menjual babi. Sewaktu dibutuhkan lebih banyak uang, mereka menjual seekor sapi dan seekor kuda. Lalu, mereka menjual 15 domba, seekor sapi, dan seekor kuda lagi. Seorang saudari menawarkan untuk membelikan semua catnya, yang lain membelikan karpet, dan yang lain lagi membayar untuk gorden. Akhirnya, seekor sapi dan lima domba lagi dijual untuk membeli kursi.
Setelah Balai Kerajaan mereka rampung, sebuah sidang di Gauteng menulis, ”Paling tidak selama dua minggu setelah balai dibangun, kami pergi ke sini setelah mengabar untuk mengaguminya. Kami tidak bisa langsung pulang ke rumah dari dinas sebelum melihat Balai Kerajaan kami.”
ORANG-ORANG LAIN JUGA MEMPERHATIKAN
Lingkungan tetangga sering memperhatikan upaya Saksi-Saksi Yehuwa untuk mempunyai tempat ibadat yang layak. Sidang di Umlazi, KwaZulu-Natal, menerima surat yang sebagian berbunyi, ”Asosiasi Jaga Keindahan Durban menghargai upaya kalian untuk menjaga daerah kalian tetap bersih serta menganjurkan kalian untuk terus melakukannya. Kerajinan kalian telah membuat tempat ini kelihatan indah. Asosiasi kami telah mengabdikan diri untuk memerangi sampah dan memelihara lingkungan kita bersih. Kami yakin bahwa tempat yang bersih adalah pangkal kesehatan yang baik di daerah ini. Untuk alasan inilah, kami memuji warga kami karena menjaga bersih daerah kami. Terima kasih karena telah menjadi contoh yang amat baik. Kami mendukung apa pun yang kalian lakukan demi menjaga daerah Umlazi tetap bersih.”
Sebuah sidang menulis, ”Ketika seorang pencuri yang terkenal mendobrak masuk ke Balai Kerajaan kami yang baru, orang-orang yang tinggal di sekitar balai menyerangnya. Mereka mengatakan bahwa si pencuri merusak ’gereja mereka’ karena itu adalah satu-satunya bangunan keagamaan di daerah itu. Mereka menghajarnya sebelum menyerahkannya kepada polisi.”
MEMENUHI KEBUTUHAN AKAN BALAI KERAJAAN DI AFRIKA
Pada tahun 1999, organisasi Yehuwa memulai pengaturan untuk membangun Balai Kerajaan di negeri-negeri yang sumber dayanya terbatas. Kantor Balai Kerajaan Regional didirikan di kantor cabang Afrika Selatan untuk mengorganisasi pekerjaan ini di beberapa negeri di Afrika. Seorang wakil dari kantor itu diutus ke setiap cabang untuk membantu saudara-saudara membentuk sebuah Biro Pembangunan Balai Kerajaan. Biro ini bertanggung jawab membeli lahan dan mengorganisasi Kelompok Pembangunan Balai Kerajaan. Hamba-hamba internasional juga dikirim untuk membantu dan melatih saudara-saudara setempat.
Kantor Regional Afrika Selatan telah membentuk 25 Biro Pembangunan Balai Kerajaan di Afrika, yang mengawasi pembangunan Balai Kerajaan di 37 negeri. Sejak bulan November 1999, sebanyak 7.207 Balai Kerajaan telah dibangun di negeri-negeri yang dilayani oleh pengaturan ini. Pada pertengahan tahun 2006, diputuskan bahwa dibutuhkan 3.305 Balai Kerajaan lagi di negeri-negeri ini.
DAMPAK PERUBAHAN POLITIS
Ketidakpuasan yang meningkat terhadap kebijakan rasial pemerintah sebelumnya menimbulkan keresahan dan tindak kekerasan, dan beberapa Saksi-Saksi Yehuwa langsung merasakan dampaknya. Perkelahian yang sengit berkecamuk di kota-kota yang dikhususkan bagi orang kulit hitam, dan banyak orang tewas. Tetapi, pada umumnya, saudara-saudara berhati-hati dan terus melayani Yehuwa dengan setia selama masa yang sulit ini. Suatu hari pada tengah malam, sebuah bom bensin dilemparkan ke dalam rumah seorang saudara dan keluarganya ketika mereka sedang tidur. Mereka berhasil meluputkan diri, dan belakangan saudara itu menyurati kantor cabang, ”Iman saya dan keluarga saya sekarang malah lebih kuat. Kami kehilangan seluruh harta, namun kami semakin mendekat kepada Yehuwa dan umat-Nya. Saudara-saudara telah membantu kami secara materi. Kami menanti-nantikan akhir sistem ini dan bersyukur kepada Yehuwa atas firdaus rohani kita.”
Pada tanggal 10 Mei 1994, presiden kulit hitam pertama, Nelson Mandela, dilantik. Ia juga presiden pertama di negeri ini yang dipilih secara demokratis, dan untuk pertama kalinya orang kulit hitam diberi kesempatan memilih. Semangat nasionalisme dan euforia merebak. Hal ini menimbulkan tantangan lain bagi beberapa saudara kita.
Sayang sekali, ada yang melanggar kenetralan Kristen, tetapi sebagian besar tidak. Banyak di antara mereka yang berkompromi menyadari kesalahan mereka, bertobat dengan tulus, dan menyambut anjuran berdasarkan Alkitab.
PERTUMBUHAN DALAM HATI
Pembangunan lebih banyak Balai Kerajaan membuktikan berkat Yehuwa, namun pertumbuhan yang benar-benar bersifat mukjizat terjadi dalam hati orang-orang. (2 Kor. 3:3) Orang dari berbagai latar belakang tertarik pada kebenaran. Pertimbangkan beberapa contoh.
Ralson Mulaudzi dipenjarakan pada tahun 1986 dan dijatuhi hukuman mati karena telah membunuh. Ia menemukan alamat kantor cabang dalam salah satu brosur kita dan menulis surat meminta bantuan untuk belajar Alkitab. Les Lee, seorang perintis istimewa, diperbolehkan mengunjunginya dan memulai pelajaran Alkitab. Tidak lama kemudian, Ralson mulai berbicara kepada tahanan lain dan para sipir penjara tentang apa yang sedang dipelajarinya. Ia dibaptis di penjara pada bulan April 1990. Ralson secara teratur dikunjungi anggota sidang setempat dan diizinkan keluar selnya selama satu jam setiap hari. Ia menggunakan waktu ini untuk mengabar kepada para tahanan lain. Ralson telah membantu tiga orang sampai dibaptis dan kini memimpin dua pelajaran Alkitab. Hukuman matinya telah dikurangi menjadi hukuman seumur hidup dengan kemungkinan bebas bersyarat.
Orang-orang lain yang ditarik kepada Yehuwa mempunyai latar belakang yang sangat berbeda. Queenie Rossouw, seorang peminat, menghadiri Pelajaran Buku Sidang dan meminta pengawas buku sidang mengunjungi putranya yang berusia 18 tahun, yang bersiap-siap untuk katekisasi. Saudara tersebut mengadakan pembahasan yang menarik dan pria muda itu mulai berhimpun bersama ibunya. Lalu, sang ibu meminta saudara kita mengunjungi suaminya, Jannie, yang adalah seorang tua-tua di Gereja Reformasi Belanda sekaligus ketua dewan gereja; suaminya ingin mengajukan beberapa pertanyaan. Saudara kita pun berbicara kepada sang suami, yang setuju untuk belajar Alkitab.
Saat itu pekan kebaktian distrik, dan saudara kita mengundang Queenie untuk hadir. Saudara kita terkejut ketika Jannie juga ikut dan menghadiri seluruh kebaktian empat hari itu. Acara kebaktian dan kasih di kalangan Saksi-Saksi sangat berkesan baginya. Putra mereka yang berusia 18 tahun dan putra sulung mereka, seorang diaken di gereja, sekarang ikut duduk selama pelajaran Alkitab.
Mereka semua mengundurkan diri dari gereja dan langsung mulai berhimpun. Mereka juga hadir pada pertemuan untuk dinas lapangan. Saudara kita menjelaskan kepada Jannie bahwa ia tidak bisa ikut mengabar bersama Saksi-Saksi karena ia belum memenuhi syarat sebagai penyiar belum terbaptis. Dengan air mata bercucuran, ia mengatakan bahwa kebenaran itulah yang telah dicarinya sepanjang hidup, dan ia tidak tahan lagi untuk menceritakannya.
Keluarga Rossouw mempunyai satu putra lagi, berusia 22 tahun, yang adalah siswa sekolah teologi tahun ketiga. Jannie menyurati putra ini dan menyuruhnya pulang, karena ia tidak mau lagi membayar kuliahnya. Hari ketiga setelah putranya pulang, Jannie dan tiga putranya bekerja bersama sidang selama satu hari di kompleks Betel di Krugersdorp. Siswa teologi ini terkesan dengan apa yang ia lihat di Betel, maka ia pun setuju untuk belajar Alkitab bersama kakak adiknya. Setelah belajar selama beberapa waktu, ia mengatakan bahwa ia belajar lebih banyak tentang Alkitab dalam satu bulan daripada dalam dua setengah tahun di universitas.
Seluruh keluarga akhirnya dibaptis. Sang bapak kini melayani sebagai penatua, dan beberapa putranya menjadi penatua atau hamba pelayanan. Seorang putri melayani sebagai perintis biasa.
”PERPANJANG TALI-TALI KEMAHMU”
Sekalipun sudah ada upaya-upaya untuk menyediakan cukup ruangan bagi ekspansi masa depan di Betel, perluasan besar sudah dibutuhkan lagi hanya 12 tahun setelah kompleks di Krugersdorp ditahbiskan. (Yes. 54:2) Selama waktu itu, ada kenaikan 62 persen dalam jumlah penyiar di Afrika Selatan dan di negeri-negeri di bawah pengawasan cabang ini. Tiga bangunan tempat tinggal yang baru dan sebuah gudang dibangun. Ruangan penatu serta bangunan kantor juga diperluas, dan ruang makan kedua ditambahkan. Pada tanggal 23 Oktober 1999, semua perluasan ini ditahbiskan kepada Yehuwa. Daniel Sydlik dari Badan Pimpinan menyampaikan khotbah penahbisan.
Belakangan, ada tambahan seluas 8.000 meter persegi di percetakan. Di sini dipasang sebuah mesin cetak rotari MAN Roland Lithoman yang baru. Kantor cabang juga mendapat mesin untuk memotong, menghitung, dan menumpuk majalah secara otomatis. Kantor cabang Jerman menyumbangkan mesin penjilid dengan ban berjalan sehingga Afrika Selatan dapat menghasilkan buku dan Alkitab bersampul lunak untuk seluruh Afrika sub-Sahara.
LOKASI YANG COCOK UNTUK KEBAKTIAN
Banyak pekerjaan pembangunan direncanakan untuk memenuhi kebutuhan akan Balai Kebaktian. Yang pertama dibangun di Eikenhof, sebelah selatan Johannesburg, dan ditahbiskan pada tahun 1982. Balai Kebaktian yang lain dibangun di Bellville, Cape Town, dan khotbah penahbisan disampaikan oleh Milton Henschel pada tahun 1996. Pada tahun 2001, balai yang lain lagi dirampungkan di Midrand, antara Pretoria dan Johannesburg.
Para tetangga yang pada mulanya menentang proyek pembangunan Midrand berubah sikap seraya mereka mulai mengenal saudara-saudara dan melihat apa yang sedang dilakukan. Seorang tetangga mengantarkan berkotak-kotak buah dan sayuran setiap dua minggu selama satu tahun lebih. Beberapa perusahaan tergerak untuk menyumbang. Sebuah perusahaan mengirimkan kompos secara cuma-cuma. Perusahaan lain memberikan cek senilai 10.000 rand (kira-kira 1.575 dolar AS) untuk proyek itu kepada saudara-saudara kita. Tentu saja, saudara-saudara juga dengan murah hati menyumbang untuk Balai Kebaktian tersebut.
Balai itu adalah bangunan yang indah dan dirancang dengan baik. Guy Pierce, seorang anggota Badan Pimpinan yang menyampaikan khotbah penahbisan, mengemukakan keindahan yang sesungguhnya dari balai itu—penggunaannya untuk menghormati Allah kita yang Agung, Yehuwa.—1 Raj. 8:27.
TIDAK DIPISAHKAN OLEH HUKUM BUATAN MANUSIA
Selama bertahun-tahun, sulit memperoleh lokasi yang cocok untuk kebaktian di daerah permukiman orang kulit hitam. Di Provinsi Limpopo, saudara-saudara tinggal di tempat yang disebut cagar budaya, yang, ketika itu, tertutup bagi orang kulit putih. Pengawas distrik, Corrie Seegers, tidak dapat memperoleh surat izin untuk memasuki daerah itu, dan ia tidak dapat menemukan lokasi untuk kebaktian.
Saudara Seegers menghampiri seorang pria yang perladangannya bersebelahan dengan cagar budaya itu, tetapi pria ini tidak mau apabila kebaktian diadakan di tanahnya. Namun, ia mengizinkan Saudara Seegers memarkir karavan (trailer) di situ. Akhirnya, saudara-saudara mengadakan kebaktian di sebuah lapangan di hutan di cagar budaya tersebut. Lapangan ini berbatasan dengan tanah petani itu, dipisahkan oleh pagar berduri. Saudara Seegers memarkir karavannya di tanah petani itu di sebelah lapangan tersebut dan menyampaikan khotbahnya dari situ. Saudara-saudara dipisahkan dari ”panggung” itu oleh pagar, tetapi mereka dapat mengadakan kebaktian, dan Saudara Seegers dapat menyampaikan khotbah kepada saudara-saudara tanpa melanggar hukum.
PERUBAHAN YANG BERMANFAAT UNTUK DINAS
Badan Pimpinan mengatur agar mulai tahun 2000, semua sidang di Afrika Selatan dapat menyiarkan lektur tanpa pungutan biaya kepada semua orang yang memperlihatkan minat yang tulus. Penyiar akan mengundang orang untuk memberikan sumbangan ala kadarnya demi pekerjaan penginjilan kita di seluruh dunia.
