-
Suami dan Penatua—Berlaku Seimbang dalam Memikul Tanggung JawabMenara Pengawal—1996 | 15 Oktober
-
-
Suami dan Penatua—Berlaku Seimbang dalam Memikul Tanggung Jawab
’Pengawas hendaknya suami dari satu istri.’—1 TIMOTIUS 3:2.
1, 2. Mengapa selibat keimaman tidak berdasarkan Alkitab?
PADA abad pertama, orang-orang Kristen yang setia sangat ingin menyeimbangkan berbagai tanggung jawab mereka. Sewaktu rasul Paulus mengatakan bahwa seorang Kristen yang tetap lajang ”akan melakukan yang lebih baik”, apakah ia memaksudkan bahwa seorang pria yang demikian akan lebih cocok melayani sebagai pengawas dalam sidang Kristen? Apakah ia sebenarnya membuat kelajangan sebagai persyaratan bagi kepenatuaan? (1 Korintus 7:38) Selibat dituntut dari para pemimpin agama Katolik. Namun apakah selibat keimaman berdasarkan Alkitab? Gereja-Gereja Ortodoks Timur memperbolehkan para imam paroki mereka berstatus menikah, namun tidak demikian halnya bagi para uskup. Apakah hal itu selaras dengan Alkitab?
2 Banyak di antara 12 rasul Kristus, anggota-anggota fondasi sidang Kristen, adalah pria-pria yang telah menikah. (Matius 8:14, 15; Efesus 2:20) Paulus menulis, ”Kami mempunyai wewenang untuk membawa serta seorang saudari sebagai istri, sama seperti yang lain-lain dari antara rasul-rasul dan saudara-saudara Tuan dan Kefas [Petrus], bukan?” (1 Korintus 9:5) New Catholic Encyclopedia mengakui bahwa ’gerejalah yang memulai hukum selibat’ dan bahwa ”para rohaniwan dari P[erjanjian] B[aru] tidak dituntut untuk selibat”. Saksi-Saksi Yehuwa mengikuti pola Alkitab sebaliknya daripada mengikuti hukum gereja.—1 Timotius 4:1-3.
Kepenatuaan dan Perkawinan Dapat Seiring Sejalan
3. Fakta-fakta yang berdasarkan Alkitab apa yang memperlihatkan bahwa pria yang telah menikah dapat menjadi pengawas Kristen?
3 Sebaliknya daripada menuntut agar pria-pria yang dilantik sebagai pengawas tidak boleh menikah, Paulus menulis kepada Titus, ”Untuk alasan ini aku meninggalkan engkau di Kreta, agar engkau dapat mengoreksi perkara-perkara yang kurang baik dan menetapkan para tua-tua [bahasa Yunani, pre·sbyʹte·ros] di kota demi kota, sebagaimana aku pesankan kepadamu; jika ada pria yang bebas dari tuduhan, suami dari satu istri, mempunyai anak-anak yang percaya yang tidak di bawah tuduhan mengejar nafsu ataupun sukar dikendalikan. Karena seorang pengawas [bahasa Yunani, e·piʹsko·pos, yang darinya muncul kata ”uskup”] sebagai pengurus milik Allah harus bebas dari tuduhan.”—Titus 1:5-7.
4. (a) Bagaimana kita mengetahui bahwa perkawinan bukanlah suatu persyaratan bagi para pengawas Kristen? (b) Keuntungan apa dimiliki oleh seorang saudara lajang yang menjadi penatua?
4 Di lain pihak, perkawinan bukanlah suatu persyaratan Alkitab bagi kepenatuaan. Yesus tetap lajang. (Efesus 1:22) Paulus, seorang pengawas yang terkemuka di sidang Kristen abad pertama, pada saat itu tidak menikah. (1 Korintus 7:7-9) Dewasa ini, terdapat banyak orang Kristen lajang yang melayani sebagai penatua. Keadaan lajang mereka barangkali memberikan kepada mereka lebih banyak waktu untuk menunaikan tugas-tugas mereka sebagai pengawas.
’Pria yang Menikah Terbagi’
5. Fakta berdasarkan Alkitab apa hendaknya diakui oleh saudara-saudara yang telah menikah?
5 Bila seorang pria Kristen menikah, ia hendaknya menyadari bahwa ia memikul berbagai tanggung jawab baru yang akan menyita waktu dan perhatiannya. Alkitab menyatakan, ”Pria yang tidak menikah khawatir untuk perkara-perkara Tuan, bagaimana ia bisa mendapat perkenan Tuan. Akan tetapi, pria yang menikah khawatir untuk perkara-perkara dunia, bagaimana ia bisa mendapat perkenan istrinya, dan ia terbagi.” (1 Korintus 7:32-34) Dalam arti apa terbagi?
6, 7. (a) Apa sebuah cara yang membuat seorang pria yang telah menikah menjadi ”terbagi”? (b) Nasihat apa diberikan Paulus kepada orang-orang Kristen yang telah menikah? (c) Bagaimana ini dapat mempengaruhi keputusan seorang pria untuk menerima sebuah penugasan kerja?
6 Antara lain, seorang pria yang telah menikah melepaskan wewenang atas tubuhnya sendiri. Paulus membuat hal ini sangat jelas, ”Istri tidak menjalankan wewenang atas tubuhnya sendiri, melainkan suaminya; demikian pula, suami pun tidak menjalankan wewenang atas tubuhnya sendiri, melainkan istrinya.” (1 Korintus 7:4) Beberapa orang yang mempertimbangkan perkawinan boleh jadi merasa bahwa nasihat ini sepele karena seks tidak akan menjadi hal utama dalam perkawinan mereka. Akan tetapi, karena kemurnian sebelum perkawinan adalah suatu persyaratan Alkitab, orang-orang Kristen belum benar-benar mengetahui kebutuhan seksual calon teman hidup mereka.
7 Paulus memperlihatkan bahwa bahkan pasangan yang ’menetapkan pikiran mereka pada perkara-perkara roh’ harus mempertimbangkan kebutuhan seksual satu sama lain. Ia menasihati orang-orang Kristen di Korintus, ”Hendaklah suami memberikan kepada istrinya haknya; tetapi hendaklah istri juga melakukan hal yang sama terhadap suaminya. Jangan menahan hal itu dari satu sama lain, kecuali dengan persetujuan bersama selama suatu waktu yang ditetapkan, agar kamu dapat mengabdikan waktu untuk doa dan dapat bersatu lagi, supaya Setan tidak terus menggoda kamu karena kamu kurang pengaturan diri.” (Roma 8:5; 1 Korintus 7:3, 5) Sayang sekali, telah terjadi banyak kasus perzinaan bila saran ini tidak diikuti. Oleh karena itu, seorang Kristen yang telah menikah hendaknya mempertimbangkan segala sesuatunya dengan cermat sebelum menerima penugasan kerja yang akan memisahkan dia dari istrinya selama jangka waktu yang panjang. Ia tidak lagi memiliki kebebasan bertindak yang sama seperti ketika ia masih lajang.
8, 9. (a) Apa yang Paulus maksudkan sewaktu ia mengatakan bahwa orang-orang Kristen yang telah menikah ”khawatir untuk perkara-perkara dunia”? (b) Orang-orang Kristen yang telah menikah hendaknya mengkhawatirkan hal apa untuk dilakukan?
8 Dalam arti apa dapat dikatakan bahwa pria-pria Kristen yang telah menikah, termasuk para penatua, ”khawatir untuk perkara-perkara dunia [koʹsmos]”? (1 Korintus 7:33) Sangat jelas bahwa Paulus tidak berbicara tentang perkara-perkara buruk dari dunia ini, yang harus dijauhi oleh semua orang Kristen yang sejati. (2 Petrus 1:4; 2:18-20; 1 Yohanes 2:15-17) Firman Allah memerintahkan kita ”untuk membuang ketidaksalehan dan hasrat-hasrat duniawi [ko·smi·kosʹ] dan untuk hidup dengan pikiran yang sehat dan keadilbenaran dan pengabdian yang saleh di tengah-tengah sistem perkara sekarang ini”.—Titus 2:12.
9 Oleh karena itu, seorang Kristen yang telah menikah ”khawatir untuk perkara-perkara dunia” yaitu bahwa ia dibenarkan untuk memberi perhatian kepada perkara-perkara duniawi yang menjadi bagian dari kehidupan perkawinan yang normal. Ini mencakup tempat tinggal, pangan, sandang, rekreasi—selain daripada banyak hal-hal lain yang perlu diberi perhatian jika ada anak-anak. Namun bahkan bagi pasangan tanpa anak, jika ingin perkawinan mereka berhasil, suami maupun istri harus ingin sekali ”mendapat perkenan” teman hidupnya. Ini khususnya patut diperhatikan oleh para penatua Kristen seraya mereka menyeimbangkan tanggung jawab mereka.
Suami yang Baik dan Juga Penatua yang Baik
10. Agar seorang Kristen memenuhi syarat sebagai penatua, apa yang hendaknya dapat diperhatikan oleh saudara-saudaranya dan orang-orang di luar sidang?
10 Meskipun menikah bukan persyaratan bagi kepenatuaan, jika seorang pria Kristen telah menikah, sebelum ia direkomendasikan untuk dilantik sebagai penatua, ia tentu saja hendaknya memberikan bukti dari upayanya yang keras untuk menjadi seorang suami yang baik dan penuh kasih, seraya menjalankan kekepalaan yang patut. (Efesus 5:23-25, 28-31) Paulus menulis, ”Jika seorang pria berupaya meraih jabatan pengawas, ia menginginkan pekerjaan yang baik. Karena itu pengawas hendaknya tidak bercela, suami dari satu istri.” (1 Timotius 3:1, 2) Haruslah jelas bahwa seorang penatua melakukan sebisa-bisanya untuk menjadi suami yang baik, entah istrinya adalah seorang rekan Kristen atau bukan. Sebenarnya, bahkan orang-orang di luar sidang hendaknya dapat memperhatikan bahwa ia dengan baik mengurus istrinya dan berbagai tanggung jawabnya yang lain. Paulus menambahkan, ”Ia juga hendaknya menerima kesaksian yang baik dari orang-orang luar, supaya ia tidak jatuh ke dalam celaan dan jerat si Iblis.”—1 Timotius 3:7.
11. Apa yang secara tidak langsung dinyatakan oleh ungkapan ”suami dari satu istri”, maka tindakan pencegahan apa hendaknya diambil oleh para penatua?
11 Tentu saja, ungkapan ”suami dari satu istri” melarang poligami, namun ini juga secara tidak langsung menyatakan kesetiaan dalam perkawinan. (Ibrani 13:4) Para penatua khususnya perlu sangat berhati-hati bila membantu saudari-saudari di sidang. Mereka hendaknya menghindari berada seorang diri sewaktu mengunjungi seorang saudari yang membutuhkan nasihat dan penghiburan. Mereka sebaiknya disertai penatua lain, seorang hamba pelayanan, atau bahkan istri mereka bila kunjungan itu sekadar untuk memberi anjuran.—1 Timotius 5:1, 2.
