-
Kebencian—Suatu Epidemi GlobalSedarlah!—2001 | 8 Agustus
-
-
Kebencian—Suatu Epidemi Global
ADA monster yang sedang berkeliaran—monster yang bernama kebencian. Dan, ia merajalela di seputar bola bumi.
Di Balkan, sebuah provinsi sedang terhuyung-huyung akibat gelombang-gelombang kampanye sapu bersih etnik yang dilancarkan baru-baru ini. Permusuhan selama berabad-abad mengakibatkan pembantaian massal, pemerkosaan, pengusiran, pembakaran dan penjarahan rumah-rumah, perusakan panenan dan ternak, serta kelaparan. Ranjau darat masih terdapat di mana-mana.
Di Timor Timur, Asia Tenggara, 700.000 orang harus melarikan diri dalam ketakutan, menghindari kekejaman pembunuhan, pemukulan, desingan peluru, dan pengusiran paksa. Mereka meninggalkan daerah yang sudah diubrak-abrik oleh gerombolan milisi. ”Saya merasa seperti binatang yang sedang diburu,” keluh seorang korban.
Di Moskwa, sebuah bangunan apartemen diporakporandakan ledakan bom teroris yang dahsyat. Sembilan puluh empat orang yang tidak bersalah—termasuk anak-anak—tewas dan mayat mereka berserakan akibat ledakan tersebut. Lebih dari 150 orang mengalami cedera. Melihat dampak lanjutan dari kengerian seperti itu, orang-orang bertanya, ’Siapa yang akan menjadi korban berikutnya?’
Di Los Angeles, Kalifornia, seorang rasialis memberondongkan peluru ke arah sekelompok anak TK berkebangsaan Yahudi lalu menembak mati seorang tukang pos berkebangsaan Filipina.
Sangatlah tepat bila kebencian digambarkan sebagai epidemi global. Hampir setiap hari, laporan berita mengungkapkan aksi-aksi kekerasan yang terjadi akibat permusuhan rasial, etnik, atau agama. Kita menyaksikan bangsa-bangsa, kelompok-kelompok masyarakat, dan keluarga diceraiberaikan. Kita menyaksikan negara-negara kacau karena genosida besar-besaran. Kita menyaksikan dilakukannya tindakan-tindakan tidak manusiawi yang sangat mengerikan hanya karena beberapa orang dianggap ”berbeda”.
Jika kita ingin mengurung si monster bernama kebencian tersebut, kita harus memahami asal mula kekerasan yang penuh kebencian itu. Apakah kebencian adalah pembawaan genetika manusia? Apakah kebencian suatu perilaku yang dipelajari? Apakah mungkin untuk menghentikan siklus kebencian?
[Keterangan Gambar di hlm. 3]
Kemal Jufri/Sipa Press
-
-
Akar KebencianSedarlah!—2001 | 8 Agustus
-
-
Akar Kebencian
KEBENCIAN muncul pada awal sejarah manusia. Catatan Alkitab di Kejadian 4:8 mengatakan, ”Pada waktu mereka berada di padang, Kain kemudian menyerang Habel, saudaranya, dan membunuhnya.” ”Dan mengapa ia membunuh saudaranya?” tanya penulis Alkitab, Yohanes. ”Karena perbuatannya sendiri fasik, tetapi perbuatan saudaranya adil-benar.” (1 Yohanes 3:12) Habel telah menjadi korban salah satu penyebab kebencian yang paling umum: kecemburuan. ”Kemurkaan seorang laki-laki adalah kecemburuan,” kata Amsal 6:34. Dewasa ini, kecemburuan atas hal-hal seperti status sosial, kekayaan, sumber daya, dan kelebihan-kelebihan lainnya terus membuat orang-orang saling bermusuhan.
Kurangnya Pengetahuan dan Perasaan Takut
Namun, kecemburuan hanyalah salah satu di antara banyak penyebab kebencian. Sering kali, kebencian juga dipicu oleh kurangnya pengetahuan dan perasaan takut. ”Sebelum saya belajar membenci, saya belajar merasa takut,” kata seorang pemuda anggota sebuah kelompok rasialis yang garang. Perasaan takut demikian biasanya bermula dari kurangnya pengetahuan. Menurut The World Book Encyclopedia, orang yang berprasangka cenderung mempunyai pendapat yang ”tetap dipertahankan tanpa memedulikan bukti yang ada. . . . Orang-orang yang berprasangka cenderung memutarbalikkan, menyimpangkan, menyalahartikan, atau bahkan mengabaikan fakta-fakta yang bertentangan dengan pendapat yang sudah mereka tetapkan”.