Pengaturan sumbangan sukarela ini ternyata bermanfaat bukan hanya bagi orang-orang di lapangan melainkan juga bagi saudara-saudara. Sebelumnya, banyak yang tidak mampu membayar publikasi yang digunakan untuk Pelajaran Menara Pengawal dan Pelajaran Buku Sidang. Di beberapa sidang yang terdiri dari 100 penyiar, hanya sekitar 10 orang yang mempunyai majalah Menara Pengawal sendiri. Sekarang, setiap orang dapat memiliki majalah pribadi.
Pekerjaan yang dilakukan oleh Departemen Ekspor di Betel meningkat pesat pada tahun-tahun belakangan. Pada bulan Mei 2002, ada total 432 ton bahan yang dikirim ke negeri-negeri Afrika lainnya, sebagian besar berupa lektur Alkitab.
Cabang Afrika Selatan sekarang menjadi gudang lektur untuk cabang-cabang Malawi, Mozambik, Zambia, dan Zimbabwe. Ini termasuk semua lektur dalam berbagai bahasa yang digunakan oleh negeri-negeri tersebut. Pesanan untuk setiap sidang dikemas ke dalam truk sedemikian rupa sehingga sewaktu diantar ke cabang-cabang, pesanan tersebut dapat langsung dipindahkan ke kendaraan cabang untuk diantar ke depot-depot.
Sejak pengaturan sumbangan diberlakukan, permintaan lektur meningkat pesat. Produksi majalah di Afrika Selatan melonjak dari satu juta menjadi 4,4 juta per bulan. Pesanan lektur meningkat menjadi 3.800 ton per tahun, dibandingkan dengan 200 ton pada tahun 1999.
Bahan bangunan juga dikirimkan ke negeri-negeri Afrika lainnya. Selain itu, Afrika Selatan mengorganisasi bantuan kemanusiaan bagi saudara-saudara yang membutuhkan. Bantuan berulang kali diberikan kepada saudara-saudara di Malawi yang karena penganiayaan hebat telah melarikan diri dari rumah mereka dan tinggal di kamp pengungsian. Bantuan kemanusiaan dikirimkan ke Angola, yang dilanda musim kemarau yang parah pada tahun 1990. Perang sipil di negeri itu juga mengakibatkan banyak saudara jatuh miskin, dan bertruk-truk makanan serta pakaian telah dikirimkan kepada mereka. Pada tahun 2000, bantuan diberikan kepada saudara-saudara di Mozambik setelah mereka mengalami banjir besar. Lebih dari 800 ton jagung dikirimkan kepada saudara-saudara di Zimbabwe yang terimbas musim kemarau yang parah selama tahun 2002 dan awal tahun 2003.
KEMAJUAN DALAM PENERJEMAHAN
Cabang Afrika Selatan memiliki Departemen Penerjemahan yang besar. Beberapa tahun yang lalu, departemen itu diperbesar untuk memenuhi kebutuhan yang kian bertambah akan penerjemahan Alkitab. Sekarang, ada 102 penerjemah yang bekerja untuk memproduksi lektur dalam 13 bahasa.
Kitab Suci Terjemahan Dunia Baru sekarang tersedia dalam tujuh bahasa setempat. Mengenai Alkitab bahasa Tswana, seorang saudara mengatakan, ”Alkitab ini mudah dipahami serta enak dibaca dan didengar. Saya ingin berterima kasih kepada Yehuwa dan organisasi yang diarahkan roh-Nya atas caranya kami diberi makanan rohani.”
Teknologi modern telah digunakan secara efektif untuk membantu para penerjemah. Badan Pimpinan menugasi saudara-saudara di kantor pusat di Brooklyn untuk mengembangkan program komputer guna membantu para penerjemah. Belakangan, kantor cabang Afrika Selatan juga diminta untuk membantu upaya ini. Upaya terpadu ini menghasilkan apa yang sekarang disebut Sistem Penerjemahan Menara Pengawal (Watchtower Translation System), dan para penerjemah di seluruh dunia telah memanfaatkan program ini.
Saudara-saudara kita tidak berupaya menciptakan program komputer untuk melakukan pekerjaan penerjemahan itu sendiri, seperti yang telah diupayakan beberapa perusahaan sekuler namun kurang berhasil. Sebaliknya, mereka berfokus untuk menyediakan alat-alat bantu bagi para penerjemah. Contohnya, Alkitab disediakan dalam versi elektronik. Para penerjemah juga bisa menyusun kamus terjemahan elektronik sendiri. Kamus ini sangat bermanfaat karena beberapa bahasa setempat tidak mempunyai kamus yang memadai.
MENABUR DI LADANG YANG HENING
Para penyiar berita Kerajaan berupaya menjangkau semua orang. Berkomunikasi dengan para tunarungu tidak mudah, namun hasilnya memuaskan. Pada tahun 1960-an, June Carikas memulai pelajaran Alkitab dengan seorang wanita tunarungu. Wanita itu serta suaminya, yang juga tunarungu, membuat kemajuan dan dibaptis.
Sejak itu, semakin banyak orang tunarungu menerima kebenaran, dan kelompok bagi kaum tunarungu telah dibentuk di kota-kota di seluruh negeri. Saudara-saudara mulai terbiasa dengan keberadaan bagian berbahasa isyarat di kebaktian. Sungguh mengharukan melihat orang-orang di antara hadirin bernyanyi menggunakan bahasa isyarat dan ”bertepuk tangan” bersama seluruh hadirin dengan melambaikan tangan.
Kelompok pertama bagi kaum tunarungu dibentuk di Sidang Brixton di Johannesburg. Suami June, George, yang adalah seorang penatua, mengawasi kelompok itu. Pelatihan bahasa isyarat diberikan kepada saudara-saudara di sidang yang merelakan diri, termasuk beberapa anggota Betel. Sekarang, ada satu sidang dan lima kelompok berbahasa isyarat di daerah yang diurus oleh kantor cabang Afrika Selatan.
BUAH-BUAH KERAJAAN DI NEGERI-NEGERI LAIN
Cabang Afrika Selatan mengawasi pekerjaan penginjilan di lima negeri lain. Berikut adalah tinjauan singkat tentang kemajuan pekerjaan Kerajaan di ladang-ladang ini.
Namibia
Negeri ini terbentang dari Samudra Atlantik sampai batas barat Botswana. Setelah Perang Dunia I, Namibia berada di bawah pemerintahan Afrika Selatan melalui sebuah mandat Liga Bangsa-Bangsa. Akhirnya, setelah banyak pergolakan dan pertumpahan darah, Namibia memperoleh kemerdekaan pada tahun 1990. Meskipun bagian terbesarnya kering dan jarang penduduknya, negeri ini juga mempunyai tempat-tempat yang panoramanya indah serta dihuni banyak sekali satwa liar dan tumbuhan yang aneh. Gurun Namib menarik banyak sekali pengunjung, yang mungkin heran melihat beraneka ragam satwa liar yang bisa hidup di tengah kondisi yang keras. Selain lanskap yang spektakuler, Namibia juga memiliki penduduk yang beragam yang menggunakan sembilan bahasa nasional.
Upaya awal untuk menyebarkan berita Kerajaan di Namibia dikerahkan pada tahun 1928. Pada tahun itu, kantor cabang Afrika Selatan mengirimkan sejumlah besar lektur Alkitab kepada orang-orang yang tidak dapat dikunjungi secara pribadi. Sekitar waktu ini, pria pertama yang menjadi orang Kristen berbakti di Namibia belajar kebenaran dengan cara yang tidak lazim. Bernhard Baade membeli telur-telur yang dibungkus dengan halaman yang dirobek dari publikasi kita. Ia membaca setiap halaman dengan antusias, tanpa mengetahui asal usulnya. Akhirnya, salah satu telur dibungkus dengan halaman terakhir publikasi tersebut, yang memuat alamat kantor cabang Jerman. Ia menulis surat untuk meminta lebih banyak lektur. Pengawas wilayah yang mengunjungi sidang Bernhard mengatakan bahwa sepanjang sisa kehidupannya, Bernhard tidak pernah melewatkan satu bulan pun tanpa keluar dalam dinas lapangan.
Pada tahun 1929, Lenie Theron diutus ke Windhoek, ibu kota Namibia. Saudari perintis ini memberikan kesaksian di semua kota besar di Namibia, mengadakan perjalanan dengan kereta api dan mobil pos. Selama empat bulan, ia menempatkan 6.388 buku serta buku kecil dalam bahasa Afrikaan, Inggris, dan Jerman. Meskipun para perintis secara berkala mengabar di Namibia, tidak ada yang tinggal untuk menindaklanjuti peminat. Hal ini berubah pada tahun 1950, ketika beberapa utusan injil tiba, antara lain Gus Eriksson, Fred Hayhurst, dan George Koett. Mereka semua membuat catatan yang bagus berupa dinas yang setia sampai akhir hayat mereka.
Pada tahun 1953, ada delapan utusan injil di negeri itu, termasuk Dick Waldron dan istrinya Coralie.f Mereka harus menghadapi tentangan sengit dari para pemimpin agama Susunan Kristen dan juga kalangan berwenang setempat. Meskipun suami istri Waldron ingin menyampaikan berita Alkitab di antara penduduk setempat, mereka harus memiliki surat izin pemerintah untuk dapat memasuki kawasan orang kulit hitam. Dick mengajukan permohonan tetapi ditolak.
Setelah anak perempuan mereka lahir pada tahun 1955, keluarga Waldron harus berhenti dari dinas utusan injil, namun Dick terus merintis untuk sementara. Pada tahun 1960, Dick akhirnya mendapat surat izin untuk memasuki salah satu kota orang kulit hitam, Katutura. Ia mengenang, ”Minat yang diperlihatkan luar biasa.” Dalam waktu singkat, beberapa orang dari kota ini sudah berhimpun. Kini, lebih dari 50 tahun kemudian, Dick dan Coralie terus melayani dengan setia di Namibia. Mereka telah memberikan sumbangsih yang berharga demi memajukan kepentingan Kerajaan di ladang ini.
Menyampaikan kebenaran Alkitab kepada berbagai kelompok ras di Namibia tidaklah mudah. Tidak ada lektur Alkitab dalam bahasa setempat, seperti bahasa Herero, Kwangali, dan Ndonga. Pada awalnya, penduduk setempat yang terpelajar yang mempelajari Alkitab menerjemahkan beberapa risalah dan brosur di bawah pengawasan para Saksi setempat. Esther Bornman, yang ketika itu perintis istimewa, mempelajari bahasa setempat yang lain lagi, Kwanyama, dan belakangan ia dapat berbicara dalam bahasa itu serta satu bahasa setempat yang lain lagi. Ia dan Aina Nekwayo, seorang saudari yang berbicara bahasa Ndonga, menerjemahkan Menara Pengawal, yang sebagian diterbitkan dalam bahasa Kwanyama dan sebagian dalam bahasa Ndonga. Kedua bahasa ini digunakan di Ovamboland dan dimengerti oleh sebagian besar penduduk di sana.
Pada tahun 1990, sebuah kantor penerjemahan dengan perlengkapan yang memadai didirikan di Windhoek. Lebih banyak penerjemah ditambahkan, dan kini, selain bahasa-bahasa yang disebutkan sebelumnya, lektur diterjemahkan ke dalam bahasa Herero, Kwangali, Khoekhoegowab, dan Mbukushu. André Bornman dan Stephen Jansen menjadi pengawas di kantor ini.
Namibia adalah penghasil intan yang terbesar. Menara Pengawal 15 Juli 1999 menyebutkan tentang hal ini dalam artikel berjudul ”Permata yang Hidup di Namibia!” Artikel itu menyamakan orang yang berhati jujur dengan ”batu permata hidup” dan menyatakan bahwa meskipun banyak pekerjaan penginjilan telah dilakukan, beberapa daerah di negeri ini sama sekali belum dijamah. Undangan berikut diulurkan, ”Apakah keadaan saudara memungkinkan untuk melayani di tempat yang membutuhkan lebih banyak pemberita Kerajaan? Kalau begitu, melangkahlah ke Namibia dan bantulah kami menemukan serta memoles lebih banyak batu permata rohani.”
Tanggapannya sungguh menghangatkan hati. Ada 130 surat dari saudara-saudara di berbagai negeri, termasuk Australia, Jerman, dan Jepang, serta beberapa di Amerika Selatan. Alhasil, 83 Saksi mengunjungi Namibia dan, dari antara mereka, 18 orang menetap. Enam belas di antara mereka adalah perintis biasa, dan beberapa memenuhi syarat sebagai perintis istimewa. Semangat para relawan ini menular. Bahkan sekarang, kantor cabang menerima surat-surat yang menanyakan tentang undangan yang muncul dalam Menara Pengawal. William dan Ellen Heindel telah melayani sebagai utusan injil di Namibia bagian utara sejak tahun 1989. Mereka harus mempelajari bahasa Ndonga yang digunakan oleh suku Ovambo, yang tinggal di daerah itu. Ketekunan dan kerja keras mereka di daerah yang unik ini menghasilkan berkat yang memuaskan bagi mereka. William mengatakan, ”Kami melihat anak-anak lelaki, beberapa di antaranya adalah pelajar Alkitab kami, bertumbuh menjadi pria-pria rohani. Beberapa melayani sebagai penatua dan hamba pelayanan di sidang. Kami bangga sekali sewaktu melihat mereka menyampaikan khotbah di kebaktian-kebaktian.”
Pada tahun-tahun belakangan, sejumlah lulusan Sekolah Pelatihan Pelayanan diutus ke Namibia, dan mereka berhasil memupuk minat serta melayani sidang-sidang. Pada tahun 2006, ada 1.264 penyiar di Namibia, kenaikan 3 persen dibanding tahun sebelumnya.
Lesotho
Negeri kecil Lesotho, yang berpenduduk 2,4 juta jiwa, semua sisinya dikelilingi oleh Afrika Selatan. Letaknya di Pegunungan Drakensberg, yang menyediakan pemandangan yang memukau bagi pendaki yang tangguh.
