-
Tinggal Dalam Masyarakat yang Gemar MembuangSedarlah!—2002 | 22 Agustus
-
-
Tinggal Dalam Masyarakat yang Gemar Membuang
ORANG-ORANG di negara maju membuang banyak sekali sampah. Misalnya, coba perhatikan volume sampah setiap tahunnya di Amerika Serikat. Konon, ”beratnya sebanding dengan volume air yang mengisi 68.000 kolam renang ukuran Olimpiade”. Sekitar sepuluh tahun yang lalu, penduduk New York City saja diperkirakan menghasilkan sampah yang cukup setiap tahunnya untuk menimbun Central Park yang luas di kota itu hingga sedalam 4 meter!a
Tak heran jika Amerika Serikat telah dijuluki ”contoh peringatan bagi negara-negara lain di dunia” dalam hal menjadi ”masyarakat yang gemar berbelanja dan membuang barang”. Namun, bukan negeri itu saja yang seperti ini. Menurut perkiraan, jika sampah yang dihasilkan setiap tahunnya oleh masyarakat Jerman dimuatkan ke dalam gerbong kereta barang, panjang rangkaiannya akan membentang mulai dari Berlin, ibu kota Jerman, hingga pesisir Afrika, sekitar 1.800 kilometer. Dan, di Inggris, pernah diperkirakan bahwa keluarga yang rata-rata beranggotakan empat orang membuang kertas sebanyak enam batang pohon setiap tahunnya.
Negara-negara berkembang tidak kebal terhadap masalah kelebihan sampah. Sebuah majalah berita terkemuka melaporkan, ”Yang terburuk adalah bahwa sebagian besar dari enam miliar penduduk planet ini baru saja mulai ikut-ikutan menghasilkan banyak sampah seperti halnya masyarakat AS dan negara maju lainnya.” Ya, sebagian besar dari kita dewasa ini mau tak mau adalah bagian dari masyarakat yang gemar membuang.
Memang, orang-orang pastilah punya barang yang harus dibuang. Namun, karena saat ini makanan dan barang yang dikalengkan dan yang dikemas lebih mudah didapat dibanding beberapa tahun lalu, sampah kemasan sekali pakai ada di mana-mana. Selain itu, jumlah surat kabar, majalah, selebaran iklan, dan bahan tercetak lainnya meningkat dengan tajam.
Dunia kita yang sangat terindustrialisasi dan ilmiah juga telah menciptakan sampah jenis baru. Surat kabar Jerman Die Welt mengklaim bahwa ”di Uni Eropa, kira-kira sembilan juta mobil dibuang setiap tahun”. Membuang mobil bukanlah hal yang mudah. Namun, masalah yang lebih pelik adalah: Bagaimana kita dapat membuang limbah nuklir atau kimia dengan aman? Pada tahun 1991, Amerika Serikat dilaporkan memiliki ”sampah radioaktif yang menggunung dan tidak ada lokasi yang permanen untuk menyimpannya”. Sejuta barel zat-zat mematikan konon ditaruh di tempat penyimpanan sementara yang selalu terancam ”bahaya kehilangan, kecurian, dan kerusakan lingkungan akibat penanganan yang keliru”. Pada tahun 1999 saja, sekitar 20.000 perusahaan di Amerika Serikat menghasilkan lebih dari 40 juta ton limbah berbahaya.
Faktor lainnya adalah populasi dunia yang meroket selama abad yang lalu. Semakin banyak orang, semakin banyak sampah! Dan, banyak dari populasi dunia gemar berbelanja. Worldwatch Institute baru-baru ini menyimpulkan, ”Sejak tahun 1950, kita telah menggunakan lebih banyak barang dan jasa dibanding masa sebelumnya dalam sejarah manusia.”
Memang, hanya sedikit penduduk negara maju yang mau hidup tanpa segala ”barang dan jasa” tersebut. Sebagai contoh, coba bayangkan betapa mudahnya pergi ke toko dan mengambil barang-barang yang sudah dikemas lalu membawanya pulang dengan kantong kertas atau plastik yang disediakan oleh toko tersebut. Jika secara tiba-tiba orang-orang tidak boleh lagi menggunakan kemasan modern tersebut, barulah mereka sadar betapa bergantungnya mereka padanya. Dan, karena lebih higienis, kemasan demikian menyumbang kepada kesehatan yang lebih baik, setidaknya secara tidak langsung.
Namun, meskipun adanya berbagai keuntungan tersebut, perlukah kita waswas karena masyarakat yang gemar membuang dewasa ini tampaknya sudah keterlaluan? Nyatanya kita memang perlu was-was, karena berbagai solusi yang dirancang untuk mengatasi masalah menumpuknya sampah tidak banyak berpengaruh. Yang lebih buruk lagi ialah sikap yang mendasari masyarakat dewasa ini yang gemar membuang menimbulkan dampak yang bahkan lebih menyusahkan lagi.
[Catatan Kaki]
a Taman ini mencakup areal seluas 341 hektar.
[Gambar di hlm. 4]
Membuang limbah berbahaya dengan aman menimbulkan problem yang serius
-
-
Apakah Ada Solusinya?Sedarlah!—2002 | 22 Agustus
-
-
Apakah Ada Solusinya?
APA yang seharusnya Anda lakukan terhadap barang yang tidak diinginkan lagi? ”Buang saja” tampaknya adalah jawaban yang gampang dan jelas. Namun, membuang sampah tidak selalu segampang itu. Buang ke mana? Sebuah asosiasi lingkungan hidup Italia memperkirakan bahwa sebuah botol beling yang dibuang ke laut membutuhkan waktu 1.000 tahun untuk terurai. Sebaliknya, tisu kertas akan terurai hanya dalam waktu tiga bulan. Puntung rokok akan mencemari laut hingga 5 tahun; kantong plastik, 10 hingga 20 tahun; barang-barang nilon, 30 hingga 40 tahun; kaleng, 500 tahun; dan polistirena, 1.000 tahun.
Jumlah sampah demikian telah meningkat secara pesat. Dewasa ini, dunia perdagangan menjual banyak sekali barang, dan dunia periklanan ingin kita percaya bahwa kita membutuhkan semua barang itu. Surat kabar Inggris The Guardian mengatakan dengan lugas, ”Para pengiklan membantu kita memenuhi kebutuhan yang tidak pernah terlintas dalam benak kita.” Ya, kita digoda untuk membeli barang terkini yang tersedia di pasaran, kalau tidak, kita akan kehilangan kesempatan untuk merasakan barang baru. Dan, tentu saja, dalam istilah dunia periklanan, ”baru” berarti ”lebih baik dan lebih unggul”, sementara ”lama” berarti ”lebih jelek dan ketinggalan zaman”.
Oleh karena itu, kita sering kali didesak untuk membeli barang baru sebaliknya daripada memperbaiki barang lama. Katanya, mengganti barang lama akan lebih praktis dan ekonomis daripada memperbaikinya. Kadang-kadang, hal itu benar. Akan tetapi, membuang barang lama dan menggantinya dengan yang baru sering kali menghabiskan uang dan tidak perlu.
Banyak produk sekarang dirancang untuk dibuang. Barang-barang itu mungkin sulit diperbaiki—hal yang harus diingat sewaktu membeli barang. Sebuah majalah konsumen di Jerman berkomentar, ”Jangka pakai produk-produk barang semakin pendek saja. Apa yang belum lama ini menjadi tren, sekarang sudah ketinggalan zaman dan sering kali berakhir di tempat sampah. Karenanya, setiap hari selalu ada bahan mentah berharga yang menjadi sampah tak bernilai!”
Apakah berbelanja secara tak terkendali seperti itu benar-benar menguntungkan konsumen? Sebenarnya, yang untung adalah perusahaan-perusahaan yang ingin meraup laba. Mingguan Swiss Die Weltwoche berpendapat, ”Jika semua orang memakai furnitur dan mobilnya seumur hidup atau setidaknya dua kali jangka pakainya sekarang, pasti akan terjadi keruntuhan ekonomi.” Keruntuhan ekonomi pastilah bukan solusi yang tepat, mengingat hal itu juga akan membuat konsumen terkena PHK. Kalau begitu, apa saja solusi yang ditawarkan untuk masalah kelebihan sampah?
Buang, Daur Ulang, atau Kurangi?
Beberapa negara maju mengambil jalan pintas dengan membuang begitu saja limbah mereka ke negara-negara berkembang. Misalnya, sebuah laporan menunjukkan bahwa ”di sebuah lokasi yang terkenal buruk di Nigeria, 3.500 ton bahan kimia beracun didapati bocor dari 8.000 lebih drum yang berkarat dan keropos, sehingga meracuni tanah dan air tanah”. Metode pembuangan limbah seperti itu tampaknya bukan solusi yang praktis dan juga bukan cara yang terpuji dalam memperlakukan orang lain.
Bagaimana dengan mendaur ulang barang-barang yang sudah tidak diinginkan lagi untuk digunakan kembali sebaliknya daripada membuangnya? Tentu saja, program itu menuntut konsumen agar menyortir sampah mereka ke dalam kategori yang berbeda, hal yang sudah menjadi ketentuan hukum di beberapa negeri. Pemerintah mungkin menetapkan agar sampah disortir ke dalam kategori seperti kertas, kardus, logam, beling, dan sampah organik. Selanjutnya, beling mungkin harus disortir lagi berdasarkan warna.
Daur ulang jelas memiliki berbagai keuntungan. Buku 5000 Days to Save the Planet mengomentari bahwa mendaur ulang aluminium ”menghemat energi dalam jumlah yang sangat besar” dan dapat ”mengurangi kerusakan lingkungan akibat penambangan bauksit”. Buku itu menjelaskan, ”Untuk memproduksi kertas dalam jumlah yang sama, proses daur ulang hanya menggunakan separuh energi dan sepersepuluh jumlah air. . . . Banyak limbah dapat diambil kembali, didaur ulang, dan digunakan kembali. . . . Sekalipun industri-industri tidak dapat menggunakan kembali limbah mereka, kadang-kadang mereka dapat mendaur ulang untuk digunakan oleh pihak lain . . . Di Belanda, suatu jaringan tukar-menukar limbah telah berjalan dengan baik sejak awal tahun 1970-an.”
Ada pemerintah lain yang, sebaliknya daripada mencari cara membuang sampah, lebih memprioritaskan cara mencegah adanya sampah. Buku yang disebutkan tadi memperingatkan bahwa ”tindakan harus segera dilakukan” jika umat manusia ”ingin berganti haluan dari ekonomi gemar membuang . . . menuju masyarakat pelestari yang meminimalkan limbah dan mengurangi konsumsi sumber daya alam”.
Akan tetapi, orang-orang yang ingin ”berganti haluan dari ekonomi gemar membuang” harus bersedia menggunakan barang-barang yang mereka beli seawet mungkin, membuangnya hanya apabila barang-barang itu tidak bisa diperbaiki lagi. Barang-barang yang sudah tidak diinginkan lagi tetapi masih bisa digunakan harus diberikan kepada orang lain yang akan menggunakannya. Kantor Öko-Institut Jerman (Institut Ekologi Terapan) di Darmstadt memperkirakan bahwa rumah tangga yang berpaut erat pada prinsip ”Gunakan, jangan dibuang” akan menghasilkan sampah 75 persen lebih sedikit daripada rumah tangga pada umumnya.
Namun, apakah akan ada cukup banyak rumah tangga yang berpaut pada prinsip itu? Tampaknya tidak. Problem sampah umat manusia hanyalah suatu gejala dari masalah-masalah yang lebih besar. Dalam masyarakat yang gemar membuang sekarang ini, makin banyak orang mengikuti apa yang dapat kita sebut mentalitas gemar membuang. Mari kita cermati sikap tersebut—dan beberapa akibat ekstrem yang dapat ditimbulkannya.
Bahayanya Mentalitas Gemar Membuang
Mentalitas gemar membuang dapat dengan mudah meningkat menjadi lebih dari sekadar pemborosan kecil-kecilan. Hal itu dapat membuat orang tidak punya penghargaan dan tidak berpikir panjang, sehingga seenaknya saja membuang sejumlah besar makanan yang belum disentuh dan hal-hal lainnya. Orang-orang yang egois dan terpengaruh mode serta pilihan-pilihan yang sepele dalam apa yang disukai dan tidak disukai mungkin selalu terdorong untuk mengganti pakaian, furnitur, dan barang lainnya yang masih bagus kondisinya dengan yang baru.
Akan tetapi, mentalitas gemar membuang dapat meluas bukan hanya pada barang. Sebuah proyek di Jerman, yang bertujuan memanfaatkan perabot rumah tangga yang dibuang, baru-baru ini berkomentar, ”Cara kita memperlakukan furnitur ruang tamu, yang sudah tidak menarik lagi bagi kita lalu dibuang setelah lima tahun untuk diganti dengan yang baru, menular pada cara kita memperlakukan manusia. Pertanyaannya adalah berapa lama masyarakat kita dapat mentoleransi hal ini.” Laporan itu menjelaskan, ”Begitu seseorang tidak mampu lagi melaksanakan tugasnya seefisien mungkin, ia langsung diganti. Lagi pula, masih ada banyak tenaga kerja yang tersedia!”
Dalam bukunya Earth in the Balance, mantan Wakil Presiden AS Al Gore mengajukan pertanyaan yang relevan, ”Jika kita sampai menganggap barang yang kita gunakan sebagai barang sekali pakai, apakah cara berpikir kita juga telah berubah mengenai sesama? . . . Apakah kita, dalam proses itu, telah kehilangan penghargaan akan keunikan tiap-tiap pribadi?”
Orang-orang yang kehilangan penghargaan dan respek akan orang lain kemungkinan akan merasa lebih mudah—dan merasa lebih tidak bersalah—untuk mencampakkan teman-teman atau pasangan hidup. Sewaktu mengomentari cara berpikir seperti itu, surat kabar Jerman Süddeutsche Zeitung mengatakan, ”Setahun dua kali kita membeli baju baru, empat tahun sekali mobil baru, dan sepuluh tahun sekali perabot baru; setiap tahun kita mencari tempat liburan yang baru; kita berganti rumah, pekerjaan, bisnis—jadi, kenapa tidak pasangan hidup juga?”
Beberapa orang sekarang tampaknya ingin membuang hampir semua barang begitu barang itu dirasa menjadi beban. Misalnya, di sebuah negara Eropa diperkirakan bahwa selama tahun 1999, ada 100.000 kucing dan 96.000 anjing yang ditelantarkan oleh pemiliknya. Seorang aktivis penyayang binatang di negeri itu mengatakan bahwa orang-orang senegaranya ”tidak menganggap memiliki binatang piaraan sebagai komitmen jangka panjang. Mereka membeli anjing kecil pada bulan September, menelantarkannya [setahun kemudian sewaktu pergi berlibur] pada bulan Agustus”. Terlebih buruk lagi, mentalitas gemar membuang meluas hingga membuang nyawa manusia sendiri.
Tidak Menghargai Nyawa
Banyak orang sekarang tampaknya memandang nyawanya sendiri sebagai sesuatu yang tidak begitu berharga. Dengan cara bagaimana? Sebagai contoh, sebuah majalah Eropa baru-baru ini mengomentari bahwa kesediaan anak-anak muda untuk mengambil risiko telah meningkat pada tahun-tahun belakangan ini. Hal ini dapat terlihat dari meningkatnya kesediaan mereka untuk mengikuti olahraga ekstrem. Demi mendapatkan sensasi sesaat, mereka berani ambil risiko membuang nyawanya sendiri! Para pengusaha yang haus laba dengan bernafsu memanfaatkan tren ini. Seorang politikus Jerman mengomentari bahwa para promotor olahraga ekstrem ”sering kali lebih mementingkan laba daripada kesehatan dan nyawa manusia”.
Dan, bagaimana dengan membuang nyawa manusia yang belum lahir? Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa ”di seluas dunia setiap tahunnya sekitar 75 juta anak yang dikandung tidak benar-benar diinginkan oleh siapa pun. Bagi banyak wanita, satu-satunya solusi adalah aborsi”. Bahkan, setelah dilahirkan pun, bayi-bayi masih berada dalam bahaya. Menurut surat kabar Brasil O Estado de S. Paulo, ”kasus bayi yang dibuang di jalan sedang meningkat”. Apakah hal ini juga terjadi di tempat Anda?
Dalam dunia di sekeliling kita sekarang ini, ada banyak bukti bahwa nyawa manusia sering kali dianggap murah, tak berharga, dan dapat dibuang seenaknya. Kita melihat tren ini dalam kekerasan yang terdapat dalam hiburan populer, dengan ”jagoan-jagoan” yang membantai ”penjahat-penjahat” dalam film atau acara TV. Kita melihat hal itu dalam gelombang kejahatan yang sedang melanda dunia ini, yang para pencurinya membunuh korban mereka hanya demi sedikit uang receh—atau bahkan tanpa alasan sama sekali. Dan, kita melihat hal itu dalam berita-berita yang memuakkan mengenai tindakan teroris, sapu bersih etnik, dan genosida total, yang semuanya melibatkan pembantaian manusia secara tak berperasaan dan tanpa pandang bulu—nyawa yang berharga dibuang bagaikan sampah.
Kita mungkin tidak bisa menghindar dari hidup dalam masyarakat yang gemar membuang, tetapi kita dapat menghindar dari mentalitas gemar membuang. Artikel berikutnya akan membahas apa yang dapat membantu kita menghadapi masyarakat dewasa ini yang gemar membuang dan juga sikap-sikap tidak terpuji yang menyertainya.
[Gambar di hlm. 6]
Di banyak negeri, daur ulang diwajibkan
[Gambar di hlm. 7]
Apakah mode yang terus berganti mendorong Anda untuk membuang pakaian yang masih bagus lalu membeli yang baru?
[Gambar di hlm. 8]
Anak yang belum lahir seharusnya disayangi, bukannya dibuang
[Keterangan]
Index Stock Photography Inc./BSIP Agency
[Gambar di hlm. 8]
Nyawa terlalu berharga untuk dipertaruhkan demi merasakan sensasi
-
-
Bagaimana Menghadapi Masyarakat yang Gemar MembuangSedarlah!—2002 | 22 Agustus
-
-
Bagaimana Menghadapi Masyarakat yang Gemar Membuang
”DI ALAM . . . tidak ada benda yang terbuang.” Demikianlah, menurut majalah Time, pendapat seorang pakar terkemuka dalam bidang daur ulang. Pakar itu sedang berbicara tentang cara menakjubkan yang melaluinya bahan yang mati atau dibuang dari satu bagian ekosistem selalu bermanfaat bagi bagian-bagian lainnya. Pakar ini dilaporkan merasa bahwa ”umat manusia dapat mencontoh cara kerja alam yang bebas sampah, tetapi hal itu membutuhkan teknologi yang inovatif dan perubahan sikap secara besar-besaran”.
