PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g89_No30 hlm. 6-7
  • Sumber dari Norma-Norma Sejati

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Sumber dari Norma-Norma Sejati
  • Sedarlah!—1989 (No. 30)
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Kecerdasan di Balik Asal-usul Kehidupan
  • Sumber Nilai-Nilai Sejati
    Sedarlah!—1992
  • Tahu yang Benar dan Salah
    Sadarlah!—2019
  • Stabil berkat Nilai-Nilai Moral yang Abadi
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—2007
  • Moral Menuju ke Mana?
    Sedarlah!—1993
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1989 (No. 30)
g89_No30 hlm. 6-7

Sumber dari Norma-Norma Sejati

DALAM setiap masyarakat manusia ada suatu kaidah moral. Tidak soal mereka mau mengakuinya atau tidak, semua orang merasakan kebutuhan akan bimbingan dari atas dan di luar diri mereka. Secara naluri mereka memandang kepada kuasa yang lebih tinggi untuk disembah atau dilayani. Mungkin itu matahari, bulan, bintang, gunung, sungai, binatang, manusia, atau suatu organisasi. Kaidah moral mereka mungkin dikemukakan dalam salah satu tulisan suci dari berbagai kebudayaan. Kebutuhan tersebut terdapat dalam diri manusia di mana-mana. Hal itu bersifat naluriah dalam diri manusia.

”Agama,” menurut psikiater terkemuka C. G. Jung, ”adalah sikap naluri yang khusus bagi manusia, dan perwujudannya dapat ditemukan sepanjang sejarah manusia.” Ilmuwan terkenal Fred Hoyle menulis mengenai ”kaidah moral yang ada dalam setiap masyarakat manusia” dan menambahkan, ”Mudah untuk menyusun argumen besar guna memperlihatkan bahwa perasaan moral dalam diri manusia tetap ada sekalipun adanya godaan [dan penganiayaan] yang selalu melawannya.”

Tulisan suci yang paling terkenal dan tersebar luas, Alkitab, mengakui adanya perasaan moral bawaan dalam diri manusia. Alkitab mengatakan dalam Roma 2:14, 15, ”Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri. Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela.”

Hoyle berpendapat bahwa evolusi merupakan ”suatu piagam terbuka untuk bentuk apapun dari tingkah laku oportunistis”, dan ia melanjutkan, ”Terus terang, saya dihantui oleh keyakinan bahwa filsafat nihilistik, yang diterima oleh mereka yang disebut intelek setelah terbitnya publikasi The Origin of Species (Asal-Mula Spesies), mengikat manusia kepada haluan pemusnahan diri yang otomatis. Saat itulah sebuah mesin Hari Kiamat mulai dipasang. . . . Banyak orang dewasa ini merasa ada sesuatu yang keliru yang bersifat mendasar dengan masyarakat, namun sayang sekali, mereka menghamburkan tenaga mereka untuk memprotes hal-hal yang tidak begitu penting.”

Kecerdasan di Balik Asal-usul Kehidupan

Kemudian, dengan ketepatan matematis, Hoyle selanjutnya menunjukkan bahwa kemungkinan munculnya kehidupan di bumi secara kebetulan adalah nol. Menurut dia, para ilmuwan ortodoks telah dipalingkan dari gagasan mengenai suatu kuasa penciptaan oleh ”ekses-ekses agama zaman dulu”. Tetapi Hoyle percaya bahwa kehidupan diciptakan oleh suatu kekuatan yang cerdas yang ada di ruang angkasa universal. Ia percaya bahwa apa yang mustahil di bumi bisa saja terjadi di ruang angkasa—namun ia tetap merumuskan bahwa bahkan di ruang angkasa suatu kecerdasan perlu bekerja. Bentuk kehidupan yang paling sederhana sekalipun, sebuah bakteri, begitu rumit sehingga kecerdasan pasti terlibat dalam penciptaannya, namun ia tidak sanggup menyatakan bahwa kecerdasan itu adalah Allah.

Orang-orang lain yang ”merasa ada sesuatu yang keliru yang bersifat mendasar dengan masyarakat” tidak segan-segan berbuat demikian. Di antaranya ialah psikiater Jung, yang dikutip di atas, ”Orang yang tidak berpaut erat kepada Allah dari kekuatannya sendiri tidak dapat memberikan perlawanan terhadap bujukan fisik dan moral dari dunia. Untuk itu ia membutuhkan bukti pengalaman batin yang kuat, satu-satunya yang dapat melindungi dia dari kehanyutan dalam masyarakat yang tak terelakkan.”