Meskipun suasana pada umumnya tenang, di negeri itu juga pernah terjadi pergolakan politik. Pada tahun 1998, pertikaian mengenai suatu pemilu menyebabkan pertikaian antara angkatan bersenjata dan polisi di ibu kota, Maseru. Veijo Kuismin dan istrinya, Sirpa, kala itu menjadi utusan injil. Ia mengenang, ”Syukurlah, tidak banyak saudara terluka selama perkelahian itu, dan kami mengorganisasi bantuan kemanusiaan bagi mereka yang tidak memiliki makanan pokok dan bahan bakar. Hal ini memperkuat ikatan persatuan di sidang, dan hadirin perhimpunan meningkat di seluruh negeri.”
Secara ekonomi, Lesotho terutama bergantung pada pertanian. Karena keadaan ekonomi yang parah, banyak pria menjadi buruh imigran di pertambangan Afrika Selatan. Meskipun negeri ini miskin secara materi, ada kekayaan rohani yang berharga di kerajaan gunung ini, dan banyak orang telah menyambut kebenaran Alkitab. Pada tahun 2006, ada 3.101 pemberita Kerajaan, kenaikan 2 persen dibanding tahun sebelumnya. Tiga pasang utusan injil—keluarga Hüttinger, keluarga Nygren, dan keluarga Paris—kini melayani di Maseru.
Abel Modiba melayani sebagai pengawas wilayah di Lesotho antara tahun 1974 dan 1978. Ia sekarang melayani di Betel Afrika Selatan bersama istrinya, Rebecca. Dengan tenang dan santai, ia mengisahkan beberapa kesannya tentang Lesotho, ”Di kebanyakan daerah pedesaan, tidak ada jalan. Saya harus berjalan kaki, kadang-kadang selama tujuh jam, untuk mengunjungi sekelompok penyiar yang terpencil. Sering kali, saudara-saudara membawa kuda, satu untuk saya tunggangi dan satu lagi untuk mengangkut koper saya. Kadang-kadang, kami bahkan mengangkut proyektor slide dan baterai 12 volt. Apabila sungai sedang meluap, kami harus menunggu selama beberapa hari sampai airnya surut. Di beberapa desa, kepala desa mengundang seluruh penduduk untuk datang mendengarkan khotbah umum.
”Beberapa orang harus berjalan selama berjam-jam untuk berhimpun, dan karena itu, selama pekan kunjungan pengawas wilayah, mereka yang datang dari jauh biasanya menginap di tempat saudara-saudara yang tinggal dekat Balai Kerajaan. Itu menjadi peristiwa yang istimewa. Pada malam hari, mereka berkumpul untuk saling berbagi pengalaman dan menyanyikan lagu-lagu Kerajaan. Keesokan harinya, mereka pergi mengabar.”
Per-Ola dan Birgitta Nygren telah melayani sebagai utusan injil di Maseru sejak tahun 1993. Birgitta menceritakan pengalaman ini yang memperlihatkan nilai majalah kita dalam membantu orang lain, ”Pada tahun 1997, saya memimpin PAR dengan seorang wanita bernama Mapalesa. Ia mulai berhimpun. Tetapi, ia tidak selalu ada di rumah untuk belajar, dan sering kali ia bersembunyi. Saya tidak lagi memimpin PAR dengannya, tetapi tetap mengantarkan majalah. Bertahun-tahun kemudian, ia datang ke salah satu perhimpunan kami. Ia menjelaskan bahwa pada suatu hari ia membaca sebuah artikel dalam Menara Pengawal mengenai mengendalikan kemarahan. Ia merasa bahwa itulah jawaban Yehuwa atas problemnya, karena ia dan kerabat-kerabatnya tak henti-hentinya berkelahi. Pelajaran pun dilanjutkan kembali, dan sejak itu ia tidak pernah absen dari perhimpunan. Ia juga mulai ikut aktif dalam dinas lapangan.”
Selama bertahun-tahun, saudara-saudara di Lesotho menggunakan fasilitas seadanya untuk Balai Kerajaan mereka. Namun, pada tahun-tahun belakangan ini, kantor cabang Afrika Selatan membantu sidang-sidang di Lesotho untuk mendanai pembangunan Balai Kerajaan.
Di ketinggian sekitar 3.000 meter, Balai Kerajaan di kota Mokhotlong adalah yang paling tinggi di Afrika. Untuk membangun balai ini, para relawan datang dari tempat-tempat yang jauh seperti Australia dan Kalifornia, AS. Saudara-saudara dari Provinsi KwaZulu-Natal di Afrika Selatan memberikan bantuan keuangan dan juga menyediakan kendaraan untuk mengangkut peralatan serta material ke lokasi pembangunan. Para relawan hidup sederhana sekali. Mereka harus menyediakan sendiri peralatan untuk tidur dan memasak. Balai itu rampung dalam sepuluh hari. Seorang saudara lansia setempat, yang lahir pada tahun 1910, berada di lokasi setiap hari untuk mengamati pembangunan. Ia sudah menunggu-nunggu adanya balai sejak ia menjadi hamba Yehuwa pada tahun 1920-an, dan ia senang sekali dengan kemajuan Balai Kerajaan ”miliknya”.
Pada tahun 2002, Lesotho dilanda bala kelaparan. Tepung jagung serta komoditas lainnya dibawa dengan truk dan dibagikan kepada Saksi-Saksi di daerah-daerah yang tertimpa bencana. Sepucuk surat penghargaan menyatakan, ”Ketika saudara-saudara datang ke rumah saya untuk mengantarkan tepung jagung, saya terkesima. Bagaimana mereka tahu apa yang saya butuhkan? Saya bersyukur kepada Yehuwa atas bantuan yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Hal ini memperkuat iman saya kepada Allah Yehuwa dan organisasi-Nya, dan saya bertekad untuk melayani Dia dengan segenap hati.”
Botswana
Negeri ini mencakup sebagian besar Gurun Kalahari dan berpenduduk lebih dari 1,7 juta orang. Iklim pada umumnya panas dan kering. Banyak taman dan taman margasatwa liar mengundang orang untuk berkunjung. Delta Okavango yang indah terkenal karena ketenangannya yang tak terusik serta satwa liarnya yang banyak jumlahnya. Angkutan tradisional di sepanjang terusan-terusan di delta itu adalah mokoro, sebuah kano dari pohon setempat yang dilubangi bagian tengahnya. Botswana memiliki ekonomi yang maju, terutama karena pertambangan intannya. Sejak intan ditemukan di Gurun Kalahari pada tahun 1967, Botswana menjadi salah satu pengekspor intan utama di dunia.
Tampaknya, berita tentang Kerajaan Allah pertama kali mencapai Botswana pada tahun 1929, ketika seorang saudara ikut dalam pekerjaan pengabaran di sana selama beberapa bulan. Joshua Thongoana dilantik sebagai pengawas wilayah di Botswana pada tahun 1956.g Ia mengenang bahwa pada waktu itu, lektur yang dicetak oleh Saksi-Saksi Yehuwa dilarang di sana.
Para utusan injil yang bersemangat telah menuai hasil baik di daerah yang produktif ini. Blake dan Gwen Frisbee bersama Tim dan Virginia Crouch telah bekerja keras untuk mempelajari bahasa Tswana. Di daerah utara, Veijo dan Sirpa Kuismin dengan antusias memberikan bantuan rohani kepada penduduk.
Di bagian selatan negeri ini, Hugh dan Carol Cormican memperlihatkan semangat utusan injil yang berapi-api. Hugh mengisahkan, ”Di sidang kami, ada seorang saudara berusia 12 tahun bernama Eddie. Sejak usia sangat muda, ia ingin sekali belajar membaca supaya dapat menjadi siswa Sekolah Pelayanan Teokratis dan ikut dalam dinas lapangan. Segera setelah memenuhi syarat sebagai penyiar belum terbaptis, ia menggunakan banyak waktu dalam dinas lapangan dan memulai pelajaran Alkitab dengan salah seorang teman sekelasnya. Sejak dibaptis, Eddie sering melayani sebagai perintis ekstra.”
Banyak sidang di Botswana terletak di atau dekat ibu kota yang makmur, Gaborone, yang letaknya di dekat perbatasan timur. Kawasan ini sangat padat penduduknya. Sisa penduduknya tinggal di desa-desa di bagian barat dan di Gurun Kalahari, di mana beberapa keluarga San (kelompok Bushman) masih berkelana, hidup bercocok tanam serta berburu dengan busur dan panah. Para penyiar telah mengerahkan upaya besar selama kampanye pengabaran khusus di daerah terpencil, mengadakan perjalanan sejauh ribuan kilometer untuk menyampaikan kebenaran Alkitab kepada para peternak nomadik di pedesaan. Orang-orang ini sibuk bercocok tanam, membangun pondok dari bahan-bahan setempat, serta mencari kayu bakar. Tidak ada banyak waktu untuk kegiatan lain. Namun, sewaktu orang yang tidak dikenal datang untuk menyampaikan berita Alkitab yang menyegarkan, mereka siap mengadakan pertemuan di luar pondok mereka dengan beralaskan pasir gurun yang lembut.
Stephen Robbins, seorang di antara kelompok enam perintis istimewa sementara, mengatakan, ”Di sini, orang terus berpindah-pindah. Bagi mereka, menyeberang perbatasan bagaikan menyeberang jalan. Kami bertemu dengan salah seorang pelajar Alkitab kami, Marks, di atas sebuah feri sewaktu kami menyeberangi Sungai Okavango. Kami senang sekali mendengar bahwa ia meminta libur kerja agar dapat mengadakan perjalanan dan membagikan kebenaran Alkitab kepada teman-teman serta kerabatnya. Marks menggunakan seluruh waktu luangnya untuk pekerjaan penginjilan.”
Ada sambutan yang membesarkan hati terhadap kabar baik di Botswana. Pada tahun 2006, ada 1.497 penyiar yang ikut dalam pekerjaan pengabaran, kenaikan 6 persen dibanding tahun sebelumnya.
Swaziland
Kerajaan kecil ini berpenduduk sekitar 1,1 juta jiwa. Penduduknya terutama adalah masyarakat agraris, meskipun banyak pria mencari pekerjaan di Afrika Selatan. Swaziland adalah negeri yang sangat elok dengan beberapa taman margasatwa. Orang Swazi ramah dan masih mengikuti banyak tradisi mereka.
Raja sebelumnya, Sobhuza II, mendukung Saksi-Saksi Yehuwa dan menerima banyak lektur kita. Setiap tahun, ia mengundang ke istananya bukan saja para pemimpin agama melainkan juga Saksi-Saksi Yehuwa untuk berbicara tentang Alkitab. Pada tahun 1956, Saksi yang diundang berbicara tentang doktrin jiwa yang tidak berkematian serta penggunaan gelar-gelar kehormatan di kalangan pemimpin agama. Belakangan, sang raja menanyakan kepada para pemimpin agama itu apakah hal-hal yang dikatakan itu benar atau tidak. Mereka tidak bisa menyanggah apa yang telah dikatakan saudara kita.
Saudara-saudara kita harus mengambil pendirian teguh sehubungan dengan kebiasaan berkabung yang didasarkan atas penyembahan nenek moyang. Di beberapa bagian di Swaziland, para kepala suku mengusir Saksi-Saksi Yehuwa dari rumah mereka sendiri karena tidak mau mengikuti kebiasaan berkabung tradisional. Saudara-saudara rohani mereka di daerah-daerah lain selalu mengurus mereka. Mahkamah Agung Swaziland menjatuhkan keputusan yang menguntungkan Saksi-Saksi Yehuwa dalam kasus ini dan menyatakan bahwa mereka harus dibiarkan kembali ke rumah serta ladang mereka.
James dan Dawne Hockett adalah utusan injil di ibu kota Swaziland, Mbabane. Mereka lulus dari Gilead pada tahun 1971 dan 1970. James menggunakan contoh berikut untuk memperlihatkan bagaimana para utusan injil harus beradaptasi dengan berbagai kebiasaan, ”Kami sedang mengabar di sebuah daerah yang belum pernah dikerjakan, dan seorang kepala suku ingin agar saya menyampaikan khotbah umum. Ia memanggil orang-orang untuk berkumpul. Kami duduk di suatu lahan yang sedang ada pekerjaan pembangunan, dan ada balok-balok semen di sana sini. Tanahnya lembap, jadi saya mencari sebuah balok semen untuk duduk, dan Dawne duduk di samping saya. Seorang saudari Swazi menghampiri Dawne dan memintanya duduk di sampingnya. Dawne mengatakan bahwa dia sudah nyaman, namun saudari itu berkeras. Belakangan, mereka memberi tahu kami bahwa karena beberapa pria duduk di tanah, wanita tidak boleh duduk lebih tinggi daripada pria. Itulah kebiasaan di daerah pedesaan.”
James dan Dawne mengunjungi sebuah sekolah untuk berbicara kepada ibu guru yang sebelumnya berminat. Ia menyuruh seorang murid laki-laki untuk keluar memberi tahu kami bahwa ini bukan waktu yang cocok. Mereka memutuskan untuk berbicara kepada murid itu, Patrick, dan bertanya apakah ia tahu mengapa mereka berkunjung. Setelah berdiskusi, mereka memberinya buku Pertanyaan Kaum Muda—Jawaban yang Praktis dan memulai PAR dengannya. Patrick yatim piatu dan tinggal di sebuah kamar yang bersebelahan dengan rumah pamannya. Ia harus mengurus dirinya, memasak makanannya sendiri, dan bekerja paruh waktu untuk membayar uang sekolahnya. Ia membuat kemajuan yang baik, dibaptis, dan sekarang melayani sebagai penatua di sidang.
Ada sambutan yang membesarkan hati terhadap pekerjaan penginjilan di Swaziland sejak pekerjaan dimulai pada tahun 1930-an. Pada tahun 2006, ada 2.292 penyiar yang aktif menyebarkan kabar baik tentang Kerajaan Allah di daerah ini, dan ada 2.911 pelajaran Alkitab yang dipimpin.