Sebagian besar dari kita mungkin tidak dapat berbuat banyak untuk mengembangkan teknologi baru yang inovatif. Tetapi, kita dapat mengendalikan sikap kita! Dan, sikap yang tepat terhadap prinsip-prinsip dasar tertentu tentang tingkah laku yang patut akan membantu kita menghadapi dengan lebih baik masalah-masalah hidup dalam masyarakat yang gemar membuang.
Hindari Membuang-buang
Satu dari lima orang di bumi tidur di malam hari dalam keadaan lapar. Mengetahui hal tersebut hendaknya mengesankan dalam diri kita perlunya menghargai makanan dan tidak membuang-buangnya. Sepasang suami istri yang pulang ke Eropa setelah 28 tahun melakukan pekerjaan utusan injil di Afrika mengatakan bahwa salah satu tantangan terbesar dalam menyesuaikan diri kembali dengan negeri asal mereka adalah melihat ”orang-orang membuang makanan dengan seenaknya”.
Orang tua yang bijaksana mengajar anak-anak mereka untuk menaruh makanan di piring hanya sebanyak yang dapat mereka makan. Dengan melakukan hal itu, sampah dan limbah akan berkurang. Lebih baik mengambil sedikit makanan dahulu sebelum minta tambah. Tentu saja, orang tua harus memberikan contoh. Yesus memberikan teladan bagi kita semua dengan memperlihatkan penghargaan yang tulus akan persediaan dari Allah, baik secara jasmani maupun rohani. Alkitab menunjukkan bahwa Yesus secara cermat memastikan bahwa tidak ada makanan yang terbuang—sekalipun makanan itu dihasilkan dengan berlimpah secara mukjizat!—Yohanes 6:11-13.
Prinsip tidak membuang-buang dapat juga diterapkan pada pakaian, furnitur, dan mesin. Memelihara barang dengan selalu memperbaikinya jika rusak dan menggunakannya selama masih bisa digunakan memperlihatkan bahwa kita menghargai apa yang kita miliki. Kita tidak perlu menjadi korban upaya dunia periklanan yang ingin membuat kita tidak pernah puas pada apa yang kita miliki dengan menawarkan produk yang lebih besar, lebih baik, lebih cepat, lebih kuat. Memang, kita berhak mengganti barang kita yang masih bisa dipergunakan. Namun, sebelum melakukan hal itu, ada baiknya kita mengevaluasi sikap dan motif kita.
Hindari Ketamakan
Seraya melintasi padang belantara dalam perjalanan menuju Negeri Perjanjian, bangsa Israel diberi makanan dalam bentuk manna. Menurut laporan Alkitab, manna disediakan dalam jumlah yang cukup. Akan tetapi, orang Israel diperingatkan agar tidak menjadi tamak; mereka hanya boleh mengambilnya dalam jumlah yang cukup untuk segera dimakan. Orang-orang yang tidak menaatinya mendapati bahwa ketamakan mereka tidak ada manfaatnya, karena manna yang tersisa menjadi berulat dan mulai berbau busuk. (Keluaran 16:16-20) Dengan jelas, berulang kali Alkitab secara tandas mengutuk ketamakan.—Efesus 5:3.
Bukan hanya Alkitab yang menandaskan hal ini. Sebagai contoh, Seneka, filsuf Romawi dan penulis drama pada abad pertama, mengakui bahwa orang yang tamak tidak akan pernah puas. Ia menyatakan pengamatannya, ”Bagi orang tamak, seluruh alam ini terlalu kecil.” Erich Fromm, seorang filsuf abad ke-20, mencapai kesimpulan yang sama, ”Ketamakan adalah lubang tanpa dasar yang membuat seseorang letih dalam upayanya yang tiada akhir untuk memuaskan kebutuhannya tanpa pernah mencapai kepuasan itu.” Selain menghindari ketamakan dan sikap membuang-buang, ada beberapa langkah positif yang telah diambil banyak orang.