12. Hal-hal apa saja hendaknya diupayakan oleh istri dari para penatua dan hamba pelayanan?
12 Secara singkat, sewaktu menyebutkan satu per satu persyaratan bagi para penatua dan hamba pelayanan, rasul Paulus juga memberikan nasihat bagi istri dari saudara-saudara yang dipertimbangkan untuk hak-hak istimewa tersebut. Ia menulis, ”Demikian pula wanita-wanita hendaknya serius, tidak suka memfitnah, bersahaja dalam kebiasaan, setia dalam segala sesuatu.” (1 Timotius 3:11) Seorang suami Kristen dapat berbuat banyak untuk membantu istrinya memenuhi uraian tersebut.
Kewajiban Berdasarkan Alkitab terhadap Seorang Istri
13, 14. Bahkan jika istri seorang penatua bukan seorang rekan Saksi, mengapa penatua itu hendaknya tetap bersama istrinya dan menjadi suami yang baik?
13 Tentu saja, nasihat ini diberikan kepada istri dari para penatua atau hamba pelayanan dengan berasumsi bahwa para istri tersebut adalah orang-orang Kristen yang berbakti. Pada umumnya, demikianlah keadaannya karena orang-orang Kristen dituntut untuk menikah ”hanya dalam Tuan”. (1 Korintus 7:39) Namun bagaimana dengan seorang saudara yang telah menikah dengan seseorang yang tidak seiman ketika ia membaktikan kehidupannya kepada Yehuwa, atau yang istrinya jatuh dari jalan kebenaran bukan karena kesalahan sang suami?
14 Hal itu sendiri tidak menghalanginya untuk menjadi penatua. Namun, ini juga tidak membenarkannya untuk berpisah dari istrinya hanya karena sang istri tidak memiliki kepercayaan yang sama dengannya. Paulus menasihati, ”Apakah engkau terikat kepada seorang istri? Berhentilah mencari kelepasan.” (1 Korintus 7:27) Ia mengatakan selanjutnya, ”Jika seorang saudara mempunyai istri yang tidak percaya, namun wanita itu setuju tinggal bersamanya, janganlah ia meninggalkan dia. Akan tetapi, jika orang yang tidak percaya itu tetap pergi, biarlah pria itu pergi; seorang saudara atau saudari tidak berada dalam perhambaan di bawah keadaan demikian, namun Allah telah memanggil kamu kepada kedamaian. Karena, istri, bagaimana engkau tahu bahwa mungkin engkau akan menyelamatkan suamimu? Atau, suami, bagaimana engkau tahu bahwa mungkin engkau akan menyelamatkan istrimu?” (1 Korintus 7:12, 15, 16) Bahkan jika istrinya bukan seorang Saksi, seorang penatua hendaknya menjadi suami yang baik.
15. Nasihat apa diberikan rasul Petrus kepada para suami Kristen, dan apa yang dapat menjadi konsekuensinya jika seorang penatua terbukti sebagai suami yang mengabaikan istrinya?
15 Tidak soal apakah istrinya seorang rekan seiman atau bukan, penatua Kristen hendaknya menyadari bahwa istrinya membutuhkan perhatian yang penuh kasih. Rasul Petrus menulis, ”Kamu suami-suami, teruslah tinggal bersama mereka [istrimu] dengan cara yang sama sesuai dengan pengetahuan, menetapkan kehormatan kepada mereka seperti kepada bejana yang lebih lemah, yang feminin, karena kamu pun adalah ahli waris bersama mereka atas perkenan yang tidak layak diterima berupa kehidupan, agar doa-doamu tidak mendapat rintangan.” (1 Petrus 3:7) Seorang suami yang dengan sengaja mengabaikan kebutuhan istrinya membahayakan hubungannya sendiri dengan Yehuwa; ini dapat menghalangi upayanya untuk menghampiri Yehuwa seperti ”awan, sehingga doa tak dapat menembus”. (Ratapan 3:44) Ini dapat membuatnya tidak memenuhi syarat untuk melayani sebagai pengawas Kristen.
16. Pokok kunci apa dibuat Paulus, dan bagaimana hendaknya perasaan para penatua terhadap hal ini?
16 Seperti yang kita lihat, pokok utama dari argumen Paulus adalah bahwa bila seorang pria menikah, ia melepaskan sejumlah kebebasan yang ia miliki sebagai seorang pria lajang yang memungkinkannya untuk ”terus melayani Tuan tanpa sesuatu yang mengalihkan perhatian”. (1 Korintus 7:35) Laporan-laporan memperlihatkan bahwa beberapa penatua yang telah menikah tidak selalu seimbang dalam memahami kata-kata Paulus yang terilham. Karena berhasrat untuk mencapai apa yang mereka sangka harus dilakukan oleh penatua yang baik, mereka mungkin melalaikan beberapa tugas mereka sebagai suami. Beberapa merasa sulit untuk menolak hak istimewa sidang, bahkan jika menerimanya dengan jelas akan mengakibatkan kerugian rohani bagi istri mereka. Mereka menikmati hak-hak istimewa yang datang dari perkawinan, namun bersediakah mereka memenuhi tanggung jawab yang menyertainya?
17. Apa yang telah terjadi dengan beberapa istri, dan bagaimana hal ini sebenarnya dapat dihindari?
17 Tentu saja, gairah sebagai seorang penatua sangat terpuji. Namun, apakah seorang Kristen seimbang jika, dalam menunaikan tugas-tugasnya di sidang, ia mengabaikan tanggung jawab berdasarkan Alkitab terhadap istrinya? Meskipun berhasrat untuk mendukung orang-orang di dalam sidang, seorang penatua yang seimbang akan juga memperhatikan kerohanian istrinya. Beberapa istri penatua telah menjadi lemah secara rohani, dan beberapa telah mengalami ”karam kapal” secara rohani. (1 Timotius 1:19) Meskipun seorang istri bertanggung jawab untuk mengupayakan keselamatannya sendiri, dalam banyak kasus problem rohani tersebut sebenarnya dapat dihindari jika sang penatua ’memberi makan dan menyayangi’ istrinya, ”sebagaimana yang juga Kristus lakukan terhadap sidang jemaat”. (Efesus 5:28, 29) Jelaslah, para penatua harus ’memberi perhatian kepada diri mereka sendiri dan kepada segenap kawanan’. (Kisah 20:28) Jika mereka telah menikah, ini termasuk istri mereka.
”Kesengsaraan Dalam Daging”
18. Apa beberapa aspek dari ”kesengsaraan” yang dialami oleh orang-orang Kristen yang telah menikah, dan bagaimana ini dapat mempengaruhi kegiatan seorang penatua?
18 Sang rasul juga menulis, ”Jika seorang perawan menikah, orang demikian tidak berbuat dosa. Akan tetapi, mereka yang melakukannya akan mengalami kesengsaraan dalam daging mereka. Namun aku menghindarkan kamu dari hal itu.” (1 Korintus 7:28) Paulus berhasrat untuk menghindarkan orang-orang yang sanggup mengikuti teladan kelajangannya dari kekhawatiran yang mau tidak mau muncul dalam perkawinan. Bahkan bagi para pasangan tanpa anak, kekhawatiran ini mungkin termasuk problem-problem kesehatan atau kesulitan-kesulitan finansial dan juga tanggung jawab berdasarkan Alkitab terhadap mertua yang sudah lanjut usia. (1 Timotius 5:4, 8) Seorang penatua harus, dengan cara yang patut dicontoh, menerima tanggung jawab ini, dan ini bisa jadi kadang-kadang mempengaruhi kegiatannya sebagai seorang pengawas Kristen. Syukurlah, kebanyakan penatua sangat berhasil dalam memenuhi tanggung jawab keluarga maupun tanggung jawab sidang mereka.
19. Apa yang Paulus maksudkan sewaktu ia mengatakan, ”Hendaklah mereka yang beristri menjadi seolah-olah mereka tidak mempunyainya”?
19 Paulus menambahkan, ”Waktu yang masih ada telah berkurang. Mulai saat ini hendaklah mereka yang beristri menjadi seolah-olah mereka tidak mempunyainya.” (1 Korintus 7:29) Tentu saja, mengingat apa yang ia telah tulis dalam pasal ini kepada orang-orang Korintus, jelaslah bahwa ia tidak memaksudkan bahwa orang-orang Kristen yang telah menikah dengan satu atau lain cara boleh mengabaikan istri mereka. (1 Korintus 7:2, 3, 33) Ia memperlihatkan apa yang ia maksudkan, sewaktu ia menulis, ”[Hendaklah] mereka yang menggunakan dunia seperti mereka yang tidak menggunakannya sampai sepenuhnya; karena adegan pentas dunia ini sedang berubah.” (1 Korintus 7:31) Bahkan terlebih lagi sekarang dibandingkan dengan zaman Paulus atau zaman rasul Yohanes, ”dunia ini sedang berlalu”. (1 Yohanes 2:15-17) Oleh karena itu, orang-orang Kristen yang telah menikah yang merasakan kebutuhan untuk membuat beberapa pengorbanan dalam mengikuti Kristus tidak dapat sepenuhnya mereguk sukacita dan hak-hak istimewa dari perkawinan.—1 Korintus 7:5.
Para Istri yang Rela Berkorban
20, 21. (a) Pengorbanan-pengorbanan apa rela dibuat oleh banyak istri Kristen? (b) Seorang istri dibenarkan untuk mengharapkan apa dari suaminya, bahkan jika suaminya adalah seorang penatua?
20 Sebagaimana para penatua membuat pengorbanan agar dapat mendatangkan manfaat bagi orang-orang lain, banyak istri penatua telah berupaya untuk menyeimbangkan tanggung jawab mereka dalam perkawinan dengan kepentingan-kepentingan Kerajaan yang penting. Ribuan wanita Kristen senang bekerja sama untuk memungkinkan suami mereka melaksanakan tugas-tugas sebagai pengawas. Yehuwa mengasihi mereka karena hal ini, dan Ia memberkati semangat yang bagus yang mereka perlihatkan. (Filemon 25) Akan tetapi, nasihat Paulus yang seimbang memperlihatkan bahwa para istri pengawas dapat dibenarkan untuk mengharapkan sejumlah waktu dan perhatian yang masuk akal dari suami mereka. Merupakan kewajiban berdasarkan Alkitab bagi para penatua yang telah menikah agar mengkhususkan waktu yang cukup bagi istri mereka supaya seimbang dalam tanggung jawab mereka sebagai suami dan pengawas.
21 Namun bagaimana jika selain menjadi suami, seorang penatua Kristen menjadi seorang ayah? Ini menambah tanggung jawabnya dan membuka kepadanya sebuah bidang pengawasan tambahan, sebagaimana yang kita akan lihat dalam artikel berikut.
-
-
Ayah dan Penatua—Memenuhi Masing-Masing PerananMenara Pengawal—1996 | 15 Oktober
-
-
Ayah dan Penatua—Memenuhi Masing-Masing Peranan
”Jika sesungguhnya seorang pria tidak tahu caranya memimpin rumah tangganya sendiri, bagaimana ia akan mengurus sidang jemaat Allah?”—1 TIMOTIUS 3:5.
1, 2. (a) Pada abad pertama, bagaimana para pengawas lajang dan para pengawas yang telah menikah namun tanpa anak-anak dapat melayani saudara-saudara mereka? (b) Bagaimana Akuila dan Priskila menjadi teladan bagi banyak pasangan suami-istri dewasa ini?
PARA pengawas dalam sidang Kristen masa awal bisa jadi adalah pria-pria lajang atau pria-pria yang telah menikah tanpa anak atau pria-pria yang berkeluarga yang memiliki anak-anak. Tidak diragukan beberapa dari orang-orang Kristen tersebut dapat mengikuti nasihat rasul Paulus yang diberikan dalam suratnya yang pertama kepada orang-orang Korintus, pasal 7, untuk tetap melajang. Yesus telah menyatakan, ”Ada sida-sida yang menjadikan diri mereka sendiri sida-sida demi kerajaan surga.” (Matius 19:12) Pria-pria lajang demikian, seperti Paulus dan barangkali beberapa rekan seperjalanannya, bebas mengadakan perjalanan guna membantu saudara-saudara mereka.
2 Alkitab tidak mengatakan apakah Barnabas, Markus, Silas, Lukas, Timotius, dan Titus adalah pria-pria lajang. Jika mereka telah menikah, jelaslah mereka cukup bebas dari tanggung jawab keluarga sehingga dapat banyak mengadakan perjalanan dalam berbagai penugasan. (Kisah 13:2; 15:39-41; 2 Korintus 8:16, 17; 2 Timotius 4:9-11; Titus 1:5) Mereka bisa saja disertai oleh istri mereka, seperti Petrus dan ”yang lain-lain dari antara rasul-rasul”, yang tampaknya membawa istri mereka sewaktu pergi dari satu tempat ke tempat lain. (1 Korintus 9:5) Akuila dan Priskila menjadi teladan dari sepasang suami-istri yang bersedia meninggalkan tempat tinggal mereka, mengikuti Paulus dari Korintus ke Efesus, kemudian pindah ke Roma, dan kembali lagi ke Efesus. Alkitab tidak mengatakan bahwa mereka memiliki anak-anak. Dinas mereka yang penuh pengabdian bagi saudara-saudara mereka membuat mereka layak menerima penghargaan dari ”semua sidang jemaat dari bangsa-bangsa”. (Roma 16:3-5; Kisah 18:2, 18; 2 Timotius 4:19) Dewasa ini, tidak diragukan terdapat banyak pasangan suami-istri yang, seperti Akuila dan Priskila, dapat melayani di sidang-sidang lain, barangkali dengan pindah ke tempat yang lebih membutuhkan tenaga.
Ayah dan Penatua
3. Apa yang memperlihatkan bahwa banyak penatua pada abad pertama adalah pria-pria yang telah menikah yang memiliki keluarga?
3 Tampaknya pada abad pertama M, mayoritas penatua Kristen adalah pria-pria yang telah menikah dan memiliki anak-anak. Sewaktu Paulus menjelaskan persyaratan yang dituntut dari seorang pria yang ”berupaya meraih jabatan pengawas”, ia menyatakan bahwa seorang Kristen seperti itu hendaklah ”pria yang memimpin rumah tangganya sendiri dengan cara yang baik, mempunyai anak-anak yang tunduk dengan segala keseriusan”.—1 Timotius 3:1, 4.
4. Apa yang dituntut dari penatua-penatua yang telah menikah dan memiliki anak-anak?
4 Seperti yang telah kita lihat, seorang pengawas tidak diwajibkan untuk memiliki anak-anak, atau bahkan untuk menikah. Namun jika ia telah menikah, untuk memenuhi syarat sebagai penatua atau hamba pelayanan, seorang Kristen harus menjalankan kekepalaan yang patut dan penuh kasih atas istrinya serta memperlihatkan dirinya cakap membuat anak-anaknya tunduk dengan sepatutnya. (1 Korintus 11:3; 1 Timotius 3:12, 13) Kelemahan serius apa pun dalam mengatur rumah tangganya akan membuat seorang saudara tidak memenuhi syarat untuk hak-hak istimewa khusus dalam sidang. Mengapa? Paulus menjelaskan, ”Jika sesungguhnya seorang pria tidak tahu caranya memimpin rumah tangganya sendiri, bagaimana ia akan mengurus sidang jemaat Allah?” (1 Timotius 3:5) Jika anggota keluarganya sendiri tidak bersedia tunduk kepada pengawasannya, bagaimana reaksi orang-orang lain?
”Mempunyai Anak-Anak yang Percaya”
5, 6. (a) Persyaratan apa berkenaan dengan anak-anak disebutkan Paulus kepada Titus? (b) Apa yang diharapkan dari para penatua yang memiliki anak-anak?
5 Sewaktu memerintahkan Titus untuk melantik para pengawas bagi sidang-sidang di Kreta, Paulus menetapkan, ”Jika ada pria yang bebas dari tuduhan, suami dari satu istri, mempunyai anak-anak yang percaya yang tidak di bawah tuduhan mengejar nafsu ataupun sukar dikendalikan. Karena seorang pengawas, sebagai pengurus milik Allah harus bebas dari tuduhan.” Apa sebenarnya yang dimaksud dengan persyaratan ”mempunyai anak-anak yang percaya”?—Titus 1:6, 7.
6 Istilah ”anak-anak yang percaya” memaksudkan remaja-remaja yang telah membaktikan kehidupan mereka kepada Yehuwa dan telah dibaptis, atau kepada para remaja yang telah membuat kemajuan ke arah pembaktian dan pembaptisan. Anggota-anggota sidang mengharap anak-anak penatua untuk secara umum bertingkah laku baik dan taat. Harus tampak bahwa seorang penatua berupaya sebisa-bisanya untuk membangun iman dalam diri anak-anaknya. Raja Salomo menulis, ”Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.” (Amsal 22:6) Namun bagaimana jika seorang remaja yang telah menerima pelatihan demikian menolak untuk melayani Yehuwa atau bahkan melakukan suatu kesalahan yang serius?
7. (a) Mengapa jelas bahwa Amsal 22:6 tidak menyatakan suatu peraturan yang kaku? (b) Jika anak seorang penatua tidak memilih untuk melayani Yehuwa, mengapa sang penatua tidak secara otomatis kehilangan hak-hak istimewanya?
7 Jelaslah bahwa amsal yang dikutip di atas tidak menyatakan suatu peraturan yang kaku. Ini tidak membatalkan prinsip kehendak bebas. (Ulangan 30:15, 16, 19) Sewaktu seorang anak laki-laki atau seorang anak perempuan mencapai usia manakala mereka dapat dituntut pertanggungjawaban, ia harus membuat keputusan pribadi sehubungan dengan pembaktian dan pembaptisan. Jika seorang penatua telah dengan jelas memberikan bantuan rohani yang dibutuhkan, tuntunan, serta disiplin, namun sang remaja tidak memilih untuk melayani Yehuwa, sang ayah tidak secara otomatis menjadi tidak memenuhi syarat untuk melayani sebagai pengawas. Di lain pihak, jika seorang penatua yang memiliki beberapa anak kecil yang tinggal di rumah yang, satu demi satu, menjadi sakit secara rohani dan mengalami masalah, ia mungkin tidak lagi dapat dianggap sebagai ”pria yang memimpin rumah tangganya sendiri dengan cara yang baik”. (1 Timotius 3:4) Intinya adalah, harus nyata terlihat bahwa seorang pengawas berupaya sebisa-bisanya untuk memiliki ”anak-anak yang percaya yang tidak di bawah tuduhan mengejar nafsu ataupun sukar dikendalikan”.a
Mempunyai ”Istri yang Tidak Percaya”
8. Bagaimana hendaknya seorang penatua bertindak terhadap istrinya yang tidak percaya?
8 Sehubungan dengan pria Kristen yang telah menikah dengan seorang yang tidak percaya, Paulus menulis, ”Jika seorang saudara mempunyai istri yang tidak percaya, namun wanita itu setuju tinggal bersamanya, janganlah ia meninggalkan dia . . . Karena . . . istri yang tidak percaya disucikan sehubungan dengan saudara itu; jika tidak, anak-anakmu akan benar-benar najis, namun sekarang mereka kudus. Karena, . . . suami, bagaimana engkau tahu bahwa mungkin engkau akan menyelamatkan istrimu?” (1 Korintus 7:12-14, 16) Kata ”tidak percaya” di sini tidak merujuk kepada seorang istri yang tidak memiliki kepercayaan agama melainkan ini merujuk kepada seorang istri yang tidak berbakti kepada Yehuwa. Ia bisa jadi seorang Yahudi, atau seorang penganut ilah-ilah kafir. Dewasa ini, seorang penatua mungkin mempunyai istri yang mempraktekkan agama yang berbeda, seorang yang bersifat agnostik, atau bahkan ateis. Jika sang istri bersedia tinggal bersamanya, ia tidak boleh meninggalkannya hanya karena kepercayaan yang berbeda. Ia hendaknya terus ’tinggal bersamanya dengan cara yang sama sesuai dengan pengetahuan, menetapkan kehormatan kepada mereka seperti kepada bejana yang lebih lemah, yang feminin’, tinggal bersama dengan harapan untuk menyelamatkannya.—1 Petrus 3:7; Kolose 3:19.
9. Di negeri-negeri tempat hukum memberikan suami maupun istri hak untuk mendekatkan anak-anak mereka kepada kepercayaan agama mereka masing-masing, bagaimana hendaknya seorang penatua bertindak, dan bagaimana ini akan mempengaruhi hak-hak istimewanya?
9 Jika seorang pengawas memiliki anak-anak, ia akan menjalankan kekepalaan yang patut sebagai suami dan ayah untuk membesarkan mereka ”dalam disiplin dan pengaturan-mental dari Yehuwa”. (Efesus 6:4) Di banyak negeri, hukum memberikan kepada suami dan istri hak untuk menyediakan instruksi agama kepada anak-anak mereka. Dalam kasus ini, sang istri mungkin menuntut untuk menjalankan haknya untuk mendekatkan anak-anak kepada kepercayaan dan praktek-praktek agamanya, yang mungkin termasuk membawa mereka ke gerejanya.b Tentu saja, anak-anak hendaknya mengikuti hati nurani mereka sendiri yang dilatih Alkitab sehubungan dengan tidak berpartisipasi dalam upacara-upacara agama palsu. Sebagai kepala keluarga, sang ayah akan menjalankan haknya sendiri untuk belajar dengan anak-anaknya dan membawa mereka ke perhimpunan-perhimpunan di Balai Kerajaan bila mungkin. Bila mereka mencapai usia manakala mereka dapat membuat keputusan mereka sendiri, mereka akan memutuskan bagi diri mereka haluan mana yang mereka akan tempuh. (Yosua 24:15) Jika rekan-rekan penatua dan anggota-anggota sidang dapat melihat bahwa ia telah menjalankan semua yang diperbolehkan oleh hukum baginya untuk dilakukan dalam mengajarkan anak-anaknya dengan patut dalam jalan kebenaran, ia tidak akan dianggap tidak memenuhi syarat sebagai pengawas.