Hakim Ketua Francis T. Murphy dari Divisi Pengadilan Banding mengatakan bahwa manusia modern ”tidak mengetahui arti yang paling berharga dari kehidupannya dan meragukan bahwa kehidupan mempunyai arti. Apapun dalih moralnya, sebenarnya ia telah mengusir Allah dari kehidupannya, dari kantornya, dari rumahnya. Karena itu ia telah kehilangan pusat moral”. Dari dunia olahraga, Howard Cosell mengemukakan pendapat yang sama ketika membahas problem penyalahgunaan obat bius di kalangan atlit. Ia mengatakan, ”Tidak ada lagi pusat moral yang jelas di Amerika . . . dan itu merupakan problem bagi seluruh masyarakat.”

”Tidak mungkin,” kata kolumnis Georgie Anne Geyer, ”ada masyarakat atau bangsa yang bermoral tanpa iman kepada Allah, karena semua yang dengan cepat berakhir dengan ’saya’, dan ’saya’ saja tidak ada artinya. . . . Bila ’saya’ menjadi ukuran dari semua perkara—dengan mengorbankan Allah, gereja, keluarga dan norma-norma tingkah laku masyarakat dan pemerintahan yang diakui—kita berada dalam kesulitan.”

Aleksandr Solzhenitsyn berkata bahwa jika ia diminta untuk menguraikan ciri utama abad ke-20 dengan beberapa patah kata, ia akan mengatakan, ”Manusia telah melupakan Allah.” Ia melanjutkan, ”Seluruh abad kedua puluh sedang dihisap ke dalam pusaran ateisme dan pemusnahan diri. . . . Semua upaya untuk menemukan jalan keluar dari keadaan yang menyedihkan dari dunia dewasa ini akan sia-sia kecuali kita mengarahkan kembali kesadaran kita, dalam pertobatan kepada Pencipta dari semua: tanpa ini, tidak akan ada harapan jalan keluar, dan kita akan mencari dengan sia-sia.”

Selama enam ribu tahun, manusia telah mencoba menentukan apa yang benar dan apa yang salah menurut caranya sendiri. Kini kecenderungan modern adalah berbuat semaunya sendiri—tidak ada yang benar dan yang salah. Sejarah mencatat akibat-akibat yang menghebohkan dari kedua cara tersebut, yang membuktikan bahwa manusia tidak dapat menentukan langkahnya sendiri. ”Ada jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut.” (Amsal 14:12; Yeremia 10:23) Allah Yehuwa menciptakan manusia, mengenalnya dari luar dan dalam, dan telah menyediakan peta menuju kebahagiaan, ”FirmanMu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.” (Mazmur 119:105) Firman-Nya, Alkitab, memberitahukan nilai-nilai sejati demi manfaat manusia. Kotak di sebelah memuat beberapa dari hal-hal yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.

[Kotak di hlm. 7]

Norma-Norma untuk Dipatuhi

▸ Kasihi Allah Yehuwa dengan segenap hati, pikiran, jiwa, dan kekuatanmu.

▸ Kasihi sesamamu seperti diri sendiri.

▸ Perbuatlah kepada orang lain apa yang kamu ingin orang lain perbuat kepadamu.

▸ Ikuti Yesus sebagai Teladanmu.

▸ Ampuni orang lain sebagaimana kamu ingin diampuni.

▸ Hormati ayahmu dan ibumu.

▸ Hendaklah saling mendahului dalam memberi hormat.

▸ Setialah dalam segala urusanmu.

▸ Kejarlah perdamaian dengan semua orang.

▸ Carilah kelembutan, kebaikan, pengendalian diri.

▸ Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan kepada siapapun.

▸ Kalahkan kejahatan dengan kebaikan.

▸ Jangan menyembah allah-allah palsu.

▸ Jangan menyembah berhala.

▸ Jangan membunuh.

▸ Jangan mencuri.

▸ Jangan menjadi saksi dusta.

▸ Jangan menyebut nama Allah dengan sia-sia.

▸ Jangan menginginkan milik sesamamu.

▸ Jangan menyimpan amarah sampai matahari terbenam.

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan