PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • Suatu ”Tugas yang Panjang Akhirnya Selesai”
    Sedarlah!—1998 | 22 November
    • Suatu ”Tugas yang Panjang Akhirnya Selesai”

      LIMA PULUH tahun yang lalu, seorang wanita yang keibuan berusia 60-an tahun berbicara, dan dunia pun mendengarkan. Peristiwanya berlangsung di Paris pada tanggal 10 Desember 1948. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa berkumpul di gedung Palais Chaillot yang belum lama selesai dibangun, sewaktu ketua Komisi PBB untuk Hak Asasi Manusia (UN Commission on Human Rights/UNCHR) itu tampil untuk berpidato. Dengan suara lantang, Eleanor Roosevelt yang bertubuh jangkung, janda mantan Presiden AS Franklin D. Roosevelt, memberi tahu orang-orang yang berkumpul, ”Hari ini kita berada di ambang suatu peristiwa besar sepanjang hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa maupun hidup umat manusia, yakni disetujuinya Deklarasi Universal Tentang Hak-Hak Asasi Manusia oleh Majelis Umum.”

      Setelah ia membacakan frase-frase yang tegas dari mukadimah Deklarasi itu serta ke-30 pasalnya, Majelis Umum menerima dokumen tersebut.a Kemudian, untuk menghormati kepemimpinan Ny. Roosevelt yang luar biasa, para anggota PBB memberikan tepuk tangan yang meriah sambil berdiri untuk ”the First Lady of the World” (”Sang Ibu Negara Sedunia”), sebutan kesayangan untuknya. Pada akhir hari itu, ia menulis, ”Tugas yang panjang akhirnya selesai.”

      Dari Banyak Opini hingga Satu Deklarasi

      Dua tahun sebelumnya, pada bulan Januari 1947, tidak lama setelah pekerjaan komisi PBB itu dimulai, jelaslah bahwa menyusun suatu dokumen hak asasi manusia yang akhirnya bisa disetujui oleh semua anggota PBB adalah tugas yang luar biasa sulit. Sejak awal, ketidaksepakatan yang tajam mengakibatkan ke-18 anggota komisi itu terjebak dalam perdebatan yang tiada akhirnya. Delegasi dari Cina merasa bahwa dokumen itu seharusnya menyertakan falsafah Konfusius, seorang anggota komisi yang beragama Katolik menganjurkan ajaran-ajaran Thomas Aquinas, delegasi dari Amerika Serikat mengelu-elukan Undang-Undang Hak Asasi Amerika, dan delegasi dari Uni Soviet ingin agar gagasan Karl Marx disertakan​—dan ini baru sebagian kecil dari opini-opini kuat yang diajukan!

      Percekcokan yang terus-menerus di antara anggota komisi menguji kesabaran Ny. Roosevelt. Pada tahun 1948, sewaktu memberikan ceramah di Perguruan Tinggi Sorbonne di Paris, ia mengungkapkan bahwa semula ia berpikir mengurus keluarga besarnya telah menguji batas-batas kesabarannya. Akan tetapi, ”memimpin Komisi untuk Hak Asasi Manusia menuntut jauh lebih banyak kesabaran”, demikian katanya, yang mengundang gelak tawa hadirin.

      Meskipun demikian, pengalamannya sebagai seorang ibu terbukti sangat bermanfaat. Pada waktu itu seorang wartawan menulis bahwa cara Ny. Roosevelt menangani para anggota komisi, mengingatkan dia akan seorang ibu ”yang memimpin sebuah keluarga besar yang terdiri dari anak-anak lelaki yang sering ribut dan adakalanya sukar dikendalikan tetapi pada dasarnya berhati baik, yang kadang-kadang perlu didisiplin dengan tegas”. (Eleanor Roosevelt​—A Personal and Public Life) Akan tetapi, dengan menyertakan kelentukan pada sikapnya yang teguh, ia sanggup meyakinkan orang lain tanpa menimbulkan permusuhan dari pihak penentangnya.

      Hasilnya, setelah dua tahun mengadakan rapat, menelurkan ratusan amandemen, ribuan pernyataan, dan 1.400 kali mengadakan pemungutan suara untuk nyaris setiap kata dan klausa, komisi itu akhirnya menghasilkan sebuah dokumen berisi daftar hak asasi manusia yang diyakini sebagai hak semua pria dan wanita, di mana pun di dunia ini. Dokumen itu dinamai Deklarasi Universal Tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Dengan demikian, tercapailah suatu misi yang, adakalanya, tampak mustahil.

      Harapan yang Melambung

      Tentu saja, tidak diharapkan bahwa tembok-tembok penindasan akan runtuh pada saat sangkakala pertama ini dibunyikan. Namun, diterimanya Deklarasi Universal tersebut telah melambungkan harapan banyak orang. Presiden Majelis Umum PBB waktu itu, Dr. Herbert V. Evatt asal Australia, meramalkan bahwa ”jutaan pria, wanita, dan anak-anak di seluruh dunia, yang berada ribuan kilometer dari Paris dan New York, akan berpaling pada dokumen ini untuk memperoleh bantuan, pedoman, dan inspirasi”.

      Lima puluh tahun telah berlalu sejak Dr. Evatt mengucapkan kata-kata itu. Memang, selama jangka waktu itu banyak orang telah berpaling pada Deklarasi tersebut sebagai pedoman dan menggunakannya sebagai tolok ukur untuk mengukur derajat penghargaan atas hak asasi manusia di seputar dunia. Seraya mereka berbuat demikian, apa yang mereka dapati? Apakah negara-negara anggota PBB menyelaraskan diri dengan tolok ukur ini? Bagaimana situasi hak asasi manusia di dunia dewasa ini?

      [Catatan Kaki]

      a Empat puluh delapan negara memberikan suara dukungan, dan tidak ada yang menentang. Kini seluruh 185 negara anggota PBB, termasuk negara-negara yang abstain (tidak memberikan suara) pada tahun 1948, telah menyatakan dukungan terhadap Deklarasi itu.

      [Kotak di hlm. 4]

      Apakah Hak Asasi Manusia Itu?

