PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • Apa yang Sedang Terjadi dengan para Kakek dan Nenek?
    Sedarlah!—1995 | 8 Juli
    • Apa yang Sedang Terjadi dengan para Kakek dan Nenek?

      OLEH KORESPONDEN SEDARLAH! DI ITALIA

      ”Saya sangat heran bahwa sebagai seorang kakek saya bisa menjadi tempat curahan kasih sayang yang demikian besar dari cucu-cucu saya. Mereka adalah suatu karunia​—duta-duta yang manis dan tak bersalah untuk memperkuat ikatan kasih sayang.”​—Ettore, sang kakek.

      MESKIPUN adanya hubungan yang sehat seperti disebutkan di atas, kakek-nenek, orang-tua, dan cucu-cucu tidak selalu cocok satu sama lain pada zaman sekarang. Sebaliknya daripada bekerja sama, ketiga generasi ini sering berselisih. Apa akibatnya? Meningkatnya kesepian dan ketidakbahagiaan di kalangan orang-orang lanjut usia, yaitu kakek-nenek​—anggota-anggota keluarga yang sering kali paling rapuh dan terasing, mereka yang mungkin akan dimintai bantuan secara keuangan oleh anak atau cucu bila ada kesulitan ekonomi. Bagaimana keadaan di dalam keluarga Anda? Apakah kakek-nenek benar-benar dihargai?

      Dalam beberapa dekade belakangan, perubahan sosial yang mencolok di seluas dunia telah mempengaruhi keluarga dan hubungan-hubungan di dalamnya, sehingga sistem keluarga patriarkat hampir hilang sama sekali. Di Eropa, hanya 2 persen dari orang-orang lanjut usia tinggal dengan anak-anak mereka. Meskipun begitu, di negara-negara industri, sebagai hasil meningkatnya harapan hidup rata-rata dewasa ini dan menurunnya angka kelahiran, proporsi jumlah kakek-nenek dengan jumlah penduduk secara umum semakin besar. Jumlah kakek dan nenek merupakan 26 persen dari jumlah penduduk di Eropa, dan menurut sebuah survei yang diterbitkan oleh Uni Eropa, angka tersebut ”dipastikan akan bertambah”. Jepang, kata Asahi Evening News, ”bangga dengan tradisinya sehubungan merawat warga seniornya”. Namun, terdapat suatu kebiasaan yang kian meluas, terutama di kota-kota, untuk meninggalkan kakek-nenek di rumah sakit atau klinik khusus meskipun perawatan demikian tidak benar-benar diperlukan. Juga di Afrika Selatan, tempat orang-orang lanjut usia secara tradisional diperlakukan dengan hormat, kini terdapat kecenderungan yang menyedihkan untuk menolak orang-orang lanjut usia, kata surat kabar The Cape Times dari Cape Town. Laporan tersebut secara spesifik menyebutkan bahwa keluarga-keluarga ingin ”sebanyak mungkin menikmati kehidupan ini” dan ”menipu diri sendiri bahwa setelah mereka menitipkan nenek dengan aman di sebuah rumah jompo, mereka telah menunaikan kewajiban moral mereka”.

      Surat kabar yang sama menyebutkan suatu kasus spesifik mengenai seorang nenek lanjut usia yang ditempatkan di sebuah rumah jompo yang efisien oleh ketiga anaknya, ”dengan janji akan mendapat dukungan dan kunjungan yang teratur”. Namun apa yang terjadi dengannya? ”Pada mulanya kunjungan dilakukan setiap hari. Setelah beberapa minggu kunjungan berkurang menjadi tiga kali seminggu. Lalu menjadi sekali seminggu. Setelah setahun menjadi dua atau tiga kali sebulan, belakangan lima atau enam kali setahun dan akhirnya hampir tidak pernah sama sekali.” Bagaimana nenek ini melewatkan hari-harinya yang tampaknya tak kunjung berakhir? Kisah yang memilukan hati itu menceritakan, ”Di kamarnya terdapat sebuah jendela dengan pemandangan sebuah pohon, dan makhluk-makhluk hidup yang menjadi teman-temannya hanyalah burung-burung merpati dan jalak yang bertengger di pohon itu. Ia menantikan kedatangan mereka dengan cemas seolah-olah mereka adalah kerabat dekatnya.”

      Sebagai akibat dari gaya hidup Afrika Selatan yang menjadi Kebarat-baratan, yang menggoda banyak orang untuk mencari pekerjaan di kota-kota, hal yang sama pun sedang terjadi di keluarga-keluarga tradisional. Di samping berubahnya kondisi sosial, alasan lain ditinggalkannya kakek-nenek adalah hilangnya sifat-sifat kemanusiaan yang memajukan kehidupan keluarga dan sosial yang bahagia​—kebaikan, respek kepada sesama, kasih sayang terhadap anggota-anggota keluarga—​dan meluasnya semangat mementingkan diri, hedonisme (paham yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah hal utama dalam kehidupan), keangkuhan, dan pemberontakan. Menurut Alkitab, kemerosotan moral semacam itu merupakan tanda bahwa kita sedang hidup pada ”hari-hari terakhir”. (2 Timotius 3:1-5) Maka, sebaliknya daripada menghargai kakek-nenek mereka sebagai sumber dari hal-hal yang dapat memperkaya dan sumber kestabilan, anak-anak dan cucu-cucu sering kali menganggap mereka sebagai suatu penghalang yang membebani, yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan sosial yang cepat.a

      Kesenjangan generasi menjadi semakin lebar, dan hal itu menyebabkan ketegangan yang cukup besar, lebih-lebih lagi bila orang lanjut usia tersebut tinggal dengan keluarga mereka. Namun apa yang dapat dilakukan atau dikatakan kakek-nenek bisa sangat bermanfaat! Lalu, apa beberapa masalah utama antar generasi yang menghalangi hubungan yang penuh kasih sayang antara kakek-nenek, anak-anak, dan cucu-cucu? Dan bagaimana kakek-nenek dapat menegakkan kembali peran mereka yang berharga di dalam lingkungan keluarga?

      [Catatan Kaki]

      a Harus diakui bahwa untuk kasus kondisi badan yang terlampau lemah dan masalah-masalah kesehatan yang ekstrem, sebuah panti asuhan dengan staf yang profesional mungkin adalah persediaan yang paling pengasih dan praktis bagi beberapa orang-tua yang lanjut usia.

  • Apa Beberapa Problemnya?
    Sedarlah!—1995 | 8 Juli
    • Apa Beberapa Problemnya?

      Kakek-nenek, orang-tua, dan cucu-cucu​—tiga generasi yang dalam usia hanya dipisahkan oleh beberapa dekade, namun sering kali dalam hal pemikiran dan pandangan tampaknya dipisahkan oleh sebuah jurang yang sangat dalam.

      BANYAK kakek-nenek telah mengalami hal-hal yang mengerikan dari perang dunia kedua, dengan segala akibatnya yang menghancurkan. Anak-anak mereka kemungkinan telah melewati masa muda selama zaman protes dan pertumbuhan ekonomi yang cepat pada tahun 60-an. Cucu-cucu mereka dewasa ini hidup dalam suatu dunia yang sama sekali tidak mengenal norma-norma. Dengan silih bergantinya anutan yang terkemuka dewasa ini, tidaklah mudah bagi satu generasi untuk menanamkan kepada generasi berikutnya penghargaan akan nilai dari pengalamannya sendiri. Sesuatu telah hilang, sesuatu untuk membujuk orang-orang dari generasi yang berbeda agar bekerja sama dan merespek satu sama lain. Namun apa hal itu?

      Sering kali, kakek-nenek yang berniat baik ikut campur dalam urusan keluarga dari anak-anak mereka yang sudah menikah, dengan mengeluh bahwa orang-tua tampaknya terlalu keras atau terlalu lemah terhadap cucu-cucu. Sebaliknya, sebuah peribahasa Spanyol mengatakan, ”Hukuman dari kakek dan nenek tidak membantu menghasilkan cucu-cucu yang baik”​—karena kakek-nenek cenderung terlalu memanjakan. Mungkin mereka ikut campur karena mereka ingin anak-anak mereka menghindari kesalahan tertentu yang, berkat pengalaman mereka sendiri, dapat mereka lihat dengan jelas. Akan tetapi, mereka mungkin tidak dapat menilai kembali dan memahami hubungan yang berubah dengan anak-anak mereka yang sudah menikah dengan cara yang seimbang. Anak-anak, yang melalui pernikahan telah memperoleh kebebasan yang telah lama mereka dambakan, tidak siap mentoleransi adanya campur tangan. Kini karena mereka bekerja untuk menunjang keluarga, mereka tidak rela bila hak mereka untuk membuat keputusan sendiri dilanggar. Cucu-cucu, yang mungkin berpikir bahwa mereka sudah tahu segalanya, tidak menyukai hukum dan peraturan dan mungkin menganggap kakek-nenek mereka sudah ketinggalan zaman. Dalam masyarakat modern, kakek-nenek tampaknya telah kehilangan daya tarik mereka. Pengalaman mereka sangat sering diabaikan.

      Jika Tidak Ada Percakapan Lagi

      Kadang-kadang suatu dinding yang tak dapat ditembus berupa kurangnya saling pengertian membuat kakek-nenek terasing dari anggota keluarga selebihnya sekalipun mereka tinggal bersama anak-anak mereka. Sayangnya, hal ini terjadi tepat pada saat kakek-nenek memiliki kebutuhan yang bahkan lebih besar akan kasih sayang disebabkan oleh usia senja yang mulai menjadi beban. Seseorang tidak perlu sendirian untuk merasa kesepian. Bila tidak ada percakapan lagi, bila respek dan kasih sayang telah diganti dengan sikap merendahkan dan kejengkelan, akibatnya adalah keterasingan total dan kekecewaan yang dalam di pihak kakek-nenek. Hal-hal itu melukai perasaan mereka yang paling dalam. Seorang pendidik bernama Giacomo Dacquino menulis, ”Kasih dalam keluarga, yang belakangan ini disamakan dengan mobil tua yang sudah ketinggalan model, masih merupakan obat terbaik untuk usia lanjut. Raut muka yang penuh pengertian, senyum yang ramah, kata-kata anjuran, atau belaian dapat lebih banyak membantu daripada banyak obat-obatan.”​—Libertà di invecchiare (Kebebasan untuk Menjadi Tua).

      Teladan Anda Menentukan

      Ketegangan yang diakibatkan oleh hubungan keluarga yang merosot juga menyebabkan keluhan yang tak kunjung henti dari satu generasi terhadap generasi lainnya. Salah satu anggota keluarga mungkin merasa bahwa apa pun yang dilakukan yang lainnya adalah salah. Namun dampak buruknya dirasakan oleh semua. Anak-anak mengamati caranya orang-tua mereka memperlakukan kakek-nenek dan, setelah itu, bagaimana reaksi kakek-nenek mereka. Meskipun orang-orang lanjut usia, pada umumnya, mungkin menderita secara diam-diam, cucu-cucu mendengar, melihat, dan mengingat. Maka pola perilaku mereka sendiri di masa depan dipengaruhi. Sebagai orang dewasa, kemungkinan mereka akan memperlakukan orang-tua mereka dengan cara yang sama seperti orang-tua mereka memperlakukan kakek-nenek. Tidak ada jalan untuk menghindari prinsip Alkitab, ”Apa pun yang ditabur orang, ini juga yang akan dituainya.”​—Galatia 6:7.

      Jika cucu-cucu melihat orang-tua memperlakukan kakek-nenek dengan cara yang merendahkan​—mengolok-olok mereka, dengan kasar menyuruh mereka diam, atau bahkan mengeksploitasi mereka​—begitulah kelak cara cucu-cucu, mungkin juga, akan memperlakukan orang-tua mereka sewaktu mereka bertambah tua. Tidaklah cukup sekadar menaruh foto kakek-nenek mereka di bufet​—mereka harus direspek dan dicintai sebagai pribadi. Pada waktunya, perlakuan yang sama mungkin akan diberikan oleh cucu-cucu. Konon gejala penganiayaan atas kakek-nenek menjadi semakin meluas. Di beberapa negara Eropa, sambungan telepon khusus telah dipasang untuk membantu orang-orang lanjut usia yang dianiaya, serupa dengan yang sudah beroperasi untuk perlindungan anak-anak.

      Sifat mementingkan diri, keangkuhan, dan tidak adanya kasih memupuk dan memperburuk kurangnya pengertian. Maka, jumlah orang yang berupaya membebaskan diri dari kakek-nenek dengan menaruh mereka di rumah jompo terus bertambah. Beberapa orang tidak sayang mengeluarkan sejumlah besar uang untuk membebaskan diri dari masalah mengurus orang lanjut usia, dengan mempercayakan mereka kepada rumah sakit-rumah sakit khusus yang diperlengkapi dengan segala macam teknologi mutakhir atau ke perkampungan yang dibangun khusus untuk orang-orang yang sudah pensiun seperti yang terdapat di Florida atau di California, AS, yang dilengkapi dengan tanpa ada senyum dan belaian dari orang-orang yang tercinta serta pelukan dari cucu-cucu. Khususnya selama masa liburan, banyak orang mencari tempat untuk ”menitipkan” oma dan opa. Di India situasinya kadang-kadang bahkan bisa lebih buruk sewaktu beberapa kakek-nenek diabaikan begitu saja dan ditinggalkan untuk mengurus diri mereka sendiri.

      Kesulitan dalam menjaga hubungan keluarga yang erat menjadi semakin buruk dengan adanya perceraian. Keluarga-keluarga Inggris dengan kedua orang-tua yang masih tinggal dalam rumah tangga hanya berjumlah 1 banding 4. Perceraian meningkat di seluas dunia. Di Amerika Serikat, terdapat lebih dari satu juta perceraian tiap tahun. Maka kakek-nenek dengan tak diduga-duga mendapati diri berhadapan dengan krisis perkawinan anak-anak mereka dan sebagai akibatnya hubungan dengan cucu-cucu mereka berubah secara drastis. Selain malu berurusan dengan mantan menantu, timbul masalah lain lagi sehubungan dengan ”cucu-cucu ’angkat’ yang tiba-tiba muncul”, jika, seperti yang dilaporkan surat kabar Italia Corriere Salute, ”pasangan baru dari anak laki-laki atau anak perempuan mereka memiliki anak-anak dari perkawinan sebelumnya”.

      ”Suatu Kegairahan dalam Hidup Kita”

      Namun, hubungan yang hangat dan pengasih dengan kakek-nenek, tidak soal mereka tinggal dengan keluarga atau tidak, sangat bermanfaat bagi semua. ”Melakukan sesuatu bagi anak-anak dan cucu-cucu kita,” kata Ryoko, seorang nenek dari Fukui, Jepang, ”sudah cukup untuk memberikan kegairahan dalam hidup kita.” Menurut hasil riset yang diterbitkan oleh Corriere Salute, sekelompok pakar di AS dilaporkan mengatakan, ”Sewaktu kakek-nenek dan cucu-cucu memiliki keberuntungan untuk dapat menikmati hubungan yang erat dan penuh kasih sayang, manfaatnya besar bukan hanya bagi anak-anak namun juga bagi seluruh keluarga.”

      Maka, apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi perbedaan kepribadian, kesenjangan generasi, dan kecenderungan bawaan terhadap sikap egois yang memberikan pengaruh yang sedemikian negatif kepada hubungan keluarga? Pokok ini akan dibahas dalam artikel selanjutnya.

      [Blurb di hlm. 6]

      ”Hal yang menakutkan sehubungan dengan bertambah tua adalah tidak didengarkan.”​—Albert Camus, penulis novel Prancis

  • Hidup Bersama dalam Kasih
    Sedarlah!—1995 | 8 Juli
    • Hidup Bersama dalam Kasih

      Opa dan Oma sayang,

      Baik-baik sajakah Opa dan Oma? Saya merasa akan kena flu.

      Terima kasih Opa dan Oma mau bermain-main bersama saya pada hari itu. Opa dan Oma telah membawa saya ke taman dan ke tempat permandian umum. Saya senang sekali.

      Tahun depan, tanggal 11 Februari, sekolah kami mengadakan konser. Bila Opa dan Oma bisa datang lagi, datanglah.

      Kami sangat bahagia bila Opa dan Oma datang.

      Teruslah jaga diri Opa dan Oma baik-baik, dan tetaplah sehat. Cuaca akan menjadi dingin, maka hati-hatilah agar tidak kena flu.

      Saya menunggu-nunggu Opa dan Oma datang dan bermain lagi dengan saya. Tolong sampaikan salam saya kepada Yumi dan Masaki.

      Mika (orang Jepang)

      APAKAH cucu Anda pernah menulis sepucuk surat seperti ini kepada Anda? Jika pernah, sewaktu Anda menerimanya, tidak diragukan lagi surat itu membuat Anda sangat bersukacita. Surat-surat semacam itu merupakan bukti pertalian keluarga yang indah dan penuh kasih sayang antara kakek-nenek dengan cucu-cucu. Namun, apa yang dibutuhkan untuk membentuk, mempertahankan, dan memperkuat hubungan semacam ini? Dan bagaimana itu dapat terbukti bermanfaat bagi ketiga generasi tersebut?

      Kasih​—”Ikatan Pemersatu yang Sempurna”

      Roy dan Jean, sepasang kakek-nenek dari Inggris, mengatakan, ”Prinsip utamanya, kami rasa, adalah mengakui kekepalaan dan bergaul satu sama lain dalam kasih.” Kedua Saksi-Saksi Yehuwa ini dengan spesifik mengutip ayat di Kolose 3:14, yang melukiskan kasih Kristen sebagai ”ikatan pemersatu yang sempurna”. Kasih membangkitkan respek, perhatian yang penuh pertimbangan, kasih sayang, dan persatuan keluarga. Bila Papa pulang kerja, seluruh keluarga berlari menyambutnya dengan hangat. Jika ada kasih di dalam keluarga, hal yang sama akan terjadi bila kakek-nenek berkunjung. ”Opa dan Oma datang!” seru seorang anak yang kegirangan. Malam itu, keluarga besar tersebut duduk bersama untuk makan malam, dan Opa, sesuai dengan kebiasaan setempat, duduk di tempat yang telah disediakan untuknya yaitu di kepala meja. Dapatkah Anda membayangkan diri Anda dan keluarga Anda dalam pemandangan yang penuh kasih ini? Apakah Anda menikmati berkat ini?

      ”Rambut Putih Adalah Mahkota yang Indah”

      Jelas, kasih dan respek terhadap kakek-nenek harus terus nyata, tidak hanya pada peristiwa-peristiwa istimewa. Itulah sebabnya anak-anak perlu dididik secara terus-menerus. Di dalam keluarga anak-anak belajar mengasihi sanak keluarga dan orang lain, dengan mengikuti model yang ditetapkan orang-tua mereka. Contoh mereka sangat penting, sebagaimana dikatakan oleh banyak orang yang diwawancarai berkenaan pokok ini. Macaiah, seorang ayah dari Benin City, Nigeria, mengatakan, ”Saya rasa teladan saya dalam merespek kedua mertua saya juga telah membantu anak-anak saya untuk rendah hati dan penuh respek. Saya menyapa kedua mertua saya dengan ’Papi’ dan ’Mami’. Anak-anak saya mendengar dan melihat bahwa saya merespek mereka seperti orang-tua kandung saya sendiri.”

      Jika cucu-cucu tidak merespek kakek-nenek mereka, kakek-nenek ini mungkin menjadi sedih, bukan semata-mata karena kekurangan itu sendiri namun karena fakta bahwa orang-tua tidak mengoreksi mereka. Demetrio, seorang kakek dari Roma, Italia, mengatakan, ”Saya dapat melihat kasih dari anak perempuan dan menantu laki-laki saya terhadap kami melalui cara mereka mendidik cucu-cucu kami untuk menghormati dan merespek kami.” Kadang-kadang, cucu-cucu mungkin memperlakukan kakek-nenek dengan terlalu bebas sehingga kurang hormat, seolah-olah mereka adalah teman bermain dari usia yang sama, atau dengan sikap lebih unggul. Orang-tua bertanggung jawab untuk mengoreksi kecenderungan apa pun yang seperti itu. Paul, seorang Saksi dari Nigeria, mengatakan, ”Kira-kira setahun yang lalu, anak-anak mulai meremehkan ibu saya. Sewaktu saya mengamati hal ini, saya membacakan Amsal 16:31 untuk mereka, ’Rambut putih adalah mahkota yang indah’, dan saya juga mengingatkan mereka bahwa Oma adalah ibu saya. Sama seperti mereka merespek saya, mereka juga harus merespeknya. Saya juga mempelajari bersama mereka pasal 10 dari buku Masa Remaja Manfaatkanlah Sebaik-baiknya,a yang berjudul ’Bagaimana Anda Memandang Orangtua Anda?’ Kini tidak ada problem lagi dalam merespek nenek mereka.”

      Manfaat Memupuk Hubungan Keluarga

      Saling menyayangi dapat dipupuk bahkan bila anggota-anggota keluarga tinggal berjauhan satu sama lain. Stephen, seorang kakek dari Nigeria, mengatakan, ”Kami menulis surat kepada tiap-tiap cucu kami secara perorangan. Tugas ini berat, namun imbalannya dalam membangun dan mempertahankan pertalian keluarga yang erat dengan cucu-cucu sangat besar.” Dalam hal ini upaya orang-tua sangat penting. Orang-orang lain, sesuai dengan keadaan mereka, memelihara komunikasi melalui telepon.

      Giuseppe, seorang kakek dari Bari, Italia, yang memiliki 11 cucu, menjelaskan cara ia memupuk persahabatan yang hangat dengan anggota-anggota keluarga terdekatnya, ”Saat ini tiga dari enam keluarga yang membentuk ’suku’ saya tinggal di tempat yang jauh. Namun itu bukanlah halangan untuk saling berhubungan dan mengadakan pertemuan di antara kami. Kami memiliki kebiasaan bertemu bersama paling sedikit sekali setahun, kami semua yang berjumlah 24 orang.”

      Bila kakek-nenek tinggal sendirian, jika saling berkunjung, menelepon, atau menyurat di antara anggota-anggota keluarga tidak dilakukan dengan teratur, hubungan dapat menjadi renggang. Kasih sayang harus diperlihatkan dengan tak putus-putusnya. Beberapa kakek-nenek yang berusia sekitar setengah abad atau memiliki kesehatan yang baik ingin hidup sendirian selama mereka masih energik dan sanggup berdikari. Akan tetapi, bila mereka sama sekali mengasingkan diri dari anggota-anggota keluarga, mereka mungkin juga mendapati bahwa bila kebutuhan mereka akan kasih sayang semakin besar, bisa jadi mereka tidak akan mendapatkannya dengan segera.

      Saran lain yang berguna datang dari Michael, seorang kakek dari Nigeria, ”Saya menerapkan Aturan Emas dari Yesus​—melakukan untuk orang lain seperti yang kita ingin mereka lakukan untuk kita. Untuk alasan itulah, anak-anak saya sangat mencintai saya. Kami menikmati komunikasi yang baik.” Ia menambahkan, ”Jika ada cucu saya yang membuat hati saya sedih, saya akan berbicara kepadanya jika memang perlu. Namun, bila itu dapat saya abaikan, biasanya saya langsung melupakannya.”

      Hadiah-hadiah kecil dan kebaikan kecil dari kakek-nenek membuahkan reaksi yang positif. Kata-kata yang ramah dan membesarkan hati, sebaliknya daripada keluhan yang tak kunjung habis, membuat kehidupan keluarga menyenangkan. Menyediakan waktu bagi cucu-cucu, mengajar mereka permainan serta pekerjaan ringan yang berguna, menceritakan kepada mereka kisah-kisah Alkitab atau anekdot keluarga, akan menciptakan kenangan yang hangat dan bertahan lama. Hal-hal kecil namun penting semacam itu membuat hidup lebih menyenangkan.

      Manfaat Saling Menghormati

      ”Kakek-nenek,” kata dokter Gaspare Vella, ”perlu berhati-hati untuk tidak menentang atau bersaing dengan wewenang orang-tua dalam membesarkan anak.” Ia menambahkan, ”Kalau tidak, mereka melampaui bidang gerak mereka sebagai kakek-nenek dan merebut kedudukan orang-tua.” Saran ini selaras dengan apa yang Alkitab katakan, bahwa orang-tua memiliki tanggung jawab utama dalam mendidik anak-anak mereka.​—Amsal 6:20; Kolose 3:20.

      Karena pengalaman hidup mereka, mudah bagi kakek-nenek untuk memberi nasihat. Akan tetapi, mereka harus berhati-hati untuk tidak memberikan nasihat yang tidak diinginkan dan yang kadang-kadang tidak dikehendaki. Roy dan Jean mengatakan, ”Adalah penting untuk mengerti bahwa orang-tua memiliki tanggung jawab utama dalam mendidik dan mendisiplin anak-anak mereka. Kadang-kadang seseorang mungkin berpikir bahwa mereka sedikit terlalu keras dan pada kesempatan lain tidak cukup keras. Karena itu perlu ada perjuangan melawan godaan yang besar untuk ikut campur.” Michael dan Sheena, kakek-nenek lain dari Inggris, menegaskan pokok yang sama, ”Jika anak-anak meminta nasihat, kami akan memberikannya, namun kami tidak selalu berharap mereka akan menerimanya, atau menjadi kesal jika mereka tidak menerimanya.” Adalah baik bagi orang-tua lanjut usia untuk memiliki keyakinan akan anak-anak lelaki dan perempuan mereka yang telah menikah. Keyakinan semacam itu memperbaiki hubungan di antara tiga generasi.

      Vivian dan Jane, yang tinggal di bagian selatan Inggris, berupaya untuk selalu mendukung disiplin yang diberikan kepada cucu-cucu mereka oleh anak lelaki dan menantu perempuan mereka, yang dengannya mereka tinggal, ”Kami tidak berupaya memaksakan gagasan kami sendiri di bidang-bidang yang mungkin kami rasa berbeda. Menyadari bahwa kami mendukung papa dan mama mereka, anak-anak tidak pernah mencoba ’mengadu domba kakek-nenek dengan orang-tua’.” Bahkan sewaktu orang-tua sedang tidak ada, kakek-nenek harus berhati-hati sehubungan mendisiplin cucu-cucu. Harold, dari Inggris, mengatakan, ”Disiplin apa pun yang dianggap perlu oleh kakek-nenek sewaktu orang-tua sedang tidak ada, harus didiskusikan lebih dahulu dengan orang-tua.” Harold menambahkan bahwa kata-kata yang ramah namun tegas kepada cucu-cucu atau sekadar pengingat akan ”apa yang orang-tua inginkan” sering kali cukup.

      Sewaktu Christopher, seorang kakek dari Nigeria, memperhatikan beberapa kekurangan di pihak anak-anaknya sendiri, ia menghindari membicarakan hal itu di depan cucu-cucunya, ”Saya memberikan nasihat apa pun yang perlu sewaktu sedang sendirian saja dengan orang-tua.” Sebaliknya, orang-tua, perlu melakukan bagian mereka dalam memastikan bahwa peranan kakek-nenek direspek. Carlo, seorang ayah yang tinggal di Roma, Italia, mengatakan, ”Penting sekali untuk tidak mengeluh tentang kekurangan kakek-nenek atau anggota keluarga lainnya di depan anak-anak.” Hiroko, seorang ibu dari Jepang, mengatakan, ”Sewaktu muncul masalah dengan ipar-ipar saya, pertama-tama saya mendiskusikannya dengan suami saya.”

      Peran Kakek-nenek dalam Pendidikan

      Setiap keluarga memiliki sejarah, kebiasaan, dan pengalamannya sendiri yang membedakannya dari semua keluarga lain. Umumnya, kakek-nenek adalah rantai penghubung dengan sejarah keluarga di masa lampau. Menurut sebuah pepatah Afrika, ”setiap orang tua yang meninggal adalah sebuah perpustakaan yang terbakar”. Kakek-nenek meneruskan kenangan akan sanak saudara dan peristiwa-peristiwa keluarga yang penting, dan juga nilai-nilai moral dan rohani yang kuat yang sering kali mempersatukan keluarga. Tanpa menyertakan bimbingan moral yang Alkitab sediakan, seorang pakar berkata bahwa jika ”kaum muda tidak memiliki pengetahuan tentang sejarah keluarga, mereka akan bertumbuh tanpa fondasi berupa pengalaman yang telah mendahului mereka, tidak memiliki nilai-nilai, tidak percaya diri dan tidak mantap dalam berhubungan dengan orang lain”.​—Gaetano Barletta, Nonni e nipoti (Kakek-Nenek dan Cucu-Cucu).

      Cucu-cucu senang mendengarkan kisah tentang papa dan mama serta sanak keluarga lainnya pada waktu mereka masih muda. Melihat sebuah album foto dapat sangat bersifat mengajar dan menghibur. Kasih sayang dan kehangatan benar-benar dapat dibangkitkan pada waktu kakek-nenek menceritakan peristiwa-peristiwa di masa lalu yang dilukiskan dalam foto-foto.

      Reg dan Molly, sepasang kakek-nenek dari Inggris yang adalah Saksi-Saksi Yehuwa, mengatakan, ”Kami merasa bahagia karena kami dapat bergaul dengan cucu-cucu dan melakukan hal-hal bersama mereka, tanpa mengganggu ikatan mereka yang erat dengan Papa dan Mama mereka. Kami juga menjawab pertanyaan mereka yang begitu banyak, bermain bersama, membaca bersama, memperlihatkan kepada mereka cara menulis, mendengarkan mereka membaca, mengikuti kesibukan sekolah mereka dengan minat yang pengasih.”

      Kesalahan yang bisa membahayakan yang dibuat oleh banyak kakek-nenek serta orang-tua adalah mengkhawatirkan hanya kesejahteraan fisik anak cucu. Reg dan Molly, yang disebutkan di atas, mengatakan, ”Warisan terbesar yang dapat kami berikan kepada anak cucu kami adalah memastikan bahwa mereka dibesarkan dalam pengetahuan yang benar dari Firman Allah.”​—Ulangan 4:9; 32:7; Mazmur 48:14; 78:3, 4, 6.

      Bertindak Selaras dengan Pengajaran Ilahi

      Alkitab, Firman Allah, ”mengerahkan kuasa” atas orang-orang. Buku itu memiliki kemampuan untuk membantu mereka mengendalikan atau menyingkirkan sifat-sifat yang memecah-belah, seperti sifat mementingkan diri dan keangkuhan. (Ibrani 4:12) Oleh karena itu, orang-orang yang mempraktekkan ajarannya menikmati kedamaian dan persatuan dalam keluarga. Salah satu dari banyak ayat yang membantu tiga generasi itu untuk menyingkirkan kesenjangan apa pun yang mungkin ada di antara mereka adalah Filipi 2:2-4, yang menganjurkan kita semua untuk memperlihatkan kasih dan kerendahan pikiran, guna mempertahankan persatuan, dengan ’menaruh perhatian, bukan dengan minat pribadi kepada persoalan mereka sendiri saja, tetapi juga dengan minat pribadi kepada persoalan orang lain’.

      Bertindak selaras dengan pengajaran ilahi, orang-tua dan cucu sama-sama dengan serius menerima nasihat untuk ”terus membayar apa yang terutang kepada orang-tua dan kakek-nenek mereka”, secara materi, emosi, dan rohani. (1 Timotius 5:4) Dengan takut yang sehat kepada Yehuwa, mereka memperlihatkan respek yang dalam kepada kakek-nenek mereka, sambil mengingat kata-kata-Nya, ”Engkau harus bangun berdiri di hadapan orang ubanan dan engkau harus menaruh hormat kepada orang yang tua dan engkau harus takut akan Allahmu.” (Imamat 19:32) Kakek-nenek memperlihatkan kebaikan dengan mengupayakan kesejahteraan dari keturunan mereka, ”Orang baik meninggalkan warisan bagi anak cucunya.”​—Amsal 13:22.

      Kakek-nenek, orang-tua, dan cucu-cucu, tidak soal mereka tinggal bersama atau tidak, dapat memperoleh manfaat bersama dalam hubungan yang penuh kasih sayang yang didasarkan atas kasih dan respek, seperti yang dikatakan Amsal 17:​6, ”Mahkota orang-orang tua adalah anak cucu dan kehormatan anak-anak ialah nenek moyang mereka.”

      [Catatan Kaki]

      a Diterbitkan oleh Watchtower Bible and Tract Society of New York, Inc.

      [Gambar di hlm. 8]

      Suatu reuni keluarga dapat menyumbang kepada persatuan keluarga

      [Gambar di hlm. 9]

      Kakek-nenek Anda akan terhibur bila Anda menulis surat kepada mereka

      [Gambar di hlm. 10]

      Melihat-lihat album keluarga bersama cucu-cucu dapat menjadi pengalaman yang memperkaya

Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
Log Out
Log In
  • Indonesia
  • Bagikan
  • Pengaturan
  • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
  • Syarat Penggunaan
  • Kebijakan Privasi
  • Pengaturan Privasi
  • JW.ORG
  • Log In
Bagikan