St. Helena
Pulau kecil ini, yang panjangnya 17 kilometer dan lebarnya 10 kilometer, terletak di sebelah barat pesisir barat daya Afrika. Iklim pada umumnya sejuk dan menyenangkan. Penduduk St. Helena berjumlah sekitar 4.000 jiwa, campuran orang-orang Eropa, Asia, dan Afrika. Bahasa Inggris diucapkan dengan dialek yang khas. Tidak ada bandara udara; jalur kapal dagang menyediakan akses ke dan dari Afrika Selatan serta Inggris. Siaran televisi baru ada pada pertengahan tahun 1990-an, melalui pemancar satelit.
Kabar baik tentang Kerajaan Allah pertama kali mencapai St. Helena pada awal tahun 1930-an, sewaktu dua perintis mengadakan kunjungan singkat. Tom Scipio, seorang polisi dan diaken di Gereja Baptis, memperoleh beberapa lektur dari mereka. Ia mulai berbicara kepada orang lain tentang apa yang dipelajarinya, dan dari mimbar ia menjelaskan bahwa tidak ada Tritunggal, api neraka, serta jiwa tak berkematian. Ia dan orang-orang lain yang mendukung kebenaran Alkitab diminta meninggalkan gereja. Segera, Tom dan sebuah kelompok kecil ikut dalam dinas lapangan, dengan bantuan tiga fonograf. Mereka mengerjakan pulau itu dengan berjalan kaki dan naik keledai. Tom juga memberikan dasar yang baik dalam kebenaran kepada keluarganya yang besar, dengan enam anak.
Pada tahun 1951, Jacobus van Staden dikirim dari Afrika Selatan untuk membina dan membantu kelompok Saksi yang loyal di pulau itu. Ia membantu mereka melakukan pelayanan dengan lebih efektif dan mengorganisasi perhimpunan secara teratur. George Scipio,h salah seorang putra Tom, menceritakan salah satu kesulitan yang dihadapi untuk mengatur agar setiap orang datang ke perhimpunan, ”Dari sekian peminat, hanya ada dua mobil. Medannya tidak rata serta berbukit-bukit, dan hanya sedikit jalan yang bagus pada waktu itu. . . . Ada yang mulai berjalan kaki sejak pagi-pagi sekali. Saya menjemput tiga orang dengan mobil saya yang kecil lalu menurunkan mereka di dekat jalan. Mereka melanjutkan dengan berjalan kaki. Saya kembali untuk menjemput tiga orang lagi, menurunkan mereka, setelah itu kembali. Dengan cara demikian, semua akhirnya tiba di tempat perhimpunan.” Belakangan, meskipun George menikah dan mempunyai empat anak, ia bisa melayani sebagai perintis selama 14 tahun. Tiga putranya melayani sebagai penatua.
Jannie Muller mengunjungi St. Helena sebagai pengawas wilayah beberapa kali pada tahun 1990-an, bersama istrinya, Anelise. Ia mengatakan, ”Sewaktu saya menemani seorang penyiar di lapangan, ia akan selalu memberi tahu saya siapa yang tinggal di rumah sebelah serta tanggapan yang akan diberikan. Sewaktu kami mengunjungi pulau itu dan menyebarkan Berita Kerajaan berjudul ”Mungkinkah Semua Orang Akan Saling Mengasihi?”, seluruh pulau selesai dikerjakan dalam satu hari, antara pukul 8.30 dan 15.00.”
Jannie khususnya mengingat saat mereka datang dan berangkat. Ia mengatakan, ”Sewaktu kapal tiba, kebanyakan saudara akan berkumpul di dermaga untuk menyambut kami. Mereka mengatakan bahwa ketika kami pergi mereka semua menangis, dan itulah yang terjadi sewaktu kami melihat mereka semua berdiri di dermaga sambil melambai-lambaikan tangan.”
Pada tahun 2006, ada 125 penyiar yang ikut menyebarkan kebenaran Alkitab di seluruh pulau. Hadirin Peringatan berjumlah 239. Di pulau itu, rasio penyiar dan penduduk adalah 1 banding 30, yang terbaik di dunia.
PROSPEK DI MASA DEPAN
Dibayang-bayangi pertikaian rasial di Afrika Selatan, Saksi-Saksi Yehuwa dari semua ras menikmati ”ikatan pemersatu” yang unik. (Kol. 3:14) Orang-orang lain telah mengomentari hal ini. Pada tahun 1993, banyak tamu dari luar negeri datang untuk kebaktian internasional. Sekitar 2.000 Saksi pergi ke bandara udara di Durban untuk menyambut delegasi dari Amerika Serikat dan Jepang. Sewaktu para pengunjung tiba, mereka menyanyikan lagu-lagu Kerajaan. Saudara-saudara dengan hangat saling bersalaman dan berpelukan. Di antara orang-orang yang memperhatikan, ada seorang pemimpin politik yang terkemuka. Dalam percakapan dengan beberapa saudara, ia berkata, ”Seandainya kami memiliki semangat persatuan yang sama seperti kalian, sudah lama kami dapat menanggulangi problem-problem kami.”
Kebaktian Internasional tahun 2003 ”Muliakan Allah” memberikan dorongan rohani kepada semua yang hadir. Di Afrika Selatan, diselenggarakan kebaktian internasional di pusat-pusat utama, serta banyak kebaktian distrik yang lebih kecil. Dua anggota Badan Pimpinan, Samuel Herd dan David Splane, melayani kebaktian-kebaktian internasional. Para delegasi dari 18 negeri hadir. Beberapa mengenakan pakaian tradisional mereka, yang menambah suasana internasionalnya. Hadirin di semua kebaktian berjumlah 166.873 orang, dan ada 2.472 orang yang dibaptis.
Janine, yang menghadiri kebaktian internasional di Cape Town, menyatakan penghargaan atas dirilisnya publikasi Belajarlah dari sang Guru Agung, ”Sulit untuk mengungkapkan dengan kata-kata betapa saya menghargai hadiah ini. Buku ini dirancang untuk mencapai hati anak-anak kita. Yehuwa tahu apa yang dibutuhkan umat-Nya, dan Yesus, Kepala sidang, melihat perjuangan kita di dunia yang tidak saleh ini. Dengan segenap hati, saya berterima kasih kepada Yehuwa dan para hamba-Nya di bumi.”
Sewaktu meninjau sejarah Saksi-Saksi Yehuwa di Afrika Selatan selama abad yang lalu, kita bersukacita atas catatan ketekunan dan keteguhan orang-orang yang setia. Pada tahun 2006, ada 75.304 penyiar yang memimpin 84.903 PAR. Hadirin Peringatan untuk tahun 2006 berjumlah 189.108 orang. Tampak jelas bahwa kata-kata Yesus masih berlaku di bagian ladang dunia ini, ”Lihat! Aku mengatakan kepadamu: Layangkanlah pandanganmu dan lihatlah ladang-ladang, yang sudah putih dan siap untuk dipanen.” (Yohanes 4:35) Masih ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Bukti yang limpah akan pengarahan Yehuwa menggerakkan kita untuk berseru, bersama saudara-saudara kita di setiap penjuru bumi, ”Bersoraklah dalam kemenangan bagi Yehuwa, hai, kamu sekalian di bumi. Layanilah Yehuwa dengan bersukacita”!—Mz. 100:1, 2.
[Catatan Kaki]
a Di Afrika Selatan, kata ini digunakan untuk memaksudkan orang dari ras campuran.
b Kisah hidup Paul Smit muncul dalam Menara Pengawal 1 November 1985, halaman 10-13.
c Kisah hidup George Phillips dimuat dalam Menara Pengawal 1 Desember 1956, halaman 712-19.
d Kisah hidup Piet Wentzel muncul dalam Menara Pengawal, 1 Juli 1986, halaman 9-13.
e Kisah hidup Frans Muller muncul dalam Menara Pengawal 1 April 1993, halaman 19-23.
f Kisah hidup suami istri Waldron muncul dalam Menara Pengawal, 1 Desember 2002, halaman 24-8.
g Kisah hidup Joshua Thongoana muncul dalam Menara Pengawal, 1 Februari 1993, halaman 25-9.
h Kisah hidup George Scipio muncul dalam Menara Pengawal, 1 Februari 1999, halaman 25-9.
[Blurb di hlm. 174]
Rasio penyiar dan penduduk St. Helena adalah 1 banding 30, yang terbaik di dunia
[Kotak di hlm. 68, 69]
Apa Apartheid Itu?
Kata ”apartheid” secara harfiah berarti ”keterpisahan” dan pertama kali digunakan oleh Partai Nasional pada pemilu tahun 1948. Partai tersebut memenangkan pemilu tahun itu, dan pemisahan yang ketat terhadap berbagai kelompok ras di Afrika Selatan menjadi kebijakan resmi pemerintah dengan dukungan kuat dari Gereja Reformasi Belanda. Kebijakan ini, yang dipicu oleh tekad untuk mempertahankan supremasi orang kulit putih, menghasilkan hukum yang mengatur aspek-aspek utama kehidupan—tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan, fasilitas umum, dan politik.
Kelompok-kelompok ras utama digolongkan sebagai berikut: orang kulit putih, orang Bantu (orang Afrika kulit hitam), orang kulit berwarna (orang dari ras campuran), dan Asia (orang India). Para pendukung apartheid menyatakan bahwa setiap ras harus memiliki wilayah sendiri yang ditetapkan, yang disebut enklave, tempat mereka dapat hidup serta berkembang secara harmonis dengan kebudayaan dan kebiasaan mereka. Meskipun secara teori tampak praktis, dalam kenyataannya, hal itu tidak berjalan mulus. Karena terintimidasi oleh senjata api, gas air mata, dan anjing-anjing galak, banyak orang kulit hitam berbekal barang-barang seadanya diusir dari rumah mereka dan dipindahkan ke daerah lain. Kebanyakan fasilitas umum, seperti bank dan kantor pos, memiliki bagian yang terpisah untuk orang kulit putih dan bukan kulit putih. Restoran dan bioskop hanya boleh dimasuki orang kulit putih.
Orang kulit putih masih bergantung pada tenaga buruh kulit hitam yang murah, untuk bisnis serta pekerjaan rumah tangga. Akibatnya, keluarga-keluarga dipisahkan. Misalnya, para pria kulit hitam boleh pergi ke kota untuk bekerja di pertambangan atau pabrik dan ditampung di losmen pria sementara istri mereka harus tinggal di enklave. Kehidupan keluarga pun rusak dan ada banyak perbuatan amoral. Para pelayan kulit hitam yang bekerja di rumah orang kulit putih biasanya menempati sebuah kamar di tanah majikan mereka. Keluarga mereka tidak bisa tinggal di permukiman orang kulit putih, sehingga orang tua tidak melihat keluarga mereka untuk waktu yang lama. Orang kulit hitam harus membawa buku kartu identitas mereka setiap waktu.
Apartheid berdampak buruk atas banyak bidang kehidupan, termasuk pendidikan, perkawinan, pekerjaan, dan kepemilikan tanah. Meskipun terkenal karena keharmonisan ras mereka, Saksi-Saksi Yehuwa mematuhi hukum-hukum pemerintah asalkan hal itu tidak menghalangi mereka memberikan dinas suci kepada Allah. (Rm. 13:1, 2) Mereka berupaya sebisa-bisanya mencari kesempatan untuk bergaul dengan sesama penyembah dari berbagai kelompok ras.
Mulai pertengahan tahun 1970-an, pemerintah membuat sejumlah reformasi, sehingga kebijakan ras mereka diperlunak. Pada tanggal 2 Februari 1990, presiden saat itu, F. W. de Klerk, mengumumkan langkah-langkah untuk menghapus apartheid, antara lain memberikan pengakuan resmi kepada organisasi-organisasi politik kulit hitam dan membebaskan Nelson Mandela dari penjara. Pemilihan demokratis yang menghasilkan pemerintah yang mayoritas kulit hitam pada tahun 1994 menandai berakhirnya apartheid secara resmi.
[Kotak/Peta di hlm. 72, 73]
SEKILAS TENTANG—Afrika Selatan
Negeri
Daerah pesisir Afrika Selatan adalah dataran rendah sempit yang berbatasan dengan gunung-gunung yang menjulang hingga plato yang luas ke arah pedalaman yang merupakan bagian terbesar negeri ini. Titik tertinggi plato tersebut terletak di bagian timur, di sisi Samudra Hindia, tempat jajaran Gunung Drakensberg menjulang lebih dari 3.400 meter. Luas daratan Afrika Selatan kira-kira lebih dari satu setengah kali luas Pulau Kalimantan.
Penduduk
Ke-44 juta penduduk negeri ini datang dari beragam latar belakang. Pada tahun 2003, pemerintah menerbitkan hasil sebuah sensus yang menggolongkan warganya dalam empat kelompok berikut: orang Afrika kulit hitam, 79 persen; orang kulit putih, 9,6 persen; orang kulit berwarna, 8,9 persen; dan orang India atau Asia, 2,5 persen.
Bahasa
Ada 11 bahasa resmi yang digunakan di negeri ini, meskipun banyak orang berbicara bahasa Inggris. Berikut daftar bahasa menurut yang paling umum digunakan: Zulu, Xhosa, Afrikaan, Sepedi, Inggris, Tswana, Sesotho, Tsonga, Siswati, Venda, dan Ndebele.
Mata pencaharian
Negeri ini memiliki sumber daya alam yang sangat besar dan merupakan penghasil emas serta platinum terbesar di dunia. Jutaan orang Afrika Selatan bekerja di pertambangan, peladangan, atau pabrik yang memproduksi makanan, mobil, mesin, tekstil, dan produk-produk lain.
Iklim
Ujung selatan negeri ini, termasuk Cape Town, beriklim seperti Mediterania dengan musim dingin yang banyak hujannya dan musim panas yang kering. Plato pedalaman memiliki pola iklim yang berbeda; badai guntur menghasilkan cuaca sejuk selama musim panas, sedangkan pada musim dingin, hari-harinya secara relatif hangat dengan langit tak berawan.