Dari mana datangnya pendapat ini? Sebuah pelayanan informasi internet mengatakan, ”Sejarah turut menentukan stereotip budaya, tetapi riwayat pribadi kita turut menentukan kecenderungan pikiran kita.”
Sebagai contoh, sejarah jual-beli budak di Amerika Serikat telah meninggalkan ketegangan yang turun-temurun antara orang kulit putih dan orang kulit hitam berdarah Afrika—ketegangan yang terus ada sampai hari ini. Sering kali, pandangan-pandangan rasialis yang negatif diturunkan dari orang tua kepada anak-anak mereka. Seorang pendukung rasialisme berkulit putih mengakui bahwa dengan cara demikianlah kebencian rasial dalam dirinya bertumbuh, padahal ”tidak ada kontak langsung apa pun dengan orang-orang berkulit hitam”.
Selain itu, ada pula yang percaya begitu saja bahwa orang-orang yang berbeda dengan mereka itu memuakkan. Pendapat ini mungkin didasarkan pada sebuah pengalaman pribadi yang kurang menyenangkan ketika berurusan dengan seseorang yang berasal dari ras atau kebudayaan lain. Dari pengalaman itu, mereka langsung menarik kesimpulan bahwa semua orang dari ras atau kebudayaan tersebut pastilah berperangai buruk.
Dalam skala perorangan saja, prasangka ras sudah dapat dikatakan memuakkan, terlebih lagi dalam skala nasional atau kelompok, prasangka bisa berakibat fatal. Anggapan bahwa kebangsaan, warna kulit, kebudayaan, atau bahasa membuat seseorang lebih unggul daripada orang lain dapat menumbuhkan fanatisme dan xenofobia (perasaan takut terhadap siapa pun atau apa pun yang asing). Selama abad ke-20, fanatisme seperti itu sering diekspresikan dalam bentuk kekerasan.
Yang menarik, kebencian dan fanatisme tidak selalu harus berkaitan dengan warna kulit atau kebangsaan. Peneliti Clark McCauley dari Universitas Pennsylvania menulis bahwa ”pembagian orang-orang ke dalam dua kelompok saja, yang dilakukan dengan cara semaunya dan tidak berdasarkan kriteria tertentu, sudah cukup untuk membuat kedua kelompok itu mempunyai pilihan yang berbeda”. Seorang guru kelas tiga membuktikan hal tersebut sewaktu ia, sebagai bagian dari sebuah eksperimen yang terkenal, membagi kelasnya menjadi dua kelompok—anak-anak bermata biru dan anak-anak bermata cokelat. Dalam waktu singkat, telah berkembang rasa permusuhan antara kedua kelompok tersebut. Bahkan, orang-orang dapat saling bentrok dengan sengitnya hanya karena hal yang sepele seperti mendukung tim yang berbeda dalam olahraga tertentu.
Mengapa Ada Begitu Banyak Kekerasan?
Namun, mengapa permusuhan seperti itu dinyatakan dengan cara-cara kekerasan? Para peneliti telah mengkaji dengan cermat duduk persoalannya, itu pun mereka hanya dapat mengemukakan teori-teorinya saja. Clark McCauley mengumpulkan bibliografi yang ekstensif tentang riset yang dilakukan sehubungan dengan kekerasan dan keagresifan manusia. Ia menyebutkan salah satu penelitian yang menunjukkan bahwa ”kekerasan dikaitkan dengan keterlibatan dan kemenangan dalam peperangan”. Para peneliti mendapati bahwa ”bangsa-bangsa yang terlibat dalam PD I dan PD II, terutama bangsa-bangsa pihak pemenang, mencatat peningkatan angka pembunuhan setelah perang usai”. Menurut Alkitab, kita hidup dalam era peperangan. (Matius 24:6) Dapatkah peperangan itu dengan satu atau lain cara juga menyebabkan timbulnya bentuk-bentuk kekerasan lain?
