-
Apa yang Dapat Anda Pelajari tentang Sang Pencipta melalui Sebuah Buku?Apakah Ada Pencipta yang Mempedulikan Anda?
-
-
Pasal Tujuh
Apa yang Dapat Anda Pelajari tentang Sang Pencipta melalui Sebuah Buku?
ANDA mungkin setuju bahwa sebuah buku yang informatif dan menarik sangatlah bernilai. Alkitab adalah buku seperti itu. Di dalamnya, Anda menemukan kisah-kisah nyata yang memikat perhatian dan memaparkan nilai-nilai moral yang luhur. Anda juga menemukan berbagai ilustrasi yang hidup tentang kebenaran-kebenaran penting. Salah satu penulis Alkitab yang terkenal karena hikmatnya, mengatakan bahwa ia ”berusaha mendapat kata-kata yang menyenangkan dan menulis kata-kata kebenaran secara jujur”.—Pengkhotbah 12:10.
Buku yang kita sebut sebagai ”Alkitab” sebenarnya adalah kumpulan 66 buku yang lebih kecil yang ditulis dalam kurun waktu lebih dari 1.500 tahun. Misalnya, antara tahun 1513 dan 1473 SM, Musa menulis lima buku pertama, mulai dari Kejadian. Yohanes, salah seorang rasul Yesus, adalah orang terakhir yang menulis Alkitab. Ia menulis sejarah kehidupan Yesus (Injil Yohanes) serta surat-surat yang lebih singkat dan buku Penyingkapan, yang merupakan buku terakhir dalam kebanyakan Alkitab.
Selama 1.500 tahun dari Musa sampai ke Yohanes, kira-kira 40 orang turut menulis Alkitab. Mereka adalah pria-pria yang tulus dan saleh yang ingin membantu orang-orang lain belajar tentang Pencipta kita. Dari tulisan-tulisan mereka, kita dapat memperoleh pemahaman tentang kepribadian Allah dan kita belajar cara untuk menyenangkan Dia. Alkitab juga memungkinkan kita memahami mengapa kefasikan merajalela dan bagaimana kefasikan itu akan ditiadakan. Para penulis Alkitab menunjuk ke suatu waktu kelak manakala umat manusia akan hidup di bawah kepemimpinan Allah secara lebih langsung, dan mereka melukiskan beberapa dari antara keadaan yang mendebarkan yang dapat kita nikmati kelak.—Mazmur 37:10, 11; Yesaya 2:2-4; 65:17-25; Penyingkapan 21:3-5.
Anda mungkin sadar bahwa banyak orang meremehkan Alkitab, menganggapnya sebagai sebuah buku kuno yang memuat hikmat manusia. Akan tetapi, jutaan orang yakin bahwa Pengarang Alkitab yang sebenarnya adalah Allah, yakin bahwa Dia menuntun pikiran para penulisnya. (2 Petrus 1:20, 21) Bagaimana Anda dapat memastikan bahwa apa yang ditulis para penulis Alkitab benar-benar berasal dari Allah?
Nah, terdapat sejumlah bukti terpadu yang dapat Anda pertimbangkan. Banyak orang telah mempertimbangkannya sebelum menyimpulkan bahwa Alkitab lebih daripada sebuah buku manusia belaka, bahwa Alkitab berasal dari sumber adimanusiawi. Marilah kita mencoba melakukan hal ini dengan mempertimbangkan satu bentuk bukti saja. Dengan melakukan hal itu, kita dapat belajar lebih banyak tentang Sang Pencipta jagat raya kita, Sumber kehidupan manusia.
Ramalan-Ramalan yang Tergenap
Ada banyak penulis Alkitab yang mencatat nubuat. Sebaliknya daripada mengaku bahwa mereka sendiri dapat menubuatkan masa depan, para penulis ini menyatakan Sang Pencipta sebagai sumber nubuat. Misalnya, Yesaya mengidentifikasi Allah sebagai ”yang memberitahukan dari mulanya hal yang kemudian”. (Yesaya 1:1; 42:8, 9; 46:8-11) Kesanggupan untuk menubuatkan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi beberapa dekade atau bahkan beberapa abad di masa depan memperlihatkan bahwa Allahnya Yesaya bukan sembarang allah; Dia bukan sekadar berhala, seperti yang dipuja oleh orang-orang di masa lampau dan masa sekarang. Nubuat memberi kita bukti yang meyakinkan bahwa Alkitab bukan karangan manusia. Perhatikan bagaimana buku Yesaya meneguhkan fakta ini.
Perbandingan antara isi buku Yesaya dengan data sejarah memperlihatkan bahwa buku ini ditulis sekitar tahun 732 SM. Yesaya menubuatkan bahwa malapetaka akan menimpa penduduk Yerusalem dan Yehuda karena mereka bersalah dalam hal menumpahkan darah dan menyembah berhala. Yesaya meramalkan bahwa negeri tersebut akan dihancurkan, Yerusalem dan baitnya akan dibinasakan, dan orang-orang yang selamat akan dibawa sebagai tawanan ke Babilon. Namun, Yesaya juga menubuatkan bahwa Allah tidak akan melupakan bangsa yang ada dalam penawanan. Buku ini menubuatkan bahwa seorang raja asing bernama Kores akan menaklukkan Babilon dan membebaskan orang-orang Yahudi untuk kembali ke tanah air mereka. Sebenarnya, Yesaya menggambarkan Allah sebagai ”yang berkata tentang Koresy [”Kores”, NW]: Dia gembala-Ku; segala kehendak-Ku akan digenapinya dengan mengatakan tentang Yerusalem: Baiklah ia dibangun! dan tentang Bait Suci: Baiklah diletakkan dasarnya!”—Yesaya 2:8; 24:1; 39:5-7; 43:14; 44:24-28; 45:1.
Di zaman Yesaya, pada abad ke delapan SM, ramalan demikian kelihatannya tidak dapat dipercaya. Pada saat itu, Babilon bahkan belum memiliki kekuatan militer yang berarti. Babilon masih berada di bawah kuasa dunia yang sebenarnya pada waktu itu, Imperium Asyur. Yang tak kalah anehnya adalah gagasan bahwa suatu bangsa yang ditaklukkan dan dibuang ke sebuah negeri yang jauh dapat dibebaskan serta memperoleh kembali negeri mereka. ”Siapakah yang telah mendengar hal yang seperti itu?” tulis Yesaya.—Yesaya 66:8.
Namun, apa yang kita dapati dua abad kemudian? Sejarah orang-orang Yahudi purba selanjutnya membuktikan bahwa nubuat Yesaya digenapi hingga perincian yang terkecil. Babilon menjadi kuat, dan membinasakan Yerusalem. Nama raja Persia (Kores), penaklukannya atas Babilon, dan kepulangan orang-orang Yahudi merupakan fakta sejarah yang diterima umum. Penggenapan nubuat tersebut begitu tepat sehingga pada abad ke-19, para kritikus berpendapat bahwa buku Yesaya adalah sebuah tipuan; dengan kata lain mereka sebenarnya mengatakan, ’Yesaya mungkin menulis pasal-pasal pertama, namun kemudian seorang penulis lain pada zaman Raja Kores menulis kelanjutan buku tersebut sehingga seolah-olah seperti sebuah nubuat.’ Seseorang mungkin membuat pernyataan yang menyepelekan demikian, namun apa fakta-faktanya?
Apakah Benar-Benar Ramalan?
Ramalan dalam buku Yesaya tidak terbatas pada peristiwa-peristiwa yang melibatkan Kores dan orang-orang Yahudi buangan. Yesaya juga menubuatkan keadaan akhir Babilon, dan bukunya memberikan banyak perincian tentang Mesias yang akan datang, atau sang Pembebas, yang akan menderita dan kemudian dimuliakan. Dapatkah kita membuktikan bahwa ramalan-ramalan tersebut ditulis jauh sebelumnya, sehingga dapat disebut sebagai nubuat-nubuat yang digenapi?
Pertimbangkan pokok ini. Yesaya menulis mengenai situasi akhir Babilon, ”Babel, yang permai di antara kerajaan-kerajaan, perhiasan orang Kasdim yang megah, akan sama seperti Sodom dan Gomora pada waktu Allah menunggangbalikkannya: tidak ada penduduk untuk seterusnya, dan tidak ada penghuni turun-temurun.” (Yesaya 13:19, 20; pasal 47) Bagaimana akhirnya?
Faktanya adalah Babilon telah lama bergantung pada suatu sistem irigasi yang rumit berupa bendungan dan saluran air antara Sungai Tigris dan Sungai Efrat. Kelihatannya sekitar tahun 140 SM, sistem pengairan ini dirusak oleh orang-orang Partia selama penaklukan mereka yang menghancurkan dan yang pada akhirnya meruntuhkan. Apa akibatnya? The Encyclopedia Americana menjelaskan, ”Tanahnya menjadi jenuh dengan garam mineral, dan kerak alkali terbentuk di permukaan, sehingga tanah tidak mungkin digunakan untuk pertanian.” Sekitar 200 tahun kemudian, Babilon masih menjadi sebuah kota yang banyak penduduknya, namun keadaan itu tidak berlangsung lebih lama lagi. (Bandingkan 1 Petrus 5:13.) Pada abad ketiga M, sejarawan Dio Cassius (±150-235 M) mengatakan tentang seseorang yang mengunjungi Babilon dan tidak mendapati apa-apa selain ”tumpukan tanah dan batu serta puing-puing”. (LXVIII, 30) Menarik sekali, pada saat itu, Yesaya telah mati dan kitabnya yang lengkap telah beredar selama berabad-abad. Dan, jika kini Anda mengunjungi Babilon, Anda hanya akan melihat puing-puing kota yang pernah berjaya. Meskipun kota-kota zaman purba seperti Roma, Yerusalem, dan Athena masih ada sampai zaman kita, Babilon merupakan kota yang tandus, tidak berpenghuni, tinggal reruntuhan saja; tepat seperti yang dinubuatkan Yesaya. Ramalannya menjadi kenyataan.
Kini, marilah kita memusatkan perhatian pada uraian Yesaya tentang Mesias yang akan datang. Menurut Yesaya 52:13, hamba Allah yang istimewa ini pada akhirnya akan ’ditinggikan dan dimuliakan’. Akan tetapi, pasal berikutnya (Yesaya 53) menubuatkan bahwa sebelum dimuliakan, Mesias ini akan menjalani pengalaman yang sangat berbeda. Anda akan mengagumi perincian yang dicatat pada pasal tersebut, yang diakui secara luas sebagai nubuat tentang Mesias.
Seperti yang dapat Anda baca di sana, sang Mesias akan dipandang hina oleh orang-orang senegerinya. Karena yakin bahwa hal ini pasti terjadi, Yesaya menulis seolah-olah hal itu telah terjadi, ”Ia dihina dan dihindari orang”. (Ayat 3) Perlakuan yang buruk ini sama sekali tidak dapat dibenarkan karena sang Mesias akan berbuat baik bagi orang-orang. ”Penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya,” demikian cara Yesaya menggambarkan tindakan penyembuhan oleh sang Mesias. (Ayat 4) Sekalipun demikian, sang Mesias akan diadili dan dihukum secara tidak adil, pada saat itu ia tetap diam di hadapan para penuduhnya. (Ayat 7, 8) Ia akan membiarkan dirinya diserahkan untuk dibunuh bersama-sama dengan penjahat; selama eksekusinya, tubuhnya akan ditusuk. (Ayat 5, 12) Meskipun mati dengan cara seperti seorang penjahat, ia akan dikubur seperti pria yang kaya. (Ayat 9, NW) Dan Yesaya berulang-ulang menyatakan bahwa kematian Mesias yang tidak adil akan memiliki kuasa pendamaian, menutupi dosa-dosa manusia lain.—Ayat 5, 8, 11, 12.
Semua itu menjadi kenyataan. Sejarah yang dicatat oleh orang-orang yang pernah hidup sezaman dengan Yesus—Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes—meneguhkan bahwa apa yang telah Yesaya nubuatkan benar-benar terjadi. Beberapa dari antara peristiwa tersebut terjadi setelah kematian Yesus, sehingga keadaannya tidak dapat disiasati. (Matius 8:16, 17; 26:67; 27:14, 39-44, 57-60; Yohanes 19:1, 34) Penggenapan keseluruhan nubuat Yesaya tentang Mesias sangat mempengaruhi para pembaca Alkitab yang tulus selama berabad-abad, termasuk orang-orang yang sebelumnya tidak menerima Yesus. Sarjana William Urwick menyatakan, ”Banyak orang Yahudi, sewaktu menuliskan alasan mereka menjadi Kristen, mengakui penyebabnya adalah karena mereka membaca pasal [Yesaya 53] ini yang telah mengguncangkan iman mereka akan kredo dan guru-guru mereka sebelumnya.”—The Servant of Jehovah.a
Urwick membuat komentar tersebut pada akhir tahun 1800-an, sewaktu beberapa orang mungkin masih meragukan apakah Yesaya pasal 53 telah ditulis berabad-abad sebelum kelahiran Yesus. Akan tetapi, temuan-temuan semenjak saat itu pada dasarnya telah menyingkirkan alasan apa pun untuk ragu. Pada tahun 1947, seorang gembala Badui di dekat Laut Mati menemukan sebuah gulungan kuno seluruh kitab Yesaya. Para ahli tulisan kuno memperkirakan gulungan tersebut berasal dari tahun 125 sampai 100 SM. Kemudian pada tahun 1990, analisa karbon 14 pada gulungan tersebut memberikan suatu tanggal antara tahun 202 dan 107 SM. Ya, gulungan kitab Yesaya yang terkenal ini telah cukup tua sewaktu Yesus lahir. Apa hasil perbandingannya dengan Alkitab-Alkitab modern?
Jika Anda mengunjungi Yerusalem, Anda dapat melihat fragmen-fragmen Gulungan Laut Mati. Sebuah dokumen oleh seorang ahli arkeologi, Profesor Yigael Yadin, menjelaskan, ”Tidak lebih dari sekitar lima atau enam ratus tahun telah berlalu antara diucapkannya kata-kata Yesaya dan ketika gulungan ini disalin pada abad ke-2 SM. Sungguh mengherankan bahwa meskipun gulungan asli yang tersimpan dalam museum berusia lebih dari 2.000 tahun, isi gulungan itu begitu mirip dengan Alkitab yang kita baca dewasa ini baik dalam bahasa Ibrani ataupun dalam terjemahan-terjemahan dari bahasa asli.”