[Peta]
(Untuk keterangan lengkap, lihat publikasinya)
NAMIBIA
GURUN NAMIB
Katutura
WINDHOEK
BOTSWANA
GURUN KALAHARI
GABORONE
SWAZILAND
MBABANE
LESOTHO
MASERU
Teyateyaneng
AFRIKA SELATAN
Taman Nasional Kruger
Nylstroom
Bushbuckridge
PRETORIA
Johannesburg
Klerksdorp
Dundee
Ndwedwe
Pietermaritzburg
Durban
PEG. DRAKENSBERG
Strand
Cape Town
PRETORIA
Midrand
Krugersdorp
Kagiso
Johannesburg
Elandsfontein
Soweto
Eikenhof
Heidelberg
[Gambar]
Cape Town
Tanjung Harapan
[Kotak/Gambar di hlm. 80, 81]
Upaya Awal Saya Menjadi Saksi
ABEDNEGO RADEBE
LAHIR: 1911
BAPTIS: 1939
PROFIL: Melayani di sidang kulit hitam pertama di Pietermaritzburg, KwaZulu-Natal, dan setia hingga akhir hayatnya pada tahun 1995.
SAYA lahir dan dibesarkan dekat Pietermaritzburg. Ayah saya seorang pendeta Metodis. Pada pertengahan tahun 1930-an, saya memperoleh beberapa lektur yang diterbitkan oleh Saksi-Saksi Yehuwa. Meskipun setuju dengan apa yang saya baca, saya tidak mempunyai kesempatan untuk bergabung dengan Saksi-Saksi.
Seseorang di losmen tempat saya tinggal memberi saya sebuah buku kecil berjudul Heaven and Purgatory (Surga dan Api Penyucian). Saya belum pernah membaca bacaan seperti itu. Buku kecil itu membantu saya memahami apa yang Alkitab katakan tentang kebangkitan dan harapan di bumi. Saya menyurati kantor cabang di Cape Town dan memesan beberapa buku.
Saya segan mendekati Saksi-Saksi yang saya lihat di kota. Kebiasaan suku kami adalah, ”Jangan dekati orang kulit putih lebih dulu. Tunggu dia yang mendekati Anda.”
Suatu malam, dalam perjalanan pulang dari tempat kerja, saya melihat mobil pengeras suara milik Saksi-Saksi diparkir di luar losmen tempat saya tinggal. Setibanya saya di gerbang, seorang pria berjas yang kekar dan sudah berumur mendekati saya. Ia memperkenalkan diri sebagai Daniel Jansen. Saya memutuskan untuk menggunakan kesempatan ini guna mengenal Saksi-Saksi, maka saya meminta agar salah satu ceramah Saudara Rutherford diputarkan. Banyak orang datang berkumpul. Setelah ceramah itu berakhir, Jansen menaruh mikrofon di tangan saya dan mengatakan, ”Ceritakan kepada orang-orang ini dalam bahasa Zulu apa isi rekaman tadi supaya mereka juga memperoleh manfaat.”
Saya menjawab, ”Saya tidak bisa ingat semua yang dikatakan si pembicara.”
Jansen mengatakan, ”Sampaikan saja apa yang Anda ingat.”
Dengan tangan gemetaran, saya menyampaikan beberapa patah kata dengan terbata-bata melalui mikrofon. Itulah upaya awal saya menjadi salah seorang Saksi-Saksi Yehuwa. Jansen kemudian mengajak saya untuk menemaninya dalam pekerjaan pengabaran. Pertama-tama, ia memeriksa pemahaman saya tentang kepercayaan-kepercayaan dasar untuk memastikan bahwa saya sepenuhnya memahami dan setuju dengan ajaran-ajaran Alkitab. Ia puas. Saya bergabung dengan sebuah paguyuban, atau sidang, orang kulit putih selama empat tahun dan sayalah satu-satunya orang kulit hitam. Kelompok kecil kami berhimpun di rumah seorang saudara.
Pada masa itu, tiap-tiap penyiar diberi kartu kesaksian untuk memperkenalkan berita Alkitab kepada penghuni rumah. Kami juga membawa fonograf, beberapa rekaman ceramah berdurasi empat menit, dan sebuah tas lektur.
Untuk menghemat waktu, penyiar sudah menyetel fonografnya dan siap dengan jarum baru. Ketika penghuni rumah membuka pintu, penyiar memberi salam lalu menyampaikan kartu yang memperkenalkan ceramah yang sudah direkam. Sewaktu rekaman sudah diputar lebih dari setengahnya, penyiar membuka tasnya agar ketika rekaman selesai, ia dapat menawarkan kepada penghuni rumah buku yang disebutkan dalam ceramah tersebut.
[Kotak/Gambar di hlm. 88, 89]
Teladan yang Setia
GEORGE PHILLIPS
LAHIR: 1898
BAPTIS: 1912
PROFIL: Menjadi perintis biasa pada tahun 1914. Melayani sebagai pengawas cabang di Afrika Selatan selama hampir 40 tahun dan setia hingga akhir hayatnya pada tahun 1982.
GEORGE PHILLIPS lahir dan dibesarkan di Glasgow, Skotlandia. Ia mulai merintis pada tahun 1914, ketika berusia 16 tahun. Pada tahun 1917, ia dipenjarakan karena mempertahankan kenetralan Kristen. Pada tahun 1924, Saudara Rutherford secara pribadi mengundangnya untuk melayani di Afrika Selatan. Katanya, ”George, mungkin ini bisa untuk satu tahun, atau bisa sedikit lebih lama.”
Berikut kesan George setibanya di Afrika Selatan, ”Dibandingkan dengan Inggris, keadaannya sama sekali berbeda dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan [pengabaran] jauh lebih kecil. Ketika itu, hanya ada 6 orang dalam dinas sepenuh waktu dan tidak lebih dari sekitar 40 orang yang melakukan sedikit kegiatan dinas. Daerah kami mencakup semua daerah dari Cape hingga Kenya. Bagaimana kami bisa mengerjakannya dan memberikan kesaksian yang efektif dalam waktu satu tahun? Buat apa khawatir? Yang penting adalah mulai melakukannya, dengan sarana yang ada, dan menyerahkan hasilnya ke tangan Yehuwa.
”Afrika Selatan adalah negeri yang kompleks dengan beragam ras dan bahasa. Sangat menyenangkan untuk mengenali beragam penduduk ini. Mengorganisasi pekerjaan di ladang yang demikian luas dan meletakkan dasar yang diperlukan untuk membangun bukanlah tugas yang mudah.
”Sepanjang tahun-tahun tersebut, persediaan Yehuwa yang pengasih untuk semua kebutuhan saya, perlindungan, bimbingan, dan berkat-Nya selalu nyata secara limpah. Saya telah belajar bahwa ’pengabdian yang saleh disertai rasa cukup adalah keuntungan besar’ dan bahwa jika seseorang ingin tetap ’tinggal di tempat rahasia milik Yang Mahatinggi’, ia harus berpaut erat pada organisasi-Nya dan bekerja keras melakukan pekerjaan-Nya menurut cara-Nya.”—1 Tim. 6:6; Mz. 91:1.
[Kotak/Gambar di hlm. 92-94]
Membantu Keluarga Saya secara Rohani
JOSEPHAT BUSANE
LAHIR: 1908
BAPTIS: 1942
PROFIL: Seorang kepala keluarga yang belajar kebenaran sewaktu bekerja di Johannesburg, jauh dari rumahnya di Zululand, KwaZulu-Natal.
SAYA lahir di Zululand, Afrika Selatan, pada tahun 1908. Meskipun keluarga saya puas dengan kehidupan yang sederhana di perladangan, pada usia 19 tahun, saya mulai bekerja sebagai pegawai toko di kota Dundee. Belakangan, saya mendengar bahwa banyak pria muda mendapat gaji besar di Johannesburg, pusat pertambangan emas di Afrika Selatan. Jadi, saya pindah ke sana dan selama bertahun-tahun bekerja memasang poster iklan. Saya terkesima oleh banyaknya tempat menarik dan peluang, namun saya segera sadar bahwa kehidupan kota merongrong nilai-nilai moral tradisional bangsa saya. Meskipun banyak pemuda melupakan keluarga mereka yang tinggal di pedesaan, saya tidak pernah melupakan keluarga saya dan secara teratur mengirimkan uang kepada mereka. Pada tahun 1939, saya menikahi gadis dari Zululand, bernama Claudina. Meskipun sudah menikah, saya masih bekerja di Johannesburg yang berjarak 400 kilometer. Kebanyakan teman saya melakukan hal yang sama. Walaupun terpisah dari keluarga untuk waktu yang lama terasa menyengsarakan, saya merasa wajib membantu mereka menikmati standar hidup yang lebih tinggi.
Sementara berada di Johannesburg, saya dan seorang teman bernama Elias memutuskan untuk mencari agama yang benar. Kami pergi ke gereja-gereja di lingkungan tempat tinggal kami, tetapi tidak ada yang memuaskan. Lalu, Elias berjumpa dengan Saksi-Saksi Yehuwa. Bersama Elias, saya hadir secara teratur di sidang Saksi-Saksi Yehuwa kulit hitam yang pertama di Johannesburg. Pada tahun 1942, setelah membaktikan kehidupan saya kepada Yehuwa, saya dibaptis di Soweto. Setiap kali pulang ke Zululand, saya berupaya menceritakan kepercayaan saya kepada Claudina, tetapi ia sangat aktif dalam kegiatan gereja.
Namun, ia mulai membandingkan lektur kami dengan Alkitabnya, dan kebenaran Firman Allah sedikit demi sedikit mencapai hatinya. Pada tahun 1945, ia dibaptis. Ia menjadi rohaniwati Kristen yang bersemangat, menyampaikan kebenaran Alkitab kepada para tetangga dan menanamkannya dalam hati anak-anak kami. Sementara itu, saya mendapat hak istimewa membantu beberapa orang memperoleh pengetahuan tentang kebenaran Alkitab di Johannesburg. Pada tahun 1945, ada empat sidang kulit hitam di sekitar Johannesburg, dan saya melayani sebagai hamba paguyuban di Sidang Small Market. Belakangan, ada pengarahan yang berdasarkan Alkitab bagi para pria yang sudah menikah dan bekerja jauh dari rumah agar mereka kembali ke keluarga mereka dan lebih memperhatikan tanggung jawab sebagai kepala keluarga.—Ef. 5:28-31; 6:4.
Maka, pada tahun 1949, saya berhenti dari pekerjaan saya di Johannesburg untuk mengurus keluarga saya selaras dengan cara Yehuwa. Sekembalinya ke rumah, saya bekerja pada seorang pengawas ternak sebagai asisten tangki pencuci hama ternak. Tidaklah mudah untuk menafkahi keluarga yang terdiri dari enam anak dengan gaji saya yang kecil. Maka, untuk menutup biaya hidup, saya juga menjual sayur dan jagung yang kami tanam. Meskipun tidak kaya secara materi, keluarga kami memiliki harta rohani karena mengindahkan pengarahan Yesus yang dicatat di Matius 6:19, 20.
Memperoleh harta rohani ini menuntut kerja keras, sebagaimana menggali untuk mendapatkan emas di pertambangan sekitar Johannesburg. Setiap malam, saya biasa membacakan sebuah ayat Alkitab kepada anak-anak saya dan meminta setiap anak menceritakan apa yang telah mereka pelajari. Pada akhir pekan, saya akan membawa mereka, secara bergantian, untuk mengabar. Sementara kami berjalan dari satu bangunan ke bangunan lain di perladangan, saya membahas hal-hal rohani bersama mereka dan berupaya menanamkan dalam hati mereka standar moral Alkitab yang luhur.—Ul. 6:6, 7.
Selama bertahun-tahun, hanya keluarga kami yang dapat menyediakan pemondokan bagi para pengawas keliling. Saudara-saudara ini dan istri mereka memberikan pengaruh yang baik atas anak-anak kami serta membina dalam diri mereka keinginan untuk menjadi penginjil sepenuh waktu. Kami mempunyai lima anak lelaki dan satu anak perempuan. Keenam-enamnya sekarang sudah dewasa dan kuat secara rohani. Betapa bersyukurnya saya atas pengarahan organisasi Yehuwa yang menganjurkan saudara-saudara seperti kami untuk lebih memperhatikan kebutuhan rohani keluarga! Berkat-berkat yang dihasilkan jauh melebihi apa pun yang dapat dibeli dengan uang.—Ams. 10:22.
Saudara Josephat Busane terus melayani Yehuwa dengan setia hingga akhir hayatnya pada tahun 1998. Anak-anaknya yang sudah dewasa juga terus menghargai warisan rohani mereka. Salah seorang putranya, Theophilus, melayani sebagai pengawas keliling. Perincian lebih lanjut tentang Saudara Busane dapat dibaca dalam ”Awake!” 8 Oktober 1993, halaman 19 sampai 22.
[Kotak/Gambar di hlm. 96, 97]
”Dinas Kerajaan Telah Membantu Saya Mendekat kepada Yehuwa”
THOMAS SKOSANA
LAHIR: 1894
BAPTIS: 1941
PROFIL: Mempelajari enam bahasa supaya dapat membantu orang secara rohani dalam dinas perintisnya.
PADA tahun 1938, seorang guru sekolah memberi saya beberapa buku kecil yang diterbitkan oleh Saksi-Saksi Yehuwa. Ketika itu, saya seorang penginjil gereja Wesley di Delmas, sekitar 60 kilometer sebelah timur Johannesburg. Sudah lama saya sangat berminat pada Alkitab. Gereja mengajarkan bahwa jiwa itu tidak berkematian dan bahwa orang fasik disiksa di neraka. Tetapi, buku-buku kecil tersebut memperlihatkan dari Alkitab bahwa hal itu tidak benar. (Mz. 37:38; Yeh. 18:4) Saya juga dapat memahami bahwa sebagian besar umat Allah tidak pergi ke surga, tetapi akan memperoleh kehidupan abadi di bumi.—Mz. 37:29; Mat. 6:9, 10.
