-
Pertanyaan PembacaMenara Pengawal—2000 | 15 Desember
-
-
Rasul Paulus menulis, ”Kepada orang-orang yang menikah aku memberikan instruksi, namun bukan aku melainkan Tuan, agar seorang istri tidak pergi dari suaminya; tetapi jika ia benar-benar harus pergi, hendaklah ia tetap tidak menikah atau jika tidak, rukun kembali dengan suaminya; dan seorang suami janganlah meninggalkan istrinya.”—1 Korintus 7:10, 11.
Kata-kata tersebut berarti bahwa di antara manusia yang tidak sempurna, seorang suami atau istri bisa saja memutuskan untuk meninggalkan teman hidupnya. Misalnya, Paulus mengatakan bahwa jika seorang suami atau istri pergi, kedua belah pihak harus ”tetap tidak menikah”. Mengapa? Nah, meskipun salah satu teman hidup pergi, di mata Allah keduanya masih terikat. Paulus dapat mengatakan ini karena Yesus telah menetapkan standar untuk perkawinan Kristen, ”Barang siapa menceraikan istrinya, kecuali atas dasar percabulan [bahasa Yunani, por·neiʹa], dan menikah dengan orang lain, berbuat zina.” (Matius 19:9) Ya, berdasarkan Alkitab, satu-satunya alasan untuk bercerai adalah ”percabulan”, yaitu, perbuatan seks yang amoral. Jelaslah, dalam kasus yang Paulus bicarakan, kedua belah pihak tidak melakukan perbuatan amoral, maka sewaktu mereka berpisah, di mata Allah perkawinan itu belum berakhir.
-
-
Pertanyaan PembacaMenara Pengawal—2000 | 15 Desember
-
-
Karena sang istri telah menyatakan kerelaannya untuk mengampuni bahkan setelah bercerai, ia maupun suaminya tidak akan bebas untuk menikah dengan orang lain. Jika sang istri, sebagai pihak tak bersalah yang tawarannya untuk mengampuni ditolak, belakangan memutuskan untuk tidak mau lagi mengampuni sang suami karena tindakannya yang amoral, keduanya bebas untuk menikah lagi dengan orang lain. Yesus memperlihatkan bahwa pihak yang tak bersalah berhak untuk membuat keputusan demikian.—Matius 5:32; 19:9; Lukas 16:18.
-