Para peneliti lain berupaya mencari penjelasan biologis untuk keagresifan manusia. Sebuah penelitian mencoba menghubungkan beberapa bentuk keagresifan dengan ”kadar serotonin yang rendah dalam otak”. Hipotesis populer lain mengatakan bahwa keagresifan mengintai di dalam gen kita. ”Sebagian besar [kebencian] mungkin saja bersifat bawaan,” demikian pendapat seorang ilmuwan politik.
Alkitab sendiri mengatakan bahwa manusia yang tidak sempurna terlahir dengan perangai yang buruk dan berbagai cacat. (Kejadian 6:5; Ulangan 32:5) Tentu saja, kata-kata itu berlaku bagi seluruh umat manusia. Akan tetapi, tidak semua orang memiliki kebencian yang tidak masuk akal terhadap orang lain. Hal itu mesti dipelajari. Oleh karena itu, psikolog terkenal Gordon W. Allport mengamati bahwa bayi memberikan ”sedikit . . . bukti tentang adanya naluri destruktif. . . . Bayi bersikap positif, mendekat ke hampir setiap jenis stimulus, segala macam orang”. Kesimpulan-kesimpulan seperti itu mendukung pendapat bahwa keagresifan, prasangka, dan kebencian adalah perilaku yang dipelajari! Kesanggupan manusia yang mencolok untuk belajar membenci dieksploitasi secara agresif oleh guru-guru kebencian.
Meracuni Pikiran
Di garis depan terdapat para pemimpin berbagai kelompok pendukung kebencian, seperti preman neo-Nazi dan Ku Klux Klan. Kelompok-kelompok ini sering mengincar anak-anak muda lugu dari keluarga yang tidak berfungsi secara normal untuk direkrut. Anak-anak muda yang menderita perasaan tidak aman dan rendah diri mungkin tertarik oleh keakraban yang ditawarkan kelompok-kelompok pendukung kebencian ini.
Jaringan Internet Dunia merupakan alat ampuh yang digunakan beberapa orang untuk menggalang kebencian. Menurut perhitungan belum lama ini, mungkin sudah ada 1.000 situs Web penghasut kebencian di Internet. Majalah The Economist mengutip pemilik salah satu situs Web tersebut ketika ia dengan bangga mengatakan, ”Internet memberi kami kesempatan untuk mengemukakan gagasan kami kepada ratusan ribu orang.” Situs Web-nya mencakup ”Halaman untuk Anak-Anak”.
Sewaktu kaum remaja berselancar di Internet untuk mencari musik, mereka bisa saja menemukan alamat situs-situs berisi musik yang mempromosikan kebencian. Musik seperti itu biasanya keras dan beringas, dan mempunyai lirik lagu yang mengungkapkan gagasan-gagasan rasialis yang kuat. Situs-situs Web ini selanjutnya menyediakan hubungan ke newsgroups, chat rooms, atau situs-situs Web lain yang mempromosikan kebencian.
Beberapa situs Web pendukung kebencian menyediakan bagian-bagian khusus berisi permainan dan kegiatan untuk anak-anak muda. Sebuah situs Web neo-Nazi mencoba menggunakan Alkitab untuk membenarkan rasialisme dan anti-Semitisme. Kelompok tersebut juga telah menciptakan halaman Web yang menyediakan teka-teki silang yang berisi komentar-komentar rasialis. Apa tujuannya? ”Untuk membantu kaum muda kulit putih memahami perjuangan kami.”
Namun, tidak semua promotor kebencian tergabung dalam kelompok ekstremis yang eksentrik. Seorang sosiolog yang menulis tentang konflik di Balkan belum lama ini mengatakan mengenai penulis-penulis tertentu yang bereputasi baik dan mengenai para penggagas, ”Saya benar-benar terkejut melihat gaya tulisan mereka yang menggelitik motif buruk rekan-rekan sebangsa mereka, membangkitkan rasa benci mereka, mengaburkan penilaian mereka dengan mendesak mereka untuk melihat tidak adanya larangan untuk perilaku apa pun . . . , dan menyalahgambarkan kenyataan.”
Hal yang juga tidak bisa diabaikan adalah peranan para pemimpin agama. Dalam bukunya Holy Hatred: Religious Conflicts of the ’90’s (Kebencian Suci: Konflik-Konflik Keagamaan Tahun ’90-an), penulis James A. Haught mengemukakan kesimpulan yang sangat mengejutkan, ”Hal yang sangat ironis pada tahun 1990-an adalah bahwa agama—yang seharusnya merupakan sumber kebaikan dan kepedulian bagi manusia—berada di barisan terdepan sebagai faktor utama penyebab kebencian, peperangan, dan terorisme.”
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penyebab kebencian itu banyak dan kompleks. Apakah ini berarti jalan buntu bagi umat manusia untuk menghentikan tindakan-tindakan bodoh dalam sejarahnya yang penuh kebencian? Adakah sesuatu yang dapat dilakukan secara perorangan maupun secara global dalam perjuangan mengatasi kesalahpahaman, kurangnya pengetahuan, dan rasa takut yang menghasilkan kebencian?
[Kutipan di hlm. 6]
Prasangka dan kebencian adalah perilaku yang dipelajari!
[Gambar di hlm. 4, 5]
Kita tidak dilahirkan membawa . . .
. . . kebencian dan fanatisme
[Gambar di hlm. 7]
Internet digunakan untuk merekrut kaum muda
[Gambar di hlm. 7]
Agama sering menjadi pemicu konflik
[Keterangan]
AP Photo
-
-
Menghentikan Siklus KebencianSedarlah!—2001 | 8 Agustus
-
-
Menghentikan Siklus Kebencian
”Kasihi musuh-musuhmu.”—MATIUS 5:44.
SELAMA berhari-hari, para pemimpin dua bangsa yang bermusuhan dengan giat mengadakan negosiasi perdamaian. Presiden sebuah negeri industri yang berkuasa hadir dalam pembicaraan-pembicaraan tersebut, menggunakan pengaruhnya yang kuat dan keterampilan diplomatiknya untuk mengupayakan tercapainya persetujuan antara kedua pemimpin bangsa tersebut. Namun, hasil akhir dari upaya-upaya yang sangat sulit ini ternyata lebih meresahkan lagi. Selang beberapa minggu, kedua bangsa tersebut terlibat dalam apa yang majalah Newsweek sebut sebagai ”kekerasan terburuk di antara mereka dalam kurun waktu dua dekade”.
Di seluruh dunia, kebencian dan permusuhan antar berbagai kelompok etnik dan bangsa tak kunjung padam, sekalipun para pemimpin bangsa telah mengerahkan upaya-upaya terbaik mereka. Siklus kebencian berputar semakin cepat dan kuat, didorong oleh kurangnya pengetahuan, fanatisme, dan propaganda. Namun, sementara para pemimpin bangsa dewasa ini tidak berhasil mencari-cari solusi yang baru dan inovatif, mereka tidak menyadari bahwa solusi yang terampuh sebenarnya sudah tersedia sejak dahulu—lama berselang, yakni Khotbah di Gunung. Dalam khotbah itu, Yesus Kristus mengimbau para pendengarnya untuk tunduk kepada cara-cara Allah. Dalam uraiannya, ia mengeluarkan pernyataan yang dikutip di atas: ”Kasihi musuh-musuhmu”. Anjuran itu bukan hanya merupakan solusi yang terbaik untuk mengatasi masalah kebencian dan prasangka melainkan juga satu-satunya solusi yang praktis!
Golongan skeptis menganggap gagasan mengasihi musuh sebagai sesuatu yang terlalu muluk dan tidak praktis. Akan tetapi, jika orang-orang bisa belajar untuk membenci, bukankah masuk akal untuk berasumsi bahwa mereka juga bisa belajar untuk tidak membenci? Dengan demikian, kata-kata Yesus memberikan harapan yang nyata kepada umat manusia. Kata-kata itu memperlihatkan kemungkinan untuk mengakhiri permusuhan yang bahkan sudah berurat-berakar.
Perhatikanlah situasi di kalangan para pendengar Yahudi pada zaman Yesus. Musuh-musuh tidak terlalu jauh dari mereka. Tentara Roma masih terus berkuasa di wilayah itu, menindas orang-orang Yahudi dengan pajak yang sangat tinggi, manipulasi politik, perlakuan sewenang-wenang, dan eksploitasi. (Matius 5:39-42) Namun, beberapa orang bahkan dapat memandang rekan sesama Yahudi mereka sebagai musuh karena telah terjadi perselisihan kecil yang tak terselesaikan dan dibiarkan berlarut-larut. (Matius 5:21-24) Dapatkah Yesus benar-benar mengharapkan para pendengarnya untuk mengasihi orang-orang yang telah menyebabkan penderitaan dan telah menyakiti hati mereka?
Arti ”Kasih”
Pertama-tama, pahamilah bahwa dengan menggunakan kata ”kasih”, Yesus tidak memaksudkan jenis kasih sayang yang ada di antara teman-teman dekat. Istilah Yunani untuk kasih yang digunakan di Matius 5:44 berasal dari kata a·ga’pe. Kata ini mengandung makna kasih yang dibimbing dan dikendalikan oleh prinsip. Kasih tersebut tidak selalu harus disertai kasih sayang yang hangat. Karena dibimbing oleh prinsip-prinsip yang adil-benar, kasih demikian menggerakkan seseorang untuk berupaya memperhatikan kepentingan orang lain, tanpa mempersoalkan bagaimana kelakuan mereka. Dengan demikian, kasih a·ga’pe dapat mengalahkan permusuhan pribadi. Ketika Yesus menghadapi prajurit-prajurit Roma yang memanteknya, ia mempertunjukkan kasih seperti itu dengan tidak mengecam mereka tetapi justru berdoa, ”Bapak, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.”—Lukas 23:34.
Apakah realistis untuk mengharapkan bahwa dunia akan menerima dan mengikuti pengajaran Yesus dalam skala luas dan bahwa orang-orang akan mulai saling mengasihi? Tidak, karena Alkitab menunjukkan bahwa dunia ini akan terus terjerumus ke dalam malapetaka. ”Orang fasik dan penipu akan menjadi lebih buruk,” demikian yang diramalkan 2 Timotius 3:13. Meskipun demikian, orang-orang secara pribadi dapat menghentikan siklus kebencian karena mereka sepenuhnya dididik dalam prinsip-prinsip yang adil-benar melalui pelajaran Alkitab. Catatan fakta dengan jelas menunjukkan bahwa dengan cara demikian banyak orang telah belajar untuk melawan arus kebencian yang mengalir deras di sekeliling mereka. Perhatikanlah beberapa kasus nyata yang ada.
Belajar Mengasihi
Pada usia 13 tahun, José terlibat dalam perang gerilya sebagai seorang anggota kelompok teroris.a Ia diajar untuk membenci orang-orang yang sudah pasti bertanggung jawab atas segala ketidakadilan yang terjadi di sekelilingnya. Bila mungkin, tujuannya adalah untuk memusnahkan mereka. Melihat begitu banyak temannya yang meninggal, José dipenuhi rasa getir dan dendam. Sambil membuat granat, ia bertanya pada dirinya, ’Mengapa ada begitu banyak penderitaan? Jika Allah memang ada, mengapa Ia tidak memberikan perhatian?’ Ia sering menangis, merasa bingung dan sangat tertekan.
José akhirnya menemukan sidang Saksi-Saksi Yehuwa di daerahnya. Pada perhimpunannya yang pertama, seketika itu juga ia dapat merasakan suasana yang penuh kasih di sana. Semua orang menyapa dia dengan hangat dan ramah. Kemudian, dalam pembahasan tentang ”Mengapa Allah Mengizinkan Kejahatan?” ia mendapatkan jawaban atas setiap pertanyaan yang selama ini mengganggu pikirannya.b
Pada waktunya, seraya dibimbing oleh pengetahuan Alkitab yang semakin bertambah, José memperbaiki kehidupan dan cara berpikirnya. Ia belajar bahwa ”ia yang tidak mengasihi tetap berada dalam kematian. Setiap orang yang membenci . . . adalah pembunuh manusia, dan . . . pembunuh manusia tidak memiliki kehidupan abadi dalam dirinya”.—1 Yohanes 3:14, 15.
Namun, memutuskan hubungan dengan rekan-rekan terorisnya bukanlah hal yang mudah. Setiap kali ia pergi ke Balai Kerajaan Saksi-Saksi Yehuwa, ia dibuntuti. Beberapa bekas rekannya bahkan menghadiri perhimpunan untuk mengamati apa yang sebenarnya telah membuat José begitu berubah. Ketika mereka yakin bahwa ia tidak mengkhianati atau membahayakan mereka, ia tidak diawasi lagi. Pada usia 17 tahun, José dibaptis sebagai Saksi-Saksi Yehuwa. Tidak lama kemudian, ia menjadi pemberita sepenuh waktu. Ia tidak lagi bersiasat untuk membunuh orang, ia sekarang membawakan berita kasih dan pengharapan kepada mereka!
Meruntuhkan Tembok Pemisah Kelompok Etnik
Dapatkah orang-orang dari berbagai kelompok etnik meruntuhkan tembok yang memisahkan mereka? Perhatikan kelompok Saksi-Saksi Yehuwa yang berbahasa Amhara di London, Inggris. Ada 35 orang dalam kelompok itu—20 di antaranya adalah orang Etiopia dan 15 lainnya, orang Eritrea. Mereka beribadat bersama dengan damai dan terpadu sekalipun kenyataannya, di Afrika, orang Eritrea dan orang Etiopia belum lama ini terlibat dalam peperangan yang sengit.
Seorang Saksi Etiopia pernah diperingatkan oleh keluarganya, ’Jangan pernah percaya kepada orang Eritrea!’ Namun sekarang, ia tidak hanya percaya kepada rekan-rekan Kristennya yang berdarah Eritrea tetapi memanggil mereka saudara dan saudari! Sekalipun orang-orang Eritrea ini biasanya berbahasa Tigrinya, mereka memilih untuk belajar Amhara—bahasa yang digunakan saudara-saudara Etiopia mereka—sehingga mereka dapat belajar Alkitab bersama mereka. Benar-benar suatu kesaksian yang luar biasa tentang kekuatan kasih yang saleh sebagai ”ikatan pemersatu yang sempurna”!—Kolose 3:14.
Membiarkan Kejadian di Masa Lampau Berlalu
Namun, bagaimana jadinya jika seseorang pernah menjadi korban perlakuan yang tidak manusiawi? Tidakkah wajar untuk menyimpan dendam terhadap si penyiksa? Perhatikan Manfred, seorang Saksi dari Jerman. Ia mendekam di penjara Komunis selama enam tahun, hanya karena ia seorang Saksi-Saksi Yehuwa. Apakah ia memendam kebencian terhadap para penindasnya atau berkeinginan untuk membalas? ”Tidak,” jawabnya. Menurut surat kabar Jerman Saarbrücker Zeitung, Manfred menjelaskan, ”Melakukan ketidakadilan atau membalas ketidakadilan . . . hanyalah memulai suatu siklus yang mengarah kepada ketidakadilan yang baru.” Jelaslah, Manfred menerapkan kata-kata Alkitab, ”Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan kepada siapa pun. . . . Jika mungkin, sejauh itu bergantung padamu, hendaklah kamu suka damai dengan semua orang.”—Roma 12:17, 18.
Suatu Dunia Tanpa Kebencian!
Saksi-Saksi Yehuwa tidak mengaku diri sempurna dalam hal ini. Mereka sering mendapati bahwa melenyapkan permusuhan dan kebencian yang sudah tertanam sejak lama tidaklah mudah. Hal itu memerlukan upaya yang rajin dan terus-menerus untuk menerapkan prinsip-prinsip Alkitab dalam kehidupan. Namun, pada umumnya, Saksi-Saksi Yehuwa merupakan contoh nyata dari kuasa Alkitab untuk menghentikan siklus kebencian. Melalui program pengajaran Alkitab di rumah-rumah, Saksi-Saksi Yehuwa membantu ribuan orang setiap tahun untuk membebaskan diri dari belenggu rasialisme dan fanatisme.c (Lihat kotak berjudul ”Nasihat Alkitab Membantu Menghapuskan Kebencian”.) Keberhasilan tersebut merupakan gambaran pendahuluan dari banyak hasil yang akan dicapai oleh program pendidikan di seluruh dunia yang akan segera melenyapkan kebencian dan penyebabnya secara tuntas. Program pendidikan masa depan ini akan terwujud di bawah pengawasan Kerajaan, atau pemerintahan global, Allah. Yesus mengajar kita berdoa memohonkan Kerajaan itu dalam Doa Bapak Kami, ketika ia mengatakan, ”Biarlah kerajaanmu datang.”—Matius 6:9, 10.
Alkitab berjanji bahwa di bawah pengawasan pemerintahan surgawi ini, ”bumi pasti akan dipenuhi dengan pengetahuan akan Yehuwa”. (Yesaya 11:9; 54:13) Kata-kata nabi Yesaya yang sering dikutip ini kelak akan digenapi dalam skala global, ”[Allah] pasti akan melaksanakan penghakiman di antara bangsa-bangsa dan meluruskan perkara-perkara sehubungan dengan banyak suku bangsa. Mereka akan menempa pedang-pedang mereka menjadi mata bajak dan tombak-tombak mereka menjadi pisau pemangkas. Bangsa tidak akan mengangkat pedang melawan bangsa, mereka juga tidak akan belajar perang lagi.” (Yesaya 2:4) Dengan demikian, Allah sendirilah yang akan menghentikan sama sekali dan untuk selamanya siklus kebencian yang keji itu.
[Catatan Kaki]
a Bukan nama aslinya.
b Lihat pasal 8, ”Mengapa Allah Mengizinkan Penderitaan?” dalam buku Pengetahuan yang Membimbing kepada Kehidupan Abadi yang diterbitkan oleh Saksi-Saksi Yehuwa.
c Pengajaran Alkitab di rumah dapat diperoleh secara cuma-cuma dengan menghubungi Saksi-Saksi Yehuwa setempat atau dengan menulis surat kepada penerbit majalah ini.
[Kotak di hlm. 11]
Nasihat Alkitab Membantu Menghapuskan Kebencian
● ”Apa sumber dari peperangan dan sumber dari perkelahian di antara kamu? Bukankah sumbernya adalah keinginanmu yang besar akan kesenangan sensual yang menimbulkan konflik dalam anggota-anggota tubuhmu?” (Yakobus 4:1) Sering kali, banyak konflik dapat dipadamkan jika kita belajar untuk mengendalikan hasrat-hasrat yang mementingkan diri.
● ”[Taruhlah] perhatian, bukan dengan minat pribadi kepada persoalanmu sendiri saja, tetapi juga dengan minat pribadi kepada persoalan orang lain.” (Filipi 2:4) Menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi adalah cara lain untuk memadamkan konflik yang tidak perlu.
● ”Jauhilah kemarahan dan tinggalkan kemurkaan; janganlah panas hati hanya untuk berbuat jahat.” (Mazmur 37:8) Kita dapat dan harus mengendalikan kecenderungan yang destruktif.
● ”Dari satu orang [Allah] menjadikan setiap bangsa manusia, untuk tinggal di atas seluruh permukaan bumi.” (Kisah 17:24, 26) Tidaklah masuk akal untuk merasa lebih unggul daripada orang-orang dari ras lain, karena kita semua adalah anggota keluarga besar manusia yang sama.
● ”Tidak melakukan apa pun karena sifat suka bertengkar atau karena menganggap diri penting, tetapi dengan rendah hati, menganggap orang lain lebih tinggi daripada kamu.” (Filipi 2:3) Adalah suatu kebodohan untuk memandang rendah orang lain—karena orang lain sering kali memiliki sifat dan kesanggupan yang tidak kita miliki. Tidak ada kelompok ras atau budaya mana pun yang memonopoli semua hal yang baik.
● ”Maka, sebenarnya, selama kita mempunyai waktu yang baik untuk itu, biarlah kita melakukan apa yang baik untuk semua orang.” (Galatia 6:10) Mengambil inisiatif untuk berlaku ramah dan membantu orang lain, tanpa menghiraukan ras atau kebudayaan mereka, dapat banyak membantu menjembatani kesenjangan komunikasi dan meniadakan kesalahpahaman.
[Gambar di hlm. 8, 9]
Saksi-Saksi Etiopia dan Eritrea beribadat bersama dalam damai
[Gambar di hlm. 10]
Manfred yang selamat dari penjara Komunis, menolak untuk menyerah kepada kebencian
[Gambar di hlm. 10]
Alkitab dapat membantu meruntuhkan tembok yang memisahkan orang-orang
-