Saya sangat senang mengetahui kebenaran-kebenaran ini dan ingin memberitakannya kepada jemaat di gereja saya, namun rekan-rekan penginjil berkeberatan dan merencanakan untuk mendepak saya. Maka, saya keluar dari gereja dan mulai bergabung dengan kelompok kecil Saksi-Saksi Yehuwa di Delmas. Saya dibaptis pada tahun 1941 dan mulai merintis pada tahun 1943.
Saya pindah ke Rustenburg, yang membutuhkan pemberita Kerajaan. Karena saya orang asing, saya harus melapor ke kepala setempat untuk mendapat akomodasi dan izin tinggal. Ia mengatakan bahwa saya harus membayar 12 pounds untuk memperoleh izin. Saya tidak mampu membayarnya, tetapi seorang saudara kulit putih yang baik hati di sana memberikan uang itu dan membantu saya secara keuangan sehingga saya dapat meneruskan dinas perintis. Salah seorang pria yang saya beri pelajaran Alkitab membuat kemajuan yang bagus, dan setelah saya meninggalkan daerah tugas tersebut, ia dilantik menjadi hamba di sidang itu.
Kemudian, saya pindah lebih jauh ke arah barat ke Lichtenburg. Kali ini, saya harus melapor kepada seorang inspektur kulit putih supaya bisa tinggal di kawasan kulit hitam di kota. Ia menolak. Saya meminta seorang saudara perintis kulit putih di Mafikeng, tidak jauh dari situ, untuk membantu saya. Kami mengunjungi inspektur itu bersama-sama, namun ia mengatakan, ”Saya tidak mau Anda ada di sini. Kalian mengajari orang bahwa tidak ada neraka. Jadi, bagaimana orang bisa melakukan apa yang benar jika mereka tidak takut akan api neraka?”
Karena ditolak, saya pindah ke Mafikeng dan terus melayani sebagai perintis biasa hingga sekarang. Bahasa ibu saya adalah bahasa Zulu, namun segera setelah saya belajar kebenaran, saya memutuskan bahwa saya harus belajar bahasa Inggris supaya bisa membaca semua publikasi Saksi-Saksi Yehuwa. Hal ini membantu saya bertumbuh secara rohani.
Agar efektif dalam pelayanan, saya juga belajar berbicara bahasa Sesotho, Xhosa, Tswana, dan sedikit bahasa Afrikaan. Selama bertahun-tahun, saya mendapat hak istimewa membantu banyak orang membaktikan kehidupan mereka kepada Yehuwa, termasuk empat orang yang sekarang adalah penatua. Dinas sepenuh waktu juga bermanfaat untuk kesehatan saya.
Saya bersyukur kepada Yehuwa karena mengizinkan saya mencapai usia yang sangat tua dalam dinas-Nya. Bukan karena kekuatan sendiri saya memperoleh pengetahuan dan menikmati sukses di lapangan. Melalui roh kudus-Nya, Yehuwa telah membantu saya. Di atas segalanya, dinas Kerajaan sepenuh waktu yang teratur telah membantu saya mendekat kepada Yehuwa, dan saya telah belajar untuk bergantung kepada-Nya.
Wawancara di atas diadakan pada tahun 1982. Sebagai orang yang diurapi Allah, Saudara Skosana terus menempuh haluannya yang setia. Ia meninggal pada tahun 1992.
[Kotak/Gambar di hlm. 100, 101]
Pengawas Distrik Afrika Selatan yang Pertama
MILTON BARTLETT
LAHIR: 1923
BAPTIS: 1939
PROFIL: Utusan injil pertama lulusan Gilead yang ditugasi ke Afrika Selatan. Ia bekerja keras untuk memajukan kepentingan Kerajaan, khususnya di komunitas kulit hitam.
PADA bulan Desember 1946, Milton Bartlett tiba di Cape Town sebagai utusan injil pertama lulusan Gilead yang melayani di Afrika Selatan. Tugasnya adalah memulai pekerjaan wilayah dan distrik, dan itulah yang ia lakukan. Ketika itu, Saudara Bartlett melayani sebagai satu-satunya pengawas distrik. Pada tahun-tahun selanjutnya, para pengawas keliling banyak berperan dalam memajukan kepentingan Kerajaan di Afrika Selatan, khususnya di kalangan penduduk kulit hitam.
Milton sangat dikasihi oleh saudara-saudara di Afrika Selatan. Ia penyabar dan suka mendengarkan dengan cermat sewaktu saudara-saudara mengutarakan problem mereka. Karena itu, ia bisa mengirimkan laporan yang terperinci dan akurat ke kantor cabang Afrika Selatan tentang problem-problem yang cakupannya lebih luas. Hal ini membantu saudara-saudara lebih menyelaraskan tingkah laku dan cara mereka beribadat menurut prinsip-prinsip Alkitab.
Milton bisa memberikan bantuan demikian kepada saudara-saudaranya karena ia sangat mengenal Alkitab dan adalah guru yang cakap. Ia juga mempunyai tekad dan kegigihan yang diperlukan agar ia, seorang kulit putih, dapat memperoleh surat izin dari para pejabat apartheid untuk memasuki kota khusus orang kulit hitam. Para pejabat yang berprasangka sering kali menolak memberinya surat izin, dan Milton harus menghadap pejabat yang lebih tinggi, misalnya dewan kota, untuk meminta bantuan. Lalu, ia harus menunggu sampai dewan kota mengadakan rapat berikutnya dan membatalkan keputusan terdahulu yang merugikan. Dengan satu atau lain cara, ia dapat berkunjung ke sebagian besar kawasan orang kulit hitam.
Kadang-kadang, polisi yang menyamar dikirim untuk mengamati isi khotbah Milton. Salah satu alasannya adalah para rohaniwan Susunan Kristen melontarkan tuduhan palsu bahwa Saksi-Saksi Yehuwa adalah kaki tangan Komunis yang membuat kerusuhan. Seorang polisi kulit hitam pernah dikirim untuk mengamati suatu kebaktian. ”Hal ini ternyata menguntungkan,” tulis Milton kira-kira 20 tahun kemudian, ”karena polisi tersebut menerima ibadat sejati berdasarkan apa yang ia dengar pada akhir pekan itu, dan ia masih aktif sekali dalam kebenaran.”
Ketika Milton tiba di negeri itu sebagai pria lajang berusia 23 tahun, ada 3.867 penyiar. Setelah Milton melayani di Afrika Selatan selama 26 tahun, jumlah penyiar telah mencapai 24.005 orang. Pada tahun 1973, Milton dan istrinya, Sheila, serta putra mereka yang berusia satu tahun, Jason, harus kembali ke Amerika Serikat untuk merawat orang tua Milton yang sudah lanjut usia. Gambar di halaman ini memperlihatkan Milton dan Sheila di Afrika Selatan pada tahun 1999, saat mereka menghadiri penahbisan perluasan kantor cabang Afrika Selatan. Setelah meninggalkan negeri itu selama 26 tahun, betapa senangnya mereka dapat menikmati reuni dengan banyak saudara kawakan yang mengingat jerih payah mereka yang pengasih!
[Gambar]
Milton dan Sheila Bartlett, 1999
[Kotak/Gambar di hlm. 107]
Latar yang Unik
Gunung Table, suatu lokasi penanda yang mencolok, menjadi latar yang indah untuk kota Cape Town. Ada yang menganggap Cape Town sebagai kota terindah di Afrika.
Pada musim panas, plato di puncak gunung kadang-kadang diselimuti awan tebal yang rata sehingga cocok disebut ”taplak meja”. Awan ini ditimbulkan oleh angin kencang yang didorong menaiki lereng-lereng gunung, lalu uap air mengembun menjadi awan tebal yang menyelimuti Gunung Table.
[Kotak/Gambar di hlm. 114-117]
Memelihara Integritas selama Penahanan
WAWANCARA DENGAN ROWEN BROOKES
LAHIR: 1952
BAPTIS: 1969
PROFIL: Ditahan sejak bulan Desember 1970 sampai Maret 1973 karena kenetralan Kristen. Mulai merintis biasa pada tahun 1973 dan melayani di Betel pada tahun 1974. Sekarang anggota Panitia Cabang.
Bagaimana kondisinya di barak tahanan?
Baraknya adalah blok-blok panjang, masing-masing memiliki dua baris dengan 34 sel yang menghadap lorong dan di tengahnya ada selokan pembuangan air hujan. Dalam sel tahanan khusus, kami menempati sel berukuran 2 kali 1,8 meter. Kami hanya boleh keluar sel dua kali sehari: pagi hari untuk membasuh, bercukur, serta membersihkan pispot kami dan siang hari untuk mandi. Kami tidak boleh menulis atau menerima surat. Kami tidak boleh memiliki buku selain Alkitab, juga tidak boleh memiliki pena atau pensil. Kami tidak boleh dikunjungi.
Sebelum masuk ke barak tahanan, kebanyakan saudara membawa Alkitab mereka yang dibundel bersama buku-buku lain, seperti Aid to Bible Understanding. Para penjaga penjara tidak mengetahui hal itu karena bundel tersebut mirip Alkitab keluarga mereka yang besar dalam bahasa Afrikaan kuno atau bahasa Belanda.
Bisakah Saudara memperoleh lektur Alkitab?
Ya, kami sebisa-bisanya menyelundupkan lektur. Semua milik kami disimpan dalam koper di salah satu sel kosong. Isinya termasuk perlengkapan mandi. Sekali sebulan, sipir memperbolehkan kami ke sel itu untuk mengambil perlengkapan mandi kami dari koper. Dalam koper ini juga ada lektur.
Sementara salah seorang di antara kami mengalihkan perhatian sipir dengan berbicara kepadanya, saudara lain akan menyembunyikan sebuah buku di balik celana pendek atau kaos oblongnya. Sekembalinya ke sel, kami memisahkan buku itu menurut bagian-bagiannya supaya lebih mudah disembunyikan. Kami mengedarkannya agar semua bisa membacanya. Kami menemukan banyak tempat untuk menyembunyikan lektur. Beberapa sel dalam keadaan terbengkalai, dan di mana-mana ada lubang.
Sel kami sering digeledah, kadang-kadang pada tengah malam. Para sipir penjara selalu menemukan beberapa lektur tetapi tidak pernah semuanya. Salah seorang tentara yang lebih bersimpati sering memberi tahu kami jika akan ada penggeledahan. Kami kemudian membungkus lektur dalam plastik dan mendorongnya ke dalam talang air. Suatu hari, ada badai yang hebat dan kami menjadi cemas ketika salah satu bungkusan mengapung di selokan dalam blok sel. Beberapa tahanan militer mulai bermain sepak bola dengannya. Tiba-tiba, seorang sipir muncul dan menyuruh mereka kembali ke sel. Kami lega karena tidak ada yang memperhatikan bungkusan itu lagi, dan kami berhasil mengambilnya ketika kami disuruh keluar dari sel tidak lama kemudian.
Apakah integritas Saudara diuji selama berada di penjara?
Setiap saat. Ada saja upaya para petugas penjara. Misalnya, mereka akan memperlakukan kami dengan sangat baik—memberi kami makanan ekstra, memperbolehkan kami keluar untuk berolahraga, dan bahkan membiarkan kami berjemur. Lalu, setelah beberapa hari, mereka tiba-tiba memerintahkan kami memakai seragam militer. Sewaktu kami menolak, mereka memperlakukan kami sama kerasnya seperti sebelumnya.
Setelah itu, kami diperintahkan memakai helm plastik tentara, yang kami tolak. Sang kapten begitu marah sehingga sejak itu, kami bahkan tidak boleh mandi. Kami masing-masing diberi ember supaya bisa membasuh dalam sel.
Kami tidak memiliki sepatu. Kaki beberapa saudara berdarah, jadi kami membuat sepatu. Kami mengumpulkan perca-perca selimut usang yang digunakan untuk menggosok lantai. Kemudian, kami menemukan beberapa kawat tembaga, yang satu ujungnya kami ratakan, dan ujung satu lagi kami runcingkan. Kami membuat lubang dengan peniti di ujung yang rata dan menggunakan kawat tersebut sebagai jarum jahit. Kami mengeluarkan benang-benang dari selimut kami dan menjahit kasut dari perca-perca selimut itu.
Pernah, tanpa pemberitahuan, kami diperintahkan masuk bertiga ke dalam satu sel. Meskipun sempit, hal ini ternyata ada manfaatnya. Kami mengatur agar saudara yang lebih lemah secara rohani masuk dengan saudara yang lebih berpengalaman. Kami mengadakan pelajaran Alkitab dan sesi latihan mengabar. Sang kapten kesal karena semangat kami malah meningkat.
Sewaktu menyadari bahwa siasat ini gagal, sang kapten memerintahkan agar setiap Saksi dimasukkan satu sel dengan dua tahanan non-Saksi. Meskipun ada perintah tegas untuk tidak berbicara dengan kami, mereka mulai mengajukan pertanyaan, dan kami memiliki banyak kesempatan untuk memberikan kesaksian. Akibatnya, satu atau dua di antara para tahanan ini menolak mengikuti beberapa kegiatan militer. Kami segera kembali menempati satu sel untuk setiap orang.
Apakah Saudara bisa mengadakan perhimpunan?
Kami mengadakan perhimpunan secara teratur. Di atas setiap pintu sel ada jendela dengan kasa kawat dan tujuh palang vertikal. Kami mengikat dua ujung selimut di sekeliling dua palang vertikal dan membuat ranjang gantung kecil untuk tempat duduk. Dari bagian atas itu, kami bisa melihat saudara di sel seberang, dan kami bisa berteriak serta terdengar oleh orang-orang lain di blok itu. Kami membahas ayat harian setiap hari, dan jika memiliki majalah, kami mengadakan Pelajaran Menara Pengawal. Kami mengakhiri tiap hari dengan bergantian memanjatkan doa di hadapan umum. Kami bahkan menyusun sendiri acara kebaktian wilayah.
Kami tidak tahu pasti apakah seorang penatua akan diizinkan datang dan mengadakan Peringatan bersama kami. Jadi, kami membuat persiapan sendiri. Kami membuat anggur dengan merendam beberapa kismis dalam air, dan kami memipihkan lalu mengeringkan beberapa roti dari jatah kami. Sekali peristiwa, kami diizinkan mendapat sebotol kecil anggur dan beberapa roti tidak beragi dari saudara-saudara di luar penjara.
