PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • yb11 hlm. 74-161
  • Papua Nugini

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Papua Nugini
  • Buku Tahunan Saksi-Saksi Yehuwa 2011
  • Subjudul
  • PEMBAWA KABAR BAIK MASA AWAL
  • MENGABAR DI ”DESA BESAR”
  • ”DATANGLAH DAN AJARILAH RAKYATKU”
  • ACARA-ACARA YANG PENUH KENANGAN
  • MENGABAR DENGAN GAMBAR
  • MEMPERLUAS KEGIATAN KESAKSIAN
  • YANG LAINNYA MENDENGAR KABAR BAIK
  • MENGHADAPI KULTUS KARGO
  • MENGHASILKAN LEKTUR ALKITAB
  • KABAR BAIK MENYEBAR KE UTARA
  • KANTOR CABANG DIDIRIKAN
  • ’LARANG SAKSI-SAKSI’
  • KE DATARAN TINGGI
  • SABAR MENGAJAR, SUBUR HASILNYA
  • MENABURKAN BENIH KERAJAAN MENGHASILKAN BUAH
  • BENIH BERTUNAS DI DAERAH TERPENCIL
  • LONJAKAN UTUSAN INJIL
  • PEKERJAAN PEMBANGUNAN MEMPERCEPAT KEMAJUAN
  • BERTEKUN MESKI ADA TANTANGAN
  • METODE PENGABARAN YANG BERAGAM
  • PEKERJAAN KELILING DI SUNGAI SEPIK
  • BERGULAT DENGAN ROH JAHAT
  • MENGAJAR ORANG MEMBACA DAN MENULIS
  • KEBENARAN ALKITAB MENGUBAH KEHIDUPAN
  • MENGHORMATI KARUNIA ALLAH BERUPA PERKAWINAN
  • ANAK-ANAK YANG MENGHORMATI PENCIPTA MEREKA
  • UPAYA UNTUK MENGHADIRI PERTEMUAN KRISTEN
  • TELADAN PARA UTUSAN INJIL
  • PERANG SIPIL DI BOUGAINVILLE
  • GUNUNG BERAPI MEMUSNAHKAN RABAUL
  • KEMAJUAN DALAM PENERJEMAHAN
  • SEKOLAH DINAS PERINTIS BERMANFAAT BAGI BANYAK ORANG
  • TUMBUH BERSAMA DALAM KASIH
Buku Tahunan Saksi-Saksi Yehuwa 2011
yb11 hlm. 74-161

Papua Nugini

DAHULU KALA​—selama suatu periode yang lamanya bertahun-tahun—​terjadi gelombang migrasi penduduk ke selatan lewat Asia untuk mencari tempat tinggal baru. Di ujung timur Kepulauan Melayu, mereka menemukan Nugini (juga dikenal sebagai Papua), sebuah pulau tropis yang berbukit-bukit​—pulau terbesar kedua di dunia.a Mereka menyusuri garis pantainya yang lembap, mendiami rawa-rawanya yang luas, hutannya yang lebat, dan pulau-pulau luarnya yang bertebaran. Ada yang mendaki pegunungannya guna menghuni dataran-dataran tinggi yang beriklim sedang dengan lembah-lembah yang luas dan tanah yang subur.

Populasinya tidak membentuk suatu kelompok nasional yang bersatu, melainkan terdiri atas lebih dari seribu suku-suku kecil yang sering saling berperang. Mereka mengikuti beragam adat istiadat, mengenakan pakaian yang khas, dan berbicara dalam lebih dari 800 bahasa. Kebanyakan kelompok tinggal di kantong-kantong permukiman yang dilindungi dengan ketat, sama sekali tertutup dari dunia luar. Banyak yang percaya bahwa di cakrawala tersembunyi alam hantu-hantu dan arwah para leluhur yang memengaruhi kehidupan mereka, entah baik entah buruk. Kehidupan orang berkisar seputar menenangkan roh-roh itu.

Populasinya juga beragam secara fisik​—kecuali dalam satu hal. Sewaktu memerhatikan corak khas ini, Jorge de Meneses, seorang pejabat Portugis yang berkunjung ke sana pada 1526, menjuluki pulau itu Ilhas dos Papuas, artinya ”Tanah Orang Berambut Keriting”. Menurut pelaut Spanyol Ynigo Ortiz de Retes, penduduk pulau itu mirip dengan penduduk Guinea, Afrika Barat, maka ia menamai pulau itu Nueva Guinea (Guinea Baru), atau Nugini.