”Memimpin Rumah Tangganya Sendiri dengan Cara yang Baik”
10. Jika seorang pria yang berkeluarga adalah seorang penatua, apa tugas utamanya?
10 Bahkan bagi seorang penatua yang adalah seorang ayah dan yang istrinya adalah seorang rekan Kristen, tidaklah mudah untuk dengan sepatutnya membagi waktu dan perhatian antara istrinya, anak-anak, dan tanggung jawab sidang. Alkitab cukup jelas memperlihatkan bahwa seorang ayah Kristen memiliki kewajiban untuk mengurus istri dan anak-anaknya. Paulus menulis, ”Tentu jika seseorang tidak menyediakan kebutuhan bagi mereka yang adalah miliknya, dan teristimewa bagi mereka yang adalah anggota rumah tangganya, ia telah menyangkal iman dan lebih buruk daripada seseorang yang tanpa iman.” (1 Timotius 5:8) Dalam surat yang sama tersebut, Paulus menyatakan bahwa hanya pria-pria yang telah menikah yang telah memperlihatkan diri sebagai suami dan ayah yang baik yang hendaknya direkomendasikan untuk melayani sebagai pengawas.—1 Timotius 3:1-5.
11. (a) Dalam hal apa saja seorang penatua hendaknya ”menyediakan kebutuhan bagi mereka yang adalah miliknya”? (b) Bagaimana hal-hal ini dapat membantu seorang penatua untuk memenuhi tanggung jawab sidangnya?
11 Seorang penatua hendaknya ”menyediakan kebutuhan” bagi mereka yang adalah miliknya bukan hanya secara materi tetapi juga secara rohani dan emosi. Raja Salomo yang bijaksana menulis, ”Selesaikanlah pekerjaanmu di luar, siapkanlah itu di ladang; baru kemudian dirikanlah rumahmu.” (Amsal 24:27) Maka seraya menyediakan kebutuhan materi, emosi, dan rekreasi dari istri dan anak-anaknya, seorang pengawas hendaknya juga membina mereka secara rohani. Ini menuntut waktu—waktu yang tidak dapat ia khususkan bagi urusan-urusan sidang. Namun ini adalah waktu yang dapat memberi banyak keuntungan dalam arti kebahagiaan dan kerohanian keluarga. Dalam jangka panjang, jika keluarganya kuat secara rohani, sang penatua mungkin tidak perlu menggunakan banyak waktu untuk mengurus problem-problem keluarga. Ini akan memberinya lebih banyak kesempatan untuk memperhatikan urusan-urusan sidang. Teladannya sebagai suami dan ayah yang baik akan mendatangkan manfaat rohani bagi sidang.—1 Petrus 5:1-3.
12. Dalam urusan keluarga apa hendaknya para ayah yang adalah penatua menyediakan teladan yang bagus?
12 Memimpin sebuah rumah tangga dengan cara yang baik mencakup menjadwalkan waktu untuk memimpin pelajaran keluarga. Ini khususnya penting agar para penatua menyediakan contoh yang baik dalam bidang ini, karena keluarga-keluarga yang kuat membentuk sidang-sidang yang kuat. Waktu sang pengawas jangan secara rutin terlalu disita dengan hak-hak istimewa dinas yang lain sehingga ia tidak memiliki waktu untuk belajar bersama istri dan anak-anaknya. Jika ini yang terjadi, ia hendaknya memeriksa kembali jadwalnya. Ia mungkin perlu menjadwal ulang atau mengurangi waktu yang ia khususkan untuk urusan-urusan lain, bahkan kadang-kadang menolak hak-hak istimewa tertentu.
Pengawasan yang Seimbang
13, 14. Nasihat apa telah diberikan oleh ”budak yang setia dan bijaksana” kepada para penatua yang adalah pria yang berkeluarga?
13 Nasihat untuk membuat seimbang tanggung jawab keluarga dan sidang bukanlah sesuatu yang baru. Selama bertahun-tahun ”budak yang setia dan bijaksana” telah memberikan nasihat kepada para penatua tentang hal-hal ini. (Matius 24:45) Lebih dari 37 tahun yang lalu, The Watchtower 15 September 1959, halaman 553 dan 554, menasihati, ”Sebenarnya, tidakkah ini semua adalah soal menyeimbangkan semua tuntutan ini dalam waktu kita? Dalam menyeimbangkan hal ini, saudara hendaknya memberikan penekanan yang sepatutnya kepada kepentingan keluarga saudara sendiri. Allah Yehuwa tentu saja tidak menuntut seorang pria menggunakan seluruh waktunya untuk kegiatan sidang, untuk membantu saudara-saudara dan sesamanya memperoleh keselamatan, namun tidak memperhatikan keselamatan rumah tangganya sendiri. Istri dan anak-anak merupakan tanggung jawabnya yang utama.”
14 Menara Pengawal seri 30 halaman 13 menasihati, ”Melaksanakan dinas pengabaran sebagai satu keluarga akan membuat saudara lebih akrab, tetapi untuk dapat memenuhi kebutuhan yang unik dari anak-anak dituntut tanggung jawab dari waktu dan kekuatan emosi saudara. Karena itu, keseimbangan diperlukan untuk menentukan berapa banyak waktu yang dapat saudara gunakan untuk . . . kewajiban-kewajiban sidang seraya saudara juga memperhatikan kebutuhan rohani, emosi, dan materi dari ’mereka yang adalah milikmu’. [Seorang Kristen] harus ’lebih dahulu belajar mempraktekkan pengabdian yang saleh dalam rumah tangga[nya] sendiri’. (1 Timotius 5:4, 8)”
15. Mengapa seorang penatua yang memiliki istri dan anak-anak membutuhkan hikmat dan daya pengamatan?
15 Sebuah amsal Alkitab menyatakan, ”Dengan hikmat rumah didirikan, dengan kepandaian [”daya pengamatan”, NW] itu ditegakkan.” (Amsal 24:3) Ya, agar seorang pengawas memenuhi tugas-tugas teokratisnya dan pada waktu yang sama membangun rumah tangganya, ia sudah pasti membutuhkan hikmat dan daya pengamatan. Dari sudut pandangan Alkitab, ia memiliki lebih dari satu bidang pengawasan. Keluarganya dan tanggung jawab sidangnya terlibat. Ia membutuhkan daya pengamatan untuk mempertahankan keseimbangan antara keduanya. (Filipi 1:9, 10) Ia membutuhkan hikmat untuk menetapkan prioritasnya. (Amsal 2:10, 11) Seberapa besar pun ia merasa bertanggung jawab untuk mengurus hak-hak istimewa sidangnya, ia hendaknya menyadari bahwa sebagai suami dan ayah, tanggung jawab utamanya yang diberikan Allah adalah pengasuhan dan keselamatan keluarganya.
Ayah yang Baik serta Penatua yang Baik
16. Keuntungan apa dimiliki seorang penatua jika ia juga seorang ayah?
16 Seorang penatua yang memiliki anak-anak yang berkelakuan baik dapat benar-benar menjadi aset. Jika ia telah belajar mengurus keluarganya dengan baik, ia akan sanggup membantu keluarga-keluarga lain di sidang. Ia memahami problem-problem mereka dengan lebih baik dan dapat memberikan nasihat yang mencerminkan pengalamannya sendiri. Syukurlah, ribuan penatua di seluruh dunia sedang melakukan pekerjaan yang baik sebagai suami, ayah, dan pengawas.
17. (a) Apa yang hendaknya tidak pernah dilupakan oleh seorang ayah yang juga seorang penatua? (b) Bagaimana anggota-anggota sidang yang lain dapat memperlihatkan empati?
17 Bagi seorang pria berkeluarga untuk menjadi penatua, ia harus menjadi seorang Kristen yang matang yang, seraya mengurus istri dan anak-anaknya, dapat mengorganisasi urusan-urusannya sehingga dapat mengkhususkan waktu dan perhatian bagi orang-orang lain di dalam sidang. Ia hendaknya tidak pernah lupa bahwa pekerjaan penggembalaannya dimulai di rumah. Karena mengetahui bahwa para penatua yang memiliki istri dan anak-anak memiliki tanggung jawab atas keluarga mereka maupun tugas-tugas sidang mereka, anggota-anggota sidang akan berupaya untuk tidak membuat tuntutan yang tidak sepatutnya atas waktu mereka. Misalnya, seorang penatua yang memiliki anak-anak yang harus pergi ke sekolah pada keesokan paginya, mungkin tidak selalu dapat tinggal berlama-lama setelah perhimpunan pada malam hari. Anggota-anggota sidang yang lain hendaknya memaklumi hal ini dan memperlihatkan sikap seperasaan.—Filipi 4:5.
Penatua-Penatua Kita Hendaknya Berharga bagi Kita
18, 19. (a) Penyelidikan kita atas 1 Korintus pasal 7 memungkinkan kita untuk menyadari hal apa? (b) Bagaimana kita hendaknya memandang pria-pria Kristen demikian?
18 Penyelidikan kita atas pasal 7 dari surat Paulus yang pertama kepada orang-orang Korintus memungkinkan kita untuk memahami bahwa, selaras dengan saran Paulus, terdapat banyak pria lajang yang menggunakan kebebasan mereka untuk melayani kepentingan Kerajaan. Juga terdapat ribuan saudara yang telah menikah yang tidak memiliki anak-anak yang, seraya memberikan perhatian yang layak kepada istri mereka, melayani sebagai pengawas yang baik dari distrik, wilayah, sidang, dan kantor-kantor cabang Menara Pengawal, dengan kerja sama yang terpuji dari istri mereka. Akhirnya, dalam hampir 80.000 sidang dari umat Yehuwa, terdapat banyak ayah yang tidak hanya dengan pengasih mengurus istri dan anak-anak mereka namun juga menggunakan waktu melayani saudara-saudara mereka sebagai gembala yang penuh perhatian.—Kisah 20:28.
19 Rasul Paulus menulis, ”Hendaklah para tua-tua yang memimpin dengan cara yang baik dihitung layak untuk dihormati dua kali lipat, teristimewa mereka yang bekerja keras dalam berbicara dan mengajar.” (1 Timotius 5:17) Ya, para penatua yang memimpin dengan cara yang baik dalam rumah mereka dan dalam sidang layak menerima kasih dan respek kita. Kita hendaknya benar-benar ’terus menganggap orang semacam itu berharga’.—Filipi 2:29.
-