Apakah keadaan berubah belakangan?
Belakangan, keadaan memang lebih baik. Hukum berubah, dan kelompok kami dibebaskan. Sejak itu, orang-orang yang menolak angkat senjata karena alasan agama mendapat hukuman penjara satu kali yang lamanya telah ditentukan, tanpa hukuman ulang. Belakangan, setelah kelompok kami yang terdiri dari 22 saudara dibebaskan, ke-88 saudara yang masih ditahan diberi hak-hak yang normal dalam penjara. Mereka boleh dikunjungi satu kali sebulan dan boleh menulis serta menerima surat.
Ketika Saudara dibebaskan, sulitkah bagi Saudara untuk menyesuaikan diri?
Ya, perlu waktu untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di luar penjara. Misalnya, kami agak gugup untuk berbaur dengan banyak orang. Orang tua kami dan saudara-saudara dengan baik hati membantu kami mengemban lebih banyak tanggung jawab di sidang secara bertahap.
Meskipun masa-masa itu sulit, kami mendapat manfaat dari pengalaman tersebut. Ujian iman menguatkan kami secara rohani dan mengajar kami untuk bertekun. Kami benar-benar menghargai Alkitab, dan belajar manfaatnya membaca serta merenungkannya setiap hari. Dan, yang pasti, kami belajar mengandalkan Yehuwa. Setelah membuat pengorbanan tersebut untuk tetap setia kepada Yehuwa, kami bertekad untuk bertekun, memberikan yang terbaik kepada-Nya, melakukan hal itu dalam dinas sepenuh waktu jika mungkin.
[Kotak/Gambar di hlm. 126-128]
Kami Mengandalkan Yehuwa selama Masa Genting
ZEBULAN NXUMALO
LAHIR: 1960
BAPTIS: 1985
PROFIL: Menjadi anggota Rastafaria sebelum belajar kebenaran. Tidak lama setelah dibaptis, ia terjun dalam dinas sepenuh waktu. Sekarang melayani sebagai pengawas keliling bersama istrinya, Nomusa.
SETELAH membantu pembangunan Betel di Krugersdorp, saya dan rekan perintis ditugasi melayani di tempat yang lebih membutuhkan di kota yang dikhususkan bagi orang kulit hitam di KwaNgendezi, dekat kota pelabuhan Durban. Beberapa hari setelah kami tiba, sebuah kelompok politik mengutus lima anak mudanya ke rumah kami dalam misi pencari fakta. Mereka meminta dukungan untuk melindungi kota itu dari kelompok politik saingan. Kebencian yang hebat di antara kedua kelompok berbahasa Zulu ini telah mengakibatkan banyak pertumpahan darah di bagian Afrika Selatan tersebut. Kami menanyakan pendapat mereka tentang solusi untuk mengatasi kekerasan ini. Mereka mengatakan bahwa semua itu gara-gara pemerintahan orang kulit putih. Kami menyebutkan negeri-negeri lain di Afrika yang diporakporandakan perang dan penduduknya dilanda kemiskinan. Kemudian, kami mengingatkan mereka tentang pepatah, Sejarah berulang. Mereka setuju bahwa kejahatan, kekerasan, dan penyakit akan tetap ada walaupun orang kulit hitam mengambil alih pemerintahan di negeri ini. Selanjutnya, kami membuka Alkitab dan memperlihatkan kepada mereka bahwa Kerajaan Allah adalah satu-satunya pemerintahan yang dapat menuntaskan problem umat manusia.
Beberapa malam kemudian, kami mendengar segerombolan anak muda menyanyikan lagu-lagu kemerdekaan dan melihat pria-pria memegang senjata api. Rumah-rumah dibakar, dan orang-orang dibunuh. Karena dicekam perasaan takut, kami berdoa kepada Yehuwa memohon kekuatan agar tidak membiarkan ancaman atau intimidasi memadamkan semangat kami atau mematahkan integritas kami. Kami juga mengingat para martir yang di bawah keadaan serupa tidak menyangkal Yesus. (Mat. 10:32, 33) Tiba-tiba, sekelompok anak muda dan orang dewasa mengetuk pintu kami. Tanpa mengucapkan salam, mereka meminta uang untuk membeli intelezi, bahasa Zulu untuk ramuan buatan dukun yang konon dapat melindungi mereka. Kami meminta mereka bersabar sambil bertanya, ”Menurut kalian, apakah tindakan para dukun itu benar dengan menganjurkan pembunuhan melalui ilmu sihir?” Kami juga bertanya, ”Seandainya kerabat tercinta kalian menjadi korban ilmu sihir. Bagaimana perasaan kalian?” Mereka semua setuju bahwa hal itu tidak baik. Kami kemudian membuka Alkitab dan meminta pemimpinnya membacakan pandangan Allah tentang ilmu sihir, sebagaimana dicatat di Ulangan 18:10-12. Seraya ia membacakan ayat-ayat, kami menanyakan apa pendapat mereka. Mereka membisu. Kami lalu memanfaatkan keheningan itu dengan bertanya mana yang bijaksana untuk kami lakukan: mendengarkan Yehuwa atau mendengarkan mereka. Mereka semua pergi tanpa sepatah kata pun.
Kami luput dari banyak situasi seperti ini dan menyadari bahwa Yehuwa ada di pihak kami. Misalnya, suatu sore kelompok lain datang ke rumah kami, meminta uang untuk membeli senjata guna ”melindungi” penduduk. Mereka mengeluh merasa tidak aman karena kelompok politik lawan dan mengatakan bahwa solusinya adalah melancarkan serangan balasan dengan senjata yang lebih canggih. Mereka menuntut agar kami memberi mereka uang atau menanggung akibatnya. Kami kemudian mengingatkan mereka bahwa organisasi mereka telah menandatangani piagam yang menjamin hak asasi manusia dan respek terhadap hati nurani orang lain. Kami bertanya apakah seseorang harus rela mati ketimbang melanggar undang-undang yang mereka yakini. Mereka mengatakan ya. Kami kemudian menjelaskan bahwa kami bergabung dengan organisasi Yehuwa, bahwa ”undang-undang” kami adalah Alkitab, dan bahwa Alkitab mengutuk pembunuhan. Akhirnya, pemimpin kelompok itu mengatakan kepada rekan-rekannya, ”Saya mengerti pendirian orang-orang ini. Mereka telah menjelaskan bahwa jika uang itu dipakai untuk memajukan kota kita—seperti untuk membangun panti werda—atau jika tetangga mereka membutuhkan uang untuk ke rumah sakit, mereka bersedia memberikannya. Tetapi, mereka tidak mau memberi kita uang untuk membunuh.” Saat itu juga, kelompok itu berdiri dan kami berjabatan tangan, sambil mengucapkan terima kasih atas kesabaran mereka.
[Kotak/Gambar di hlm. 131-134]
Saudari-Saudari Lajang dengan Total 100 Tahun dalam Departemen Penerjemahan
Banyak saudara-saudari anggota keluarga Betel Afrika Selatan telah menggunakan karunia kelajangan dalam dinas Kerajaan yang berharga. (Mat. 19:11, 12) Ketiga saudari berikut telah menggunakan total 100 tahun dalam menerjemahkan makanan rohani dari ”budak yang setia dan bijaksana”.—Mat. 24:45.
Maria Molepo
Saya lahir di daerah Molepo yang dikuasai kepala suku di Provinsi Limpopo, Afrika Selatan. Kakak perempuan saya, Aletta, mengajar saya kebenaran sewaktu saya masih bersekolah. Setamat sekolah, kakak perempuan yang lain, yang bukan Saksi-Saksi Yehuwa, menawarkan untuk membiayai kuliah selama tiga tahun supaya saya bisa menjadi guru yang kompeten. Saya menolak tawarannya yang baik hati karena saya ingin melayani Yehuwa bersama kedua kakak perempuan saya, Aletta dan Elizabeth, yang menjadi perintis. Saya dibaptis pada tahun 1953 dan selama enam tahun saya secara berkala melaporkan jam sebanyak kuota perintis sebelum mengisi permohonan dan diangkat secara resmi sebagai perintis biasa pada tahun 1959.
Pada tahun 1964, kantor cabang Afrika Selatan mengundang saya bekerja paruh waktu menerjemahkan makanan rohani ke dalam bahasa Sepedi. Saya melakukannya sambil terus merintis. Kemudian pada tahun 1966, saya diundang menjadi anggota keluarga Betel Afrika Selatan. Dinas Betel tidak seperti yang saya bayangkan. Saya rindu mengabar setiap hari. Namun, tidak lama kemudian, saya menyesuaikan pandangan dengan menganggap akhir pekan, mulai Sabtu sore sampai Minggu malam, sebagai waktunya merintis, meskipun saya tidak bisa melaporkan jam sebanyak kuota perintis. Saya begitu menikmati dinas lapangan pada akhir pekan sehingga sering kali terlambat pulang untuk makan malam pada hari Sabtu atau Minggu. Sewaktu ada penyesuaian bagi saudari di Betel yang lebih tua untuk bebas kerja hari Sabtu pagi, saya senang sekali dapat menggunakan waktu ekstra itu untuk mengabar.
Selama delapan tahun pertama di Betel, saya sekamar dengan penerjemah lain di gedung yang terpisah dari rumah Betel. Kalangan berwenang apartheid pada mulanya mengizinkan kami tinggal berdekatan dengan saudara-saudara kulit putih, tetapi pada tahun 1974, izin tersebut dicabut. Para penerjemah kulit hitam seperti saya diharuskan tinggal di daerah yang dikhususkan bagi orang kulit hitam. Saya tinggal bersama keluarga Saksi di Tembisa dan setiap hari harus mengadakan perjalanan jauh ke dan dari Betel. Ketika Betel baru dibangun di Krugersdorp, pemerintah apartheid mulai melunakkan kebijakannya, dan saya bisa tinggal bersama keluarga Betel lainnya lagi.
Saya sangat bersyukur kepada Yehuwa karena bisa terus bekerja sebagai penerjemah di Betel sampai sekarang. Ia sungguh memberkati saya karena telah menggunakan karunia kelajangan saya dalam dinas-Nya sehingga adik perempuan saya, Annah, juga memilih tetap melajang dan menikmati pekerjaan penginjilan sepenuh waktu selama 35 tahun terakhir.
Tseleng Mochekele
Saya lahir di kota Teyateyaneng, di negeri Lesotho. Ibu saya orang yang religius dan selalu memaksa saya serta kakak adik menemaninya ke gereja. Saya benci pergi ke gereja. Kemudian, bibi saya menjadi salah seorang Saksi-Saksi Yehuwa, dan ia membagikan kepercayaannya kepada Ibu. Saya senang sekali sewaktu Ibu tidak ke gereja lagi, tetapi saya tidak tertarik pada kebenaran karena menyukai dunia dan hiburannya.
Pada tahun 1960, saya pindah ke Johannesburg untuk menyelesaikan pendidikan. Sewaktu saya meninggalkan rumah, Ibu memohon kepada saya, ”Tseleng, tolonglah, kalau kamu sudah tinggal di Johannesburg, carilah Saksi dan berupayalah menjadi Saksi.” Setibanya di Johannesburg, saya terkesan dengan semua kesempatan untuk menikmati hiburan. Tetapi, setelah dengan lebih saksama mengamati kehidupan orang-orang, saya terkejut melihat amoralitas seksual yang umum dipraktekkan. Lalu, saya teringat kata-kata Ibu dan mulai menghadiri perhimpunan Saksi-Saksi Yehuwa di Soweto. Sewaktu berhimpun untuk pertama kalinya, saya ingat bahwa saya berdoa, ”Tolonglah saya, Yehuwa, saya ingin menjadi salah seorang Saksi-Mu.” Saya segera ikut mengabar dan dibaptis pada bulan Juli tahun yang sama. Setamat sekolah, saya kembali ke tempat ibu saya di Lesotho. Ketika itu, Ibu juga sudah dibaptis.
Pada tahun 1968, kantor cabang Afrika Selatan mengundang saya menjadi penerjemah sepenuh waktu untuk bahasa Sesotho. Selama bertahun-tahun, saya melakukan tugas itu sambil tinggal di rumah Ibu. Ketika keadaan ekonomi sulit, saya mengusulkan kepada keluarga bahwa mungkin saya sebaiknya berhenti dari dinas sepenuh waktu dan mencari pekerjaan untuk ikut menafkahi keluarga. Tetapi, Ibu maupun adik perempuan paling bungsu saya yang terbaptis, Liopelo, tidak setuju. Mereka sangat menghargai hak istimewa mendukung saya dalam tugas sebagai penerjemah sepenuh waktu.
Pada tahun 1990, saya menjadi bagian keluarga Betel Afrika Selatan di fasilitas cabang yang baru di Krugersdorp, dan di sini saya terus menikmati hak istimewa dalam pekerjaan penerjemahan. Saya tidak menyesali pilihan untuk tetap melajang. Sebaliknya, saya sangat bersyukur kepada Yehuwa karena memberkati saya dengan kehidupan yang begitu bermakna dan bahagia.
Nurse Nkuna
Saya lahir di bagian timur laut Afrika Selatan di kota Bushbuckridge. Sebagai salah seorang Saksi-Saksi Yehuwa, Ibu membesarkan saya dalam kebenaran sambil bekerja purnawaktu untuk menambah pendapatan Ayah. Ibu mengajar saya membaca bahkan sebelum saya bersekolah. Hal ini membantu saya ikut mengabar pada tengah pekan bersama seorang saudari perintis biasa. Saudari lansia ini penglihatannya kurang baik, maka kesanggupan saya membaca membantunya dalam pelayanan. Bahkan setelah mulai bersekolah, saya terus mengabar bersamanya pada sore hari. Pergaulan saya dengan hamba-hamba sepenuh waktu menanamkan dalam diri saya kasih akan pelayanan. Melihat orang berpihak pada kebenaran membuat saya bersukacita. Ketika berumur sekitar sepuluh tahun, saya berdoa kepada Yehuwa tentang hasrat saya untuk menggunakan seluruh kehidupan saya dalam dinas sepenuh waktu. Saya dibaptis pada tahun 1983 dan selama beberapa tahun bekerja menafkahi keluarga. Supaya tidak mengembangkan cinta akan uang yang akan menghambat cita-cita saya untuk terjun dalam dinas sepenuh waktu, saya meminta Ibu mengelola gaji saya. Kemudian pada tahun 1987, saya berhenti bekerja sewaktu permohonan saya untuk menjadi penerjemah bahasa Zulu dengan keluarga Betel Afrika Selatan diterima.
Melayani sebagai saudari lajang di Betel telah memberi saya banyak sukacita. Komentar pada ibadat pagi telah membantu saya meningkatkan dinas lapangan saya. Melayani bersisian dengan sesama penyembah yang berbeda latar belakang telah membantu saya memperbaiki kepribadian Kristen saya. Memang, saya sendiri tidak mempunyai anak, tetapi saya mempunyai banyak anak dan cucu rohani yang mungkin tidak saya miliki seandainya saya memilih untuk menikah dan berkeluarga.
Seraya bekerja keras dalam tugas penerjemahan di Betel, ketiga saudari lajang ini bersama-sama telah membantu 36 orang menjadi penyembah Yehuwa yang berbakti dan terbaptis.
[Kotak/Gambar di hlm. 146, 147]
Kesemarakan Gunung
Jajaran Gunung Drakensberg membentang sekitar 1.050 kilometer melintasi Afrika Selatan. Namun, bagian yang membentuk batas alam antara KwaZulu-Natal dan Lesotho adalah bagian yang paling spektakuler dari jajaran tersebut. Bagian ini sering disebut Swiss-nya Afrika Selatan.
Puncak-puncak yang terjal—seperti Sentinel yang sangat besar; Monk’s Cowl yang licin dan berbahaya; dan Devil’s Tooth yang terjal dengan lereng-lerengnya yang curam—mengundang para pendaki gunung yang berjiwa petualang. Mendaki gunung-gunung tersebut bisa sangat berbahaya. Namun, sejumlah jalan sempit ke tebing gunung yang curam itu terjal tetapi aman dan tidak membutuhkan perlengkapan mendaki yang khusus. Tentu saja, penting untuk mematuhi aturan selama mendaki gunung. Pakaian hangat, kemah, dan cadangan makanan sangat penting. Tebing gunung yang curam bisa sangat dingin, dengan angin yang ganas pada malam hari.
Setiap tahun, ribuan pejalan kaki, orang yang berkemah, dan pendaki gunung meninggalkan stres serta polusi kota dan datang ke sini untuk menikmati udara gunung yang bersih, air gunung yang menyegarkan, serta kemegahan gunung yang tinggi.
[Gambar]
Lukisan batu cadas oleh Bushmen
[Kotak/Gambar di hlm. 158, 159]
Diselamatkan dari Spiritisme dan Poligami
ISAAC TSHEHLA
LAHIR: 1916
BAPTIS: 1985
PROFIL: Ia dikecewakan oleh Susunan Kristen dan adalah seorang dukun yang kaya sebelum belajar kebenaran.
ISAAC dan tiga sahabatnya—Matlabane, Lukas, dan Phillip—dibesarkan di Pegunungan Sekhukhune yang letaknya di bagian timur laut Afrika Selatan. Keempat pemuda ini memutuskan untuk keluar dari Gereja Apostolik karena kemunafikan yang mereka lihat di kalangan anggota gereja. Bersama-sama, mereka mulai mencari agama yang benar. Belakangan, mereka kehilangan kontak dengan satu sama lain.
Tiga di antara keempat sahabat itu akhirnya menjadi Saksi-Saksi Yehuwa, bersama istri mereka. Namun, apa yang terjadi dengan Isaac? Ia mengikuti jejak ayahnya, seorang dukun yang terkenal. Motif Isaac adalah mencari uang, dan ia pun menjadi kaya. Ia memiliki seratus ternak dan banyak uang di bank. Sebagaimana secara turun-temurun diharapkan dari orang kaya, Isaac juga memiliki dua istri. Sementara itu, Matlabane memutuskan untuk mencari Isaac dan memperlihatkan kepadanya bagaimana tiga sahabatnya dahulu telah menemukan agama yang benar.
Isaac senang bertemu lagi dengan Matlabane dan ingin sekali mengetahui mengapa sahabat-sahabat lamanya telah menjadi Saksi-Saksi Yehuwa. Pelajaran Alkitab dimulai bersama Isaac dengan brosur Nikmatilah Hidup Kekal di Bumi! Gambar nomor 17 dalam edisi bahasa setempat memperlihatkan seorang dukun Afrika melemparkan tulang-tulang ke tanah untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan pelanggan. Isaac terperangah sewaktu mengetahui dari ayat Alkitab yang dikutip, Ulangan 18:10, 11, bahwa praktek-praktek spiritisme demikian membuat Allah tidak senang. Ia merasa terganggu dengan gambar nomor 25 tentang seorang pria poligami bersama istri-istrinya. Di gambar itu dicantumkan kutipan 1 Korintus 7:1-4 untuk memperlihatkan bahwa orang Kristen sejati tidak bisa mempunyai lebih dari satu istri.
Isaac sangat ingin menaati Alkitab. Pada usia 68 tahun, ia menyuruh pergi istri keduanya dan meresmikan perkawinannya dengan istri pertamanya, Florina. Ia juga berhenti dari praktek sebagai dukun dan membuang tulang-tulang tenungnya. Sekali peristiwa, sewaktu Isaac sedang mengikuti pelajaran Alkitab, dua pelanggannya datang dari jauh. Mereka datang untuk membayar utang mereka sebesar 550 rand (140 dolar AS, ketika itu) atas jasanya sebagai dukun. Isaac tidak mau menerima uang tersebut dan memberikan kesaksian kepada pria-pria itu, menjelaskan bahwa ia sudah tidak praktek lagi dan sekarang sedang belajar Alkitab untuk menjadi Saksi-Saksi Yehuwa. Tidak lama kemudian, Isaac mencapai cita-citanya. Pada tahun 1985, ia dan istrinya Florina dibaptis, dan selama beberapa tahun terakhir, Isaac, yang kini berusia 90 tahun, melayani sebagai penatua di sidang Kristen.
[Tabel/Grafik di hlm. 124, 125]
Afrika Selatan—LINTAS SEJARAH
1900
1902 Lektur berdasarkan Alkitab tiba di Afrika Selatan.
1910 William W. Johnston membuka kantor cabang di Durban.
1916 ”Drama-Foto Penciptaan” tiba.
1917 Kantor cabang dipindahkan dari Durban ke Cape Town.
1920
1924 Mesin cetak dikirimkan ke Cape Town.
1939 Consolation pertama dicetak dalam bahasa Afrikaan.
1940
1948 Balai Kerajaan pertama dibangun di dekat Cape Town.
1949 Menara Pengawal bahasa Zulu dicetak.
1952 Betel rampung di Elandsfontein.
1979 Mesin cetak ofset rotari TKS dipasang.
1980
1987 Betel baru dibangun di Krugersdorp; diperluas pada tahun 1999.
1992 Balai Kerajaan pertama yang dibangun secara cepat didirikan di Soweto.
2000
2004 Mesin cetak MAN Roland Lithoman mulai berproduksi.
2006 Puncak penyiar: 78.877.
[Grafik]
(Lihat publikasinya)
Total Penyiar
Total Perintis
80.000
40.000
1900 1920 1940 1980 2000
[Tabel/Gambar di hlm. 148, 149]
Beragam Bahasa
Percetakan Afrika Selatan menghasilkan ”Menara Pengawal” dalam 33 bahasa
Beragam Busana
Di Afrika, ada beragam busana, perhiasan, dan corak kain etnik yang berwarna-warni
Zulu
SALAM ”Sanibona”
BAHASA IBU DARI 10.677.000i
PENYIAR 29.000j
Sesotho
SALAM ”Lumelang”
BAHASA IBU DARI 3.555.000
PENYIAR 10.530
Sepedi
SALAM ”Thobela”
BAHASA IBU DARI 4.209.000
PENYIAR 4.410
Tsonga
SALAM ”Xewani”
BAHASA IBU DARI 1.992.000
PENYIAR 2.540
Xhosa
SALAM ”Molweni”
BAHASA IBU DARI 7.907.000
PENYIAR 10.590
Afrikaan
SALAM ”Hallo”
BAHASA IBU DARI 5.983.000
PENYIAR 7.510
Tswana
SALAM ”Dumelang”
BAHASA IBU DARI 3.677.000
PENYIAR 4.070
Venda
SALAM ”Ri a vusa”
BAHASA IBU DARI 1.021.800
PENYIAR 480
[Catatan Kaki]
i Semua angka hanya kira-kira.
j Semua angka hanya kira-kira.
[Gambar sehalaman penuh di hlm. 66]
[Gambar di hlm. 71]
Pohon ”Yellowwood”
[Gambar di hlm. 74]
Stoffel Fourie
[Gambar di hlm. 74]
”Studies in the Scriptures”
[Gambar di hlm. 74]
Sidang Durban dengan William W. Johnston, 1915
[Gambar di hlm. 74, 75]
Johannes Tshange dan keluarga
[Gambar di hlm. 75]
Kantor cabang pertama adalah sebuah ruangan kecil di bangunan ini
[Gambar di hlm. 77]
Japie Theron
[Gambar di hlm. 79]
Henry Myrdal
[Gambar di hlm. 79]
Piet de Jager
[Gambar di hlm. 82]
Henry Ancketill, 1915
[Gambar di hlm. 82]
Grace dan David Taylor
[Gambar di hlm. 82]
Buku kecil tahun 1931 ini memuat resolusi untuk menerima nama Saksi-Saksi Yehuwa
[Gambar di hlm. 84]
Keluarga Betel pada tahun 1931 di Cape Town, termasuk George dan Stella Phillips
[Gambar di hlm. 87]
Perekaman dalam bahasa Xhosa
[Gambar di hlm. 87]
Andrew Jack dan mesin cetak Frontex, 1937
[Gambar di hlm. 87]
Majalah ”Consolation” dan ”Menara Pengawal” pertama dalam bahasa Afrikaan
[Gambar di hlm. 90]
Para delegasi kebaktian, Johannesburg, 1944
[Gambar di hlm. 90]
Mengiklankan khotbah dengan plakat, 1945
[Gambar di hlm. 90]
Frans Muller dan Piet Wentzel dengan fonograf, 1945
[Gambar di hlm. 95]
Gert Nel, hamba saudara-saudara, 1943
[Gambar di hlm. 95]
Memberikan kesaksian di pedesaan, 1948
[Gambar di hlm. 99]
Andrew Masondo dan istri keduanya, Ivy
[Gambar di hlm. 99]
Luke dan Joyce Dladla
[Gambar di hlm. 99]
”Menara Pengawal” pertama dalam bahasa Zulu
[Gambar di hlm. 102]
Teladan Velloo Naicker membantu 190 anggota keluarga menerima kebenaran
[Gambar di hlm. 102]
Gopal Coopsammy pada usia 21 tahun dan sekarang bersama istrinya, Susila. Mereka telah membantu 150 orang ke arah pembaktian
[Gambar di hlm. 104, 105]
Isabella Elleray
Doreen Kilgour
[Gambar di hlm. 108, 109]
foto asli, 1952
Betel, Elandsfontein, 1972
[Gambar di hlm. 110]
Hal-Hal Menarik dari Kebaktian
(Atas) Buku ”Children” dirilis, 1942; (tengah) para calon baptis, 1959; (bawah) paduan suara Xhosa menyambut para delegasi, 1998
3.428 dibaptis tahun lalu!
[Gambar di hlm. 120]
Elijah Dlodlo mengalami pencambukan
[Gambar di hlm. 121]
Florah Malinda, seorang perintis biasa. Putrinya dibunuh secara brutal
[Gambar di hlm. 122]
Moses Nyamussua dibunuh oleh suatu gerombolan
[Gambar di hlm. 140, 141]
Pembangunan Balai Kerajaan yang Dipercepat
Sidang di Kagiso dibantu untuk mempunyai tempat ibadat yang baru
Sebelum
Selama
Setelah
Sidang Rathanda di Heidelberg senang dengan Balai Kerajaan mereka yang baru
Di 37 negeri di Afrika, 7.207 balai rampung, tinggal 3.305 lagi!
[Gambar di hlm. 147]
Keluarga Roussouw sekarang
[Gambar di hlm. 150]
Balai Kebaktian Midrand
[Gambar di hlm. 155]
Bantuan kemanusiaan ke Zimbabwe, 2002
[Gambar di hlm. 155]
Program komputer telah disediakan untuk membantu para penerjemah kita
[Gambar di hlm. 156, 157]
Kantor Cabang Afrika Selatan, 2006
Bangunan tempat tinggal dan kantor, mesin cetak baru, dan Departemen Pengiriman
[Gambar di hlm. 156, 157]
Panitia Cabang
Piet Wentzel
Loyiso Piliso
Rowen Brookes
Raymond Mthalane
Frans Muller
Pieter de Heer
Jannie Dieperink
[Gambar di hlm. 161, 162]
Namibia
William dan Ellen Heindel
Coralie dan Dick Waldron, 1951
Kantor penerjemahan di Namibia
[Gambar di hlm. 167]
Lesotho
(Atas) Abel Modiba dalam pekerjaan wilayah; (kanan bawah) para penghuni gua mengelilingi seorang utusan injil; (kiri bawah) Per-Ola dan Birgitta Nygren
[Gambar di hlm. 168]
Botswana
Orang Thongoana mengabar kepada pedagang kaki lima
Mengabar dari gubuk ke gubuk
[Gambar di hlm. 170]
Swaziland
James dan Dawne Hockett
Membagikan kebenaran di pasar seni, Mbabane
[Gambar di hlm. 170]
St. Helena
Kampanye ”Berita Kerajaan” diselesaikan dalam satu hari; (bawah) kota pelabuhan Jamestown
[Gambar di hlm. 175]
Kebaktian internasional 1993