      Perserikatan Bangsa-Bangsa mendefinisikan hak asasi manusia sebagai ”hak-hak yang merupakan kodrat kita dan yang tanpa itu kita tidak dapat hidup sebagai manusia”. Hak asasi manusia juga dilukiskan sebagai ”bahasa umum kemanusiaan”​—dan memang cocok disebut demikian. Sebagaimana kesanggupan belajar berbicara dalam suatu bahasa merupakan sifat bawaan yang mencirikan bahwa kita adalah manusia, terdapat kebutuhan dan sifat bawaan lainnya yang membedakan kita dari makhluk-makhluk lain di atas bumi. Misalnya, manusia membutuhkan pengetahuan, ekspresi seni, dan kerohanian. Manusia yang upayanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya ini dihalang-halangi, terpaksa menjalani kehidupan yang tidak layak bagi manusia. Untuk melindungi manusia dari upaya-upaya penghalang demikian, menurut penjelasan seorang pengacara hak asasi manusia, ”kita menggunakan istilah ’hak asasi manusia’ dan bukan ’kebutuhan asasi manusia’ karena dari sudut pandang hukum, kata ’kebutuhan’ tidak sekuat kata ’hak’. Dengan menyebutnya sebagai ’hak’, kita menaikkan derajat upaya pemenuhan kebutuhan manusia menjadi hak setiap manusia secara moral dan hukum”.

      [Kotak/Gambar di hlm. 5]

      Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia

      Aleksandr Solzhenitsyn, seorang penulis dan pemenang hadiah Nobel menyebut Deklarasi Universal tersebut sebagai ”dokumen terbaik” yang pernah disusun oleh PBB. Bila kita melihat sekilas isinya, akan jelas mengapa banyak orang setuju dengan pernyataan ini.

      Falsafah dasar Deklarasi tersebut tercantum pada Pasal 1, ”Sekalian orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan budi dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.”

      Atas dasar ini, para perumus Deklarasi itu menjamin dua kelompok hak asasi manusia. Kelompok pertama digariskan dalam Pasal 3, ”Setiap orang berhak atas penghidupan, kemerdekaan, dan keselamatan seseorang.” Pasal ini mendasari hak sipil dan politik yang tertera dalam Pasal 4 sampai 21. Kelompok kedua didasarkan atas Pasal 22, yang sebagian isinya menyatakan bahwa setiap orang berhak melakukan hak-hak ”yang perlu untuk martabatnya dan untuk perkembangan bebas pribadinya”. Hal ini mendasari Pasal 23 sampai 27, yang menjabarkan hak ekonomi, sosial, dan budaya seseorang. Deklarasi Universal tersebut merupakan dokumen internasional pertama yang mengakui kelompok hak yang kedua ini sebagai bagian dari hak asasi manusia yang mendasar. Deklarasi tersebut juga merupakan dokumen internasional pertama yang menggunakan istilah ”hak asasi manusia”.

      Seorang sosiolog asal Brasil, Ruth Rocha, menjelaskan secara gamblang apa yang dikatakan oleh Deklarasi Universal, ”Tidak soal apa ras Anda. Tidak soal Anda seorang pria atau wanita. Tidak soal apa bahasa Anda, agama Anda, opini politik Anda, dari negara mana Anda berasal atau siapa keluarga Anda. Tidak soal Anda kaya atau miskin. Tidak soal Anda berasal dari bagian mana di dunia; entah negara Anda berbentuk kerajaan atau republik. Hak dan kemerdekaan ini dimaksudkan untuk dinikmati oleh semua orang.”

      Sejak diakui secara resmi, Deklarasi Universal telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 200 bahasa dan telah menjadi bagian dari undang-undang di banyak negara. Meskipun demikian, dewasa ini, beberapa pemimpin merasa bahwa Deklarasi tersebut perlu direvisi. Akan tetapi, Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, tidak sependapat. Seorang pejabat PBB mengutip kata-katanya, ”Sebagaimana Alkitab dan Quran tidak perlu direvisi, Deklarasi tersebut tidak perlu disesuaikan. Bukan teks Deklarasi Universal tersebut yang perlu disesuaikan, melainkan perilaku para pengikutnya.”

      Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan

  • Pandangan dari Lantai ke-29
    Sedarlah!—1998 | 22 November
    • Pandangan dari Lantai ke-29

      SEWAKTU Anda melangkahkan kaki keluar dari lift ke lantai 29 gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York City, sebuah papan kecil berwarna biru menunjukkan jalan menuju Kantor Komisaris Tinggi Urusan Hak Asasi Manusia (Office of the High Commissioner for Human Rights/OHCHR). Kantor penghubung ini mewakili markas besar OHCHR di Jenewa, Swiss​—pusat aktivitas PBB urusan hak asasi manusia. Mary Robinson, Komisaris Tinggi Urusan Hak Asasi Manusia, mengepalai OHCHR di Jenewa, sedangkan kantor New York dipimpin oleh Elsa Stamatopoulou yang lahir di Yunani. Pada awal tahun ini, Ny. Stamatopoulou dengan murah hati menerima seorang staf penulis Sedarlah! dan meninjau kembali lima dasawarsa aktivitas hak asasi manusia. Berikut ini adalah cuplikan dari wawancara tersebut.

      T. Menurut Anda, kemajuan apa yang telah dibuat untuk menggalakkan hak asasi manusia?

      J. Saya akan memberi tahu Anda tiga contoh langkah maju: Pertama, 50 tahun yang lalu, konsep tentang hak asasi manusia tidak ada dalam agenda internasional; sekarang, konsep itu ada di mana-mana dan siap beroperasi. Pemerintah-pemerintah yang beberapa dasawarsa lalu belum pernah mendengar tentang hak asasi manusia, kini membicarakannya. Kedua, kita sekarang mempunyai suatu kaidah hukum internasional, atau kitab hukum, yang terdiri dari banyak konvensi (perjanjian antarnegara) yang memberi tahu pemerintah-pemerintah secara tertulis apa kewajiban mereka terhadap rakyat. [Lihat kotak ”Undang-Undang Internasional Tentang Hak Asasi Manusia”, pada halaman 7.] Butuh kerja keras selama bertahun-tahun untuk menyusun kaidah ini. Ini sesuatu yang sangat kami banggakan. Contoh ketiga adalah, dewasa ini lebih banyak orang daripada sebelumnya yang ambil bagian dalam gerakan-gerakan hak asasi manusia dan yang sanggup mengekspresikan diri mereka secara mengesankan soal hak asasi manusia.

      T. Apa kendala-kendalanya?

      J. Setelah 17 tahun mengerjakan program-program hak asasi manusia PBB, tentu saja saya sadar bahwa kami menghadapi masalah-masalah yang mengecilkan hati. Masalah terbesar adalah pemerintah-pemerintah sering kali memandang hak asasi manusia sebagai soal politik daripada sebagai soal kemanusiaan. Mereka mungkin tidak mau menjalankan traktat-traktat hak asasi manusia karena merasa terancam secara politik. Dalam kasus-kasus seperti itu, traktat-traktat hak asasi manusia berubah menjadi sekadar kertas tak bermakna. Kegagalan lainnya adalah ketidaksanggupan PBB untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia secara besar-besaran di daerah-daerah seperti bekas Yugoslavia, Rwanda dan, yang terbaru, Aljazair. Ketidaksanggupan PBB untuk mencegah pembantaian-pembantaian yang terjadi di negara-negara ini merupakan kegagalan yang luar biasa besar. Mekanisme-mekanisme hak asasi manusia sudah ada, tetapi harus ada yang mengaktifkannya. Siapakah yang akan melakukannya? Apabila kepentingan dari negara-negara yang dapat memberikan perlindungan tidak sedang dipertaruhkan, sering kali tidak ada itikad politis untuk bertindak dan menghentikan pelanggaran-pelanggaran itu.

      T. Menurut Anda, bagaimana dengan masa depan?

      J. Saya melihat adanya ancaman dan harapan pada jalan menuju terwujudnya hak asasi manusia bagi semua orang. Yang mengkhawatirkan saya adalah ancaman dari globalisasi perekonomian, yang merangsang perusahaan-perusahaan besar untuk melebarkan usaha mereka ke negeri-negeri yang tenaga kerjanya lebih murah. Dewasa ini, bilamana perlu, kami dapat mempersalahkan pemerintah-pemerintah atas pelanggaran hak asasi manusia dan kami dapat menekan mereka. Tetapi, siapakah yang dapat kami persalahkan atas pelanggaran hak asasi manusia apabila kesepakatan perdagangan multilateral mengalihkan semakin banyak kekuasaan dari pemerintah ke kekuatan perekonomian global? Karena kami tidak memegang kendali atas kekuatan-kekuatan perekonomian ini, hal tersebut melemahkan posisi organisasi antarpemerintah seperti PBB. Dari sudut pandang hak asasi manusia, ini kecenderungan yang destruktif. Sekarang ini, sangat penting untuk menarik minat sektor swasta pada gerakan hak asasi manusia.

      T. Bagaimana dengan harapannya?

      J. Membudayakan hak asasi manusia secara global. Maksud saya, melalui pendidikan, kita seharusnya membuat orang-orang lebih sadar akan hak asasi manusia. Tentu saja, ini merupakan tantangan yang sangat besar karena berkaitan dengan perubahan mentalitas. Itulah sebabnya, sepuluh tahun yang lalu, PBB meluncurkan kampanye informasi kepada masyarakat umum di seluas dunia untuk mendidik orang-orang mengenai hak asasi mereka dan mendidik negara-negara mengenai tanggung jawab mereka. Selain itu, PBB telah mencanangkan tahun 1995 sampai tahun 2004 sebagai ”Dasawarsa untuk Pendidikan Hak Asasi Manusia”. Mudah-mudahan, pendidikan dapat mengubah pikiran dan hati orang-orang. Hal ini mungkin kedengarannya seperti Injil, tetapi kalau sudah menyangkut pendidikan hak asasi manusia, saya seorang yang benar-benar beriman. Saya harap dunia akan menerima budaya hak asasi manusia sebagai ideologinya pada abad yang akan datang.

      [Kotak di hlm. 7]

      Undang-Undang Internasional tentang Hak Asasi Manusia

      Di samping Deklarasi Universal Tentang Hak-Hak Asasi Manusia, ada juga Undang-Undang Internasional Tentang Hak Asasi Manusia. Bagaimana hubungan antara keduanya?

      Nah, bila Anda mengumpamakan Undang-Undang Internasional Tentang Hak Asasi Manusia sebagai buku yang terdiri dari lima pasal, maka Deklarasi Universal dapat disamakan seperti pasal 1. Pasal 2 dan 3 adalah Perjanjian Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, serta Perjanjian Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Dan, pasal 4 serta 5 masing-masing memuat suatu Protokol Opsional.

      Deklarasi Universal dianggap memiliki nilai moral, karena memberi tahu bangsa-bangsa apa yang sebaiknya mereka lakukan, sedangkan keempat dokumen tambahan ini mengikat secara hukum, memberi tahu bangsa-bangsa apa yang harus dilakukan. Meskipun pengerjaan dokumen-dokumen ini mulai pada tahun 1949, butuh berpuluh-puluh tahun sebelum semuanya dapat diberlakukan. Dewasa ini, keempat dokumen ini dan Deklarasi Universal membentuk Undang-Undang Internasional Tentang Hak Asasi Manusia.

      Di samping Undang-Undang Internasional, PBB telah meratifikasi (menandatangani dan mengesahkan) lebih dari 80 traktat hak asasi manusia yang lain. ”Jadi, tidak benar bila kita beranggapan bahwa traktat-traktat hak asasi manusia dalam Undang-Undang Internasional adalah yang lebih penting,” komentar seorang pakar hak asasi manusia. ”Misalnya, Konvensi Tentang Hak-Hak Asasi Anak pada tahun 1990 merupakan dokumen PBB yang paling universal dan paling luas diratifikasi, meskipun itu bukan bagian dari Undang-Undang Internasional. Istilah ’Undang-Undang Internasional Tentang Hak Asasi Manusia’ diciptakan lebih sebagai tujuan publisitas daripada sebagai konsep resmi. Dan, pasti Anda setuju bahwa istilah itu memang menarik perhatian.”a

      [Catatan Kaki]

      a Pada saat artikel ini ditulis, 191 negara (183 negara anggota PBB ditambah 8 negara yang bukan anggota PBB) telah meratifikasi Konvensi Tentang Hak-Hak Asasi Anak. Hanya dua negara yang belum meratifikasinya, yakni Somalia dan Amerika Serikat.

  • Hak Asasi Manusia dan Pelanggarannya Dewasa Ini
    Sedarlah!—1998 | 22 November
    • Hak Asasi Manusia dan Pelanggarannya Dewasa Ini

      PARA pendukung hak asasi manusia baru-baru ini mencapai suatu prestasi. Pertama, mereka berhasil mempersatukan lebih dari 1.000 organisasi di 60 negara dalam suatu gerakan yang disebut Kampanye Internasional untuk Melarang Ranjau Darat (International Campaign to Ban Landmines/ICBL). Kemudian, mereka berhasil mendesak ditandatanganinya suatu traktat internasional yang melarang penggunaan senjata-senjata ini. Selanjutnya, ICBL dan direkturnya yang tak kenal lelah, aktivis asal Amerika, Jody Williams, memenangkan Hadiah Nobel untuk Perdamaian pada tahun 1997.

      Akan tetapi, prestasi-prestasi semacam itu disertai oleh komentar yang menyedihkan. Sebagaimana dinyatakan oleh Human Rights Watch World Report 1998, keuniversalan hak asasi manusia masih ”di bawah serangan gencar”. Dan, bukan hanya kediktatoran di negara-negara kecil yang harus dipersalahkan. ”Kuasa-kuasa utama,” kata laporan tersebut, ”memperlihatkan suatu kecenderungan yang mencolok untuk mengabaikan hak asasi manusia bilamana hak itu ternyata mengganggu kepentingan perekonomian atau strategi nasional​—suatu masalah umum yang melanda Eropa maupun Amerika Serikat.”

      Bagi jutaan orang di seluruh dunia, pelanggaran hak asasi manusia mustahil diabaikan. Keadaan sehari-hari mereka yang menyedihkan masih dinodai oleh diskriminasi, kemiskinan, kelaparan, penganiayaan, pemerkosaan, penganiayaan anak, perbudakan, dan kematian yang mengenaskan. Bagi para korban ini, kondisi yang memberikan harapan sebagaimana dijabarkan dalam traktat-traktat hak asasi manusia yang semakin tinggi tumpukannya, berada beribu-ribu kilometer jauhnya dari dunia yang mereka kenal. Kenyataannya, bagi sebagian besar umat manusia, bahkan hak asasi mendasar yang terdaftar dalam ke-30 pasal Deklarasi Universal Tentang Hak-Hak Asasi Manusia masih merupakan harapan yang tak terpenuhi. Sebagai gambaran, perhatikan sejenak bagaimana beberapa hak yang muluk-muluk yang disebutkan dalam Deklarasi tersebut efektif dalam kehidupan sehari-hari.

      Persamaan Derajat Bagi Semua Orang?

      Sekalian orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama.​—Pasal 1.

      Rancangan awal Pasal 1 Deklarasi Universal berbunyi, ”Sekalian orang [”men” dalam bahasa Inggris] . . . sama.” Akan tetapi, untuk menghindari kesalahpahaman bahwa wanita tidak termasuk di dalamnya, para anggota wanita dalam komisi perumus itu bersikeras agar dibuat perubahan. Mereka berhasil, dan ”sekalian orang [”men”] . . . sama” diubah menjadi ”sekalian manusia [”human beings”] . . . sama”. (Cetak miring red.) Akan tetapi, apakah perubahan kata dalam butir ini mengubah kedudukan wanita?

      Pada tanggal 10 Desember 1997, Hari Hak Asasi Manusia, Ibu Negara Amerika Serikat, Hillary Clinton, memberi tahu PBB bahwa dunia masih saja ”memperlakukan wanita sebagai warga negara kelas dua”. Ia memberikan beberapa contoh: Di antara orang-orang miskin di dunia, 70 persen adalah wanita. Dua pertiga dari 130 juta anak di dunia yang tidak dapat bersekolah adalah anak perempuan. Dua pertiga dari 96 juta orang buta huruf di dunia adalah wanita. Wanita juga sangat menderita karena tindak kekerasan di rumah dan tindak kekerasan seksual, yang masih saja merupakan, tambah Ny. Clinton, ”salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang paling meluas sekaligus paling ditutup-tutupi di dunia”.

      Sejumlah wanita menjadi korban kekerasan bahkan sebelum mereka lahir. Khususnya di beberapa negara Asia, sejumlah ibu menggugurkan janin perempuan mereka karena lebih menyukai anak lelaki. Di daerah-daerah tertentu, preferensi akan anak lelaki telah menjadikan pengujian genetika guna mengetahui jenis kelamin janin sebagai lahan usaha yang naik daun. Sebuah klinik pendeteksi jenis kelamin mengiklankan jasanya dengan mengatakan bahwa lebih baik menghabiskan 38 dolar AS sekarang untuk mengaborsi janin perempuan daripada harus menghabiskan 3.800 dolar AS di kemudian hari untuk membayar mas kawinnya. Iklan-iklan seperti itu sangat berhasil. Suatu penelitian yang dilakukan di sebuah rumah sakit besar di Asia mendapati 95,5 persen janin yang diketahui berjenis kelamin perempuan diaborsi. Preferensi akan anak lelaki juga terdapat di bagian lain di dunia. Ketika seorang mantan juara tinju AS ditanya berapa jumlah anak yang ia miliki, ia menjawab, ”Seorang anak lelaki dan tujuh kekeliruan.” Publikasi Women and Violence dari PBB menyatakan bahwa ”untuk mengubah sikap dan mentalitas orang-orang terhadap wanita perlu waktu yang lama​—menurut banyak orang, setidak-tidaknya satu generasi, dan barangkali lebih lama lagi”.

      Anak-Anak Tanpa Masa Kanak-Kanak

      Tiada seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan; perhambaan dan perdagangan budak dalam bentuk apa pun harus dilarang.​—Pasal 4.

      Di atas kertas, perbudakan telah ditiadakan. Pemerintah-pemerintah telah menandatangani banyak traktat yang menyatakan bahwa perbudakan itu ilegal. Akan tetapi, menurut Lembaga Anti-Perbudakan Inggris (Britain’s Anti-Slavery Society), yang dikenal sebagai organisasi hak asasi manusia yang tertua di dunia, ”ada lebih banyak budak dewasa ini daripada sebelumnya”. Perbudakan zaman modern mencakup berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Anak-anak yang dipaksa menjadi buruh dikatakan sebagai salah satu bentuk perbudakan modern.

      Derivan, seorang bocah asal Amerika Selatan, adalah salah satu contoh yang menyedihkan. ’Tangan-tangan mungilnya rusak karena mengurus daun-daun sisal yang kasar, yang seratnya digunakan untuk membuat matras. Pekerjaannya adalah memungut daun-daun itu dari gudang dan mengangkutnya ke mesin pemroses yang terletak sekitar 90 meter jauhnya. Pada akhir hari kerja yang lamanya 12 jam, ia bisa memindahkan sebanyak satu ton daun. Derivan mulai bekerja sewaktu berusia lima tahun. Kini, ia berusia 11 tahun.’​—World Press Review.

      Kantor Buruh Internasional (International Labour Office/ILO) memperkirakan dewasa ini seperempat miliar anak berusia antara 5 dan 14 tahun bekerja sebagai buruh​—suatu angkatan pekerja cilik yang hampir sama besarnya dengan jumlah penggabungan penduduk Brasil dan Meksiko! Banyak di antara anak-anak tanpa masa kanak-kanak ini bekerja membanting tulang di pertambangan, menarik gerobak-gerobak berisi batu bara; berkubang lumpur untuk menuai; atau terbungkuk-bungkuk di depan alat tenun untuk membuat permadani. Bahkan kelompok-kelompok balita​—berusia tiga, empat atau lima tahun​—dipasangi kuk untuk membajak, menabur benih, dan memungut sisa-sisa panen di ladang dari fajar hingga senja. ”Anak-anak,” kata seorang tuan tanah di sebuah negara Asia, ”lebih murah daripada traktor dan lebih cerdas daripada lembu.”

      Memilih dan Berganti Agama

      Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama.​—Pasal 18.

      Pada tanggal 16 Oktober 1997, Majelis Umum PBB menerima sebuah ”laporan interim mengenai penyingkiran segala bentuk sikap tidak toleran terhadap agama”. Laporan itu, yang dipersiapkan oleh Abdelfattah Amor, Reporter Khusus dari Komisi untuk Hak-Hak Asasi Manusia, mencantumkan pelanggaran-pelanggaran yang masih berlanjut terhadap Pasal 18. Sehubungan dengan berbagai negara, laporan itu mengutip banyak kasus ’pelecehan, ancaman, penganiayaan, penangkapan, penahanan, orang hilang, dan pembunuhan’.

      Dengan nada serupa, 1997 Human Rights Reports, yang dihimpun oleh Biro untuk Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Ketenagakerjaan AS (U.S. Bureau of Democracy, Human Rights, and Labor), menandaskan bahwa bahkan negara-negara yang sudah lama mempraktekkan demokrasi ”telah berupaya membatasi kebebasan kelompok kepercayaan-kepercayaan minoritas yang berbeda-beda, menggolongkan mereka semua sebagai ’kultus’”. Kecenderungan ini merupakan sesuatu yang memprihatinkan. Willy Fautré, presiden organisasi Hak Asasi Manusia Tanpa Tapal Batas (Human Rights Without Frontiers) yang bermarkas di Brussel, menyatakan, ”Kebebasan beragama adalah salah satu indikator terbaik untuk mendapatkan gambaran umum tentang kemerdekaan manusia di masyarakat mana pun.”

      Membanting Tulang tetapi Dompet Kosong

      Setiap orang yang melakukan pekerjaan, berhak atas pengupahan yang adil dan baik yang menjamin penghidupannya bersama dengan keluarganya, sepadan dengan martabat manusia.​—Pasal 23.

      Para penebang tebu di Kepulauan Karibia boleh jadi memperoleh penghasilan tiga dolar per hari, tetapi biaya sewa dan harga peralatan membuat mereka segera terlilit oleh utang kepada para pemilik perkebunan. Selain itu, mereka tidak dibayar secara tunai melainkan diberi kupon. Dan, karena toko milik perkebunan adalah satu-satunya toko yang dapat dicapai oleh para penebang tersebut, mereka terpaksa membeli minyak goreng, beras, dan kacang-kacangan di sana. Akan tetapi, sebagai biaya jasa karena menerima kupon dari para pekerja, toko itu mengurangi 10 hingga 20 persen dari nilai yang tertera pada kupon. Bill O’Neill, wakil direktur Komite Para Pengacara untuk Hak Asasi Manusia (Lawyers Committee for Human Rights), mengatakan dalam sebuah siaran radio PBB, ”Pada akhir musim panen, mereka sama sekali tidak punya apa-apa setelah berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan bekerja membanting tulang. Mereka tidak punya tabungan sepeser pun, dan mereka nyaris tidak dapat bertahan melewati musim itu.”

      Perawatan Kesehatan untuk Semua Orang?

      Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang menjamin kesehatan dan keadaan baik untuk dirinya dan keluarganya, termasuk soal makanan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatannya.​—Pasal 25.

      ’Ricardo dan Justina adalah petani miskin di Amerika Latin yang tinggal kira-kira 80 km dari kota terdekat. Sewaktu Gemma, bayi perempuan mereka, jatuh sakit, mereka membawanya ke sebuah klinik swasta terdekat, tetapi staf klinik itu menolak memberikan perawatan karena tampak jelas bahwa Ricardo tidak mampu membayar biaya-biayanya. Keesokan harinya, Justina meminjam uang dari para tetangga agar dapat mengadakan perjalanan yang jauh ke kota dengan kendaraan umum. Ketika akhirnya Justina dan bayinya tiba di rumah sakit kecil milik pemerintah di kota itu, Justina diberi tahu bahwa tidak ada tempat yang tersedia dan ia harus kembali keesokannya. Karena tidak memiliki sanak saudara di kota itu dan tidak punya uang untuk menyewa kamar, ia bermalam di atas sebuah meja di pasar. Justina mendekap bayinya erat-erat untuk memberikan kenyamanan dan sedikit perlindungan, tetapi sia-sia. Malam itu, si kecil Gemma meninggal.’​—Human Rights and Social Work.

      Di seluruh dunia, 1 di antara 4 orang berjuang hidup hanya dengan satu dolar (AS) sehari. Mereka menghadapi dilema memautkan seperti yang dihadapi Ricardo dan Justina: Pelayanan kesehatan swasta tersedia tetapi tidak terjangkau, sementara pelayanan kesehatan umum terjangkau tetapi tidak tersedia. Yang tragis, walaupun lebih dari satu miliar orang miskin di dunia telah menerima ’hak untuk mendapatkan perawatan kesehatan’, manfaat dari perawatan kesehatan masih di luar jangkauan mereka.

      Daftar menakutkan mengenai pelanggaran hak asasi manusia tak ada akhirnya. Situasi-situasi seperti yang dilaporkan di atas dapat berjumlah ratusan juta kali. Meskipun adanya upaya-upaya raksasa organisasi-organisasi hak asasi manusia dan meskipun ribuan aktivis mengabdikan diri hingga taraf mempertaruhkan nyawa mereka untuk memperbaiki keadaan pria, wanita dan anak-anak di seluas dunia, terwujudnya hak asasi bagi semua orang akan tetap merupakan angan-angan saja. Apakah hal itu akan pernah menjadi kenyataan? Sangat pasti, tetapi harus ada beberapa perubahan terlebih dahulu. Artikel berikut ini akan membahas dua dari perubahan-perubahan tersebut.

  • Hak Asasi bagi Semua Orang—Suatu Kenyataan Seluas Dunia!
    Sedarlah!—1998 | 22 November
    • Hak Asasi bagi Semua Orang—Suatu Kenyataan Seluas Dunia!

      ”APA penyebab utama terjadinya pelanggaran hak asasi manusia?” demikian pertanyaan yang diajukan kepada seorang pengacara yang berpengalaman dalam bidang hak asasi manusia. ”Ketamakan,” jawab sang pengacara. ”Ketamakan akan kekuasaan politik dan ekonomi.” Dan, karena ketamakan bersumber dari pikiran manusia, maka pelanggaran hak asasi manusia sungguh merupakan cerminan keadaan pikiran orang. Penyebab lain adalah nasionalisme. Falsafah negaraku-yang-utama mengobarkan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, hak asasi manusia akan terwujud hanya ’apabila ada suatu pemerintah dunia yang berada dalam kedudukan untuk mengambil langkah-langkah yang sanggup ia tegakkan’, demikian kata Jan Berkouwer, seorang profesor dalam bidang hukum dan ekonomi asal Belanda.

      Dengan kata lain, agar hak asasi manusia menjadi kenyataan global, paling sedikit dua hal harus terjadi lebih dahulu: perubahan pola pemikiran dan perubahan pemerintah. Apakah realistis untuk mengharapkan hal ini terjadi?

      Sebuah Alasan Ganda untuk Perubahan

      Sementara Dasawarsa Pendidikan Hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB memasuki tahun kelima, suatu program pendidikan nonpemerintah yang berskala internasional telah berhasil mengubah pola pemikiran jutaan orang. Hasilnya, orang-orang ini sekarang memperlakukan sesama mereka dengan bermartabat. Program ini, yang dilakukan oleh Saksi-Saksi Yehuwa, berlangsung di lebih dari 230 negeri. Mengapa program ini berhasil?

      Satu hal adalah karena program pendidikan Alkitab di seluas dunia ini memperluas wawasan orang-orang berkenaan dengan asal usul hak asasi manusia. Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa manusia memiliki hak asasi karena ia adalah pribadi yang rasional dan bermoral.

      Manusia pasti telah menerima kesanggupan berakal dan berbudi ini dari suatu sumber yang lebih tinggi. (Lihat kotak ”Sumber Hak Asasi Manusia”, pada halaman 13.) Mengakui keberadaan sumber ilahi yang lebih tinggi ini memberi Anda alasan yang kuat untuk merespek sesama manusia. Anda lalu memperlakukan orang-orang lain secara bermartabat bukan hanya karena budi Anda mendorong Anda untuk melakukannya, melainkan, yang lebih penting lagi, respek dan kasih Anda akan Pencipta menggerakkan Anda untuk memperlakukan ciptaan-Nya dengan bermartabat. Pendekatan ganda ini didasarkan atas kata-kata Yesus Kristus, ”Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu” dan, ”Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Matius 22:​37-​39, Terjemahan Baru) Seseorang yang sangat menghormati Pencipta tidak akan pernah melanggar hak sesamanya, karena itu adalah suatu warisan dari Allah. Seorang pelanggar hak asasi manusia adalah perampok warisan.

      Pendidikan yang Membawa Perubahan

      Seberapa efektifkah program pendidikan Alkitab Saksi-Saksi Yehuwa ini dalam mengurangi pelanggaran hak asasi manusia? Cara terbaik untuk menjawab pertanyaan ini adalah dengan melihat hasil-hasil dari program tersebut, karena sebagaimana dikatakan Yesus, ”hikmat dibuktikan adil-benar oleh perbuatan-perbuatannya”.​—Matius 11:19.

      Sebuah inskripsi yang sangat terkenal pada sebuah dinding di Plaza Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York City berbunyi, ”Mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak. Dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas: Bangsa tidak akan mengangkat pedang terhadap bangsa. Mereka juga tidak akan belajar perang lagi”. Dengan menggunakan kutipan dari buku Alkitab, Yesaya pasal 2, ayat 4, King James Version, PBB menunjukkan suatu cara utama untuk mengurangi pelanggaran besar-besaran terhadap hak asasi manusia​—akhiri peperangan. Bagaimanapun, peperangan adalah ’antitesisnya (gagasan yang sama sekali bertentangan dengan) hak asasi manusia’, menurut istilah sebuah publikasi PBB.

      Program pendidikan Saksi-Saksi Yehuwa selangkah lebih maju daripada ide untuk menuliskan kata-kata Yesaya pada sebuah tembok batu. Program tersebut ”menuliskan” kata-kata Yesaya dalam hati manusia. (Bandingkan Ibrani 8:10.) Dengan cara bagaimana? Program tersebut menghapus penghalang rasial dan etnik serta meruntuhkan tembok nasionalisme dengan mengajarkan pandangan Alkitab berkenaan dengan ras: Hanya ada satu ras​—ras manusia. (Kisah 17:26) Orang-orang yang mengikuti program tersebut mengembangkan hasrat untuk ’menjadi peniru-peniru Allah’, yang tentang Dia Alkitab mengatakan, ”[Ia] tidak berat sebelah, tetapi dalam setiap bangsa orang yang takut kepadanya dan mengerjakan keadilbenaran dapat diterima olehnya.”​—Efesus 5:1; Kisah 10:34, 35.

      Sebagai hasil dari pendidikan yang berdasarkan Alkitab ini, jutaan orang kini tidak ”belajar perang lagi”. Perubahan pola pemikiran dan hati telah terjadi. Dan, perubahan tersebut tahan lama. (Lihat kotak ”Pendidikan untuk Perdamaian”, pada halaman 14.) Sekarang ini, rata-rata lebih dari 1.000 orang per hari menyelesaikan kursus pelajaran dasar yang diadakan oleh Saksi-Saksi Yehuwa dan bergabung dengan barisan pasukan perdamaian seluas dunia tersebut.

      Seberapa berurat-berakarkah perubahan pola pemikiran ini dan keputusan yang kemudian dibuat untuk merespek hak asasi manusia dengan cara menolak untuk ikut berperang? Sangat dalam. Sebagai contoh: Seberapa dalam respek Saksi-Saksi akan hak asasi manusia dihadapkan pada ujian yang sangat berat pada Perang Dunia II, terutama di Jerman pada zaman Nazi. Sejarawan Brian Dunn menyatakan, ”Saksi-Saksi Yehuwa tidak sejalan dengan Nazisme. Hal yang paling dikecam oleh Nazi sehubungan dengan mereka adalah kenetralan mereka secara politik. Artinya, tidak satu pun penganutnya yang mau angkat senjata.” (The Churches’ Response to the Holocaust) Dalam buku A History of Christianity, Paul Johnson mengatakan, ”Banyak yang dijatuhi hukuman mati karena menolak mengikuti dinas militer . . . , atau mereka berakhir di Dachau atau rumah sakit jiwa.” Meskipun demikian, mereka berdiri teguh. Anna Pawełczyńska, seorang Sosiolog, melukiskan Saksi-Saksi itu sebagai ”sebuah pulau kecil yang tak pernah menyerah dalam hal bertahan di tengah-tengah bangsa yang diteror”.

      Bayangkan saja penurunan angka pelanggaran hak asasi manusia secara langsung dan dramatis yang bisa terjadi di seputar dunia seandainya semua orang mengambil pendirian ini sekarang dan ’tidak belajar perang lagi’!

      Pemerintah Dunia​—’Suatu Utopia’?

      ’Mengubah pola pemikiran adalah suatu tantangan, tetapi membentuk sebuah pemerintah dunia adalah suatu Utopia,’ cetus seorang pegawai PBB. Dan memang, fakta bahwa bangsa-bangsa tidak bersedia menyerahkan kedaulatan mereka kepada PBB, maupun organisasi lain mana pun, meneguhkan kesimpulan ini. Meskipun demikian, orang-orang yang mengesampingkan gagasan akan suatu pemerintah dunia, menurut pernyataan Profesor Berkouwer, ”mempunyai kewajiban moral untuk menunjukkan cara lain guna menuntaskan masalah-masalah dunia. Akan tetapi, tidak ada solusi alternatif”. Tepatnya, tidak ada solusi dari manusia. Tetapi, ada suatu solusi adimanusiawi. Apakah itu?

      Sebagaimana Alkitab perlihatkan bahwa Pencipta adalah sumber sifat-sifat yang mendasari hak asasi manusia, Alkitab juga memberi tahu kita bahwa Ia adalah sumber suatu pemerintah dunia yang menjamin hak itu. Pemerintah yang berpusat di surga ini tidak kelihatan tetapi benar-benar ada. Malahan, jutaan orang, mungkin tanpa sadar, mendoakan pemerintah dunia tersebut sewaktu mengucapkan apa yang sering disebut sebagai Doa Bapa Kami, ”Biarlah kerajaanmu datang. Biarlah kehendakmu terjadi, seperti di surga, demikian pula di atas bumi.” (Matius 6:​10) Kepala yang dilantik Allah untuk pemerintah Kerajaan itu adalah sang Raja Damai, Yesus Kristus.​—Yesaya 9:5.

      Pemerintah dunia tersebut akan berhasil menciptakan suatu budaya hak asasi manusia yang benar-benar global dan langgeng, dengan cara, antara lain, melenyapkan peperangan untuk selama-lamanya. Alkitab menubuatkan, ”[Pencipta] yang menghentikan peperangan sampai ke ujung bumi, yang mematahkan busur panah, menumpulkan tombak, membakar kereta-kereta perang dengan api!”​—Mazmur 46:10.

      Seberapa cepatkah hal ini akan terjadi dalam skala global? Program pengajaran Alkitab yang disediakan oleh Saksi-Saksi Yehuwa mencakup jawaban yang memuaskan untuk pertanyaan ini. Kami menganjurkan Anda untuk mengetahui program ini secara pribadi.a Jika Anda peduli akan hak asasi manusia, Anda tidak akan kecewa.

      [Catatan Kaki]

      a Jika Anda ingin mendapatkan lebih banyak informasi mengenai program pendidikan Alkitab ini, silakan menghubungi penerbit majalah ini atau Saksi-Saksi Yehuwa di daerah Anda. Program ini tersedia secara cuma-cuma.

      [Kotak di di hlm. 13]

      Sumber Hak Asasi Manusia

      Pasal 1 dari Deklarasi Universal Tentang Hak-Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa ”sekalian orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama”. Jadi, hak asasi manusia dilukiskan sebagai hak kelahiran yang diturunkan dari orang-tua kepada anak-anaknya, seumpama sungai yang mengalirkan air ke makhluk-makhluk hidup di sepanjang tepiannya. Di manakah hulu sungai hak asasi manusia ini?

      Menurut Deklarasi Universal, manusia memiliki hak asasi karena ”mereka dikaruniai akal dan budi”. Sebuah publikasi PBB menjelaskan, ”Karena manusia adalah makhluk yang rasional dan bermoral, ia berbeda dari makhluk-makhluk lain di atas bumi dan oleh karena itu layak mempunyai hak dan kebebasan tertentu yang tidak dinikmati oleh makhluk-makhluk lain.” (Cetak miring red.) Jadi, memiliki akal dan budi dikatakan sebagai dasar untuk mempunyai hak asasi manusia. Kalau begitu, sumber akal dan budi manusia juga adalah sumber hak asasi manusia.

      Bagi para aktivis hak asasi manusia yang berpaut pada evolusi biologis, pernyataan bahwa hak asasi manusia berkaitan dengan akal dan budi menimbulkan suatu teka-teki. Buku Life Ascending yang mendukung evolusi mengakui, ”Seandainya kita bertanya bagaimana suatu proses [evolusi] . . . dapat menghasilkan sifat-sifat seperti penghargaan akan keindahan dan kebenaran, keibaan hati, kebebasan, dan, yang terutama, banyaknya segi semangat manusia, kita dibuat bingung.” Dan, memang seharusnya demikian. Bagaimanapun, menyatakan bahwa kesanggupan manusia untuk berakal dan berbudi bersumber dari leluhur yang tidak berakal dan berbudi, yang lebih rendah daripada manusia adalah seperti menyatakan bahwa suatu sungai bersumber dari sebuah sumur yang tidak ada airnya.

      Karena kesanggupan manusia untuk berakal dan berbudi tidak dapat bersumber dari suatu sumber yang lebih rendah daripada manusia, ini pasti bersumber dari suatu sumber adimanusiawi. Hanya manusia yang memiliki sifat-sifat yang berkaitan dengan hak asasi manusia​—akal dan budi​—karena, tidak seperti binatang, manusia diciptakan menurut ”gambar” Allah, demikian penjelasan Alkitab. (Kejadian 1:27) Oleh karena itu, sebagaimana dikemukakan oleh buku Human Rights​—Essays on Justification and Applications, satu jawaban yang beralasan untuk pertanyaan mengenai mengapa manusia mempunyai hak moral adalah karena ”mereka memiliki nilai atau harga diri atau adalah . . . anak-anak Allah”.

      [Kotak di di hlm. 14]

      Pendidikan untuk Perdamaian

      Beberapa tahun yang lalu, sewaktu perang sedang memorak-porandakan kawasan Balkan, Branko berdinas sebagai anggota satuan pengamanan pada sebuah klinik yang terletak di wilayah Kroasia, Bosnia.b Seorang dokter di klinik tersebut sedang belajar Alkitab dengan Saksi-Saksi Yehuwa, dan pada suatu malam ia menceritakan kepada Branko apa yang telah ia pelajari. Apa yang Branko dengar menggerakkannya untuk meletakkan senjatanya. Beberapa waktu kemudian, setelah pindah ke negara lain di Eropa, Branko menghadiri sebuah perhimpunan Saksi-Saksi Yehuwa, dan di sana ia bertemu Slobodan.

      Slobodan juga berasal dari Bosnia. Ia pernah terlibat dalam perang yang sama dengan Branko​—tetapi di pihak lawan. Slobodan bertempur di pihak Serbia untuk melawan orang-orang Kroasia. Sewaktu keduanya bertemu, Slobodan telah menjadi salah seorang Saksi-Saksi Yehuwa, dan ia menawarkan pengajaran Alkitab kepada Branko, mantan musuhnya. Seraya pengajarannya berlanjut, kasih Branko akan Sang Pencipta, Yehuwa, bertumbuh. Tidak lama kemudian ia memutuskan untuk menjadi salah seorang Saksi-Saksi Yehuwa.c

      Slobodan sendiri juga telah menjadi Saksi berkat bantuan mantan musuhnya. Bagaimana? Nah, setelah meninggalkan kancah peperangan di Bosnia, Slobodan dikunjungi Mujo, yang juga berasal dari Bosnia tetapi yang dibesarkan dalam agama yang sama sekali berbeda dengan agama Slobodan. Kini Mujo adalah seorang Saksi Yehuwa. Meskipun mereka sebelumnya bermusuhan, Slobodan menerima tawaran Mujo untuk belajar Alkitab bersamanya, dan Slobodan kemudian mengambil langkah untuk menjadi seorang Saksi-Saksi Yehuwa.

      Apa yang menyebabkan pria-pria ini meluruhkan kebencian etnik yang telah berurat-berakar dan berubah dari musuh menjadi teman? Melalui pengajaran Alkitab, mereka mengembangkan kasih akan Yehuwa. Kemudian, mereka mau ”diajar Allah untuk saling mengasihi”. (1 Tesalonika 4:9) Sebagaimana disimpulkan oleh Profesor Wojciech Modzelewski tentang Saksi-Saksi Yehuwa secara umum, ”faktor kunci dari sikap mereka yang penuh damai adalah gagasan untuk sekarang juga mengikuti prinsip-prinsip yang terdapat di dalam Alkitab”.

      [Catatan Kaki]

      b Semua nama yang disebutkan dalam kotak ini adalah nama samaran.

      c Branko merasa senang sewaktu belakangan tahu bahwa sang dokter yang pertama kali berbicara kepadanya telah menjadi seorang Saksi-Saksi Yehuwa juga.

Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
Log Out
Log In
  • Indonesia
  • Bagikan
  • Pengaturan
  • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
  • Syarat Penggunaan
  • Kebijakan Privasi
  • Pengaturan Privasi
  • JW.ORG
  • Log In
Bagikan