Belajarlah untuk Berbagi
Sebelum membuang barang-barang yang kondisinya masih bagus, pikirkanlah siapa yang mungkin senang memilikinya. Misalnya, sewaktu baju anak-anak kesempitan karena mereka bertambah besar, apakah anak-anak lain masih dapat mengenakannya? Dapatkah Anda melakukan hal yang sama pada barang-barang lain yang masih bernilai tetapi tidak sering Anda gunakan lagi? Bagilah sukacita Anda dalam menggunakan suatu barang dengan memberikannya kepada orang lain. Pengarang dan humoris asal Amerika, Mark Twain, pernah menulis, ”Untuk mendapat nilai yang sepenuhnya dari sukacita, Anda harus memiliki seseorang untuk berbagi sukacita itu.” Barangkali Anda pernah merasakan bahwa sukacita yang dibagi adalah sukacita yang berlipat ganda. Selain itu, dengan berbagi seperti ini, Anda dapat menangkal pengaruh negatif dari mentalitas gemar membuang.
Berbagi dengan orang lain adalah kebajikan yang sangat dianjurkan Alkitab. (Lukas 3:11; Roma 12:13; 2 Korintus 8:14, 15; 1 Timotius 6:18) Ya, alangkah jauh lebih baik dunia ini jika semua orang suka berbagi!
Berpuaslah dengan Kebutuhan
Orang yang berpuas adalah orang yang bahagia. Hal ini adalah kebenaran universal. Sebuah peribahasa Yunani berkata, ”Tidak ada yang bisa memuaskan orang yang tidak puas dengan sedikit hal.” Dan, pepatah Jepang mengatakan, ”Orang yang tidak pernah merasa puas adalah orang yang miskin.” Alkitab juga sangat memujikan sikap berpuas. Kita membaca, ”Memang, pengabdian yang saleh ini, yang disertai rasa cukup, adalah sarana untuk mendapatkan keuntungan besar. Sebab kita tidak membawa apa pun ke dalam dunia, dan kita juga tidak dapat membawa apa pun ke luar. Maka, dengan mempunyai makanan, pakaian dan penaungan, hendaknya kita puas dengan perkara-perkara ini.”—1 Timotius 6:6-8; Filipi 4:11.
Tentu saja, berpuas dengan apa yang kita miliki mungkin menuntut ”perubahan sikap secara besar-besaran”. Seorang wanita muda bernama Susanne baru-baru ini sadar bahwa ia perlu membuat perubahan seperti itu. Ia berkata, ”Saya berkesimpulan bahwa karena saya tidak dapat memiliki setiap hal yang saya inginkan, saya harus belajar untuk menyukai apa yang saya miliki. Sekarang, saya bahagia dan puas.”
Kepuasan benar-benar mendatangkan kebahagiaan. Profesor Argir Hadjihristev, seorang pakar dalam bidang penuaan asal Bulgaria, mengatakan, ”Keburukan yang paling mendasar adalah tidak puas dengan sedikit hal yang seseorang miliki.” Sewaktu menunjukkan manfaat kesehatan karena merasa puas, ia menambahkan, ”Orang yang tidak berupaya untuk hidup lebih baik daripada tetangganya, yang tidak berupaya untuk selalu mendapatkan lebih banyak lagi, akan hidup tanpa persaingan dan karenanya hidup tanpa stres. Dan, hal itu baik untuk saraf.”
Ya, masyarakat yang gemar membuang tidak akan pernah mendatangkan kebahagiaan sejati. Terlebih lagi mentalitas gemar membuang! Tampaknya, semakin banyak orang mulai memahami hal ini. Apakah Anda juga?
[Gambar di hlm. 9]
Anak-anak perlu belajar cara untuk tidak membuang-buang makanan
[Gambar di hlm. 9]
Yesus memberikan teladan yang bagus dalam menghindari membuang-buang
[Gambar di hlm. 10]
Mengapa tidak memberikan kepada orang lain apa yang tidak Anda pakai lagi sebaliknya daripada membuangnya?
-