PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • w95 15/10 hlm. 3-4
  • Rasa Takut​—Teman atau Musuh?

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Rasa Takut​—Teman atau Musuh?
  • Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1995
  • Bahan Terkait
  • Mengapa Kita Harus Takut Kepada Allah?
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1989
  • Takut Akan Allah​—Dapatkah Itu Bermanfaat bagi Saudara?
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1987 (s-43)
  • Kembangkan Hati Saudara untuk Takut kepada Yehuwa
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—2001
  • Takut
    Pemahaman Alkitab, Jilid 2
Lihat Lebih Banyak
Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1995
w95 15/10 hlm. 3-4

Rasa Takut​—Teman atau Musuh?

”Saya memikirkan caranya saya ingin mati. Saya tidak mau ditembak, tetapi jika memang tertembak, saya mau tertembak tepat di kepala, sehingga saya langsung mati.”

SEORANG reporter untuk Los Angeles Times mendengar penuturan tersebut dari seorang gadis berusia 14 tahun. Ia sedang mewawancarai siswa-siswa tentang pembunuhan baru-baru ini​—pembunuhan yang dilakukan remaja terhadap orang dewasa dan remaja lain. Laporan itu berjudul: ”Dunia yang Sarat Rasa Takut”.

Saudara pasti mengetahui bahwa banyak orang hidup dalam dunia yang sarat rasa takut. Rasa takut akan apa? Sulit untuk memerinci rasa takut satu per satu. Silakan lihat kotak di sebelah dan periksalah hal-hal yang membuat teman saudara atau banyak orang di daerah saudara merasa takut. Kotak itu dari Newsweek terbitan 22 November 1993, dan memperlihatkan hasil angket atas ”758 anak berusia antara 10 dan 17 tahun, bersama orang-tua mereka”.

Jika remaja-remaja itu diwawancarai sekarang, mereka mungkin akan menyatakan alasan tambahan untuk merasa takut, seperti gempa bumi. Setelah gempa yang menghancurkan di Los Angeles pada bulan Januari 1994, Time melaporkan, ”Di antara gejala-gejala gangguan stres pascatrauma terdapat ingatan akan masa lalu yang muncul tiba-tiba dan tidak terkendali, mimpi buruk, kewaspadaan yang berlebihan dan amarah karena kurangnya pengendalian atas kehidupan seseorang.” Seorang pengusaha yang memutuskan untuk pindah dari daerah terjadinya gempa itu mengatakan, ”Kerusakannya tidak ada artinya dibanding rasa takut yang ditimbulkannya. Kami pergi tidur di ruang bawah tetap memakai sepatu. Kami tidak bisa tidur. Setiap malam kami hanya duduk di situ menunggu datangnya gempa susulan. Sungguh tidak enak.”

”Serentetan Bencana Membuat Jepang Tidak Tenteram” adalah judul laporan tertanggal 11 April 1995 dari Tokyo. Bunyinya, ”Serangan gas saraf . . . adalah pukulan yang khususnya serius bagi jiwa orang-orang Jepang karena hal ini merupakan bagian dari rentetan peristiwa yang secara kolektif menciptakan ketidakpastian baru yang fundamental berkenaan masa depan. . . . Orang-orang tidak lagi merasa aman di jalan-jalan yang dahulunya dikenal aman, baik siang maupun malam.” Dan bukan saja orang-orang lanjut usia yang merasa takut. ”Profesor Ishikawa [dari Universitas Seijo] mengatakan bahwa kekhawatiran . . . teristimewa nyata di kalangan anak muda, yang sering kali tidak mempunyai gambaran yang jelas tentang apa yang tersedia di masa depan bagi mereka.”

Bukti memperlihatkan bahwa suatu ”kejadian teror yang luar biasa dapat mengubah susunan kimiawi otak, yang membuat orang-orang lebih sensitif terhadap naiknya adrenalin bahkan hingga beberapa dekade kemudian”. Para ilmuwan sedang berupaya memahami cara otak menerjemahkan situasi yang membangkitkan rasa takut​—bagaimana kita mengevaluasi hal-hal detail dan menanggapinya dengan rasa takut. Profesor Joseph LeDoux menulis, ”Dengan ditemukannya jalur-jalur saraf yang melaluinya suatu situasi menyebabkan makhluk hidup mengenal rasa takut, kami berharap dapat menjelaskan mekanisme umum dari bentuk ingatan ini.”

Namun, kebanyakan dari kita tidak begitu berminat akan dasar kimiawi atau saraf sehubungan dengan rasa takut. Secara realistis kita mungkin lebih berminat akan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti: Mengapa kita takut? Bagaimana hendaknya kita menanggapinya? Apakah ada rasa takut yang baik?

Saudara mungkin setuju bahwa kadang-kadang rasa takut dapat membantu saudara. Misalnya, hari sudah gelap sewaktu saudara pulang ke rumah. Pintu sedikit terbuka, meskipun sewaktu saudara pergi pintu sudah tertutup rapat. Melalui jendela, saudara seolah-olah melihat ada bayangan bergerak-gerak. Saudara langsung menjadi tegang, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Mungkin ada pencuri atau perampok bersenjata di dalam.

Rasa takut naluriah saudara dalam situasi semacam itu dapat menyelamatkan saudara sehingga tidak masuk begitu saja ke dalam situasi yang berbahaya. Rasa takut dapat membantu saudara mengambil tindakan pencegahan atau mencari bantuan sebelum saudara menghadapi kemungkinan bahaya. Ada banyak contoh semacam itu: tanda peringatan terhadap tegangan tinggi; berita radio mengenai badai yang akan melanda daerah saudara; suara bising yang memekakkan dari mesin kendaraan saudara sewaktu saudara mengendarainya di jalan yang padat.

Dalam beberapa kasus rasa takut tentu saja dapat menjadi teman. Rasa takut ini dapat membantu kita melindungi diri atau bertindak dengan bijaksana. Meskipun demikian, saudara pasti menyadari bahwa rasa takut yang luar biasa atau terus-menerus sama sekali bukan teman. Itu adalah musuh. Rasa takut demikian dapat menyebabkan napas terengah-engah, jantung berdebar-debar, pingsan, gemetar, mual, dan merasa tidak peduli terhadap lingkungan.

Saudara mungkin mendapati sangat menarik bahwa Alkitab menyatakan dengan terperinci bahwa zaman kita akan ditandai oleh perkembangan yang menakutkan di bumi dan oleh rasa takut yang luar biasa. Mengapa bisa demikian, dan apa pengaruhnya atas kehidupan dan cara berpikir saudara? Juga, mengapa dapat dikatakan bahwa dari sudut pandangan Alkitab, ada rasa takut sehari-hari yang khususnya berguna dan baik? Mari kita lihat.

[Kotak di hlm. 3]

Sewaktu ditanya apa yang paling mencemaskan mereka dan keluarga mereka, orang-orang dewasa dan anak-anak mengatakan bahwa mereka merasa takut akan:

ANAK-ANAK ORANG-TUA

56% Tindak kekerasan terhadap anggota keluarga 73%

53% Orang dewasa yang kehilangan pekerjaan 60%

43% Tidak mampu membeli makanan 47%

51% Tidak mampu membayar dokter 61%

47% Tidak mampu untuk mendapatkan pernaungan 50%

38% Anggota keluarga yang mempunyai problem obat bius 57%

38% Keluarga memutuskan tidak hidup bersama 33%

Sumber: Newsweek, 22 November 1993

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan