PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • Apakah Normal untuk Merasa seperti Ini?
    Bila Seseorang yang Anda Kasihi Meninggal
    • Apakah Normal untuk Merasa seperti Ini?

      SEORANG yang sedang berkabung menulis, ”Sebagai seorang anak di Inggris, saya diajar untuk tidak mengungkapkan perasaan saya di hadapan umum. Saya masih ingat ayah saya, seorang mantan perwira militer, berbicara kepada saya sambil menggertakkan giginya, ’Awas, jangan berani menangis!’ sewaktu ada sesuatu yang menyakitkan saya. Saya tidak ingat lagi apakah ibu saya pernah mencium atau memeluk kami anak-anak (kami empat bersaudara). Saya berusia 56 tahun ketika saya melihat ayah saya meninggal. Saya merasakan kehilangan yang luar biasa. Namun, pada mulanya, saya tidak sanggup menangis.”

      Dalam beberapa kebudayaan, orang-orang mengungkapkan perasaan mereka secara terbuka. Apakah mereka sedang gembira atau sedih, orang-orang lain mengetahui bagaimana perasaan mereka. Di lain pihak, di beberapa bagian dunia, terutama di Eropa bagian utara dan Inggris, orang-orang, khususnya kaum pria, telah dibentuk oleh masyarakat untuk menyembunyikan perasaan mereka, untuk menekan emosi mereka, untuk tetap tenang dan tidak emosional serta tidak membiarkan perasaan mereka terbaca. Namun bila Anda kehilangan seseorang yang dikasihi, apakah sebenarnya salah untuk memperlihatkan duka cita Anda? Apa yang Alkitab katakan?

      Mereka yang Menangis dalam Alkitab

      Alkitab ditulis oleh orang-orang Ibrani dari daerah Laut Tengah sebelah timur, yang berpembawaan ekspresif. Alkitab memuat banyak contoh dari orang-orang yang secara terbuka memperlihatkan duka cita mereka. Raja Daud meratapi kematian Amnon, putranya yang terbunuh. Sesungguhnya, ia ”menangis dengan suara nyaring”. (2 Samuel 13:28-39) Ia bahkan berduka cita atas kematian dari Absalom, putranya yang berkhianat, yang berupaya merebut takhta. Catatan Alkitab memberi tahu kita, ”Maka terkejutlah raja [Daud] dan dengan sedih ia naik ke anjung pintu gerbang lalu menangis. Dan beginilah perkataannya sambil berjalan: ’Anakku Absalom, anakku, anakku Absalom! Ah, kalau aku mati menggantikan engkau, Absalom, anakku, anakku!’” (2 Samuel 18:33) Daud berkabung seperti ayah mana pun yang normal. Dan betapa sering orang-tua berharap agar mereka saja yang mati menggantikan anak-anak mereka! Tampak sangat tidak wajar jika seorang anak mati sebelum orang-tuanya.

      Bagaimana reaksi Yesus terhadap kematian Lazarus temannya? Ia menangis di dekat kuburannya. (Yohanes 11:30-38) Belakangan, Maria Magdalena menangis sewaktu ia mendekati makam Yesus. (Yohanes 20:11-16) Memang, seorang Kristen yang memahami harapan kebangkitan dari Alkitab tidak berduka cita sampai tak dapat dihibur, seperti yang dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki dasar Alkitab yang jelas bagi kepercayaan mereka berkenaan keadaan orang mati. Namun sebagai manusia dengan perasaan-perasaan yang normal, seorang Kristen yang sejati, bahkan dengan harapan kebangkitan, benar-benar berduka cita dan meratapi kematian orang yang dikasihi.—1 Tesalonika 4:13, 14.

      Menangis atau Tidak Menangis

      Bagaimana dengan reaksi-reaksi kita dewasa ini? Apakah Anda merasa sulit atau malu memperlihatkan perasaan-perasaan Anda? Apa yang dianjurkan oleh para penasihat? Pandangan mereka yang modern sering kali sekadar mengulangi hikmat kuno dari Alkitab yang terilham. Mereka mengatakan bahwa kita hendaknya menyatakan duka cita kita, bukan memendamnya. Ini mengingatkan kita kepada pria-pria yang setia pada zaman dahulu, seperti misalnya Ayub, Daud, dan Yeremia, yang pernyataan duka cita mereka dimuat dalam Alkitab. Mereka tentunya tidak memendam perasaan mereka. Maka, tidak bijaksana untuk mengasingkan diri dari orang-orang. (Amsal 18:1) Tentu saja, perkabungan diperlihatkan dengan cara-cara yang berbeda dalam berbagai ragam kebudayaan, juga bergantung kepada kepercayaan agama yang lazim.a

      Bagaimana jika Anda merasa ingin menangis? Adalah bagian dari sifat alamiah manusia untuk menangis. Ingatlah peristiwa kematian Lazarus, ketika Yesus ”mengerang dalam roh dan . . . mengeluarkan air mata”. (Yohanes 11:33, 35, NW) Ia dengan demikian memperlihatkan bahwa menangis merupakan reaksi yang normal atas kematian orang yang dikasihi.

      Orang-orang berduka

      Adalah normal untuk berduka cita dan menangis bila seseorang yang dikasihi meninggal

      Hal ini didukung oleh kasus seorang ibu, Anne, yang kehilangan bayinya yang bernama Rachel karena Sindroma Kematian Anak Mendadak (SIDS). Suaminya berkomentar, ”Hal yang mengejutkan adalah Anne maupun saya tidak menangis pada saat pemakaman. Orang-orang lain menangis.” Menanggapi hal ini, Anne berkata, ”Ya, tetapi saya telah banyak menangis untuk kami berdua. Saya rasa, saya benar-benar mengalami goncangan emosi beberapa minggu setelah tragedi ini, sewaktu saya akhirnya pada suatu hari berada sendirian di rumah. Saya menangis sepanjang hari. Namun saya yakin hal itu justru membantu saya. Saya merasa lebih baik setelah itu. Saya harus berkabung atas kematian bayi saya. Saya sangat yakin bahwa Anda hendaknya membiarkan orang-orang yang berduka cita menangis. Meskipun merupakan reaksi yang wajar bagi orang-orang lain untuk berkata, ’Jangan menangis’, hal itu tidak benar-benar membantu.”

      Bagaimana Beberapa Orang Bereaksi

      Bagaimana beberapa orang bereaksi sewaktu merasa kesepian karena kehilangan orang yang dikasihi? Misalnya, pertimbangkan Juanita. Ia mengetahui bagaimana rasanya kehilangan seorang bayi. Ia telah lima kali keguguran. Kini ia mengandung lagi. Maka sewaktu sebuah kecelakaan mobil menyebabkannya harus diopname, masuk akal ia merasa khawatir. Dua minggu kemudian ia melahirkan—secara prematur. Tak lama berselang si kecil Vanessa lahir—dengan berat badan hanya 0,9 kilogram, ”Saya sangat gembira,” kenang Juanita, ”Akhirnya saya menjadi seorang ibu!”

      Namun kebahagiaannya berumur pendek. Empat hari kemudian Vanessa meninggal. Juanita mengenang, ”Saya merasa sangat hampa. Peran saya sebagai ibu dirampas. Saya merasa tidak utuh lagi. Sedih sekali pulang ke rumah ke kamar yang telah kami persiapkan untuk Vanessa dan melihat baju dalamnya yang mungil yang saya belikan untuknya. Selama beberapa bulan berikutnya, saya membayangkan kembali kelahirannya. Saya menarik diri dari pergaulan.”

      Suatu reaksi yang ekstrem? Mungkin sulit bagi orang-orang lain untuk memahami, namun orang-orang, seperti Juanita, yang telah mengalaminya menjelaskan bahwa mereka yang berduka cita karena kematian bayi mereka sama seperti mereka yang berduka cita karena kematian seseorang yang telah hidup sekian lama. Menurut mereka, lama sebelum seorang anak lahir, ia telah dikasihi oleh orang-tuanya. Terjalin suatu ikatan yang istimewa dengan sang ibu. Sewaktu bayi itu meninggal, sang ibu merasa bahwa suatu pribadi utuh telah hilang. Dan inilah yang perlu dipahami orang-orang lain.

      Bagaimana Kemarahan dan Perasaan Bersalah Dapat Mempengaruhi Anda

      Ibu yang lain menyatakan perasaannya sewaktu ia diberi tahu bahwa putranya yang berusia enam tahun tiba-tiba meninggal karena kelainan jantung sejak lahir. ”Saya mengalami serangkaian reaksi—mati rasa, perasaan tidak percaya, perasaan bersalah, dan kemarahan terhadap suami saya dan dokter karena tidak menyadari seberapa serius keadaannya.”

      Kemarahan dapat merupakan gejala lain dari duka cita. Ini bisa jadi kemarahan kepada para dokter atau juru rawat, merasa bahwa dulu mereka seharusnya berbuat lebih banyak dalam merawat orang yang meninggal. Atau bisa jadi kemarahan kepada teman-teman dan sanak saudara yang, tampaknya, mengucapkan atau melakukan sesuatu yang salah. Beberapa menjadi marah kepada orang yang meninggal karena mengabaikan kesehatannya. Stella mengenang, ”Saya ingat saya marah kepada suami saya karena saya tahu seharusnya keadaannya tidak begini. Ia menderita sakit parah, tapi ia mengabaikan peringatan dokter.” Dan kadang-kadang kemarahan ditujukan kepada orang yang meninggal karena beban yang ditimpakan oleh kematiannya kepada mereka yang ditinggalkan.

      Beberapa merasa bersalah karena kemarahan—yaitu, mereka mungkin menyalahkan diri mereka karena mereka merasa marah. Yang lain-lain menyalahkan diri karena kematian orang yang mereka kasihi. ”Sebetulnya dia tidak perlu mati,” mereka meyakinkan diri, ”seandainya saja saya menyuruhnya pergi ke dokter lebih awal” atau ”menyuruhnya pergi ke dokter lain” atau ”membuatnya lebih menjaga kesehatannya.”

      Seorang ibu mengenang saat ia memeluk anaknya

      Kehilangan seorang anak merupakan trauma yang menyakitkan—simpati dan empati yang tulus dapat membantu orang-tua

      Bagi orang-orang lain perasaan bersalah melampaui hal itu, khususnya bila orang yang mereka kasihi meninggal secara mendadak dan tak terduga. Mereka mulai mengenang saat-saat manakala mereka marah kepada orang yang meninggal atau bertengkar dengan mereka. Atau mereka mungkin merasa bahwa dulu mereka seharusnya tidak berlaku demikian terhadap orang yang meninggal.

      Proses berduka cita yang berlangsung lama dari banyak ibu mendukung apa yang banyak ahli katakan, bahwa kematian seorang anak meninggalkan suatu kesenjangan permanen dalam kehidupan orang-tua, khususnya sang ibu.

      Bila Anda Kehilangan Teman Hidup

      Kematian seorang teman hidup merupakan trauma lain lagi, khususnya jika keduanya menjalani kehidupan yang sangat aktif bersama-sama. Ini dapat berarti akhir dari seluruh gaya hidup yang mereka tempuh bersama, berkenaan perjalanan, pekerjaan, hiburan, dan ketergantungan kepada satu sama lain.

      Eunice menjelaskan apa yang terjadi sewaktu suaminya tiba-tiba meninggal karena serangan jantung. ”Pada minggu pertama, saya berada dalam keadaan mati rasa secara emosi, seolah-olah saya berhenti berfungsi. Saya bahkan tidak dapat mengecap rasa atau mencium bau. Namun, akal sehat berjalan terpisah. Karena saya berada bersama suami saya sewaktu mereka berupaya menstabilkan dengan RJP (Resusitasi Jantung Paru) dan obat-obatan, saya tidak mengalami gejala penyangkalan yang biasa. Namun, ada perasaan frustrasi yang kuat, seolah-olah saya menyaksikan sebuah mobil terjun ke sebuah tebing dan saya tak mampu berbuat apa-apa untuk mencegahnya.”

      Apakah dia menangis? ”Tentu saja, khususnya sewaktu saya membaca ratusan kartu belasungkawa yang saya terima. Saya menangis membaca setiap kartu. Ini membantu saya untuk tegar sepanjang hari tersebut. Tetapi tidak ada yang dapat membantu jika saya berulang kali ditanya bagaimana perasaan saya. Jelas sekali, saya sangat sengsara.”

      Apa yang membantu Eunice untuk menghadapi duka citanya? ”Tanpa disengaja, secara tidak sadar saya telah membuat keputusan untuk terus melanjutkan kehidupan saya,” katanya. ”Akan tetapi, apa yang masih menyakitkan saya adalah sewaktu saya ingat bahwa suami saya, yang sangat mengasihi kehidupan, tidak berada di sini untuk menikmatinya.”

      ”Jangan Biarkan Orang-Orang Lain Mendikte . . .”

      Pengarang dari buku Leavetaking—When and How to Say Goodbye (Perpisahan—Kapan dan Bagaimana Mengucapkan Selamat Tinggal) menyarankan ”Jangan biarkan orang-orang lain mendikte tindakan atau perasaan Anda. Proses berduka cita berbeda atas masing-masing orang. Orang-orang lain mungkin berpendapat—dan memberi tahu pendapat mereka—bahwa Anda terlalu berduka cita atau kurang berduka cita. Maafkan mereka dan lupakan hal itu. Dengan berupaya memaksakan diri Anda kepada cetakan yang diciptakan oleh orang-orang lain atau oleh masyarakat secara keseluruhan, Anda menghambat perkembangan untuk memulihkan kesehatan emosi Anda.”

      Tentu saja, setiap orang menangani duka cita mereka dengan cara-cara yang berbeda. Kami tidak berupaya menyarankan bahwa satu cara pasti lebih baik daripada cara yang lain bagi masing-masing orang. Akan tetapi, bahaya muncul sewaktu terjadi stagnasi, manakala orang yang dilanda duka cita tidak dapat menerima kenyataan. Saat itulah, bantuan mungkin dibutuhkan dari teman-teman yang berbelas kasihan. Alkitab berkata, ”Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.” Maka janganlah takut untuk mencari bantuan, untuk berbicara, dan untuk menangis.—Amsal 17:17.

      Duka cita merupakan reaksi yang normal atas kematian, dan tidak salah jika duka cita Anda terbaca oleh orang-orang lain. Namun pertanyaan-pertanyaan selanjutnya membutuhkan jawaban: ’Bagaimana saya dapat mengatasi duka cita saya? Apakah normal untuk merasa bersalah dan marah? Bagaimana saya harus mengatasi reaksi-reaksi ini? Apa yang dapat membantu saya bertahan menghadapi perasaan kehilangan dan duka cita?’ Bagian berikut akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dan beberapa pertanyaan lain.

  • Apakah Normal untuk Merasa seperti Ini?
    Bila Seseorang yang Anda Kasihi Meninggal
    • Proses Berduka Cita

      Kata “proses” tidak menyatakan bahwa duka cita memiliki jadwal atau program yang ditentukan. Reaksi-reaksi duka cita bisa terjadi bersamaan dan memakan waktu yang lamanya bervariasi, bergantung kepada orangnya. Daftar ini tidak lengkap. Reaksi-reaksi lain mungkin juga diperlihatkan. Berikut ini adalah beberapa gejala duka cita yang mungkin dialami seseorang.

      Reaksi-Reaksi Awal: Goncangan pertama; perasaan tidak percaya, penyangkalan; mati rasa secara emosi; perasaan-perasaan bersalah; kemarahan.

      Duka cita yang parah bisa mencakup: Tidak bisa mengingat dan insomnia; kelelahan yang ekstrem; perubahan suasana hati secara tiba-tiba; penilaian dan pemikiran yang buruk; meledak dalam tangis; selera makan berubah, dengan akibat berat badan turun atau naik; berbagai gejala kesehatan yang terganggu; kelesuan; berkurangnya kesanggupan bekerja; halusinasi—merasakan, mendengar, melihat orang yang meninggal; jika kehilangan seorang anak, permusuhan yang tidak beralasan dengan teman hidup Anda.

      Periode membuat diri seimbang: Kesedihan disertai nostalgia; lebih banyak kenangan yang menyenangkan dari orang yang meninggal, bahkan dibumbui dengan humor.

  • Apakah Normal untuk Merasa seperti Ini?
    Bila Seseorang yang Anda Kasihi Meninggal
    • Keguguran dan Lahir Mati—Duka Cita Para Ibu

      Meskipun Monna telah memiliki anak-anak yang lain, ia sangat menantikan kelahiran anaknya yang berikut. Bahkan sebelum kelahirannya, bayi ini telah ia ajak “bermain, berbicara, dan impikan.”

      Proses ikatan antara ibu dan anak yang belum lahir sangat kuat. Ia melanjutkan, “Rachel Anne adalah bayi yang menendang-nendang buku yang saya letakkan di atas perut saya, membuat saya tidak bisa tidur pada malam hari. Saya masih ingat tendangan kecilnya yang pertama, bagaikan sentuhan yang lembut dan penuh kasih. Setiap kali ia bergerak, saya dipenuhi oleh kasih demikian. Saya mengenalnya begitu baik sehingga saya tahu sewaktu ia menderita, sewaktu ia sakit.”

      Monna melanjutkan kisahnya, “Dokter tidak mempercayai saya sampai akhirnya sudah terlambat. Ia memberi tahu saya agar jangan cemas. Saya yakin saya merasakan ia meninggal. Ia tiba-tiba saja berbalik dengan kuat. Hari berikutnya ia telah meninggal.”

      Pengalaman Monna bukanlah kasus yang langka. Menurut penulis Friedman dan Gradstein, dalam buku mereka Surviving Pregnancy Loss, kira-kira satu juta wanita dalam satu tahun di Amerika Serikat saja mengalami kehamilan yang gagal. Tentu saja, jumlahnya di seluruh dunia jauh lebih besar.

      Orang-orang sering tidak menyadari bahwa keguguran atau lahir mati merupakan tragedi bagi seorang wanita dan sesuatu yang ia ingat—barangkali seumur hidupnya. Misalnya, Veronica, yang kini berusia 50 tahun lebih, mengenang keguguran yang dialaminya dan teristimewa mengingat bayinya yang lahir mati, yang masih hidup sampai kandungannya berusia sembilan bulan dan lahir dengan berat 6 kilogram. Selama dua minggu terakhir ia mengandung bayi yang telah mati. Ia berkata, “Melahirkan seorang bayi yang telah meninggal merupakan sesuatu yang buruk sekali bagi seorang ibu.”

      Reaksi dari ibu-ibu yang frustrasi ini tidak selalu dapat dipahami, bahkan oleh wanita-wanita lain. Seorang wanita yang kehilangan anaknya karena keguguran menulis, “Apa yang telah saya pelajari dengan cara yang paling menyakitkan adalah bahwa sebelum hal ini menimpa saya, saya sama sekali tidak mengetahui apa yang teman-teman saya harus tanggung. Saya dahulu tidak dapat merasakan dan tidak mengetahui apa yang mereka alami, persis seperti sikap yang sekarang saya terima dari orang-orang.”

      Sepasang suami istri berpelukan karena berduka

      Problem lain bagi ibu yang sedang berduka cita adalah perasaan bahwa suaminya tidak merasakan kehilangan yang sama seperti yang ia alami. Seorang istri menyatakannya seperti ini, “Saya sangat kecewa terhadap suami saya saat itu. Menurut anggapan dia, saya sama sekali tidak hamil. Ia tidak merasakan duka cita yang saya alami. Ia benar-benar penuh simpati terhadap kekhawatiran saya, tetapi tidak terhadap duka cita saya.”

      Reaksi ini barangkali wajar bagi seorang suami—ia tidak mengalami ikatan fisik dan emosi yang sama dengan sang janin dibandingkan istrinya yang mengandung. Akan tetapi, ia juga mengalami kehilangan. Dan penting bagi suami dan istri untuk menyadari bahwa mereka menderita bersama-sama, meskipun dalam cara-cara yang berbeda. Mereka hendaknya berbagi duka cita. Jika sang suami menyembunyikannya, istrinya bisa jadi menganggap ia tidak berperasaan. Maka, berbagilah dalam mencucurkan air mata, pemikiran, dan rangkulan. Perlihatkan bahwa Anda saling membutuhkan satu sama lain seperti yang belum pernah sebelumnya. Ya, para suami, perlihatkanlah empati Anda.

  • Apakah Normal untuk Merasa seperti Ini?
    Bila Seseorang yang Anda Kasihi Meninggal
    • Sindroma Kematian Anak Mendadak—Menghadapi Duka Cita Tersebut

      Kematian yang mendadak dari seorang bayi merupakan tragedi yang menyedihkan. Suatu hari seorang bayi yang tampak normal dan sehat tidak bangun lagi. Ini sama sekali tidak diharapkan, karena siapa yang membayangkan bahwa seorang bayi atau anak akan mati sebelum orang-tuanya? Seorang bayi yang menjadi pusat kasih seorang ibu yang tak terhingga tiba-tiba menjadi pusat duka citanya yang tak terhingga.

      Perasaan bersalah mulai meluap-luap. Orang-tua mungkin merasa bertanggung jawab atas kematian ini, seolah-olah ini disebabkan karena kelalaian tertentu. Mereka menanyakan diri mereka, ‘Apa yang dapat kami lakukan untuk mencegahnya?’b Dalam beberapa kasus, sang suami, tanpa dasar, mungkin bahkan tanpa disadari mempersalahkan istrinya. Sewaktu ia pergi bekerja, sang bayi masih hidup dan sehat. Sewaktu ia tiba di rumah, bayinya telah meninggal dalam tempat tidurnya! Apa yang dilakukan istrinya? Di mana dia pada saat itu? Pertanyaan-pertanyaan yang menjengkelkan ini harus dijernihkan sehingga tidak menimbulkan ketegangan dalam perkawinan.

      Keadaan-keadaan yang tak terduga dan tak dapat diramalkan menyebabkan terjadinya tragedi tersebut. Alkitab berkata, “Aku melihat di bawah matahari bahwa kemenangan perlombaan bukan untuk yang cepat, dan keunggulan perjuangan bukan untuk yang kuat, juga roti bukan untuk yang berhikmat, kekayaan bukan untuk yang cerdas, dan karunia bukan untuk yang cerdik cendekia, karena waktu dan nasib dialami mereka semua [“saat dan kejadian yang tak terduga menimpa mereka semua”, “NW”].”—Pengkhotbah 9:11.

      Bagaimana orang-orang lain dapat membantu sewaktu suatu keluarga kehilangan bayi? Seorang ibu yang berkabung menanggapi, “Seorang teman datang dan membersihkan rumah tanpa saya harus mengucapkan apa-apa. Yang lain-lain mempersiapkan makanan bagi kami. Beberapa cukup membantu dengan memeluk saya—tanpa sepatah kata, hanya memeluk. Saya tidak mau membicarakannya. Saya tidak mau berulang kali menjelaskan apa yang terjadi. Saya tidak membutuhkan pertanyaan-pertanyaan yang menyelidik, seolah-olah saya telah gagal melakukan sesuatu. Saya adalah ibunya; saya pasti akan berbuat sebisa mungkin untuk menyelamatkan bayi saya.

  • Bagaimana Saya Dapat Mengatasi Duka Cita Saya?
    Bila Seseorang yang Anda Kasihi Meninggal
    • Bagaimana Saya Dapat Mengatasi Duka Cita Saya?

      ”SAYA merasa sangat sulit untuk menekan perasaan saya,” tutur Mike sewaktu mengenang kematian ayahnya. Bagi Mike, menekan duka citanya merupakan tindakan yang jantan. Namun belakangan ia menyadari bahwa ia keliru. Maka, sewaktu sahabat Mike kehilangan kakeknya, Mike tahu apa yang harus diperbuat. Ia berkata, ”Beberapa tahun yang lalu, saya pasti akan menepuk bahunya dan berkata, ’Bersikaplah sebagai laki-laki.’ Namun kini saya menggenggam tangannya dan berkata, ’Rasakan apa saja yang kau harus rasakan. Itu akan membantumu mengatasinya. Jika kau mau ditinggalkan sendirian, saya akan pergi. Jika kau mau ditemani, saya akan tinggal. Tapi jangan takut merasakannya.’”

      MaryAnne juga merasa sangat sulit untuk menekan perasaannya sewaktu suaminya meninggal. ”Saya berjuang untuk menjadi contoh yang baik bagi orang-orang lain,” kenangnya, ”sehingga saya tidak memperbolehkan diri saya mengalami perasaan yang normal. Namun pada akhirnya saya belajar bahwa berupaya menjadi tiang yang kuat bagi orang-orang lain tidak membantu saya. Saya mulai menganalisis keadaan saya dan berkata, ’Menangislah jika kau harus menangis. Jangan berupaya untuk terlalu tegar. Keluarkan semua perasaanmu.’”

      Jadi, Mike maupun MaryAnne menganjurkan: Biarkanlah diri Anda berduka cita! Dan mereka benar. Mengapa? Karena berduka cita merupakan pengungkapan emosi yang dibutuhkan. Mengungkapkan perasaan Anda dapat meringankan tekanan yang membebani Anda. Pernyataan emosi yang wajar, jika disertai dengan pemahaman dan keterangan yang saksama, memungkinkan Anda menaruh perasaan Anda dalam perspektif yang sepatutnya.

      Tentu saja, tidak semua orang menyatakan duka cita dengan cara yang sama. Dan faktor-faktor seperti apakah orang yang dikasihi meninggal secara tiba-tiba atau meninggal setelah lama sakit dapat berpengaruh atas reaksi emosi dari orang-orang yang ditinggalkan. Namun satu hal tampak pasti: Memendam perasaan Anda dapat berbahaya secara fisik maupun emosi. Jauh lebih sehat untuk mengungkapkan duka cita Anda. Bagaimana? Alkitab memuat beberapa saran praktis.

      Mengungkapkan Duka Cita—Bagaimana?

      Berbicara dapat menjadi pengungkapan yang berguna. Setelah kematian dari kesepuluh anaknya, selain beberapa tragedi pribadi lain, patriark zaman dahulu, Ayub, berkata, ”Aku telah bosan hidup, aku hendak melampiaskan [bahasa Ibrani, ”melepaskan”] keluhanku, aku hendak berbicara dalam kepahitan jiwaku!” (Ayub 1:2, 18, 19; 10:1) Ayub tidak dapat lagi menahan kekhawatirannya. Ia perlu membiarkannya lepas; ia harus ”berbicara”. Demikian pula, dramatikus Inggris, Shakespeare, menulis dalam Macbeth, ”Nyatakan kesedihan dengan kata-kata; duka cita yang terpendam dapat secara senyap membuat diri kewalahan.”

      Jadi mengutarakan perasaan Anda kepada seorang ”sahabat” yang akan mendengarkan dengan sabar dan penuh simpati dapat memberikan sejumlah kelegaan. (Amsal 17:17) Mengutarakan pengalaman dan perasaan dalam kata-kata sering membuatnya lebih mudah untuk memahami dan mengatasi kedua hal tersebut. Dan jika sang pendengar adalah seorang yang juga sedang berkabung yang telah dengan efektif mengatasi perasaan kehilangannya sendiri, Anda mungkin dapat memperoleh beberapa saran praktis berkenaan bagaimana Anda dapat mengatasinya. Sewaktu anaknya meninggal, seorang ibu menjelaskan mengapa sangat membantu untuk berbicara kepada wanita lain yang juga pernah menghadapi kehilangan yang serupa, ”Mengetahui bahwa orang lain telah mengalami hal yang sama, telah pulih kembali dengan waras, dan bahwa ia masih bertahan dan kehidupannya mengalami keadaan yang bisa dikatakan kembali normal benar-benar menguatkan saya.”

      Seorang ibu yang berduka menuliskan perasaannya

      Contoh-contoh Alkitab memperlihatkan bahwa menulis perasaan Anda dapat membantu Anda untuk menyatakan duka cita

      Bagaimana jika Anda tidak merasa leluasa untuk membicarakan perasaan Anda? Setelah kematian Saul dan Yonatan, Daud menggubah sebuah nyanyian ratapan yang sangat emosional yang ke dalamnya ia mencurahkan duka citanya. Gubahan yang sarat dengan ratapan ini akhirnya menjadi bagian dari catatan tertulis buku Dua Samuel dalam Alkitab. (2 Samuel 1:17-27; 2 Tawarikh 35:25) Demikian pula, banyak yang mengalami bahwa lebih mudah menyatakan diri mereka dengan menulis. Seorang janda menceritakan bahwa ia menulis perasaannya dan beberapa hari kemudian membaca apa yang ia tulis. Ia mendapati hal ini suatu pengungkapan yang berguna.

      Tidak soal dengan berbicara atau menulis, mengkomunikasikan perasaan Anda dapat membantu Anda mengungkapkan duka cita Anda. Ini juga dapat membantu untuk menjernihkan kesalahpahaman. Seorang ibu yang berkabung menjelaskan, ”Suami saya dan saya mendengar tentang pasangan suami-istri yang bercerai setelah kehilangan seorang anak, dan kami tidak mau hal itu terjadi atas diri kami. Maka kapan saja kami merasa marah, ingin saling mempersalahkan, kami akan mendiskusikannya. Saya rasa kami benar-benar menjadi lebih dekat satu sama lain dengan melakukan hal itu.” Maka, menyatakan perasaan Anda dapat membantu Anda memahami bahwa meskipun Anda mungkin merasakan kehilangan yang sama, orang-orang lain dapat berduka cita dengan cara berbeda—dengan langkah mereka sendiri dan pada jalan mereka sendiri.

      Hal lain yang dapat memudahkan pengungkapan duka cita adalah menangis. Ada ”waktu untuk menangis”, kata Alkitab. (Pengkhotbah 3:1, 4) Tentu saja, kematian dari seseorang yang kita kasihi mendatangkan waktu demikian. Mencucurkan air mata duka cita tampaknya merupakan bagian yang perlu dari proses pemulihan.

      Seorang wanita muda menjelaskan bagaimana seorang sahabat karib membantunya menghadapi keadaan sewaktu ibunya meninggal. Ia mengenang, ”Sahabat saya selalu siap membantu saya. Ia menangis bersama saya. Ia berbicara bersama saya. Saya dapat sangat berterus terang dengan perasaan saya, dan hal itu yang penting bagi saya. Saya tidak perlu malu untuk menangis.” (Lihat Roma 12:15.) Anda hendaknya juga jangan merasa malu mencucurkan air mata. Seperti yang telah kita lihat, Alkitab memuat contoh dari pria-pria dan wanita-wanita yang beriman—termasuk Yesus Kristus—yang terang-terangan mencucurkan air mata duka cita dan tidak tampak merasa malu.—Kejadian 50:3; 2 Samuel 1:11, 12; Yohanes 11:33, 35.

      Orang-orang yang berkabung saling menghibur

      Dalam setiap kebudayaan, orang-orang yang berduka cita senang menerima penghiburan

      Anda mungkin mendapati bahwa untuk beberapa waktu emosi Anda sedikit tidak dapat diduga. Air mata mungkin mengalir tanpa tanda-tanda sebelumnya. Seorang janda mendapati bahwa berbelanja di pasar swalayan (sesuatu yang sering ia lakukan bersama suaminya) dapat membuatnya menangis, khususnya jika, karena terbiasa, ia mengambil makanan yang adalah kesukaan suaminya. Bersabarlah terhadap diri Anda sendiri. Dan jangan merasa bahwa Anda harus menahan air mata. Ingat, menangis merupakan bagian yang wajar dan perlu dari berduka cita.

      Mengatasi Rasa Bersalah

      Seperti disebutkan sebelumnya, beberapa orang memiliki rasa bersalah setelah kehilangan seseorang yang dikasihi. Ini dapat membantu untuk menjelaskan duka cita yang sangat parah dari Yakub yang setia sewaktu ia dikelabui sehingga percaya bahwa putranya, Yusuf telah terbunuh oleh ”binatang buas”. Yakub sendiri yang mengutus Yusuf untuk memastikan keselamatan saudara-saudaranya. Maka Yakub boleh jadi ditimpa perasaan bersalah, seperti ’Mengapa saya menyuruh Yusuf pergi seorang diri? Mengapa saya menyuruhnya pergi ke daerah yang penuh dengan binatang buas?’—Kejadian 37:33-35.

      Barangkali Anda merasa bahwa ada kelalaian di pihak Anda yang berpengaruh atas kematian seseorang yang Anda kasihi. Menyadari rasa bersalah tersebut—yang nyata atau hanya khayalan—merupakan reaksi duka cita yang normal yang dapat berguna. Dalam hal ini juga, jangan merasa bahwa Anda harus memendam perasaan-perasaan itu dalam diri Anda. Mengutarakan betapa Anda merasa bersalah dapat menyediakan banyak kelegaan yang dibutuhkan.

      Namun, sadarilah bahwa tidak soal seberapa dalam kasih kita kepada orang lain, kita tidak dapat mengendalikan kehidupannya, kita juga tidak dapat mencegah ”saat dan kejadian yang tak terduga” agar tidak menimpa orang-orang yang kita kasihi. (Pengkhotbah 9:11, NW) Lagi pula, tidak diragukan bahwa motivasi Anda tidak buruk. Misalnya, dengan tidak membuat janji dengan dokter lebih awal, apakah Anda berniat agar orang yang Anda kasihi menjadi sakit atau mati? Tentu saja tidak! Maka apakah Anda benar-benar bersalah karena menyebabkan kematian orang tersebut? Tidak.

      Seorang ibu belajar untuk mengatasi rasa bersalah setelah putrinya tewas dalam sebuah kecelakaan mobil. Ia menjelaskan, ”Saya merasa bersalah karena telah menyuruhnya pergi. Namun saya mulai sadar bahwa tidak masuk akal untuk merasa demikian. Tidak ada yang salah dengan menyuruh dia dan ayahnya melakukan suatu tugas. Itu hanyalah kecelakaan yang tragis.”

      Anda mungkin berkata, ’Ada banyak hal yang saya sesali tidak saya katakan atau lakukan.’ Memang, tetapi siapa di antara kita yang dapat berkata bahwa kita telah menjadi ayah, ibu, atau anak yang sempurna? Alkitab memperingatkan kita, ”Kita semua bersalah dalam banyak hal; barangsiapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang sempurna.” (Yakobus 3:2; Roma 5:12) Maka, terimalah fakta bahwa Anda tidak sempurna. Terus memikirkan segala macam ”seandainya saja” tidak akan mengubah apa pun, justru akan memperlambat kesembuhan Anda.

      Jika Anda memiliki alasan yang kuat untuk percaya bahwa rasa bersalah Anda nyata, bukan khayalan, maka pertimbangkan faktor yang paling penting dari segalanya dalam menyembuhkan rasa bersalah—pengampunan Allah. Alkitab meyakinkan kita, ”Jika Engkau, ya [Yehuwa], mengingat-ingat kesalahan-kesalahan, Tuhan, siapakah yang dapat tahan? Tetapi pada-Mu ada pengampunan.” (Mazmur 130:3, 4) Anda tidak dapat kembali ke masa lalu dan mengubah segala sesuatunya. Namun, Anda dapat memohon pengampunan Allah atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan dahulu. Lalu bagaimana? Nah, jika Allah berjanji untuk mengampuni kesalahan-kesalahan Anda yang lewat, bukankah Anda hendaknya mengampuni diri sendiri?—Amsal 28:13; 1 Yohanes 1:9.

      Mengatasi Kemarahan

      Apakah Anda juga merasa sedikit marah, barangkali kepada para dokter, juru rawat, teman-teman, atau bahkan kepada orang yang meninggal? Sadarilah bahwa hal ini juga merupakan reaksi yang lazim atas kehilangan. Barangkali kemarahan Anda merupakan akibat wajar yang timbul dari perasaan terluka yang Anda rasakan. Seorang penulis berkata, ”Hanya dengan menyadari kemarahan itu—tidak bertindak menuruti kemarahan tetapi mengetahui bahwa Anda merasakannya—Anda dapat bebas dari pengaruhnya yang merusak.”

      Yang juga dapat membantu adalah jika Anda menyatakan atau berbagi kemarahan. Bagaimana? Tentu saja bukan dalam luapan kemarahan yang tidak terkendali. Alkitab memperingatkan kita bahwa kemarahan yang berlarut-larut sangat berbahaya. (Amsal 14:29, 30) Tetapi Anda dapat memperoleh penghiburan dengan membicarakannya dengan seorang teman yang penuh pengertian. Dan ada yang mengalami bahwa gerak badan yang penuh semangat merupakan pengungkapan yang berguna bila mereka marah.—Lihat juga Efesus 4:25, 26.

      Meskipun sangat penting bersikap terus terang dan jujur berkenaan perasaan-perasaan Anda, ada yang perlu diingat. Terdapat perbedaan besar antara menyatakan perasaan Anda dan menumpahkannya atas diri orang-orang lain. Tidak perlu menyalahkan orang-orang lain karena kemarahan dan frustrasi Anda. Maka berhati-hatilah dalam mengutarakan perasaan-perasaan Anda, jangan dengan cara-cara yang kasar. (Amsal 18:21) Ada sebuah bantuan yang utama dalam mengatasi duka cita, dan kita sekarang akan membahasnya.

      Bantuan dari Allah

      Alkitab meyakinkan kita, ”[Yehuwa] itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.” (Mazmur 34:18) Ya, di atas segalanya, hubungan dengan Allah dapat membantu Anda mengatasi kematian dari seseorang yang Anda kasihi. Bagaimana? Semua saran praktis yang ditawarkan sejauh ini didasarkan atas atau selaras dengan Firman Allah, Alkitab. Menerapkannya dapat membantu Anda mengatasinya.

      Tambahan pula, jangan menganggap rendah nilai dari doa. Alkitab mendesak kita, ”Serahkanlah kuatirmu kepada [Yehuwa], maka Ia akan memelihara engkau.” (Mazmur 55:23) Jika mengutarakan perasaan-perasaan Anda kepada teman yang penuh simpati dapat membantu, betapa jauh lebih membantu bila Anda mencurahkan hati Anda kepada ”Allah sumber segala penghiburan”!—2 Korintus 1:3.

      Bukan doa itu sendiri yang membuat kita merasa lebih baik. Sang ’Pendengar doa’ berjanji untuk memberikan roh kudus-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang dengan tulus meminta hal tersebut. (Mazmur 65:3; Lukas 11:13) Dan roh kudus Allah, atau tenaga aktif, dapat memperlengkapi Anda dengan ”kekuatan yang melimpah-limpah” untuk bertahan dari hari ke hari. (2 Korintus 4:7) Ingatlah: Allah dapat membantu hamba-hamba-Nya yang setia untuk menanggung setiap dan semua problem yang mungkin mereka hadapi.

      Seorang wanita yang kehilangan anaknya mengenang bagaimana kuasa doa membantu dia dan suaminya melewati kesedihan mereka. ”Jika kami berdua berada di rumah pada malam hari dan rasa duka cita menjadi tak tertanggungkan lagi, kami akan berdoa bersama dengan suara keras,” ia menjelaskan. ”Saat pertama kami harus melakukan segala sesuatu tanpa anak kami—perhimpunan pertama yang kami ikuti, kebaktian pertama yang kami hadiri—kami akan berdoa memohon kekuatan. Sewaktu kami bangun di pagi hari dan kenyataan dari hal itu tampak tak dapat dipikul lagi, kami akan berdoa kepada Yehuwa untuk membantu kami. Karena beberapa alasan, sangat menimbulkan trauma bagi saya untuk berjalan di dalam rumah seorang diri. Jadi setiap kali saya pulang ke rumah sendirian, saya akan memanjatkan doa kepada Yehuwa memohon agar membantu saya mempertahankan sedikit ketenangan.” Wanita yang setia ini dengan teguh dan benar yakin bahwa doa-doa tersebut sangat membantu. Anda juga mungkin mendapati bahwa, sebagai tanggapan atas doa-doa Anda yang terus-menerus, ’damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu’.—Filipi 4:6, 7; Roma 12:12.

      Bantuan yang Allah sediakan jelas sangat berguna. Paulus rasul Kristen mengatakan bahwa Allah ”menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan”. Memang, bantuan ilahi tidak melenyapkan rasa sakit, namun ini dapat membuatnya lebih mudah ditanggung. Hal ini tidak berarti bahwa Anda tidak akan menangis lagi atau akan melupakan orang yang Anda kasihi. Namun Anda dapat pulih. Dan seraya Anda pulih, apa yang telah Anda alami dapat membuat Anda lebih penuh pengertian dan simpatik dalam membantu orang-orang lain mengatasi rasa kehilangan yang serupa.—2 Korintus 1:4.

      Pertanyaan untuk Direnungkan

      • Mengapa penting untuk membiarkan diri Anda berduka cita?

      • Bagaimana Anda dapat mengungkapkan duka cita Anda?

      • Bagaimana Alkitab dapat membantu Anda mengatasi perasaan bersalah dan marah?

      • Dalam cara apa hubungan dengan Allah membantu Anda mengatasi kematian dari orang yang dikasihi?

      • Apa beberapa saran praktis untuk mengatasi duka cita?

      Beberapa Saran Praktis

      Bersandar kepada teman-teman: Jangan ragu-ragu untuk membiarkan orang-orang lain membantu jika mereka menawarkannya dan Anda dapat benar-benar memanfaatkan beberapa bantuan. Maklumilah bahwa itu mungkin cara mereka untuk memperlihatkan kepada Anda apa yang mereka rasakan; barangkali mereka tidak dapat menemukan kata-kata yang tepat.—Amsal 18:24.

      Jaga kesehatan Anda: Duka cita dapat melelahkan Anda, khususnya pada masa-masa permulaan. Tubuh Anda membutuhkan istirahat yang cukup, olahraga yang menyehatkan, dan gizi yang sepatutnya lebih daripada sebelumnya. Pemeriksaan diri yang teratur oleh dokter keluarga Anda mungkin diperlukan.

      Tunda keputusan-keputusan penting: Jika mungkin, tunggu setidak-tidaknya beberapa saat sampai Anda berpikir lebih jernih sebelum Anda memutuskan hal-hal seperti apakah perlu menjual rumah atau mengganti pekerjaan Anda. (Amsal 21:5) Seorang janda mengenang bahwa beberapa hari setelah suaminya meninggal, ia memberikan banyak barang milik pribadi sang suami. Belakangan, ia menyadari bahwa ia telah memberikan banyak kenang-kenangan yang ia sayangi.

      Sabarlah terhadap diri Anda: Duka cita sering kali berlangsung lebih lama daripada yang disadari kebanyakan orang. Beberapa hal yang terjadi setiap tahun yang mengingatkan kembali kepada orang yang dikasihi dapat membuka luka lama. Gambar-gambar, lagu-lagu khusus, atau bahkan aroma dapat menyebabkan seseorang menangis. Sebuah studi ilmiah mengenai perkabungan menjelaskan proses duka cita sebagai berikut, “Orang yang berduka cita mungkin berubah-ubah secara dramatis dan cepat dari suatu keadaan perasaan ke keadaan lain, dan pengelakan akan hal-hal yang mengingatkan kepada orang yang meninggal mungkin berganti menjadi perkembangan yang sengaja dari kenangan untuk suatu periode waktu.” Tetaplah ingat janji-janji Yehuwa yang bernilai dalam pikiran.—Filipi 4:8, 9.

      Maklumi orang-orang lain: Berupayalah sabar terhadap orang-orang lain. Maklumilah bahwa mereka merasa canggung. Karena tidak tahu apa yang harus dikatakan, mereka mungkin secara teledor mengatakan hal yang salah.—Kolose 3:12, 13.

      Berhati-hati dalam menggunakan obat-obat atau alkohol untuk mengatasi duka cita Anda: Kelegaan apa pun yang diberikan oleh obat-obat atau alkohol hanya baik untuk sementara. Obat-obat hendaknya diminum hanya di bawah pengawasan dokter. Namun waspadalah:banyak zat mengakibatkan kecanduan. Tambahan pula, hal ini dapat menunda proses berduka cita. Seorang patolog memperingatkan, “Tragedinya harus ditanggung, diderita dan pada akhirnya dirasionalisasi dan terlalu menunda hal ini dengan membius [orang] itu dengan obat-obat dapat memperpanjang atau merusak proses ini.” Kelegaan yang bertahan akan datang dengan merenungkan maksud-tujuan yang agung dari Yehuwa.—Mazmur 1:2; 119:97.

      Kembali ke rutinitas yang biasa: Pertama-tama, Anda mungkin perlu memaksakan diri untuk pergi bekerja, berbelanja, atau untuk mengerjakan berbagai tanggung jawab lain. Tetapi Anda akan mendapati bahwa struktur dari rutinitas Anda yang normal akan sangat bermanfaat bagi Anda. Tetaplah sibuk dalam pekerjaan Kristen.—Bandingkan 1 Korintus 15:58.

      Jangan takut untuk mengakhiri duka cita yang akut: Meski tampak aneh, beberapa orang yang berkabung takut untuk mengakhiri duka cita yang dalam, karena percaya bahwa hal ini dapat memperlihatkan bahwa kasih mereka kepada orang yang meninggal telah berkurang. Sama sekali tidak demikian halnya. Mengakhiri rasa sakit membuka jalan kepada kenangan-kenangan yang berharga yang tak diragukan akan selalu bersama Anda.—Pengkhotbah 3:1, 4.

      Jangan terlalu khawatir: Anda mungkin sangat khawatir, ‘Apa yang akan terjadi dengan saya sekarang?’ Alkitab menasihatkan untuk hidup dari hari ke hari. ”Hidup dari hari ke hari sebaliknya dari terlalu khawatir akan masa depan benar-benar membantu saya,” kata seorang janda menjelaskan. Yesus berkata kepada murid-muridnya, “Janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri.”—Matius 6:25-34.

Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
Log Out
Log In
  • Indonesia
  • Bagikan
  • Pengaturan
  • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
  • Syarat Penggunaan
  • Kebijakan Privasi
  • Pengaturan Privasi
  • JW.ORG
  • Log In
Bagikan