Jelaslah, ini hendaknya mempengaruhi pandangan kita. Pandangan kita tentang apa? Nah, ini hendaknya menyingkirkan keraguan kritis yang mengatakan bahwa buku Yesaya hanya sekadar nubuat setelah peristiwanya terjadi. Kini terdapat bukti ilmiah bahwa salinan tulisan-tulisan Yesaya dibuat bahkan lebih dari seratus tahun sebelum Yesus lahir dan lama sebelum penghancuran Babilon. Oleh karena itu, bagaimana mungkin ada keraguan bahwa tulisan-tulisan Yesaya meramalkan hasil akhir dari Babilon dan penderitaan yang tidak adil, jenis kematian, maupun perlakuan yang dialami sang Mesias? Dan fakta-fakta sejarah melenyapkan dasar apa pun untuk membantah bahwa Yesaya secara akurat meramalkan penawanan orang-orang Yahudi dan kelepasan mereka dari Babilon. Ramalan yang tergenap demikian hanyalah salah satu dari antara banyak bukti bahwa Pengarang Alkitab yang sebenarnya adalah Sang Pencipta dan bahwa Alkitab ”diilhamkan Allah”.—2 Timotius 3:16.
Terdapat banyak petunjuk lain yang membuktikan bahwa Alkitab adalah tulisan ilahi. Ini termasuk kesaksamaan Alkitab dalam bidang astronomi, geologi, dan medis; keselarasan isi kitab-kitabnya, yang ditulis oleh sejumlah pria dalam jangka waktu beratus-ratus tahun; keselarasannya dengan banyak fakta sejarah dunia dan arkeologi; serta kaidah moralnya yang lebih unggul daripada kaidah yang dimiliki bangsa-bangsa pada zaman tersebut dan kini masih diakui sebagai kaidah yang tidak tertandingi. Hal ini dan bukti-bukti lain telah meyakinkan begitu banyak orang yang rajin dan jujur bahwa Alkitab adalah buku yang autentik dari Pencipta kita.b
Bukti-bukti ini juga dapat membantu kita untuk mengambil kesimpulan yang benar tentang Sang Pencipta—membantu kita melihat sifat-sifat-Nya. Bukankah kesanggupan-Nya untuk melihat jauh ke masa depan membuktikan bahwa Dia memiliki kesanggupan pemahaman melampaui apa yang kita sebagai manusia miliki? Manusia tidak tahu apa yang akan terjadi jauh di masa depan, dan tidak dapat mengendalikannya. Sang Pencipta dapat melakukannya. Dia dapat mengantisipasi masa depan dan juga mengatur peristiwa-peristiwa sehingga kehendak-Nya terlaksana. Dengan tepat, Yesaya melukiskan Sang Pencipta sebagai ”[Pribadi, NW] yang memberitahukan dari mulanya hal yang kemudian dan dari zaman purbakala apa yang belum terlaksana, yang berkata: Keputusan-Ku akan sampai, dan segala kehendak-Ku akan Kulaksanakan”.—Yesaya 46:10; 55:11.
Mengenal Sang Pencipta dengan Lebih Baik
Kita mengenal orang lain dengan cara bercakap-cakap dengannya dan dengan melihat bagaimana ia bereaksi pada keadaan yang berbeda. Kedua cara ini dapat dilakukan untuk mengenal manusia lain, namun bagaimana dengan mengenal Sang Pencipta? Kita tidak mungkin mengadakan percakapan langsung dengan Dia. Namun, seperti yang telah kita bahas, Dia menyingkapkan banyak hal tentang diri-Nya di dalam Alkitab—mengenai apa yang telah Dia katakan maupun mengenai cara Dia bertindak. Selain itu, buku unik ini mengajak kita untuk memupuk suatu hubungan dengan Sang Pencipta. Alkitab mendesak kita, ”Mendekatlah kepada Allah dan dia akan mendekat kepadamu.”—Yakobus 2:23; 4:8.
Pertimbangkan langkah penting ini: Jika Anda ingin menjadi sahabat seseorang, Anda tentu saja harus mengetahui namanya. Nah, siapakah nama Sang Pencipta, dan apa yang disingkapkan oleh nama tersebut tentang diri-Nya?
Bagian berbahasa Ibrani dalam Alkitab (sering kali disebut Perjanjian Lama) memberi tahu kita nama unik Sang Pencipta. Dalam manuskrip-manuskrip kuno, nama ini diwakili oleh empat konsonan huruf Ibrani yang dapat ditransliterasikan sebagai YHWH atau JHVH. Nama Sang Pencipta muncul sekitar 7.000 kali, jauh lebih sering daripada gelar seperti Allah atau Tuan. Selama berabad-abad, orang-orang yang membaca Alkitab Ibrani menggunakan nama pribadi ini. Namun, akhirnya, banyak orang Yahudi memperkembangkan rasa takut yang bersifat takhayul untuk menyatakan nama ilahi, sehingga mereka tidak melestarikan pelafalannya.
”Pelafalan yang asli akhirnya hilang; upaya zaman modern untuk memulihkan pengucapan yang asli hanya terkaan semata,” tulis sebuah ulasan Yahudi tentang buku Keluaran. Memang, kita tidak dapat memastikan cara Musa melafalkan nama ilahi, yang kita jumpai di Keluaran 3:16 dan 6:2. Namun, terus terang, siapa dewasa ini yang merasa wajib untuk mencoba melafalkan nama Musa atau nama Yesus dengan bunyi dan intonasi persis seperti yang digunakan pada waktu mereka berada di bumi? Meskipun demikian, kita tidak menahan diri untuk menyebut nama Musa dan Yesus. Intinya adalah, sebaliknya daripada terlalu memusingkan bagaimana tepatnya orang-orang zaman purba yang berbicara bahasa lain melafalkan nama Allah, mengapa tidak menggunakan pelafalan yang umum dalam bahasa kita? Misalnya, ”Jehovah” telah digunakan dalam bahasa Inggris selama 400 tahun, dan dalam bahasa Inggris, ini masih diterima dengan luas sebagai nama Sang Pencipta.
Namun, ada sesuatu yang lebih penting daripada perincian tentang pelafalan nama ini. Yaitu makna nama tersebut. Nama tersebut dalam bahasa Ibrani adalah suatu bentuk kausatif dari kata kerja ha·wahʹ, yang berarti ”jadi” atau ”ada”. (Kejadian 27:29; Pengkhotbah 11:3, NW) The Oxford Companion to the Bible memberi tahu bahwa maknanya adalah ”’Dia menyebabkan’ atau ’akan menyebabkan menjadi’”. Oleh karena itu, kita dapat mengatakan bahwa nama pribadi Sang Pencipta secara harfiah berarti ”Dia yang Menjadikan Ada”. Perhatikan bahwa penekanannya bukan pada kegiatan Sang Pencipta jauh di masa lalu, sebagaimana yang mungkin ada dalam benak orang-orang bila menggunakan istilah ”Penyebab Awal”. Mengapa tidak?
Karena nama ilahi dikaitkan dengan maksud-tujuan Sang Pencipta. Pada dasarnya hanya terdapat dua bentuk waktu kata kerja Ibrani, dan yang berhubungan dengan nama Sang Pencipta ”mengartikan tindakan . . . sebagaimana dalam proses perkembangan. Yang dinyatakan oleh hal itu, bukan sekadar suatu kelangsungan suatu tindakan . . . namun perkembangan dari awalnya sampai akhir”. (A Short Account of the Hebrew Tenses) Ya, melalui nama-Nya, Yehuwa menyingkapkan diri-Nya sebagai seorang penggenap yang aktif. Dengan cara ini, kita tahu bahwa—melalui tindakan yang progresif—Dia menjadi Penggenap janji. Banyak orang menjadi puas dan tenteram karena tahu bahwa Sang Pencipta senantiasa mewujudkan maksud-tujuan-Nya.
Maksud-tujuan-Nya—Tujuan Anda
Meskipun nama Allah mencerminkan maksud-tujuan, banyak orang merasa sulit untuk melihat tujuan yang sebenarnya dari eksistensi mereka sendiri. Mereka memperhatikan umat manusia terperosok dari satu krisis ke krisis yang lain—bencana alam, epidemi penyakit, kemiskinan, dan kejahatan. Bahkan beberapa orang yang beruntung, yang entah bagaimana luput dari pengaruh-pengaruh merugikan demikian, sering kali mengaku memiliki keraguan yang terus mengganggu diri mereka tentang masa depan dan makna kehidupan.
Alkitab membuat komentar ini, ”Dunia jasmani ditundukkan pada frustrasi, bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak Sang Pencipta, yang pada waktu membuatnya demikian . . . dan mendapat kemerdekaan yang mulia sebagai anak-anak Allah.” (Roma 8:20, 21, The New Testament Letters, oleh J. W. C. Wand) Catatan dalam buku Kejadian memperlihatkan bahwa suatu waktu manusia pernah berdamai dengan Pencipta mereka. Karena perbuatan salah manusia, Allah dengan adil menaruh umat manusia dalam suatu keadaan yang, bila dilihat dari sudut pandangan tertentu, adalah keadaan yang menyebabkan frustrasi. Marilah kita melihat bagaimana keadaan ini berkembang, apa yang diperlihatkan oleh keadaan ini tentang Sang Pencipta, dan apa yang dapat kita antisipasi untuk masa depan.
Menurut sejarah tertulis itu, yang telah terbukti kebenarannya dengan berbagai cara, pasangan manusia pertama yang diciptakan diberi nama Adam dan Hawa. Catatan ini memperlihatkan bahwa mereka tidak dibiarkan meraba-raba sendiri tanpa tujuan atau tanpa pengajaran mengenai kehendak Allah. Sebagaimana ayah manusia mana pun yang penuh kasih dan timbang rasa kepada keturunannya, Sang Pencipta memberi umat manusia pengarahan yang berguna. Dia mengatakan kepada mereka, ”Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”—Kejadian 1:28.
Oleh karena itu, manusia pertama memiliki tujuan yang penuh makna dalam kehidupan. Ini mencakup upaya mereka untuk memelihara ekologi bumi dan memenuhi bumi dengan orang-orang yang bertanggung jawab. (Bandingkan Yesaya 11:9.) Tidak seorang pun dapat secara benar mempersalahkan Sang Pencipta karena keadaan planet kita yang tercemar sekarang ini, seolah-olah Dia memberi manusia dalih untuk mengeksploitasi dan membinasakan bola bumi. Kata ”menaklukkan” bukan berarti memberikan izin untuk mengeksploitasi. Ini berarti mengolah dan mengurus planet yang dipercayakan untuk dikelola oleh manusia. (Kejadian 2:15) Lagi pula, mereka akan memiliki masa depan yang tak ada akhirnya untuk mewujudkan tugas yang penuh makna tersebut. Prospek mereka, untuk tidak pernah mati, selaras dengan fakta bahwa manusia memiliki kapasitas otak yang jauh melebihi apa yang dapat sepenuhnya dipergunakan dalam suatu jangka waktu hidup 70, 80, atau bahkan 100 tahun. Otak dimaksudkan untuk digunakan selama waktu yang tak terhingga.
Allah Yehuwa, sebagai pembuat dan pengelola ciptaan-Nya, memberi manusia keleluasaan berkenaan cara mereka melaksanakan maksud-tujuan-Nya bagi bumi dan umat manusia. Dia tidak terlalu menuntut dan juga tidak terlalu mengekang. Misalnya, Dia memberi Adam apa yang merupakan kesenangan seorang ahli zoologi—tugas untuk mempelajari dan menamai binatang-binatang. Setelah Adam memperhatikan karakteristik mereka, ia memberi nama untuk masing-masing, kebanyakan dari antaranya bersifat deskriptif. (Kejadian 2:19) Ini baru satu contoh tentang bagaimana manusia dapat menggunakan bakat dan kesanggupan mereka selaras dengan maksud-tujuan Allah.
Anda pasti tahu bahwa Pencipta seluruh jagat raya yang bijaksana dapat dengan mudah mengendalikan keadaan apa pun di bumi, bahkan jika manusia memilih suatu tindakan yang bodoh atau berbahaya. Catatan sejarah memberi tahu kita bahwa Allah memberi Adam hanya satu perintah yang membatasi, ”Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.”—Kejadian 2:16, 17.
Perintah tersebut menuntut agar umat manusia mengakui hak Allah untuk ditaati. Sejak zaman Adam sampai ke zaman kita, manusia harus menerima hukum gravitasi dan hidup selaras dengannya; sungguh amat bodoh dan mencelakakan bila tidak menaatinya. Jadi, mengapa manusia harus menolak hidup selaras dengan hukum, atau perintah lain dari Sang Pencipta yang murah hati? Sang Pencipta menjelaskan akibatnya bila menolak hukum-Nya, namun Dia memberi Adam dan Hawa kesempatan untuk menaati-Nya secara sukarela. Tidaklah sulit untuk melihat dalam catatan sejarah manusia yang mula-mula bahwa Sang Pencipta memungkinkan manusia memiliki kebebasan untuk memilih. Namun, Dia ingin agar ciptaan-Nya sangat bahagia, yang merupakan hasil yang wajar karena hidup selaras dengan hukum-hukum yang baik dari Dia.
Pada pasal sebelumnya, kita memperhatikan bahwa Sang Pencipta menciptakan makhluk-makhluk cerdas yang tidak terlihat—makhluk-makhluk roh. Sejarah permulaan manusia menyingkapkan bahwa salah satu makhluk roh ini menjadi terobsesi dengan gagasan untuk merebut kedudukan Allah. (Bandingkan Yehezkiel 28:13-15.) Ia menyalahgunakan kebebasan memilih yang Allah karuniakan dan membujuk pasangan manusia pertama ke dalam apa yang harus kita sebut pemberontakan terbuka. Dengan tindakan menantang berupa ketidaktaatan langsung—makan dari ”pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat”—pasangan pertama ini menuntut kebebasan dari pemerintahan Allah. Namun, lebih daripada itu, haluan mereka menyingkapkan dukungan mereka pada gugatan bahwa Sang Pencipta menahan sesuatu yang baik dari manusia. Seolah-olah Adam dan Hawa menuntut agar mereka dapat memutuskan bagi diri mereka sendiri apa yang baik dan apa yang buruk—tidak soal apa penilaian Pencipta mereka.
Alangkah tidak masuk akalnya bila pria dan wanita memutuskan bahwa mereka tidak menyukai hukum gravitasi dan bertindak berlawanan dengan hal itu! Juga, sama tidak rasionalnya bila Adam dan Hawa menolak standar-standar moral Sang Pencipta. Tentu saja, manusia seharusnya dapat memperkirakan adanya akibat-akibat negatif karena melanggar hukum dasar Allah yang menuntut ketaatan, sebagaimana halnya akibat-akibat yang mencelakakan menimpa orang yang mengabaikan hukum gravitasi.
Sejarah memberi tahu kita bahwa Yehuwa kemudian mengambil tindakan. Pada ”hari” Adam dan Hawa menolak kehendak Pencipta, keadaan mereka mulai merosot, menuju kematian mereka, tepat seperti yang telah Allah peringatkan sebelumnya. (Bandingkan 2 Petrus 3:8.) Hal ini menyingkapkan aspek lain dari kepribadian Sang Pencipta. Dia adalah Allah keadilan, yang tidak menunjukkan kelemahan dengan cara mengabaikan ketidaktaatan yang demikian nyata. Dia memiliki dan menjunjung standar-standar yang bijaksana dan adil.
Sesuai dengan sifat-sifat-Nya yang menonjol, dengan penuh belas kasihan Dia tidak segera mengakhiri kehidupan manusia. Mengapa? Karena Dia prihatin kepada anak-cucu Adam dan Hawa, yang bahkan belum dikandung dan yang tidak secara langsung menanggung akibat dari haluan nenek moyang mereka yang berdosa. Keprihatinan Allah atas kehidupan yang akan dikandung, memberi kita kesaksian tentang siapa sebenarnya Sang Pencipta. Dia bukan seorang hakim yang kejam dan tidak berperasaan. Sebaliknya, Dia adil, rela memberikan kesempatan kepada setiap orang, dan Dia memperlihatkan respek terhadap kesucian kehidupan manusia.
Hal ini bukan berarti bahwa generasi-generasi manusia yang muncul kemudian akan menikmati keadaan menyenangkan yang sama seperti yang dinikmati pasangan pertama. Karena Sang Pencipta membiarkan eksistensi keturunan Adam, ”dunia jasmani ditundukkan pada frustrasi”. Namun, itu bukan frustrasi yang amat sangat atau keadaan tanpa harapan. Ingatlah bahwa Roma 8:20, 21 juga mengatakan bahwa Sang Pencipta ”memberi harapan bahwa ciptaan itu sendiri juga akan dimerdekakan”. Nah, ini adalah sesuatu yang kita ingin ketahui lebih jauh.
Dapatkah Anda Menemukan Dia?
Musuh yang menggiring pasangan manusia pertama ke dalam pemberontakan disebut di dalam Alkitab sebagai Setan si Iblis, yang berarti ”Penentang” dan ”Pemfitnah”. Dalam vonis yang ditujukan kepada penghasut utama pemberontakan ini, Allah mencapnya sebagai musuh tetapi meletakkan dasar agar manusia kelak dapat memiliki harapan. Allah mengatakan ”Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau [Setan] dan perempuan ini, antara keturunan [”benih”, NW]mu dan keturunan [”benih”, NW]nya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya.” (Kejadian 3:15) Jelaslah, ini adalah bahasa kiasan, atau bahasa lambang. Apa maksud ayat ini sewaktu mengatakan bahwa akan ada ”benih”?
Bagian-bagian lain dari Alkitab memberikan penerangan mengenai ayat yang menarik perhatian ini. Bagian-bagian lain dari Alkitab memperlihatkan bahwa ayat ini berkaitan dengan tindakan Yehuwa yang selaras dengan nama-Nya dan ’menjadi’ apa yang dibutuhkan untuk memenuhi maksud-tujuan-Nya bagi manusia di bumi. Untuk melakukan hal ini, Dia menggunakan satu bangsa khusus, dan sejarah mengenai cara-Nya berurusan dengan bangsa purba tersebut membentuk sebagian besar isi Alkitab. Marilah kita secara singkat mempertimbangkan sejarah penting tersebut. Dengan melakukannya, kita dapat belajar lebih banyak tentang sifat-sifat Pencipta kita. Sesungguhnya, kita dapat belajar banyak hal yang tidak ternilai tentang Dia dengan memeriksa lebih lanjut buku yang Dia sediakan bagi umat manusia, Alkitab.
-
-
Sang Pencipta Menyingkapkan Diri-Nya—Demi Manfaat Kita!Apakah Ada Pencipta yang Mempedulikan Anda?
-
-
Pasal Delapan
Sang Pencipta Menyingkapkan Diri-Nya—Demi Manfaat Kita!
DI TENGAH-TENGAH guntur dan kilat, kira-kira tiga juta orang berdiri di hadapan sebuah gunung yang menjulang tinggi di Semenanjung Sinai. Awan menyelubungi Gunung Sinai, dan tanah pun bergetar. Pada peristiwa yang tak terlupakan ini, Musa membawa bangsa Israel purba ke suatu hubungan resmi dengan Sang Pencipta langit dan bumi.—Keluaran, pasal 19; Yesaya 45:18.
Namun, mengapa, Sang Pencipta jagat raya menyingkapkan diri-Nya dengan cara istimewa pada satu bangsa saja, suatu bangsa yang relatif kecil? Musa menyediakan pemahaman ini, ”Karena TUHAN mengasihi kamu dan memegang sumpah-Nya yang telah diikrarkan-Nya kepada nenek moyangmu.”—Ulangan 7:6-8.
Pernyataan tersebut menyingkapkan bahwa Alkitab memuat keterangan yang jauh lebih banyak bagi kita selain fakta-fakta tentang asal mula jagat raya dan kehidupan di atas bumi. Ada banyak hal yang diceritakannya tentang cara Sang Pencipta berurusan dengan manusia—pada masa lampau, sekarang, dan di masa depan. Alkitab adalah buku yang paling banyak dipelajari dan paling banyak beredar di dunia, maka setiap orang yang menghargai pendidikan hendaknya mengenal baik isinya. Mari kita melihat suatu tinjauan tentang apa yang dapat kita temukan di dalam Alkitab dengan memusatkan perhatian pertama-tama pada bagian yang sering disebut Perjanjian Lama. Dengan melakukan hal itu, kita juga akan memperoleh pemahaman yang bernilai tentang kepribadian Sang Pencipta jagat raya dan Pengarang Alkitab.
Di pasal 6, ”Catatan Penciptaan dari Zaman Purba—Dapatkah Anda Mempercayainya?”, kita melihat bahwa hanya catatan Alkitab tentang penciptaan yang memuat fakta-fakta tentang nenek moyang kita yang pertama—asal mula kita. Buku pertama dalam Alkitab ini memuat lebih banyak hal lagi. Hal-hal apa saja?
Mitologi Yunani dan mitologi lain melukiskan suatu masa manakala dewa-dewi dan pribadi setengah dewa berurusan dengan manusia. Juga, para ahli antropologi melaporkan bahwa di seluruh bola bumi terdapat legenda-legenda tentang air bah zaman purba yang melenyapkan sebagian besar umat manusia. Anda mungkin saja akan meremehkan mitos-mitos demikian. Namun, tahukah Anda bahwa hanya buku Kejadian yang menyingkapkan kepada kita fakta-fakta sejarah mendasar yang belakangan diulangi dalam mitos-mitos dan legenda-legenda seperti itu?—Kejadian, pasal 6, 7.a
Dalam buku Kejadian, Anda juga akan membaca tentang pria dan wanita—orang-orang yang benar-benar ada, yang memiliki perasaan seperti kita—yang tahu bahwa Sang Pencipta ada dan yang melaksanakan kehendak-Nya dalam kehidupan mereka. Besar manfaatnya bagi kita bila mengenal pria-pria seperti Abraham, Ishak, dan Yakub, yang termasuk di antara ”nenek moyang” yang disebutkan Musa. Sang Pencipta mengenal Abraham dan menyebutnya, ”sahabatku”. (Yesaya 41:8, Bahasa Indonesia Sehari-hari; Kejadian 18:18, 19) Mengapa? Yehuwa telah mengamati dan memiliki keyakinan bahwa Abraham adalah pria beriman. (Ibrani 11:8-10, 17-19; Yakobus 2:23) Pengalaman Abraham memperlihatkan bahwa Allah mudah didekati. Keperkasaan dan kapasitas-Nya luar biasa, namun Dia bukan sekadar suatu kekuatan atau penyebab yang bukan suatu pribadi. Dia adalah pribadi yang nyata dengan siapa manusia seperti kita dapat memupuk suatu hubungan yang penuh respek—demi manfaat kekal kita.
Yehuwa berjanji kepada Abraham, ”Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat.” (Kejadian 22:18) Janji ini membangun, atau memperluas, janji yang dibuat pada zaman Adam tentang ”benih” yang akan datang. (Kejadian 3:15, NW) Ya, apa yang Yehuwa katakan kepada Abraham meneguhkan harapan bahwa seseorang—sang Benih—akhirnya akan muncul dan menyediakan berkat bagi segala bangsa. Anda akan mendapati hal ini menjadi tema utama yang diulang-ulang di seluruh Alkitab, dengan demikian menandaskan bahwa buku ini bukan suatu koleksi berbagai macam tulisan manusia. Dan dengan mengetahui tema Alkitab, Anda akan dibantu untuk menyadari bahwa Allah menggunakan satu bangsa purba—dengan tujuan untuk memberkati segala bangsa.—Mazmur 147:19, 20.
Fakta bahwa Yehuwa memiliki tujuan ini sewaktu berurusan dengan Israel menunjukkan bahwa ’Dia tidak berat sebelah’. (Kisah 10:34; Galatia 3:14) Lagi pula, bahkan sewaktu Allah memiliki hubungan khusus dengan keturunan Abraham, orang-orang dari bangsa-bangsa lain boleh datang dan melayani Yehuwa juga. (1 Raja 8:41-43) Dan, sebagaimana yang dapat kita lihat kemudian, sikap Allah yang tidak berat sebelah demikian, masih sama dewasa ini, sehingga kita semua—tidak soal apa latar belakang nasional atau etnik kita—dapat mengenal dan menyenangkan Dia.
Kita dapat belajar banyak dari sejarah bangsa yang dengannya Sang Pencipta berurusan selama berabad-abad. Marilah kita membagi sejarahnya menjadi tiga bagian. Sewaktu memeriksa bagian-bagian ini, perhatikan bagaimana Yehuwa hidup selaras dengan makna dari nama-Nya, ”Dia yang Menyebabkan Menjadi”, dan bagaimana kepribadian-Nya diperlihatkan melalui cara-cara-Nya berurusan dengan orang-orang yang benar-benar pernah ada.
Bagian Satu—Suatu Bangsa yang Diperintah oleh Pencipta
Keturunan Abraham menjadi budak di Mesir. Pada akhirnya, Allah mengangkat Musa, yang menuntun mereka ke kemerdekaan pada tahun 1513 SM. Sewaktu Israel menjadi suatu bangsa, Allah adalah penguasanya. Namun, pada tahun 1117 SM, bangsa tersebut menginginkan seorang raja manusia.
Perkembangan apa yang membuat bangsa Israel berada bersama Musa di Gunung Sinai? Buku Kejadian di dalam Alkitab memberi tahu kita latar belakangnya. Sebelumnya, sewaktu Yakub (yang juga disebut Israel) tinggal di timur laut Mesir, kelaparan timbul di seluruh dunia yang sudah dikenal pada masa itu. Kepedulian terhadap keluarganya menyebabkan Yakub mencari makanan dari Mesir, yang memiliki cukup persediaan biji-bijian di tempat-tempat penyimpanan. Ia mendapati bahwa pengelola pangannya ternyata putranya sendiri, Yusuf, yang ia sangka telah meninggal bertahun-tahun sebelumnya. Yakub dan keluarganya pindah ke Mesir dan diundang untuk bermukim di sana. (Kejadian 45:25–46:5; 47:5-12) Akan tetapi, setelah kematian Yusuf, Firaun yang baru memperbudak keturunan Yakub dan ”memahitkan hidup mereka dengan pekerjaan yang berat, yaitu mengerjakan tanah liat dan batu bata”. (Keluaran 1:8-14) Anda dapat membaca kisah yang jelas ini dan lebih banyak lagi dalam buku yang kedua dari Alkitab, Keluaran.
Orang-orang Israel menderita perlakuan yang kejam selama beberapa dekade, dan ”teriak mereka minta tolong karena perbudakan itu sampai kepada Allah”. Berpaling kepada Yehuwa adalah haluan yang bijaksana. Dia berminat pada keturunan Abraham dan bertekad untuk menggenapi maksud-tujuan-Nya yaitu, menyediakan berkat di masa depan bagi segala bangsa. Yehuwa ’mendengar Israel mengerang dan Dia memperhatikan mereka’, hal ini memperlihatkan kepada kita bahwa Sang Pencipta bersimpati terhadap orang-orang yang tertindas dan menderita. (Keluaran 2:23-25) Dia memilih Musa untuk membawa bangsa Israel keluar dari perbudakan. Namun, sewaktu Musa dan saudaranya, Harun, datang kepada Firaun Mesir untuk memintanya agar mengizinkan bangsa yang diperbudak ini pergi, ia menanggapi dengan sikap menantang, ”Siapakah TUHAN [Yehuwa] itu yang harus kudengarkan firman-Nya untuk membiarkan orang Israel pergi?”—Keluaran 5:2.
Dapatkah Anda membayangkan Sang Pencipta jagat raya diintimidasi oleh tantangan seperti itu, sekalipun tantangan tersebut diajukan oleh penguasa angkatan militer yang terbesar pada saat itu? Allah menimpakan serangkaian tulah kepada Firaun dan orang-orang Mesir. Akhirnya, setelah tulah kesepuluh, Firaun mau membebaskan orang-orang Israel. (Keluaran 12:29-32) Oleh karena itu, keturunan Abraham mengenal Yehuwa sebagai pribadi yang nyata—pribadi yang memerdekakan pada waktu-Nya yang tepat. Ya, seperti yang diperlihatkan oleh nama-Nya, Yehuwa dengan cara yang dramatis, menjadi penggenap janji-janji-Nya. (Keluaran 6:3) Namun, baik Firaun maupun orang-orang Israel masih harus belajar lebih banyak lagi sehubungan dengan nama tersebut.
Hal ini terjadi karena Firaun segera berubah pikiran. Ia memimpin bala tentaranya dengan menggebu-gebu, mengejar budak-budak yang pergi, menyusul mereka di dekat Laut Merah. Orang-orang Israel terjebak di antara laut dan bala tentara Mesir. Kemudian, Yehuwa turun tangan dengan cara membuka jalan melewati Laut Merah. Firaun seharusnya sadar bahwa hal ini merupakan suatu pertunjukan kuasa Allah yang tidak terkalahkan. Sebaliknya, ia memimpin pasukannya mengejar orang-orang Israel—dan akhirnya tenggelam dengan bala tentaranya sewaktu Allah mengembalikan laut ke posisi normalnya. Catatan di buku Keluaran tidak mengatakan secara terperinci cara Allah melakukan hal ini. Dengan tepat kita dapat menyebutnya sebagai mukjizat, karena perbuatan dan pemilihan waktunya di luar kendali manusia. Tentu saja, perbuatan demikian bukan di luar kesanggupan Pribadi yang menciptakan jagat raya serta segenap hukumnya.—Keluaran 14:1-31.
Peristiwa ini mempertunjukkan kepada orang-orang Israel—dan itu hendaknya menandaskan kepada kita juga—bahwa Yehuwa adalah Juru Selamat yang bertindak selaras dengan nama-Nya. Akan tetapi, dari kisah ini, lebih banyak lagi yang hendaknya kita sadari tentang jalan-jalan Allah. Misalnya, Dia melaksanakan keadilan terhadap suatu bangsa yang menindas, seraya memperlihatkan kebaikan hati yang penuh kasih kepada umat-Nya yang melaluinya sang Benih akan datang. Sehubungan dengan sang Benih, apa yang kita baca dalam buku Keluaran jelaslah lebih daripada sekadar sejarah zaman purba; apa yang kita baca berkaitan dengan maksud-tujuan Allah untuk membuat berkat-Nya tersedia bagi semua orang.
Menuju Negeri Perjanjian
Setelah meninggalkan Mesir, Musa dan bangsa tersebut berjalan melewati gurun menuju Gunung Sinai. Apa yang terjadi di sana menentukan cara Allah berurusan dengan bangsa ini selama berabad-abad selanjutnya. Dia menyediakan hukum. Tentu saja, berabad-abad sebelum ini, Sang Pencipta telah merumuskan hukum-hukum yang mengatur materi dalam jagat raya kita, hukum-hukum yang masih berlaku hingga sekarang. Namun, di Gunung Sinai, Dia menggunakan Musa untuk menyediakan hukum-hukum nasional. Kita dapat membaca apa yang Allah lakukan dan kaidah hukum yang Dia sediakan dalam buku Keluaran dan tiga buku berikutnya—Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Para sarjana percaya bahwa Musa juga yang menulis buku Ayub. Kita akan membahas beberapa dari antara isinya yang penting di Pasal 10.
Bahkan sampai hari ini, jutaan orang di seluas dunia mengetahui dan berupaya mengikuti Sepuluh Hukum, petunjuk moral utama dari segenap kaidah hukum ini. Namun, kaidah tersebut, memuat lebih banyak lagi perintah yang dikagumi keunggulannya. Jelaslah, banyak peraturan berpusat pada kehidupan orang Israel pada saat itu, seperti peraturan-peraturan tentang higiene, sanitasi, dan penyakit. Meskipun pada mulanya ditetapkan bagi orang-orang zaman purba, hukum-hukum itu mencerminkan pengetahuan akan fakta-fakta ilmiah yang baru ditemukan para ahli sekitar abad yang lalu. (Imamat 13:46, 52; 15:4-13; Bilangan 19:11-20; Ulangan 23:12, 13) Seseorang sebaiknya bertanya pada diri sendiri: Bagaimana mungkin hukum-hukum bagi Israel purba mencerminkan pengetahuan dan hikmat yang jauh mengungguli apa yang dikenal bangsa-bangsa yang sezaman dengan mereka? Jawaban yang masuk akal adalah hukum-hukum tersebut berasal dari Sang Pencipta.
Hukum-hukum ini juga membantu memelihara silsilah keluarga dan menetapkan kewajiban agama untuk diikuti orang-orang Israel sampai sang Benih muncul. Karena setuju untuk melakukan semua yang Allah minta, mereka bertanggung jawab untuk hidup selaras dengan Hukum tersebut. (Ulangan 27:26; 30:17-20) Memang, mereka tidak dapat menjalankan Hukum secara sempurna. Namun, kita dapat mengambil hikmah dari fakta ini. Seorang ahli hukum belakangan menjelaskan bahwa Hukum itu ”membuat pelanggaran nyata, sampai tiba benih itu yang kepadanya janji telah dibuat”. (Galatia 3:19, 24) Maka, kaidah hukum menjadikan mereka suatu bangsa yang terpisah, mengingatkan mereka tentang kebutuhan akan Benih, atau Mesias, dan mempersiapkan mereka untuk menyambutnya.
Orang-orang Israel, yang sedang berkumpul di Gunung Sinai, setuju untuk menaati kaidah Hukum Allah. Dengan demikian, mereka berada di bawah apa yang Alkitab sebut sebagai suatu perjanjian, atau suatu kesepakatan. Perjanjian diadakan antara bangsa tersebut dan Allah. Meskipun mereka dengan rela memasuki perjanjian ini, mereka terbukti sebagai bangsa yang tegar tengkuk. Misalnya, mereka membuat sebuah anak lembu emas sebagai gambaran Allah. Perbuatan mereka merupakan suatu dosa karena penyembahan berhala merupakan pelanggaran langsung terhadap Sepuluh Hukum. (Keluaran 20:4-6) Selain itu, mereka mengeluh tentang makanan yang disediakan untuk mereka, memberontak melawan pemimpin (Musa) yang Allah lantik, dan menyerahkan diri mereka pada hubungan yang amoral dengan perempuan-perempuan asing yang menyembah berhala. Namun, mengapa hal ini hendaknya menarik minat kita, yang hidup jauh sekali setelah zaman Musa?
Sekali lagi, ini bukan sebuah sejarah belaka. Kisah Alkitab tentang tindakan-tindakan Israel yang tidak tahu berterima kasih dan tanggapan Allah terhadap mereka memperlihatkan bahwa Dia benar-benar peduli. Alkitab mengatakan bahwa orang-orang Israel menguji Yehuwa ”berulang kali”, dan ”menyusahkan” serta ”menyakiti”-Nya. (Mazmur 78:40, 41) Oleh karena itu, kita dapat merasa pasti bahwa Sang Pencipta memiliki perasaan dan bahwa Dia peduli akan apa yang manusia lakukan.
Dari sudut pandangan manusia, seseorang mungkin berpikir bahwa perbuatan salah Israel akan mendorong Allah untuk mengakhiri perjanjian-Nya dan mungkin memilih bangsa lain untuk menggenapi janji-Nya. Namun, Dia tidak melakukan itu. Sebaliknya, Dia hanya menghukum orang yang melakukan kesalahan terang-terangan tetapi mengulurkan belas kasihan kepada bangsa-Nya yang tidak patuh secara keseluruhan. Ya, Allah senantiasa loyal pada janji yang dibuat-Nya kepada sahabat-Nya yang setia, Abraham.
Tidak lama kemudian, Israel mendekati tanah Kanaan, yang Alkitab sebut sebagai Negeri Perjanjian. Negeri ini dihuni oleh orang-orang yang sangat kuat yang berkubang dalam praktek-praktek yang bejat secara moral. Sang Pencipta telah membiarkan 400 tahun berlalu tanpa campur tangan dengan mereka, namun kini, dengan adil Dia memilih untuk mengembalikan negeri tersebut kepada Israel purba. (Kejadian 15:16; lihat juga ”Allah yang Cemburu—Dalam Arti Apa?”, halaman 132-3.) Sebagai persiapan, Musa mengutus 12 mata-mata ke negeri tersebut. Sepuluh di antaranya tidak memperlihatkan iman akan kuasa Yehuwa yang menyelamatkan. Laporan mereka menggerakkan bangsa tersebut untuk menggerutu terhadap Allah dan berkomplot untuk kembali ke Mesir. Sebagai akibatnya, Allah menghukum bangsa tersebut untuk mengembara di padang belantara selama 40 tahun.—Bilangan 14:1-4, 26-34.
Apa yang dicapai oleh vonis tersebut? Sebelum kematiannya, Musa memperingatkan putra-putra Israel untuk mengingat tahun-tahun manakala Yehuwa telah merendahkan hati mereka. Musa memberi tahu mereka, ”Haruslah engkau insaf, bahwa TUHAN, Allahmu, mengajari engkau seperti seseorang mengajari anaknya.” (Ulangan 8:1-5) Meskipun tindakan mereka menghina Dia, Yehuwa menopang mereka, mempertunjukkan bahwa mereka bergantung pada-Nya. Misalnya, mereka tetap hidup karena Dia menyediakan bagi bangsa tersebut manna, suatu bahan yang dapat dimakan yang rasanya seperti kue madu. Jelaslah, mereka seharusnya belajar banyak dari pengalaman mereka di padang belantara. Pengalaman itu seharusnya membuktikan bahwa adalah penting untuk menaati Allah mereka yang berbelaskasihan dan bergantung pada-Nya.—Keluaran 16:13-16, 31; 34:6, 7.
Setelah kematian Musa, Allah menugasi Yosua memimpin Israel. Pria yang gagah berani dan loyal ini membawa bangsa tersebut ke Kanaan dan dengan berani memulai penaklukan negeri itu. Dalam waktu singkat, Yosua menaklukkan 31 raja dan menduduki sebagian besar Negeri Perjanjian. Anda dapat menemukan sejarah yang menarik ini dalam buku Yosua.
Pemerintahan Tanpa Seorang Raja Manusia
Selama melintasi padang gurun dan selama tahun-tahun awal di Negeri Perjanjian, bangsa ini dipimpin oleh Musa dan kemudian Yosua. Orang-orang Israel tidak membutuhkan seorang raja manusia, karena Yehuwa adalah Yang Berdaulat atas mereka. Dia menyediakan para tua-tua yang dilantik untuk mendengarkan kasus-kasus pengadilan di gerbang-gerbang kota. Mereka memelihara ketertiban dan membantu orang-orang secara rohani. (Ulangan 16:18; 21:18-20) Buku Rut memberi kita gambaran sepintas yang menarik tentang bagaimana para tua-tua tersebut menangani suatu kasus pengadilan berdasarkan hukum di Ulangan 25:7-9.
Selama bertahun-tahun, bangsa tersebut sering membuat Allah tidak senang dengan cara berulang-ulang tidak menaati-Nya dan berpaling kepada dewa-dewi Kanaan. Namun, sewaktu mereka berada dalam keadaan terjepit dan meminta pertolongan dari Yehuwa, Dia mengingat mereka. Dia mengangkat hakim-hakim untuk mengambil pimpinan dalam membebaskan Israel, menyelamatkan mereka dari bangsa-bangsa tetangga yang menindas. Buku Hakim-Hakim secara gamblang memperlihatkan tindakan 12 dari antara para hakim yang berani ini.—Hakim 2:11-19; Nehemia 9:27.
Kisahnya mengatakan, ”Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri.” (Hakim 21:25) Bangsa tersebut memiliki standar-standar yang dipaparkan di dalam Hukum, maka dengan bantuan para tua-tua dan instruksi dari para imam, bangsa tersebut memiliki dasar untuk ’berbuat apa yang benar menurut pandangan mereka’ dan terlindung dengan melakukannya. Selain itu, kaidah Hukum menetapkan agar ada sebuah tabernakel, atau bait yang dapat dipindah-pindahkan, tempat korban-korban dipersembahkan. Ibadat yang sejati dipusatkan di sana, sehingga membantu mempersatukan bangsa tersebut selama waktu itu.
Bagian Dua—Kemakmuran di Bawah Raja-Raja
Sewaktu Samuel menjadi seorang hakim di Israel, bangsa tersebut menuntut adanya seorang raja manusia. Tiga raja pertama—Saul, Daud, dan Salomo—masing-masing bertakhta selama 40 tahun, dari tahun 1117 SM sampai tahun 997 SM. Israel mencapai puncak kekayaan dan kemuliaannya, dan Sang Pencipta mengambil langkah-langkah yang penting dalam mempersiapkan jabatan raja untuk Benih yang akan datang.
Sebagai hakim dan nabi, Samuel memperhatikan betul kesejahteraan rohani Israel, namun putra-putranya berbeda. Bangsa tersebut akhirnya menuntut Samuel demikian, ”Maka angkatlah sekarang seorang raja atas kami untuk memerintah kami, seperti pada segala bangsa-bangsa lain.” Yehuwa menjelaskan makna tuntutan mereka, ”Dengarkanlah perkataan bangsa itu . . . sebab bukan engkau yang mereka tolak, tetapi Akulah yang mereka tolak, supaya jangan Aku menjadi raja atas mereka.” Yehuwa memberi tahu di muka akibat menyedihkan oleh karena perubahan ini. (1 Samuel 8:1-9) Namun, untuk memenuhi tuntutan mereka, Dia menetapkan seorang pria yang bersahaja bernama Saul sebagai raja atas Israel. Meskipun pada mulanya tampak baik, Saul, setelah menjadi raja, memperlihatkan kecenderungan untuk sulit diatur dan melangkahi perintah-perintah Allah. Nabi Allah mengumumkan bahwa jabatan raja akan diberikan kepada seorang pria yang berkenan di hati Yehuwa. Ini hendaknya menandaskan kepada kita betapa Sang Pencipta sangat menghargai ketaatan yang dari hati.—1 Samuel 15:22, 23.
Daud, yang akan menjadi raja Israel berikutnya, adalah putra bungsu sebuah keluarga dari suku Yehuda. Sehubungan dengan pilihan yang mengejutkan ini, Allah memberi tahu Samuel, ”Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” (1 Samuel 16:7) Bukankah membesarkan hati bahwa Sang Pencipta melihat batin kita, bukan penampilan luar? Namun, Saul memiliki gagasannya sendiri. Sejak Allah memilih Daud sebagai calon raja, Saul terobsesi—digerakkan oleh gagasan untuk melenyapkan Daud. Yehuwa tidak membiarkan hal itu terjadi, dan akhirnya Saul dan putra-putranya mati dalam pertempuran melawan bangsa yang senang berperang, bangsa Filistin.
Daud memerintah sebagai raja dari kota Hebron. Kemudian, ia merebut Yerusalem dan memindahkan ibu kotanya ke sana. Ia juga meluaskan perbatasan Israel sampai ke batas-batas negeri yang Allah telah janjikan akan diberikan kepada keturunan Abraham. Anda dapat membaca periode ini (dan sejarah raja-raja yang memerintah belakangan) dalam enam buku sejarah dalam Alkitab.b Buku-buku ini menyingkapkan bahwa kehidupan Daud tidak bebas dari problem. Misalnya, ia menyerah pada hasrat manusia, ia melakukan perzinaan dengan Batsyeba yang cantik dan kemudian melakukan perbuatan-perbuatan salah lain dengan maksud menutupi dosanya. Sebagai Allah keadilan, Yehuwa tidak dapat begitu saja mengabaikan kekeliruan Daud. Namun, karena pertobatan Daud yang sepenuh hati, Allah tidak menuntut agar sanksi Hukum diberlakukan secara kaku; tetapi, Daud tetap harus menghadapi banyak problem keluarga sebagai akibat dosa-dosanya.
Pada waktu melewati semua krisis ini, Daud mengenal Allah sebagai suatu pribadi—pribadi yang mempunyai perasaan. Ia menulis, ”TUHAN dekat pada setiap orang yang berseru kepada-Nya, . . . mendengarkan teriak mereka minta tolong.” (Mazmur 145:18-20) Ketulusan dan pengabdian Daud sangat nyata dalam nyanyian indah yang ia gubah, yang membentuk kira-kira setengah dari buku Mazmur. Jutaan orang telah mendapatkan penghiburan dan anjuran dari syair ini. Pertimbangkan keakraban Daud dengan Allah, seperti yang tercermin dalam Mazmur 139:1-4, ”TUHAN, Engkau menyelidiki dan mengenal aku; Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh. . . . Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya, semuanya telah Kauketahui, Ya TUHAN.”
Daud khususnya menyadari kuasa Allah yang menyelamatkan. (Mazmur 20:6; 28:9; 34:7, 9; 37:39) Setiap kali ia merasakannya, kepercayaannya pada Yehuwa bertambah. Anda dapat melihat bukti-bukti hal itu di Mazmur 30:5; 62:8; dan 103:9. Atau, bacalah Mazmur 51, yang digubah Daud setelah ia ditegur karena berdosa dengan Batsyeba. Alangkah menyegarkan untuk mengetahui bahwa kita dapat dengan mudah menyatakan diri kita kepada Sang Pencipta, merasa yakin bahwa Dia tidak angkuh tetapi dengan rendah hati bersedia mendengarkan! (Mazmur 18:35; 69:33; 86:1-8) Daud mencapai penghargaan demikian tidak hanya melalui pengalaman. ”Aku merenungkan segala pekerjaan-Mu”, ia menulis, ”aku memikirkan perbuatan tangan-Mu.”—Mazmur 63:6; 143:5.
Yehuwa mengadakan suatu perjanjian khusus dengan Daud untuk suatu kerajaan abadi. Daud mungkin tidak mengerti sepenuhnya maksud perjanjian itu, namun dari perincian yang belakangan dicatat di dalam Alkitab, kita dapat melihat Allah memberikan petunjuk bahwa Benih yang dijanjikan akan datang melalui garis keturunan Daud.—2 Samuel 7:16.
Raja Salomo yang Bijaksana dan Makna Kehidupan
Putra Daud, Salomo, terkenal karena hikmatnya, dan kita dapat memperoleh manfaat dari hikmatnya dengan membaca buku-buku yang sangat praktis yaitu, Amsal dan Pengkhotbah.c (1 Raja 10:23-25) Khususnya buku Pengkhotbah, berguna bagi orang-orang yang mencari makna kehidupan mereka, sama seperti Raja Salomo yang bijaksana. Sebagai raja Israel pertama yang lahir dalam keluarga kerajaan, Salomo memiliki banyak kesempatan di hadapannya. Ia juga melaksanakan proyek-proyek pembangunan yang megah, di mejanya terhidang beraneka ragam makanan, dan ia menikmati musik serta pergaulan dengan teman-teman yang terpandang. Namun, ia menulis, ”Ketika aku meneliti segala pekerjaan yang telah dilakukan tanganku dan segala usaha yang telah kulakukan untuk itu dengan jerih payah, lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin; memang tak ada keuntungan di bawah matahari.” (Pengkhotbah 2:3-9, 11) Apa kesimpulan yang dicapai Salomo?
Salomo menulis, ”Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang. Karena Allah akan membawa setiap perbuatan ke pengadilan yang berlaku atas segala sesuatu yang tersembunyi, entah itu baik, entah itu jahat.” (Pengkhotbah 12:13, 14) Selaras dengan apa yang ia tulis, Salomo terlibat dalam suatu proyek tujuh tahun untuk pembangunan bait yang mulia, tempat orang-orang dapat menyembah Allah.—1 Raja, pasal 6.
Selama bertahun-tahun, pemerintahan Salomo penuh perdamaian dan kelimpahan. (1 Raja 4:20-25) Namun, tidak seperti Daud, hatinya terhadap Yehuwa terbukti tidak sepenuhnya. Salomo mengambil banyak istri asing dan membiarkan mereka mencondongkan hatinya kepada allah-allah mereka. Yehuwa pada akhirnya mengatakan, ”Aku akan mengoyakkan kerajaan itu dari padamu . . . satu suku akan Kuberikan kepada anakmu oleh karena hamba-Ku Daud dan oleh karena Yerusalem yang telah Kupilih.”—1 Raja 11:4, 11-13.
Bagian Tiga—Kerajaan Dibagi
Setelah kematian Salomo, pada tahun 997 SM, sepuluh suku di utara memisahkan diri. Sepuluh suku ini membentuk kerajaan Israel, yang ditaklukkan orang-orang Asiria pada tahun 740 SM. Raja-raja di Yerusalem memerintah atas dua suku. Kerajaan ini, Yehuda, bertahan sampai Babilon menaklukkan Yerusalem pada tahun 607 SM dan menawan penduduknya. Yehuda dibiarkan telantar selama 70 tahun.
Sewaktu Salomo mati, Rehabeam, putranya, berkuasa dan menindas bangsa tersebut. Keadaan ini menyebabkan munculnya suatu pemberontakan, dan sepuluh suku memisahkan diri untuk menjadi kerajaan Israel. (1 Raja 12:1-4, 16-20) Selama bertahun-tahun, kerajaan di sebelah utara ini tidak berpaut kepada Allah yang benar. Penduduknya sering sujud di hadapan berhala-berhala berbentuk anak lembu emas atau terjerumus ke dalam ibadat palsu dalam bentuk-bentuk lain. Beberapa dari antara para raja dibunuh dan dinasti mereka digulingkan oleh para perebut kekuasaan. Yehuwa memperlihatkan pengekangan diri yang besar, berulang-kali mengutus nabi-nabi untuk memperingatkan bangsa tersebut bahwa tragedi akan terjadi jika mereka melanjutkan kemurtadan mereka. Buku Hosea dan Amos ditulis oleh nabi-nabi yang beritanya berpusat pada kerajaan sebelah utara ini. Akhirnya, pada tahun 740 SM, orang-orang Asiria mendatangkan tragedi yang telah dinubuatkan oleh nabi-nabi Allah.
Di selatan, 19 raja penerus dari keluarga Daud memerintah atas Yehuda sampai tahun 607 SM. Raja Asa, Yosafat, Hizkia, dan Yosia memerintah seperti bapak leluhur mereka, Daud, dan mereka memperoleh perkenan Yehuwa. (1 Raja 15:9-11; 2 Raja 18:1-7; 22:1, 2; 2 Tawarikh 17:1-6) Sewaktu raja-raja ini memerintah, Yehuwa memberkati bangsa tersebut. The Englishman’s Critical and Expository Bible Cyclopædia mengamati, ”Ciri khas konservatif yang utama dari Y[ehuda] adalah baitnya yang ditetapkan oleh Allah, keimamannya, hukum tertulisnya, dan pengakuan akan satu Allah yang benar, Yehuwa, sebagai raja teokratis yang sesungguhnya. . . . Keterpautan pada hukum sedemikian. . . menghasilkan deretan raja yang terdiri dari banyak raja yang bijaksana dan baik . . . Oleh karena itu, Y[ehuda] bertahan lebih lama daripada saudara perempuannya, yaitu, kerajaan utara yang lebih banyak penduduknya.” Raja-raja yang baik ini, jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan raja-raja yang tidak mengikuti haluan Daud. Namun, Yehuwa mengatur segala sesuatu agar ’hamba-Nya, Daud, selalu mempunyai keturunan di hadapan-Nya di Yerusalem, kota yang Dia pilih bagi-Nya supaya nama-Nya tinggal di sana’.—1 Raja 11:36.
Menuju Kebinasaan
Manasye merupakan salah satu raja Yehuda yang berpaling dari ibadat yang sejati. ”Ia mempersembahkan anaknya sebagai korban dalam api, melakukan ramal dan telaah, dan menghubungi para pemanggil arwah dan para pemanggil roh peramal. Ia melakukan banyak yang jahat di mata TUHAN, sehingga ia menimbulkan sakit hati-Nya.” (2 Raja 21:6, 16) Raja Manasye membujuk bangsanya untuk ”melakukan yang jahat lebih dari pada bangsa-bangsa yang telah dipunahkan TUHAN”. Setelah berulang kali memperingatkan Manasye dan umat-Nya, Sang Pencipta menyatakan, ”Aku akan menghapuskan Yerusalem seperti orang menghapus pinggan.”—2 Tawarikh 33:9, 10; 2 Raja 21:10-13.
Sebagai pendahuluan, Yehuwa membiarkan orang-orang Asiria menangkap Manasye dan membelenggunya dengan rantai tembaga. (2 Tawarikh 33:11) Dalam pembuangan, Manasye menyadari kesalahannya dan ”sangat merendahkan diri di hadapan Allah nenek moyangnya”. Bagaimana reaksi Yehuwa? ”[Allah] mendengarkan permohonannya. Ia membawanya kembali ke Yerusalem dan memulihkan kedudukannya sebagai raja. Dan Manasye mengakui, bahwa TUHAN itu Allah.” Raja Manasye dan cucunya, Raja Yosia, melaksanakan reformasi yang dibutuhkan. Namun, bangsa itu tidak secara permanen berpaling dari kemerosotan besar-besaran di bidang moral dan agama.—2 Tawarikh 33:1-20; 34:1–35:25; 2 Raja, pasal 22.
Yang menarik, Yehuwa mengutus nabi-nabi yang bergairah untuk menyatakan pandangan-Nya mengenai apa yang sedang terjadi.d Yeremia menyampaikan firman Yehuwa, ”Dari sejak waktu nenek moyangmu keluar dari tanah Mesir sampai waktu ini, Aku mengutus kepada mereka hamba-hamba-Ku, para nabi, hari demi hari, terus-menerus.” Tetapi, bangsa tersebut tidak mau mendengarkan Allah. Mereka bertindak lebih jahat daripada nenek moyang mereka! (Yeremia 7:25, 26) Allah memperingatkan mereka berulang-ulang ”karena ia beriba hati terhadap umatnya”. Mereka tetap tidak menghiraukan. Maka, Ia membiarkan orang-orang Babilon membinasakan Yerusalem dan menelantarkan negeri itu pada tahun 607 SM. Selama 70 tahun negeri itu ditelantarkan.—2 Tawarikh 36:15, 16, NW; Yeremia 25:4-11.
Tinjauan singkat mengenai tindakan-tindakan Allah ini hendaknya membantu kita menyadari keprihatinan Yehuwa dan cara berurusan-Nya yang adil dengan bangsa-Nya. Ia tidak menarik diri dan hanya menunggu untuk melihat apa yang akan dilakukan orang-orang, seolah-olah Ia acuh tak acuh. Dengan aktif Ia berupaya membantu mereka. Anda dapat mengerti mengapa Yesaya mengatakan, ”Ya TUHAN, Engkaulah Bapa kami! . . . kami sekalian adalah buatan tangan-Mu.” (Yesaya 64:8) Maka, banyak orang dewasa ini menyebut Sang Pencipta sebagai ”Bapak”, karena Ia menanggapi seperti seorang ayah manusia yang penuh kasih dan memiliki minat. Akan tetapi, Ia juga sadar bahwa kita harus bertanggung jawab atas haluan kita sendiri serta akibat-akibatnya.
Setelah bangsa tersebut mengalami periode penawanan selama 70 tahun di Babilon, Allah Yehuwa menggenapi nubuat-Nya untuk memulihkan Yerusalem. Bangsa tersebut dibebaskan dan diizinkan kembali ke tanah air mereka untuk ’mendirikan rumah TUHAN, yang ada di Yerusalem’. (Ezra 1:1-4; Yesaya 44:24–45:7) Sejumlah buku dalam Alkitabe membahas tentang pemulihan ini, pembangunan kembali bait, atau peristiwa-peristiwa selanjutnya. Salah satu buku, Daniel, khususnya menarik karena buku ini menubuatkan dengan tepat kapan sang Benih, atau Mesias, akan muncul, dan buku ini menubuatkan perkembangan dunia pada zaman kita.
Bait tersebut akhirnya dibangun kembali, namun Yerusalem berada dalam keadaan yang mengenaskan. Dinding-dinding dan gerbang-gerbangnya tinggal puing-puing. Maka, Allah mengangkat pria-pria seperti Nehemia untuk menganjurkan dan mengorganisasi orang-orang Yahudi. Sebuah doa yang dapat kita baca dalam Nehemia pasal 9 meringkaskan dengan bagus cara Yehuwa berurusan dengan orang-orang Israel. Doa ini memperlihatkan Yehuwa sebagai ”Allah yang sudi mengampuni, yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia-Nya”. Doa ini juga memperlihatkan bahwa Yehuwa bertindak selaras dengan standar keadilan-Nya yang sempurna. Bahkan bila Ia memiliki alasan yang sah untuk menjalankan kuasa-Nya dalam melaksanakan penghakiman, Ia bersedia untuk melembutkan keadilan dengan kasih. Hikmat dibutuhkan agar Ia dapat bertindak dengan cara seimbang dan mengagumkan seperti ini. Jelaslah, cara Sang Pencipta berurusan dengan bangsa Israel hendaknya membuat kita tertarik kepada-Nya dan memotivasi kita untuk berminat melakukan kehendak-Nya.
Sewaktu bagian Alkitab ini (Perjanjian Lama) berakhir, Yehuda, dengan baitnya di Yerusalem, dipulihkan namun berada di bawah pemerintahan orang kafir. Maka, bagaimana perjanjian Allah dengan Daud tentang suatu ”benih” yang akan memerintah ”selama-lamanya” dapat digenapi? (Mazmur 89:3, 4; 132:11, 12) Orang-orang Yahudi masih menantikan munculnya ”Mesias sang Pemimpin” yang akan membebaskan umat Allah dan mendirikan suatu kerajaan teokratis (yang diperintah Allah) di bumi. (Daniel 9:24, 25, NW) Namun, apakah itu adalah maksud-tujuan Yehuwa? Jika tidak, bagaimana Mesias yang dijanjikan akan mewujudkan pembebasan? Dan bagaimana hal itu mempengaruhi kita dewasa ini? Pasal berikut akan membahas soal penting ini.
[Catatan Kaki]
a Nama buku-buku Alkitab dicetak dengan huruf tebal sebagai bantuan untuk mengidentifikasi isinya.
b Buku-buku ini adalah 1 Samuel, 2 Samuel, 1 Raja, 2 Raja, 1 Tawarikh, dan 2 Tawarikh.
c Ia juga menulis Kidung Agung, puisi cinta yang menyoroti loyalitas seorang wanita muda kepada seorang gembala yang sederhana.
d Sejumlah buku dalam Alkitab memuat berita-berita nubuat terilham seperti itu. Yaitu: Yesaya, Yeremia, Ratapan, Yehezkiel, Yoel, Mikha, Habakuk, Zefanya. Buku Obaja, Yunus, dan Nahum berfokus pada bangsa-bangsa di sekitarnya yang tindakannya mempengaruhi umat Allah.
e Buku-buku sejarah dan nubuat ini mencakup Ezra, Nehemia, Ester, Hagai, Zakharia dan Maleakhi.
[Kotak di hlm. 126, 127]
Mukjizat—Dapatkah Anda Mempercayainya?
”Adalah konyol untuk menggunakan lampu listrik dan telegrap serta memanfaatkan penemuan modern dalam bidang medis dan pembedahan, dan pada waktu yang sama mempercayai makhluk-makhluk roh serta mukjizat di dalam dunia Perjanjian Baru.” Kata-kata teolog Jerman bernama Rudolf Bultmann ini mencerminkan perasaan banyak orang pada masa ini terhadap mukjizat. Apakah demikian pula perasaan Anda terhadap mukjizat yang dicatat di dalam Alkitab, seperti mukjizat pembelahan Laut Merah oleh Allah?
The Concise Oxford Dictionary mendefinisikan ”mukjizat” sebagai ”peristiwa luar biasa yang disebabkan oleh suatu agen supernatural”. Peristiwa luar biasa demikian mencakup interupsi terhadap tatanan alam, sehingga banyak orang cenderung tidak percaya akan mukjizat. Akan tetapi, apa yang tampaknya melanggar hukum alam dapat dengan mudah dijelaskan dengan mengingat hukum-hukum alam lain yang terlibat.
Sebagai ilustrasi, New Scientist melaporkan bahwa dua ahli fisika di Universitas Tokyo menaruh sebuah medan magnet yang sangat kuat ke dalam sebuah tabung horisontal yang sebagian diisi dengan air. Airnya segera mengumpul di ujung-ujung tabung, sehingga bagian tengah tabung, kering. Fenomena ini, yang ditemukan pada tahun 1994, dapat terjadi karena air adalah bahan diamagnetik yang lemah, menyingkir dari medan magnet. Fenomena yang telah diteguhkan bahwa air selalu berpindah dari medan magnet sangat tinggi ke medan magnet lebih rendah telah dijuluki Efek Musa. New Scientist menulis, ”Mendorong air adalah perkara mudah—jika Anda memiliki magnet yang cukup besar. Dan jika Anda memilikinya, maka hampir segala sesuatu mungkin terjadi.”
Tentu saja, orang tidak dapat mengatakan dengan pasti proses mana yang Allah gunakan sewaktu membelah Laut Merah bagi orang-orang Israel. Namun, Sang Pencipta mengetahui segala hukum alam sampai ke segala perinciannya. Ia dapat dengan mudah mengendalikan aspek tertentu dari satu hukum dengan menggunakan hukum-hukum lain yang diciptakan-Nya. Bagi manusia, hasilnya dapat tampak seperti mukjizat, khususnya jika mereka tidak sepenuhnya mengerti hukum-hukum yang tersangkut.
Sehubungan dengan mukjizat-mukjizat di dalam Alkitab, Akira Yamada, profesor emeritus dari Universitas Kyoto di Jepang, mengatakan, ”Meskipun benar untuk mengatakan bahwa [suatu mukjizat] sekarang tidak dapat dimengerti dari sudut pandangan sains yang dipelajari seseorang (atau dari status quo sains), adalah keliru untuk menyimpulkan bahwa mukjizat tidak terjadi semata-mata berdasarkan fisika modern yang mutakhir atau bibliografi modern yang mutakhir. Sepuluh tahun lagi, sains modern akan menjadi sains masa lalu. Semakin cepat sains maju semakin besar kemungkinannya para ilmuwan dewasa ini akan menjadi sasaran gurauan seperti, ’Para ilmuwan sepuluh tahun yang lalu dengan serius mempercayai ini dan itu.’”—Gods in the Age of Science.
Sebagai Pencipta, yang sanggup mengkoordinasi semua hukum alam, Yehuwa dapat menggunakan kuasa-Nya untuk melakukan mukjizat.
[Kotak di hlm. 132, 133]
Allah yang Cemburu—Dalam Arti Apa?
”Karena TUHAN, yang nama-Nya Cemburuan, adalah Allah yang cemburu.” Kita dapat membaca komentar tersebut dalam Keluaran 34:14, namun apa artinya?
Kata Ibrani yang diterjemahkan ”cemburu” dapat berarti ”menuntut pengabdian yang eksklusif, tidak mentoleransi persaingan”. Dalam arti positif yang mendatangkan manfaat bagi ciptaan-Nya, Yehuwa cemburu sehubungan dengan nama dan ibadat-Nya. (Yehezkiel 39:25) Kegairahan-Nya untuk menggenapi apa yang dicerminkan nama-Nya mengartikan bahwa Ia akan melaksanakan maksud-tujuan-Nya bagi umat manusia.
Misalnya, pertimbangkan vonis-Nya atas orang-orang yang tinggal di negeri Kanaan. Seorang sarjana memberikan uraian yang mengejutkan ini, ”Ibadat bagi Baal, Astoret, dan dewa-dewa Kanaan lainnya terdiri dari pesta-pesta liar yang sangat tidak terkendali; kuil-kuil mereka menjadi pusat kejahatan. . . . Orang Kanaan melakukan ibadat, dengan pemuasan hawa nafsu amoral, . . . dan kemudian, dengan membunuh anak-anak sulung mereka, sebagai korban kepada dewa-dewa yang sama ini.” Para ahli arkeologi telah menemukan guci-guci yang berisi sisa-sisa anak-anak yang telah dikorbankan. Meskipun Allah memperhatikan kekeliruan orang-orang Kanaan sejak zaman Abraham, Ia memperlihatkan kesabaran terhadap mereka selama 400 tahun, memberi mereka banyak waktu untuk berubah.—Kejadian 15:16.
Apakah orang-orang Kanaan menyadari seriusnya kekeliruan mereka? Mereka memiliki hati nurani manusiawi, yang diakui oleh para ahli hukum sebagai suatu dasar universal untuk moralitas dan keadilan. (Roma 2:12-15) Meskipun demikian, orang-orang Kanaan berkukuh dalam praktek-praktek pengorbanan anak-anak mereka dan praktek-praktek seks yang bejat.
Yehuwa dengan keadilan-Nya yang seimbang menentukan bahwa negeri tersebut perlu dibersihkan. Ini bukanlah suatu genosida. Orang-orang Kanaan, baik secara perorangan seperti Rahab maupun secara kelompok seperti orang-orang Gibeon, yang dengan sukarela menerima standar-standar moral Allah yang tinggi, diluputkan. (Yosua 6:25; 9:3-15) Rahab menjadi salah satu mata rantai dalam silsilah kerajaan yang menuntun kepada Mesias, dan keturunan orang-orang Gibeon mendapat hak istimewa untuk melayani di bait Yehuwa.—Yosua 9:27; Ezra 8:20; Matius 1:1, 5-16.
Oleh karena itu, sewaktu seseorang memperoleh gambaran yang lengkap dan jelas berdasarkan fakta, akan lebih mudah untuk melihat Yehuwa sebagai Allah yang mengagumkan dan adil, yang memperlihatkan kecemburuan secara benar sehingga mendatangkan manfaat bagi makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang setia.
-
-
Guru yang Agung Memperkenalkan Sang Pencipta kepada Kita dengan Lebih JelasApakah Ada Pencipta yang Mempedulikan Anda?
-
-
Pasal Sembilan
Guru yang Agung Memperkenalkan Sang Pencipta kepada Kita dengan Lebih Jelas
ORANG-ORANG Palestina pada abad pertama ”sedang menanti”. Siapa yang mereka nantikan? ”Kristus”, atau ”Mesias”, yang dinubuatkan oleh nabi-nabi Allah berabad-abad sebelumnya. Orang-orang merasa yakin bahwa Alkitab ditulis di bawah bimbingan Allah dan bahwa Alkitab memuat pemberitahuan di muka mengenai masa depan. Salah satunya, dalam buku Daniel, menunjuk ke kedatangan Mesias pada permulaan abad mereka.—Lukas 3:15; Daniel 9:24-26, NW.
Namun, mereka perlu berhati-hati karena mesias-mesias yang menobatkan diri sendiri akan bermunculan. (Matius 24:5) Sejarawan Yahudi, Yosefus, menyebutkan beberapa dari antaranya: Teudas, yang membawa para pengikutnya ke Sungai Yordan dan menyatakan bahwa airnya akan terbelah; seorang pria dari Mesir yang memimpin orang-orang ke Gunung Zaitun, menyatakan bahwa tembok Yerusalem akan runtuh atas perintahnya; dan seorang penipu pada zaman Gubernur Festus yang menjanjikan kebebasan dari masalah.—Bandingkan Kisah 5:36; 21:38.
Tidak seperti para pengikut yang tertipu itu, suatu kelompok yang disebut ”orang-orang Kristen” mengakui Yesus dari Nazaret sebagai guru yang agung dan Mesias yang sejati. (Kisah 11:26; Markus 10:47) Yesus bukan Mesias gadungan; ia memiliki bukti-bukti kuat, sebagaimana sering diteguhkan dalam empat buku sejarah yang disebut Injil.a Misalnya, orang-orang Yahudi tahu bahwa Mesias akan lahir di Betlehem, akan lahir dari garis keturunan Daud, dan akan melakukan banyak perbuatan yang menakjubkan. Yesus menggenapi semua itu, sebagaimana dibuktikan bahkan oleh kesaksian para penentang. Ya, Yesus memenuhi syarat yang Alkitab tetapkan untuk seorang Mesias.—Matius 2:3-6; 22:41-45; Yohanes 7:31, 42.
Sejumlah besar orang yang menjumpai Yesus, mengamati perbuatan-perbuatannya yang luar biasa, mendengar kata-kata berhikmatnya yang unik, dan mengakui kesanggupannya untuk melihat ke masa depan, menjadi yakin bahwa ia adalah sang Mesias. Selama pelayanannya (tahun 29-33 M), semakin banyak bukti yang mendukung bahwa ia adalah seorang Mesias. Sebenarnya, ia terbukti lebih daripada seorang Mesias. Seorang murid yang mengenal baik fakta-fakta ini menyimpulkan bahwa ”Yesus adalah Kristus Putra Allah”.b—Yohanes 20:31.
Karena Yesus memiliki hubungan yang akrab dengan Allah, ia dapat menjelaskan dan menyingkapkan Sang Pencipta kepada kita. (Lukas 10:22; Yohanes 1:18) Yesus memberikan kesaksian bahwa keakrabannya dengan Bapaknya dimulai di surga, tempat ia bekerja bersama Allah dalam menciptakan semua hal lain, yang bernyawa dan yang tidak.—Yohanes 3:13; 6:38; 8:23, 42; 13:3; Kolose 1:15, 16.
Alkitab melaporkan bahwa sang Putra dipindahkan dari alam roh dan ”menjadi sama seperti manusia”. (Filipi 2:5-8) Kejadian seperti itu tidak wajar, namun dapatkah itu terjadi? Para ilmuwan meneguhkan bahwa suatu unsur alami, seperti uranium, dapat diubah menjadi unsur lain; mereka bahkan menghitung hasilnya bila massa diubah menjadi energi (E=mc2). Jadi, mengapa harus ragu bila Alkitab mengatakan bahwa suatu makhluk roh diubah untuk hidup sebagai manusia?
Untuk mengilustrasikan dengan cara lain, pikirkan mengenai apa yang dicapai oleh beberapa dokter dengan pembuahan in vitro (di dalam tabung percobaan). Suatu kehidupan yang mulai dalam sebuah ”tabung percobaan” dipindahkan ke dalam tubuh seorang wanita dan kemudian lahir sebagai bayi. Dalam kasus Yesus, Alkitab meyakinkan kita bahwa dengan ”kuasa dari Yang Mahatinggi”, kehidupannya dipindahkan ke dalam tubuh seorang perawan bernama Maria. Ia berasal dari garis keturunan Daud, maka Yesus dapat menjadi ahli waris permanen dari Kerajaan Mesias yang dijanjikan kepada Daud.—Lukas 1:26-38; 3:23-38; Matius 1:23.
Berdasarkan hubungannya yang akrab dan kemiripannya dengan Sang Pencipta, Yesus mengatakan, ”Ia yang telah melihat aku telah melihat Bapak juga.” (Yohanes 14:9) Ia juga mengatakan, ”Tidak seorang pun mengenal siapa Bapak itu, kecuali Putra, dan ia yang kepadanya Putra bersedia menyingkapkan dia.” (Lukas 10:22) Oleh karena itu, seraya kita belajar mengenai apa yang Yesus ajarkan dan lakukan di bumi, kita dapat dengan lebih jelas melihat kepribadian Sang Pencipta. Marilah kita mempertimbangkan hal ini, dengan menggunakan pengalaman pria dan wanita yang berurusan dengan Yesus.
Seorang Wanita Samaria
”Tidakkah ini mungkin Kristus?” seorang wanita Samaria bertanya-tanya setelah bercakap-cakap sejenak dengan Yesus. (Yohanes 4:29) Bahkan dia mendesak orang-orang lain dari kota Sikhar di dekat daerah itu untuk menjumpai Yesus. Apa yang menggerakkannya untuk menerima Yesus sebagai Mesias?
Wanita ini berjumpa dengan Yesus yang sedang melepas lelah setelah berjalan sepanjang pagi di jalan yang berdebu di bukit-bukit Samaria. Meskipun lelah, Yesus berbicara dengannya. Melihat minatnya yang serius akan perkara rohani, Yesus membagikan kebenaran yang sangat dalam yang berintikan perlunya ”menyembah Bapak dengan roh dan kebenaran”. Akhirnya ia menyingkapkan bahwa ia sebenarnya adalah Kristus, sebuah fakta yang belum diakuinya di hadapan umum.—Yohanes 4:3-26.
Bagi wanita Samaria ini, perjumpaannya dengan Yesus sangat berarti. Kegiatan agamanya yang sebelumnya, berpusat pada ibadat di Gunung Gerizim dan didasarkan hanya pada lima buku pertama Alkitab. Orang-orang Yahudi menjauhi orang-orang Samaria, yang banyak di antaranya adalah keturunan campuran antara sepuluh suku Israel dan bangsa-bangsa lain. Yesus sungguh berbeda! Ia bersedia mengajar orang Samaria ini, meskipun ia diberi tugas untuk pergi kepada ”domba-domba yang hilang dari rumah Israel”. (Matius 15:24) Di sini Yesus mencerminkan kesediaan Yehuwa untuk menerima orang-orang yang tulus dari segala bangsa. (1 Raja 8:41-43) Ya, baik Yesus maupun Yehuwa, tidak terlibat dalam permusuhan antaragama yang picik yang menyebar di dunia dewasa ini. Pengetahuan kita tentang hal ini hendaknya mendekatkan kita kepada Sang Pencipta dan Putra-Nya.
Ada pelajaran lain yang dapat kita peroleh dari kesediaan Yesus untuk mengajar wanita ini. Pada waktu itu, wanita ini hidup bersama dengan seorang pria yang bukan suaminya. (Yohanes 4:16-19) Namun, Yesus tidak membiarkan keadaan ini menghalanginya untuk berbicara kepada wanita itu. Bisa dipahami bahwa wanita ini pasti menghargai karena diperlakukan secara bermartabat. Dan bukan dia saja yang mengalami perlakuan demikian. Sewaktu beberapa pemimpin Yahudi (orang-orang Farisi) mengkritik Yesus karena makan bersama para pedosa yang bertobat, ia mengatakan, ”Orang-orang sehat tidak membutuhkan tabib, melainkan yang sakit. Maka, pergilah, dan belajarlah apa arti hal ini, ’Aku menginginkan belas kasihan, dan bukan korban.’ Karena aku datang untuk memanggil, bukan orang-orang yang adil-benar, melainkan pedosa-pedosa.” (Matius 9:10-13) Yesus mengulurkan bantuan kepada orang-orang yang mengerang karena beban dosa-dosa mereka—pelanggaran mereka atas hukum-hukum atau standar-standar Allah. Sungguh menghangatkan hati untuk mengetahui bahwa Allah dan Putra-Nya akan membantu orang-orang yang memiliki problem yang diakibatkan oleh tingkah laku mereka di masa lampau!—Matius 11:28-30.c
Janganlah abaikan bahwa pada kesempatan di Samaria ini, Yesus berbicara dengan ramah dan bersedia membantu seorang wanita. Mengapa hal ini patut diperhatikan? Pada waktu itu, pria Yahudi diajarkan untuk tidak berbicara dengan wanita di tempat-tempat umum, bahkan dengan istri mereka sendiri. Para Rabi Yahudi menganggap bahwa wanita tidak sanggup mencerna instruksi rohani yang dalam dan menganggap mereka ”berotak udang”. Ada yang mengatakan, ”Lebih baik kata-kata hukum dibakar daripada disampaikan kepada wanita.” Murid-murid Yesus dibesarkan dalam lingkungan semacam itu; maka sewaktu mereka kembali, mereka ”mulai heran karena ia sedang berbicara dengan seorang wanita”. (Yohanes 4:27) Kisah ini—salah satu dari antara banyak kisah lain—melukiskan bahwa Yesus adalah gambar Bapaknya, yang menciptakan dan menghormati pria dan wanita.—Kejadian 2:18.
Kemudian, wanita Samaria ini meyakinkan orang-orang sekotanya untuk mendengarkan Yesus. Banyak dari antara mereka yang menyelidiki fakta-faktanya dan menjadi orang-orang beriman, dengan mengatakan, ”Kami tahu bahwa pria ini pasti juru selamat dunia.” (Yohanes 4:39-42) Karena kita adalah bagian dari ”dunia” umat manusia, Yesus juga penting untuk masa depan kita.
Pandangan Seorang Nelayan
Kini, marilah kita melihat Yesus melalui mata dua rekan karibnya—Petrus dan kemudian Yohanes. Para nelayan sederhana ini termasuk di antara para pengikutnya yang pertama. (Matius 4:13-22; Yohanes 1:35-42) Orang-orang Farisi memandang mereka sebagai ”tidak terpelajar dan biasa”, termasuk orang-orang dusun (ʽam-ha·ʼaʹrets), yang dianggap rendah karena tidak mendapat pendidikan sebagai rabi. (Kisah 4:13; Yohanes 7:49) Kebanyakan dari antara orang-orang seperti itu, yang ”berjerih lelah dan mempunyai tanggungan berat” di bawah kuk orang-orang beragama yang berpaut pada tradisi, merindukan pencerahan rohani. Profesor Charles Guignebert dari perguruan tinggi Sorbonne mengomentari bahwa ”hati mereka sepenuhnya berpaut kepada Yahweh [Yehuwa]”. Yesus tidak menolak orang-orang yang sederhana ini demi orang-orang yang kaya atau yang berpengaruh. Sebaliknya, ia menyingkapkan Sang Bapak kepada mereka melalui pengajarannya dan caranya ia berurusan.—Matius 11:25-28.
Petrus merasakan secara langsung perlakuan Yesus yang penuh perhatian. Tidak lama setelah dia bergabung bersama Yesus dalam pelayanan, ibu mertua Petrus sakit demam. Yesus datang ke rumah Petrus dan memegang tangan ibu mertuanya, dan demamnya pun hilang! Barangkali kita tidak tahu proses penyembuhan ini secara persis, sebagaimana para dokter dewasa ini tidak dapat sepenuhnya menjelaskan bagaimana beberapa penyembuhan bisa terjadi, namun wanita ini sembuh dari demamnya. Yang lebih penting daripada mengetahui metode penyembuhannya adalah pemahaman bahwa dengan menyembuhkan orang yang sakit dan menderita, Yesus membuktikan belas kasihannya kepada mereka. Ia benar-benar ingin membantu orang-orang, dan demikian pula Bapaknya. (Markus 1:29-31, 40-43; 6:34) Dari pengalamannya bersama Yesus, Petrus dapat melihat bahwa Sang Pencipta menganggap setiap orang layak diperhatikan.—1 Petrus 5:7.
Belakangan, Yesus berada di Ruangan Kaum Wanita di bait Yerusalem. Ia mengamati orang-orang menjatuhkan sumbangan ke dalam peti-peti perbendaharaan. Orang-orang kaya memasukkan banyak uang logam. Yesus memperhatikan dengan serius dan melihat seorang janda miskin menjatuhkan dua uang logam yang sangat sedikit nilainya. Yesus memberi tahu Petrus, Yohanes, dan yang lain-lain, ”Dengan sungguh-sungguh aku mengatakan kepadamu bahwa janda miskin ini telah menjatuhkan lebih banyak daripada mereka semua yang menjatuhkan uang ke dalam peti perbendaharaan; karena mereka semua menjatuhkan dari kelebihan mereka, tetapi dia, dari kekurangannya, telah menjatuhkan semua yang dia miliki.”—Markus 12:41-44.
Anda dapat melihat bahwa Yesus mencari hal-hal yang baik dalam diri orang-orang dan bahwa ia menghargai upaya setiap orang. Menurut Anda, apa pengaruh hal ini atas Petrus dan rasul-rasul lain? Dari teladan Yesus, Petrus menyadari sifat Yehuwa, dia belakangan mengutip sebuah mazmur, ”Mata Yehuwa ada pada orang yang adil-benar, dan telinganya kepada permohonan mereka.” (1 Petrus 3:12; Mazmur 34:15, 16) Tidakkah Anda tertarik kepada Pencipta dan Putra-Nya yang ingin menemukan hal-hal baik dalam diri Anda serta mendengarkan permohonan Anda?
Setelah sekitar dua tahun bergaul dengan Yesus, Petrus merasa yakin bahwa Yesus-lah sang Mesias. Sekali peristiwa, Yesus menanyai murid-muridnya, ”Kata orang-orang siapa aku ini?” Ia mendapatkan berbagai jawaban. Kemudian, ia menanyai mereka, ”Tetapi kamu, siapa katamu aku ini?” Petrus dengan yakin menjawab, ”Engkau adalah Kristus.” Anda mungkin merasa bingung akan apa yang Yesus lakukan selanjutnya. Ia ”berpesan kepada mereka dengan tegas agar tidak memberi tahu siapa pun” mengenai hal itu. (Markus 8:27-30; 9:30; Matius 12:16) Mengapa ia mengatakan hal itu? Yesus ada di tengah orang-orang, maka ia tidak ingin mereka mengambil kesimpulan hanya berdasarkan desas-desus. Hal itu masuk akal, bukan? (Yohanes 10:24-26) Intinya adalah, Pencipta kita juga ingin agar kita mencari tahu tentang Dia melalui penyelidikan kita atas bukti-bukti yang kuat. Dia mengharapkan kita untuk mendapatkan keyakinan berdasarkan fakta-fakta.—Kisah 17:27.
Seperti yang mungkin Anda bayangkan, beberapa orang yang sebangsa dengan Yesus tidak menerimanya, meskipun terdapat banyak bukti bahwa ia didukung Sang Pencipta. Banyak orang, yang sibuk dengan status mereka atau dengan tujuan politik mereka, tidak menyukai Mesias yang tulus dan rendah hati ini. Sewaktu pelayanannya hampir usai, Yesus mengatakan, ”Yerusalem, yang mematikan nabi-nabi dan yang merajam mereka yang diutus kepadanya,—betapa sering aku ingin mengumpulkan anak-anakmu bersama . . . Tetapi kamu sekalian tidak mau. Lihat! Rumahmu ditinggalkan kepadamu.” (Matius 23:37, 38) Perubahan situasi bangsa tersebut menandai langkah penting dalam realisasi maksud-tujuan Allah untuk memberkati semua bangsa.
Tidak lama setelah itu, Petrus dan tiga rasul lain mendengar Yesus memberikan sebuah nubuat terperinci tentang ”penutup sistem perkara”.d Apa yang Yesus nubuatkan memiliki penggenapan pertama sewaktu Yerusalem diserang dan dihancurkan oleh orang-orang Romawi pada tahun 66-70 M. Sejarah membuktikan bahwa apa yang Yesus ramalkan benar-benar terjadi. Petrus menyaksikan hal-hal yang Yesus ramalkan, dan ini terlihat dalam 1 dan 2 Petrus, dua buku yang ditulis Petrus.—1 Petrus 1:13; 4:7; 5:7, 8; 2 Petrus 3:1-3, 11, 12.
Selama pelayanannya, Yesus dengan sabar mengulurkan kebaikan hati kepada orang-orang Yahudi di sekitarnya. Namun, ia tidak menahan diri dari mengutuki kefasikan. Hal ini membantu Petrus, dan ini hendaknya membantu kita juga, untuk memahami Pencipta kita secara lebih sepenuhnya. Seraya ia melihat hal-hal lain sebagai penggenapan nubuat Yesus, Petrus menulis bahwa orang-orang Kristen hendaknya tetap ”mengingat kehadiran hari Yehuwa”. Petrus juga mengatakan, ”Yehuwa tidak lambat sehubungan dengan janjinya, sebagaimana beberapa orang anggap kelambatan, tetapi ia sabar terhadap kamu karena ia tidak menginginkan seorang pun dibinasakan tetapi menginginkan semuanya mencapai pertobatan.” Kemudian Petrus memberikan kata-kata anjuran tentang ’langit baru dan bumi baru yang di dalamnya keadilbenaran akan tinggal’. (2 Petrus 3:3-13) Apakah kita, seperti Petrus, menghargai sifat-sifat Allah yang tercermin dalam diri Yesus, dan apakah kita memanifestasikan kepercayaan terhadap janji-janji-Nya untuk masa depan?
Mengapa Yesus Mati?
Pada malam terakhirnya bersama para rasul, Yesus menikmati perjamuan istimewa dengan mereka. Pada perjamuan semacam itu, seorang tuan rumah Yahudi biasanya memperlihatkan keramahtamahan dengan mencuci kaki para tamu, yang mungkin telah berjalan menggunakan kasut di jalan yang berdebu. Akan tetapi, tidak seorang pun menawarkan diri untuk melakukan hal itu kepada Yesus. Maka, ia dengan rendah hati bangkit, mengambil handuk dan baskom, dan mulai mencuci kaki rasul-rasul. Sewaktu giliran Petrus tiba, dia segan menerima pelayanan dari Yesus. Petrus mengatakan, ”Engkau sekali-kali tidak akan mencuci kakiku.” ”Kecuali aku mencuci engkau,” jawab Yesus, ”engkau tidak mempunyai bagian bersamaku.” Ia tahu bahwa ia segera akan mati, maka Yesus menambahkan, ”Karena itu, jika aku, meskipun Tuan dan Guru, mencuci kakimu, kamu juga wajib mencuci kaki satu sama lain. Karena aku menetapkan pola bagimu, agar, sebagaimana aku melakukan kepadamu, kamu harus melakukan juga.”—Yohanes 13:5-17.
Beberapa dekade kemudian, Petrus mendesak orang-orang Kristen untuk meniru Yesus, bukan dalam suatu upacara mencuci kaki, melainkan untuk dengan rendah hati melayani orang-orang lain sebaliknya daripada ”memerintah atas” mereka. Petrus juga sadar bahwa teladan Yesus membuktikan bahwa ”Allah menentang orang yang angkuh, tetapi ia memberikan kebaikan hati yang tidak layak diterima kepada orang yang rendah hati”. Sungguh suatu pelajaran yang bagus tentang Sang Pencipta! (1 Petrus 5:1-5; Mazmur 18:36) Namun, Petrus belajar lebih banyak lagi.
Setelah perjamuan terakhir tersebut, Yudas Iskariot, seorang rasul namun yang kemudian menjadi seorang pencuri, membawa segerombolan pria bersenjata untuk menangkap Yesus. Sewaktu mereka melakukan hal itu, Petrus bereaksi. Ia menghunus pedangnya dan melukai seorang pria dalam gerombolan itu. Yesus menegur Petrus, ”Kembalikan pedangmu ke tempatnya, karena semua orang yang mengangkat pedang akan binasa oleh pedang.” Kemudian, di hadapan Petrus, Yesus menyentuh pria ini, menyembuhkannya. (Matius 26:47-52; Lukas 22:49-51) Jelaslah, Yesus bertindak selaras dengan ajarannya untuk ’terus mengasihi musuh-musuhmu’, ia meniru Bapaknya, yang ”membuat mataharinya terbit atas orang-orang yang fasik dan yang baik dan menurunkan hujan atas orang-orang yang adil-benar dan yang tidak adil-benar”.—Matius 5:44, 45.
Selama malam yang menegangkan tersebut, Yesus menjalani pemeriksaan kilat yang asal-asalan oleh majelis pengadilan tinggi Yahudi. Ia dengan curang dituduh menghujah, dibawa ke Gubernur Romawi, dan kemudian dengan tidak adil diserahkan untuk dieksekusi. Orang-orang Yahudi dan Romawi mengejeknya. Ia dianiaya secara brutal dan akhirnya dipantek. Banyak dari antara perlakuan buruk tersebut merupakan penggenapan nubuat yang ditulis berabad-abad sebelumnya. Bahkan para prajurit yang mengamati Yesus di tiang siksaan mengakui, ”Pasti ini Putra Allah.”—Matius 26:57–27:54; Yohanes 18:12–19:37.
Perkembangan ini pasti menyebabkan Petrus dan orang-orang lain bertanya, ’Mengapa Kristus harus mati?’ Baru belakangan mereka mengerti. Antara lain, peristiwa-peristiwa tersebut menggenapi nubuat dalam Yesaya pasal 53, yang memperlihatkan bahwa Kristus akan menyediakan pembebasan bukan hanya bagi orang-orang Yahudi namun juga bagi segenap umat manusia. Petrus menulis, ”Ia sendiri menanggung dosa-dosa kita dalam tubuhnya sendiri pada tiang, agar kita dapat dibebaskan dari dosa dan hidup untuk keadilbenaran. Dan ’oleh bilur-bilurnya kamu disembuhkan’.” (1 Petrus 2:21-25) Petrus memahami makna kebenaran yang Yesus nyatakan, ”Putra manusia datang, bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani dan memberikan jiwanya sebagai tebusan untuk penukar bagi banyak orang.” (Matius 20:28) Ya, Yesus harus mengorbankan hak hidupnya sebagai manusia yang sempurna demi membeli kembali umat manusia dari keadaan berdosa yang diwariskan Adam. Itu adalah ajaran dasar Alkitab—tebusan.
Apa yang tercakup dalam tebusan? Anda dapat memikirkannya dengan cara ini: Misalnya Anda memiliki sebuah komputer namun salah satu file elektroniknya rusak karena suatu kesalahan (atau virus) yang telah ditanamkan seseorang dalam sebuah program yang sebenarnya sempurna. Ini adalah ilustrasi mengenai pengaruh yang Adam berikan sewaktu ia sengaja tidak menaati Allah, atau berdosa. Mari kita teruskan ilustrasi tersebut. Salinan apa pun yang Anda buat atas file elektronik yang rusak tersebut akan terpengaruh. Namun, ada jalan keluarnya. Dengan sebuah program khusus, Anda dapat mendeteksi dan menyingkirkan kesalahan apa pun yang merusak file dan komputer Anda. Demikian pula, umat manusia telah menerima ”virus”, dosa, dari Adam dan Hawa, dan kita membutuhkan bantuan dari luar untuk menyingkirkannya. (Roma 5:12) Menurut Alkitab, Allah memberikan sarana pembersihan ini, yaitu kematian Yesus. Ini merupakan persediaan penuh kasih yang mendatangkan manfaat bagi kita.—1 Korintus 15:22.
Penghargaan akan apa yang Yesus lakukan, menggerakkan Petrus untuk ”menjalani sisa waktunya dalam daging, tidak lagi untuk hasrat manusia, tetapi untuk kehendak Allah”. Bagi Petrus dan juga bagi kita, ini berarti menghindari praktek yang bejat dan gaya hidup yang amoral. Orang yang berjuang untuk melakukan ”kehendak Allah” mungkin akan dipersulit oleh orang-orang lain. Akan tetapi, ia akan mendapati kehidupannya menjadi lebih kaya dan lebih bermakna. (1 Petrus 4:1-3, 7-10, 15, 16) Itulah yang dialami Petrus, dan demikian pula dengan kita jika kita ’mempercayakan jiwa, atau kehidupan kita, kepada Pencipta yang setia seraya melakukan kebaikan’.—1 Petrus 4:19.
Seorang Murid yang Memahami Kasih
Rasul Yohanes adalah murid lain yang bergaul akrab dengan Yesus dan yang, karena itu, dapat membantu kita memahami Sang Pencipta dengan lebih sepenuhnya. Yohanes menulis sebuah Injil serta tiga surat (1, 2, dan 3 Yohanes). Dalam salah satu surat, ia memberi kita pemahaman ini, ”Kita tahu bahwa Putra Allah telah datang, dan ia telah memberi kita kesanggupan intelektual agar kita mendapat pengetahuan mengenai pribadi yang benar [Sang Pencipta]. Dan kita ada dalam persatuan dengan pribadi yang benar, dengan perantaraan Yesus Kristus Putranya. Inilah Allah yang benar dan kehidupan abadi.”—1 Yohanes 5:20.
Upaya Yohanes untuk memperoleh pengetahuan tentang ”pribadi yang benar” melibatkan penggunaan ”kesanggupan intelektual”-nya. Apa yang dipahami Yohanes tentang sifat-sifat Sang Pencipta? ”Allah adalah kasih,” tulis Yohanes, ”dan ia yang tetap dalam kasih tetap dalam persatuan dengan Allah.” Mengapa Yohanes dapat merasa yakin akan hal itu? ”Kasih itu dalam hal ini adalah, bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi dia yang telah mengasihi kita dan telah mengutus Putranya” untuk memberikan korban tebusan bagi kita. (1 Yohanes 4:10, 16) Seperti Petrus, Yohanes juga tersentuh oleh kasih Allah yang diperlihatkan dengan cara mengutus Putra-Nya untuk mati demi kepentingan kita.
Karena sangat akrab dengan Yesus, Yohanes dapat menyelami perasaannya. Suatu kejadian di Betani, di dekat Yerusalem, sangat berkesan bagi Yohanes. Setelah menerima laporan bahwa Lazarus, sahabatnya, sakit keras, Yesus mengadakan perjalanan ke Betani. Sewaktu ia dan para rasul tiba, Lazarus telah mati sekurang-kurangnya empat hari. Yohanes tahu bahwa Sang Pencipta, Sumber kehidupan manusia, mendukung Yesus. Maka dapatkah Yesus membangkitkan Lazarus? (Lukas 7:11-17; 8:41, 42, 49-56) Yesus mengatakan kepada saudara perempuan Lazarus, Marta, ”Saudaramu akan bangkit.”—Yohanes 11:1-23.
Kemudian Yohanes melihat saudara perempuan Lazarus yang lain, Maria, mendatangi Yesus. Bagaimana reaksi Yesus? Ia ”mengerang dalam roh dan merasa susah”. Untuk menggambarkan reaksi Yesus, Yohanes menggunakan sebuah kata Yunani (yang diterjemahkan ”groaned” dalam bahasa Inggris) yang mengandung arti luapan perasaan yang terdalam dari hati. Yohanes dapat melihat bahwa Yesus ”merasa susah”, atau gundah, sangat berdukacita. Yesus tidak acuh tak acuh atau tidak peduli. Ia ”mengeluarkan air mata”. (Yohanes 11:30-37) Jelaslah, Yesus memiliki perasaan yang peka dan lembut, yang membantu Yohanes untuk menghargai perasaan Sang Pencipta, dan ini hendaknya membantu kita dengan cara yang serupa.
Yohanes tahu bahwa luapan perasaan Yesus berkaitan dengan tindakan-tindakan yang positif karena ia mendengar Yesus berseru, ”Lazarus, marilah ke luar!” Dan terjadilah demikian. Lazarus hidup kembali dan keluar dari makam. Hal itu pasti membawa sukacita yang luar biasa bagi saudara-saudara perempuannya dan bagi orang-orang lain yang menyaksikan! Banyak orang yang kemudian menaruh iman kepada Yesus. Musuh-musuhnya tidak dapat menyangkal bahwa ia telah melakukan kebangkitan ini, namun sewaktu kabar tentang hal itu menyebar, mereka ”bermufakat mematikan Lazarus” dan Yesus.—Yohanes 11:43; 12:9-11.
Alkitab melukiskan Yesus sebagai ’gambaran yang tepat dari diri pribadi Sang Pencipta’. (Ibrani 1:3) Oleh karena itu, pelayanan Yesus menyediakan berlimpah bukti tentang keinginan yang sangat kuat dalam dirinya dan Bapaknya untuk mengakhiri keganasan penyakit dan kematian. Dan ini mencakup lebih daripada beberapa kebangkitan yang dicatat di dalam Alkitab. Yohanes hadir dan mendengar ketika Yesus mengatakan, ”Jamnya akan tiba ketika semua orang yang di dalam makam peringatan akan mendengar suara [sang Putra] dan keluar.” (Yohanes 5:28, 29) Perhatikan bahwa sebaliknya daripada menggunakan kata yang umum untuk makam, Yohanes di sini menggunakan sebuah kata yang diterjemahkan ”makam peringatan”. Mengapa?
Daya ingat Allah tersangkut dalam hal ini. Tentu saja, Sang Pencipta jagat raya yang sangat luas ini dapat mengingat setiap perincian mengenai tiap-tiap orang yang kita kasihi yang telah meninggal, termasuk sifat-sifat bawaan mereka maupun sifat-sifat yang mereka pupuk. (Bandingkan Yesaya 40:26.) Dan bukan hanya karena Ia dapat mengingat. Melainkan, karena Ia maupun Putra-Nya ingin mengingat. Sehubungan dengan prospek luar biasa akan kebangkitan itu, Ayub yang setia mengatakan tentang Allah, ”Kalau manusia mati, dapatkah ia hidup lagi? . . . Engkau [Yehuwa] akan memanggil, dan akupun akan menyahut; Engkau akan rindu kepada buatan tangan-Mu.” (Ayub 14:14, 15; Markus 1:40-42) Kita mempunyai Pencipta yang sungguh luar biasa, yang layak kita sembah!
Yesus yang Telah Dibangkitkan—Kunci Menuju Kehidupan yang Penuh Makna
Murid yang dikasihi, Yohanes, mengamati Yesus dengan saksama sampai kematiannya. Tidak hanya itu, Yohanes mencatat kebangkitan terbesar yang pernah terjadi, suatu peristiwa yang membubuh dasar yang kukuh agar kita dapat memiliki kehidupan yang permanen serta penuh makna.
Musuh-musuh Yesus mengeksekusi dirinya, memakukannya pada sebuah tiang seperti seorang penjahat. Orang-orang yang melihat—termasuk para pemimpin agama—mengolok-oloknya sewaktu ia menderita selama berjam-jam. Meskipun sangat menderita di tiang, Yesus melihat ibunya sendiri dan berkata kepadanya tentang Yohanes, ”Wanita, lihatlah! Putramu!” Pada saat itu, Maria pasti telah menjanda, dan anak-anaknya yang lain belum menjadi murid Yesus.e Oleh karena itu, Yesus mempercayakan pemeliharaan ibunya yang lanjut usia kepada muridnya, Yohanes. Ini sekali lagi memperlihatkan cara berpikir Sang Pencipta, yang menganjurkan agar para janda dan anak-anak yatim piatu diperhatikan.—Yohanes 7:5; 19:12-30; Markus 15:16-39; Yakobus 1:27.
Namun setelah mati, bagaimana Yesus dapat menjalankan perannya sebagai ’benih’ yang melaluinya ”semua bangsa di bumi akan mendapat berkat”? (Kejadian 22:18) Dengan kematiannya, pada sore itu di bulan April tahun 33 M, Yesus mengorbankan kehidupannya sebagai dasar untuk tebusan. Penderitaan yang dihadapi Putra-Nya yang tidak bersalah pastilah memedihkan hati Sang Bapak yang peka. Namun dengan cara ini, penyediaan harga tebusan yang dibutuhkan untuk membebaskan umat manusia dari perbudakan dosa dan kematian dimungkinkan. (Yohanes 3:16; 1 Yohanes 1:7) Pentas dipersiapkan untuk suatu penutup yang hebat.
Karena Yesus Kristus memainkan peran utama dalam pelaksanaan maksud-tujuan Allah, ia harus hidup kembali. Itulah yang terjadi, dan Yohanes menyaksikannya. Pagi-pagi sekali pada hari ketiga setelah kematian dan penguburan Yesus, beberapa murid pergi ke makam. Ternyata makamnya telah kosong. Ini membingungkan mereka sampai Yesus muncul di depan berbagai orang. Maria Magdalena melaporkan, ”Aku telah melihat Tuan!” Murid-murid tidak mempercayai kesaksiannya. Belakangan, murid-murid berkumpul dalam sebuah ruangan terkunci dan Yesus muncul sekali lagi, bahkan bercakap-cakap dengan mereka. Dalam beberapa hari, lebih dari 500 pria dan wanita menjadi saksi mata bahwa Yesus benar-benar hidup. Orang-orang yang mungkin skeptis pada waktu itu dapat mewawancarai saksi-saksi yang dapat dipercaya ini dan menguji benar tidaknya kesaksian mereka. Orang-orang Kristen ini dapat merasa yakin bahwa Yesus telah dibangkitkan dan hidup sebagai makhluk roh seperti Sang Pencipta. Bukti tentang hal itu sangat limpah dan dapat diandalkan sehingga banyak orang rela mati daripada harus menyangkal bahwa Yesus telah dibangkitkan.—Yohanes 20:1-29; Lukas 24:46-48; 1 Korintus 15:3-8.f
Rasul Yohanes juga menderita penganiayaan karena memberikan kesaksian tentang kebangkitan Yesus. (Penyingkapan 1:9) Namun, sewaktu berada di pembuangan sebagai seorang terpidana, ia menerima upah yang luar biasa. Yesus memberinya serangkaian penglihatan yang memperkenalkan Sang Pencipta kepada kita secara lebih jelas dan menyingkapkan apa yang akan terjadi di masa depan. Anda akan menemukannya dalam buku Penyingkapan, yang banyak menggunakan istilah lambang. Di buku ini, Yesus Kristus digambarkan sebagai seorang Raja berkemenangan yang akan segera menyelesaikan penaklukan atas musuh-musuhnya. Musuh-musuh tersebut termasuk kematian (musuh kita semua) dan makhluk roh yang bejat bernama Setan.—Penyingkapan 6:1, 2; 12:7-9; 19:19–20:3, 13, 14.
Menjelang akhir berita apokaliptiknya, Yohanes mendapat suatu penglihatan tentang waktu manakala bumi akan menjadi firdaus. Suatu suara menggambarkan keadaan yang akan terjadi kelak, ”Allah sendiri akan ada bersama [umat manusia]. Dan ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan kematian tidak akan ada lagi, juga tidak akan ada lagi perkabungan atau jeritan atau rasa sakit. Perkara-perkara yang terdahulu telah berlalu.” (Penyingkapan 21:3, 4) Dalam pelaksanaan maksud-tujuan Allah, janji yang Allah buat kepada Abraham akan digenapi.—Kejadian 12:3; 18:18.
Kelak, kehidupan akan menjadi ”kehidupan yang sebenarnya”, sebanding dengan apa yang ada di hadapan Adam sewaktu ia diciptakan. (1 Timotius 6:19) Umat manusia tidak akan meraba-raba lagi untuk mencari Pencipta mereka dan untuk memahami hubungan mereka dengan Dia. Akan tetapi, Anda mungkin bertanya, ’Kapan hal itu akan terjadi? Dan mengapa Pencipta kita yang peduli mengizinkan malapetaka dan penderitaan sampai saat ini?’ Marilah kita selanjutnya membahas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
-