Pada abad ke-19, para penguasa Eropa membagi pulau itu menjadi tiga kawasan. Belanda, yang datang pertama kali, mengklaim belahan barat, yang sekarang menjadi bagian dari Indonesia. Inggris dan Jerman membagi belahan timur menjadi Nugini Inggris di selatan (belakangan disebut Papua) dan Nugini Jerman di utara (belakangan, Nugini). Setelah Perang Dunia I, kedua wilayah ini berada di bawah kendali Australia. Akhirnya, pada 1975, Papua dan Nugini bergabung untuk membentuk negara merdeka Papua Nugini.b

Kini, Papua Nugini masih dalam peralihan menuju dunia modern. Sebagian warganya tinggal di kota-kota modern yang dikelilingi oleh kemudahan teknologi tinggi. Namun, 4 dari 5 orang di sana tinggal di kampung kecil yang terpencil, yang kehidupannya tidak banyak berubah selama lebih dari ratusan tahun, di mana kepemilikan babi masih menjadi ukuran kekayaan, maskawin masih lazim, spiritisme masih merajalela, dan kesetiaan kepada suku masih sangat menonjol.

Namun, pada dekade-dekade belakangan, negeri yang penuh kontras ini telah mengalami transformasi yang lebih signifikan, yang memengaruhi orang-orang yang tulus dari semua kelompok etnik dan meningkatkan mutu kehidupan mereka dalam tak terhitung banyaknya bidang. Ini adalah transformasi rohani yang dihasilkan dengan mempelajari dan menerapkan kebenaran dalam Firman Allah, Alkitab.​—Rm. 12:2.

PEMBAWA KABAR BAIK MASA AWAL

Kebenaran Alkitab tiba di Papua Nugini pada 1932 sewaktu perintis Inggris bernama Peck mampir dalam perjalanan ke Malaya (kini Malaysia). Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Peck mengabar ke penduduk setempat selama beberapa minggu. Ia menempatkan ratusan lektur Alkitab sebelum melanjutkan perjalanan ke tempat tugasnya.

Tiga tahun kemudian, tujuh perintis yang menumpang kapal motor Lightbearer berlabuh di Port Moresby untuk memperbaiki kerusakan mesin. Selama satu bulan tinggal di sana, mereka dengan bersemangat mengabar di seluruh Port Moresby dan kawasan di dekatnya. Salah satunya, Frank Dewar, seorang saudara yang tangguh asal Selandia Baru, berjalan ke pedalaman membawa buku-buku dan menempatkan lektur Alkitab kepada para penduduk yang tinggal hingga sejauh 50 kilometer dari pesisir.

Sebagian lektur itu sampai ke tangan Heni Heni Nioki, dukun pria dari suku Koiari. Setelah itu, kebenaran Alkitab yang ia pelajari tersimpan dalam hatinya, menunggu Saksi-Saksi Yehuwa kembali dan menyirami kebenaran yang telah ditanam itu.​—1 Kor. 3:6.

Di pengujung 1930-an, seorang saudara perintis lain melakukan tur pengabaran yang luas yang mencakup kota-kota utama di Papua Nugini, termasuk pulau New Britain, New Ireland, dan Bougainville. Ia menempatkan banyak lektur Alkitab. Tetapi, sebelum yang lain bisa meneruskan upayanya, kawasan tersebut dilanda kekacauan Perang Dunia II.

MENGABAR DI ”DESA BESAR”

Dua belas tahun kemudian, tanggal 22 September 1951, seorang pria Australia yang bertubuh tinggi keluar dari pesawat terbang dan menapakkan kakinya di Port Moresby yang sangat panas dan lembap. Tom Kitto​—seorang Saksi berusia 47 tahun​—telah menanggapi kebutuhan akan relawan untuk membuka pekerjaan Kerajaan di pulau-pulau Pasifik. Istrinya, Rowena, menyusul enam minggu kemudian. Daerah mereka adalah seluruh Papua Nugini.

Suami istri Kitto segera mendapati bahwa kebanyakan orang Eropa di Port Moresby tidak berminat akan berita Kerajaan. Tetapi, kemudian mereka bertemu Geoff Bucknell, sesama orang Australia, yang telah hanyut dari kebenaran sejak muda. Geoff setuju untuk belajar dan belakangan menjadi Saksi yang setia, begitu pula istrinya, Irene.

Tom dan Rowena kemudian pindah ke Hanuabada, nama yang berarti ”Desa Besar” dalam bahasa setempat, Motu. Desa yang menjangkau hingga ke luar Pelabuhan Port Moresby ini mencakup ratusan rumah panggung yang saling terhubung melalui jembatan kayu yang merentang dari pantai. ”Orang-orang berkumpul di sekeliling kami untuk mendengarkan kabar baik,” tulis Rowena. ”Minat mereka begitu besar sampai-sampai kami kembali setiap malam untuk mengadakan pelajaran Alkitab, dan hanya dua kali tidak ada pelajaran dalam waktu dua bulan.” Tom menambahkan, ”Harapan kebangkitan dan kehidupan di bumi firdaus benar-benar menarik bagi orang-orang ini. Sewaktu para misionaris Susunan Kristen dan seorang polisi setempat menekan mereka untuk menghentikan pelajaran, semuanya tetap teguh. Kebenaran telah masuk ke lubuk hati mereka.”

Yang mengambil pendirian demi kebenaran antara lain Raho dan Konio Rakatani, Oda Sioni, Geua Nioki, dan suaminya, Heni Heni, yang pernah mendapat lektur dari kru Lightbearer 16 tahun sebelumnya. Tak lama kemudian, sekitar 30 peminat datang ke rumah Heni Heni untuk perhimpunan rutin. ”Pria dan wanita duduk terpisah di kedua sisi ruangan,” kenang Oda Sioni, yang waktu itu masih anak lelaki kecil. ”Para wanita mengenakan rok dari rumput dan tidak mengenakan atasan serta membawa bayi dalam kantong yang terbuat dari tali-temali yang berwarna-warni yang mereka gantung pada balok di ruangan. Setelah menyusui bayinya, mereka membaringkan bayi-bayi itu di dalam kantong tadi dan dengan lembut mengayun-ayunkannya sampai bayi-bayi itu tertidur.”

Tom Kitto memandu perhimpunan tersebut dengan bantuan juru bahasa. Dapat dimaklumi, situasinya tidak selalu berlangsung dengan mulus. ”Sekali waktu, yang menjadi juru bahasa adalah saudara lelaki Heni Heni, Badu Heni,” tutur Don Fielder, yang tiba pada 1953. ”Awalnya, semua tampak lancar-lancar saja sewaktu Badu menerjemahkan kata-kata Tom dan bahkan meniru gerak-geriknya. Baru belakangan Badu mengakui bahwa ia sama sekali tidak mengerti apa yang Tom katakan. Ia hanya mengulangi kebenaran yang ia ketahui dan meniru gerak-gerik Tom agar khotbah itu terlihat benar.” Terlepas dari berbagai kesulitan itu, kelompok tersebut bertumbuh pesat, dan tak lama kemudian terbentuk kelompok kedua di rumah Raho Rakatani, juga di desa Hanuabada.

”DATANGLAH DAN AJARILAH RAKYATKU”

Pada awal 1952, Bobogi Naiori, seorang kepala suku Koiari dan dukun yang terkemuka, berkunjung ke rumah Heni Heni​—wantok-nya, atau anggota sesama suku​—dan menghadiri perhimpunan di rumahnya. Karena terkesan dengan apa yang ia lihat dan dengar, Bobogi belakangan mendekati Tom Kitto dan memohon, ”Tolong, datanglah dan ajarilah rakyatku tentang kebenaran!”

Tak lama kemudian, Tom dan Rowena mengendarai truk pikap tua melewati jalan tanah yang berlumpur ke rumah Bobogi di Haima, desa kecil sekitar 25 kilometer di sebelah utara Port Moresby. Tom mengabar ke sekumpulan penduduk desa sementara Bobogi menerjemahkannya. Hasilnya, sekitar 30 orang mulai belajar Alkitab.

Belakangan pada bulan itu, kelompok di Haima membangun sebuah balai kecil untuk perhimpunan Kristen. ”Balai itu terdiri atas rangka kayu sederhana, atap rumbia, dan dinding bilik setinggi pinggang,” kenang Elsie Horsburgh, yang belakangan berhimpun di situ. ”Kursi tunggul kayu, lampu minyak, dan papan tulis kecil melengkapi dekorasi bagian dalamnya.” Bangunan yang sederhana ini menjadi Balai Kerajaan pertama di Papua Nugini.

Bobogi kemudian ingin agar wantok-wantok-nya di pegunungan di dekat situ mendengar kabar baik juga. Jadi, ia dan Tom berangkat melewati jalan pegunungan yang curam menuju plato Sogeri. Tak lama kemudian, mereka memberikan pelajaran Alkitab kepada lebih dari 90 orang di tiga desa di sana.

Kegiatan tersebut tidak luput dari perhatian kalangan berwenang pemerintah. Di Ioadabu, seorang pejabat pemerintah dengan marah mendatangi tempat berhimpun, menanyakan siapa yang mengizinkan Saksi-Saksi Yehuwa mengajar penduduk desa. Polisi juga menginterogasi beberapa peminat tentang pekerjaan kita. Beberapa pastor desa dan pemilik perkebunan bahkan mengancam saudara-saudara dengan kekerasan.

Di bawah tekanan seperti itu, beberapa peminat pun jatuh. Namun, ada sekelompok kecil orang yang tetap teguh. Pada 1954, pembaptisan pertama Saksi-Saksi di Papua Nugini diadakan, dan 13 pelajar Alkitab dibaptis di Sungai Laloki di Haima. Salah satunya adalah Bobogi, yang menyatakan, ”Kalaupun semua orang Koiari jatuh, saya tidak akan, karena saya tahu inilah kebenaran.” Sesuai dengan ucapannya, Bobogi mempertahankan integritasnya, melayani dengan setia sebagai penatua di Sidang Haima sampai kematiannya pada 1974.

ACARA-ACARA YANG PENUH KENANGAN

Bulan Juli 1955, John Cutforth, seorang utusan injil asal Kanada yang melayani di Australia, tiba di Port Moresby sebagai pengawas wilayah yang pertama. John langsung menyukai iklim tropisnya, cara hidupnya, dan orang-orangnya yang rendah hati. Ia tidak menyangka akan melayani di Papua Nugini selama lebih dari 35 tahun.

John membawa film The New World Society in Action (Masyarakat Dunia Baru Sedang Beraksi), suatu film dokumenter yang menonjolkan pekerjaan pengorganisasian dan kebaktian Saksi-Saksi Yehuwa. Selama kunjungan tiga minggunya, ia mempertunjukkan film itu 14 kali kepada hadirin yang jumlahnya berkisar dari ratusan hingga hampir 2.000 orang. Film itu berdampak besar atas penduduk setempat, yang sebagian besar belum pernah melihat film.

Puncak kunjungan John adalah kebaktian wilayah satu hari di Haima. ”Sewaktu para calon baptis diminta berdiri, . . . tujuh puluh orang berdiri!” kenang Tom Kitto. ”Hati kami benar-benar diliputi rasa syukur ketika melihat empat puluh saudara dan tiga puluh saudari berbaris di tepi sungai di hutan untuk melambangkan pembaktian mereka kepada Yehuwa.”

Pada tahun berikutnya, saudara-saudara mengatur untuk mengadakan kebaktian wilayah yang kedua di Haima. Bobogi, sang kepala desa, ditugasi untuk membangun berbagai fasilitas yang dibutuhkan dan mempersiapkan makanan bagi para hadirin yang diharapkan akan datang. Tiga hari sebelum kebaktian, John (Ted) Sewell, pengawas keliling baru asal Australia, menemui Bobogi untuk membahas persiapannya.

”Apa yang sudah dibangun?” tanya Ted, langsung ke intinya.

”Belum ada,” jawab Bobogi.

”Tapi ini sudah hari Kamis, Bobogi, dan kebaktiannya hari Minggu!” seru Ted.

”Tenang, Brur,” jawab Bobogi. ”Pokoknya semua akan beres hari Sabtu.”

Ted terperangah dan kembali ke Port Moresby, yakin bahwa kebaktian itu akan kacau.

Hari Minggu, ia berkendara dengan cemas ke Haima untuk melihat apa yang telah terjadi. Betapa besar perubahannya! Di bawah sebuah pohon besar yang berada di depan suatu kawasan luas lahan yang telah dibersihkan, berdiri sebuah podium kayu yang kokoh. Agak jauh dari situ, terdapat lubang-lubang tungku batu, dan di situ babi, walabi, rusa, burung dara, ikan, gembili, dan ubi jalar sedang dipanggang. Air direbus dalam cerek-cerek di atas perapian. Kerumunan orang bergaul dengan ceria di sebuah kafetaria yang terbuat dari bahan-bahan yang didapat dari hutan. Dan, di tengah semua aktivitas ini, berdiri Bobogi, yang terlihat sangat tenang. Ted terpukau!

”Bobogi, di mana kamu belajar mengerjakan semua ini?” tanyanya keheranan.

”Oh, saya melihatnya di film yang diputar John Cutforth tahun lalu,” jawab Bobogi.

Lebih dari 400 orang dari delapan kelompok etnik menghadiri kebaktian itu, dan 73 orang dibaptis. Pada tahun-tahun setelahnya, itu disebut kebaktian Bobogi.

MENGABAR DENGAN GAMBAR

Tahun 1957, John Cutforth pindah permanen ke Papua Nugini dan mulai melayani dalam pekerjaan keliling di sana. Sejak kunjungannya yang pertama, ia memeras otak untuk menemukan cara terbaik mengabar ke penduduk setempat, yang kebanyakan buta huruf. Sekarang, ia siap menerapkan ide-idenya.

Sewaktu berbicara di sidang atau kelompok terpencil, John mula-mula menuliskan namanya dan nama juru bahasanya di papan tulis. Lalu, ia menunjuk ke atas dan menanyakan hadirin, ”Allah, apa nama?” Ia menuliskan jawaban mereka, ”Yehuwa” serta ”Mazmur 83:18” di bagian atas papan. Di bawahnya, di sebelah kiri, ia kemudian menulis judul ”Dunia Lama” dan membuat gambar sederhana berupa dua orang yang berkelahi, orang yang menangis, kuburan, dan ”Roma 5:12”. Di sebelah kanan, ia menuliskan judul ”Dunia Baru” dan menggambar dua orang yang bersalaman, wajah yang tersenyum, kuburan yang disilang, dan ”Penyingkapan 21:4”. Setelah itu, ia menyampaikan ceramah yang seru tentang gambar-gambar tadi. Lalu ia mengundang beberapa orang di antara hadirin untuk maju dan mengulangi presentasinya. Setelah mereka menguasainya, ia mengundang mereka untuk menyalin gambar-gambar itu ke selembar kertas dan menggunakannya dalam pekerjaan pengabaran mereka.

Apa yang disebut ”Khotbah Gambar Satu” itu sangat besar pengaruhnya pada pekerjaan pengabaran di Papua Nugini. Khotbah gambar lainnya segera menyusul. ”Berjam-jam kami menyalin khotbah-khotbah gambar itu ke buku catatan. Setiap pelajar Alkitab menerima satu salinan, yang ia gunakan untuk mengabar,” kata Lena Davison, yang melayani di negeri itu selama 47 tahun. Anak-anak membuat buku gambar sendiri dan mewarnainya dengan perasaan bangga.

Metode pengajaran ini juga digunakan untuk perhimpunan. ”Gambar-gambar di papan tulis sering digunakan dalam Perhimpunan Umum dan Pelajaran Menara Pengawal, yang sangat bermanfaat bagi mereka yang tidak bisa membaca,” kata Joyce Willis, seorang perintis asal Kanada yang melayani selama 40 tahun lebih di Papua Nugini. Khotbah gambar yang dilukis pada kanvas digunakan juga sebagai alat bantu pengajaran di kebaktian. ”Lukisan-lukisan besar ini sangat populer dan menanamkan pokok-pokok kunci pengajaran di benak hadirin,” kata Mike Fisher, yang melayani dalam pekerjaan wilayah di sana. ”Banyak lukisan akhirnya dipajang di rumah para penyiar terpencil, yang dengan bangga menggunakannya untuk memberikan kesaksian kepada para pengunjung.”

Puluhan tahun kemudian, ketika lebih banyak orang sudah melek huruf dan lektur bergambar sudah tersedia luas, khotbah gambar tidak lagi digunakan.

MEMPERLUAS KEGIATAN KESAKSIAN

Pada pengujung 1950-an, banyak orang Australia yang bersemangat pindah ke Papua Nugini, antusias ingin memberitakan kabar baik. Selain itu, banyak orang yang belajar kebenaran di Port Moresby pulang ke desa mereka dengan membawa berita Kerajaan. Kabar baik pun menyebar dengan pesat ke seluruh negeri.

Tahun 1957, David Walker, seorang saudara asal Australia berusia 26 tahun yang tinggal di Port Moresby, mendengar bahwa orang-orang di desa tetangga, Manu Manu, dan di kawasan Gabadi berminat pada kebenaran. David meninggalkan pekerjaannya, mulai merintis istimewa, dan mengabar selama setahun di wilayah itu, melakukannya sendirian sepanjang waktu. Belakangan, yang lain meneruskan upayanya, dan kini di Manu Manu ada sebuah sidang dan Balai Kerajaan.

Sementara itu, selagi mengabar di pasar Koki di Port Moresby, Don Fielder bertemu dengan beberapa nelayan yang berminat pada kebenaran. Pria-pria itu datang dari Hula, desa pesisir sekitar 100 kilometer ke arah timur. Untuk membantu mereka dan keluarga mereka lebih lanjut, Don, bersama Athol (Dap) Robson dan beberapa orang Hula yang berminat, berlayar ke Hula menggunakan kano baru berbadan kembar yang panjangnya 8 meter milik Don. Mereka tinggal di Hula selama tiga hari dan membentuk kelompok pelajaran kecil di sana.

Tak lama kemudian, Don pindah ke Hula sebagai perintis istimewa disertai istrinya, Shirley, dan putri mereka yang berusia dua tahun, Debbie. ”Kami membangun pondok kecil dan mulai mengabar di lima desa di kawasan itu,” tutur Don. ”Ini mencakup perjalanan pulang pergi sejauh 12 kilometer setiap hari. Ini sangat meletihkan secara jasmani tetapi menyegarkan secara rohani, karena kami mendapat banyak pelajar Alkitab dan segera ada delapan penyiar baru yang bekerja bersama kami.”

Kegiatan pengabaran Don dan Shirley membuat berang rohaniwan United Church, yang kemudian menekan pemilik tanah untuk menyuruh mereka menyingkirkan pondok mereka dari tanahnya. ”Ketika penduduk desa tetangga mendengar kabar ini, mereka sangat marah karena mereka tidak mau kami pergi,” kata Don. ”Sekitar 20 dari mereka membantu memindahkan pondok kami​—fondasi dan semuanya​—ke lahan baru milik desa mereka.”

Pemimpin agama yang marah itu tidak mau menyerah. Ia melobi kalangan berwenang Port Moresby untuk melarang suami istri Fielder memasang pondok mereka di mana pun di distrik itu. ”Ketimbang meninggalkan tugas kami,” kata Don, ”kami meminta Alf Green, tukang kayu yang terampil, agar memanfaatkan kayu dari pondok kami untuk membangun sebuah kamar yang kecil pada kano kami. Lalu kami menjangkarkan kano itu di sebuah rawa bakau dekat muara sebuah sungai. Di sana, di antara gerombolan nyamuk yang beterbangan dan buaya-buaya yang mengintai, kami tinggal, seraya merintis, selama dua setengah tahun berikutnya.” Ketika putri kedua mereka, Vicki, lahir, suami istri Fielder kembali ke Port Moresby. Mereka belakangan melayani dalam pekerjaan keliling, dan Don melayani sebagai anggota Panitia Cabang.

YANG LAINNYA MENDENGAR KABAR BAIK

Sekitar saat itu, di Port Moresby, Lance dan Daphne Gosson mulai memberikan pelajaran Alkitab kepada beberapa pria muda asal Kerema, desa pesisir sekitar 225 kilometer di sebelah barat Port Moresby. Sewaktu pria-pria itu pulang untuk liburan, Lance dan Jim Chambliss memutuskan untuk mengunjungi mereka selama dua minggu guna menyampaikan kabar baik ke Kerema.

”Seluruh penduduk desa berkumpul untuk mendengarkan kami,” tulis Lance. ”Sewaktu kami menyampaikan presentasi, pastor setempat dari Lembaga Utusan Injil London tiba-tiba menerobos masuk dan menyerang juru bahasa kami, menonjoknya beberapa kali sebelum dilerai penduduk desa. Ia berkeras bahwa penduduk setempat tidak mau kami berada di sana dan memerintahkan kami untuk meninggalkan daerah ’dia’. Kami menjawab bahwa orang-orang yang ingin mendengarkan kami boleh menemani kami ke sisi lain desa, sementara yang lainnya boleh tinggal dengan dia. Seluruh desa mengikuti kami.

”Keesokan paginya, kami menemui petinggi distrik untuk melaporkan kejadian itu. Dalam perjalanan, kami bertemu seorang wanita yang sakit parah. Kami menawarkan untuk membawa dia ke rumah sakit setempat, tapi dia takut. Baru setelah dibujuk berulang kali, ia akhirnya setuju untuk ikut dengan kami. Setelah menitipkan dia pada dokter rumah sakit, kami menemui sang petinggi distrik, yang jelas-jelas tidak menyukai kedatangan kami. Sesungguhnya, ia dengan marah menuduh kami mengajari orang-orang untuk tidak menerima bantuan medis! Tetapi, persis saat itu, dokter rumah sakit masuk dan mendengar tuduhannya. Ia memberi tahu sang petinggi bahwa kami baru saja membujuk seorang wanita yang sakit untuk pergi ke rumah sakit guna menerima perawatan medis. Patut dipujikan, petinggi itu langsung minta maaf. Ia memberi tahu kami bahwa ia baru saja didatangi pastor Katolik setempat yang menyalahgambarkan kepercayaan kita. Ia kemudian menugasi dua polisi bersenjata untuk melindungi kami dari kesulitan lebih jauh. Sungguh pengalaman yang unik; memberikan PAR ditemani dua polisi bersenjata!”

Tak lama kemudian, dua pria muda Australia, Jim Smith dan Lionel Dingle, ditugaskan ke Kerema sebagai perintis istimewa. Mereka segera mulai belajar bahasa setempat, Tairuma. ”Kami mengucapkan setiap kata dalam bahasa Motu, dan para pelajar Alkitab kami mengucapkan padanannya dalam bahasa Tairuma, lalu kami menuliskannya,” jelas Jim. ”Dengan cara ini, kami mengumpulkan kosakata kecil dan menghafalkan presentasi Alkitab yang sederhana. Penduduk setempat terkesan mendengar kami berbicara dalam bahasa mereka, karena belum ada orang Eropa lain di distrik itu yang dapat melakukannya. Tiga bulan kemudian, kami mengadakan perhimpunan mingguan di Tairuma di kedua sisi Teluk Kerema.”

Belakangan, Glenn Finlay, perintis muda asal Australia, meneruskan upaya Jim dan Lionel dan mengabar sendirian di Kerema selama 18 bulan. ”Ini masa ujian buat saya,” kata Glenn, ”dan adakalanya saya bertanya-tanya apakah pekerjaan saya ada hasilnya. Tapi, sebuah pengalaman mengubah pandangan saya.

”Salah seorang pelajar Alkitab saya adalah Hevoko, pria lansia pembuat roti di desa. Ia sama sekali buta huruf dan setelah beberapa bulan belajar, yang bisa ia ingat hanya segelintir kebenaran dasar. Saya bertanya-tanya apakah ada gunanya mengajar dia. Lalu suatu pagi, saat saya mendekati rumahnya, saya mendengar suara dan berhenti untuk mendengarkan. Itu suara Hevoko sedang berdoa dengan suara keras kepada Yehuwa, berterima kasih kepada-Nya dengan nada yang tulus karena telah mengajar dia kebenaran tentang nama dan Kerajaan-Nya. Doanya yang tulus mengingatkan saya bahwa Yehuwa melihat hati orang, bukan kecerdasannya. Ia tahu benar orang-orang yang mengasihi-Nya.”​—Yoh. 6:44.

MENGHADAPI KULTUS KARGO

Tahun 1960, dua perintis istimewa asal Australia lainnya, Stephen Blundy dan Allen Hosking, pindah ke Savaiviri, sebuah desa sekitar 50 kilometer di sebelah timur Kerema. Setelah tinggal di tenda selama tiga bulan, Stephen dan Allen pindah ke pondok kecil di perkebunan kelapa yang dikelilingi rawa yang luas.

Savaiviri dikenal sebagai kantongnya kultus kargo. Bagaimana asal-usul kultus ini? Selama Perang Dunia II, penduduk setempat kagum akan kekayaan, atau kargo, besar yang dibawa tentara asing. Kemudian, perang berakhir, dan para tentara pun pergi berikut barang-barang mereka. Beberapa penduduk desa berpikir bahwa karena kargo itu telah datang dari cakrawala​—lokasi alam roh​—pastilah leluhur mereka yang telah mati yang mengirimkannya kepada mereka tetapi keburu dirampas para tentara itu. Supaya roh-roh itu tahu kebutuhan mereka, orang-orang itu melakukan latihan militer bohong-bohongan dan membangun pelabuhan yang kokoh guna menyambut hari besar ketika akan datang banjir kargo baru.

Tak lama kemudian, Stephen dan Allen memberikan pelajaran Alkitab kepada sekitar 250 anggota kultus kargo, termasuk pemimpinnya dan beberapa dari ”kedua belas rasul”-nya. ”Banyak dari mereka ini masuk kebenaran,” tutur Stephen. ”Malah, petugas patroli pemerintah setempat belakangan memberi tahu kami bahwa pengabaran kami sangat berperan dalam mengakhiri kultus kargo di Savaiviri.”

MENGHASILKAN LEKTUR ALKITAB

Para perintis masa awal itu segera melihat perlunya menerjemahkan lektur Alkitab ke dalam bahasa-bahasa setempat. Tetapi, bagaimana mereka dapat menyediakan lektur bagi 820 kelompok bahasa?

Tahun 1954, Tom Kitto mengambil langkah pertama dengan mengatur agar saudara-saudara setempat menerjemahkan sebuah pasal dari buku ”Karena Allah Itu Benar Adanya”c ke dalam Motu, bahasa setempat di Port Moresby. Lebih dari dua ratus salinan dari pasal stensilan itu, yang berjudul ”Bumi Baru”, dibagikan dalam bentuk pamflet, yang sangat disenangi banyak orang berbahasa Motu.

Seraya daerah-daerah baru dibuka, para perintis bekerja keras menerjemahkan lektur ke dalam bahasa-bahasa setempat lainnya. Jim Smith menceritakan, ”Dengan menuliskan kata-kata dan ungkapan baru, saya susah-payah menyusun kamus bahasa Tairuma dan catatan tentang tata bahasa, yang saya gunakan untuk menerjemahkan artikel pelajaran Menara Pengawal. Saya sering bekerja keras hingga larut malam mengetikkan artikel terjemahan pada lembar-lembar kertas untuk dibagikan kepada hadirin perhimpunan. Belakangan, saya menerjemahkan sebuah risalah dan sebuah buku kecil ke dalam Tairuma. Publikasi-publikasi awal itu membantu banyak orang Kerema untuk belajar kebenaran.”

Publikasi lainnya diproduksi dalam Hula dan Toaripi. Karena tampaknya mustahil untuk mencetak publikasi dalam setiap bahasa, saudara-saudara belakangan memfokuskan upaya mereka pada dua bahasa dagang​—Hiri Motu dan Tok Pisin. Hiri Motu, bentuk sederhana Motu, digunakan oleh banyak orang di sepanjang pesisir Papua. ”Kami bekerja keras untuk memperbaiki bentuk tulisan bahasa ini,” kata Don Fielder. ”Sesungguhnya, Menara Pengawal dan publikasi kita lainnya dalam bahasa Hiri Motu sangat berperan dalam mengembangkan bahasa tersebut hingga ke bentuknya yang lengkap sekarang.” Tok Pisin​—paduan bahasa Inggris, Jerman, Kuanua, dan bahasa lainnya​—banyak digunakan di dataran tinggi, wilayah pesisir, dan pulau-pulau di utara Papua Nugini. Bagaimana pekerjaan pengabaran dimulai di kawasan yang sangat beragam itu?

KABAR BAIK MENYEBAR KE UTARA

Bulan Juni 1956, sepasang perintis yang baru menikah, Ken dan Rosina Frame, adalah Saksi pertama yang pindah ke New Ireland, sebuah pulau di Kepulauan Bismarck di sebelah timur laut Papua Nugini. Ken, seorang akuntan, bekerja di sebuah perusahaan dagang di Kavieng, kota utama di pulau itu. ”Sebelum kami meninggalkan Sydney,” tutur Ken, ”kami disarankan untuk membiarkan orang-orang terbiasa dengan kami sebelum kami mulai mengabar secara terbuka. Rosina pintar menjahit baju dan ia segera memiliki banyak pelanggan. Kami memberikan kesaksian kepada mereka secara tidak resmi, dan tak lama kemudian sekelompok kecil peminat berhimpun secara tidak mencolok di rumah kami sekali seminggu.

”Delapan belas bulan kemudian, John Cutforth, pengawas wilayah, mengunjungi kami dan bertanya apakah ia bisa memperlihatkan film The Happiness of the New World Society (Kebahagiaan dari Masyarakat Dunia Baru). Saya berbicara kepada pemilik bioskop setempat, dan ia mau menayangkan film ’pelayanan’ kita yang cuma-cuma tanpa biaya. Stafnya pasti telah menyebarkan kabar tentang pertunjukan ini. Ketika kami tiba di bioskop, pintu masuk sudah dijejali orang, dan kami butuh bantuan polisi untuk masuk. Sekitar 230 orang menghadiri penayangan itu, belum termasuk orang-orang yang mengintip lewat jendela yang terbuka. Setelah peristiwa ini, kami mengabar dengan lebih terbuka.”

Bulan Juli 1957, sebuah sidang didirikan di Rabaul, New Britain, kota pelabuhan yang cantik yang diapit oleh dua gunung berapi yang aktif. Sidang Rabaul berhimpun di halaman belakang rumah yang disewa oleh para perintis istimewa. ”Lebih dari seratus orang datang ke rumah setiap malam untuk belajar Alkitab,” kata perintis Norm Sharein. ”Kami membagi mereka menjadi kelompok-kelompok sekitar 20 orang dan mengajar mereka diterangi cahaya pelita di bawah pohon.”

Ketika sidang itu menjadi tuan rumah bagi kebaktian wilayahnya yang pertama, tujuh orang dibaptis di pantai setempat. Lima dari mereka segera merintis. Tetapi, di mana mereka sebaiknya melayani? Kantor cabang Australia menyediakan jawaban​—Madang.

Di Madang, kota di pesisir timur laut daratan utama, ”ladang-ladang” siap untuk dipanen. (Yoh. 4:35) Sesungguhnya, kelompok kecil penyiar di sana benar-benar kewalahan mengurus banyaknya peminat. Ketika perintis asal Kanada Matthew Pope dan keluarganya tiba dan membeli rumah dengan beberapa kamar di halaman belakang, jalan pun terbuka untuk mengutus lebih banyak perintis.

Delapan perintis tiba dari Rabaul dan menyebar ke Distrik Madang. Salah seorang dari mereka, Tamul Marung, memperoleh sepeda lalu berperahu di sepanjang pesisir menuju Basken, desa asalnya, 48 kilometer sebelah utara Madang. Setelah mengabar di Basken, ia mengayuh sepedanya pulang ke Madang, sambil memberikan kesaksian di perjalanan. Ia kemudian kembali ke Basken, mendirikan sebuah sidang, dan merintis selama 25 tahun berikutnya. Sekitar waktu itu, ia menikah dan mengurus keluarga. Putrinya dan kemenakan perempuannya belakangan melayani di Betel.

Sementara itu, di Madang, John dan Lena Davison bertemu Kalip Kanai, guru sekolah asal Talidig, desa kecil antara Basken dan Madang. Tak lama kemudian, John dan Lena mengadakan perjalanan ke Talidig untuk memberikan pelajaran Alkitab kepada Kalip dan keluarganya. Akibatnya, inspektur sekolah, yang adalah seorang Katolik, marah besar dan memerintahkan polisi untuk mengusir Kalip dan keluarganya dari rumah mereka. Tanpa gentar, kelompok itu pindah ke Bagildig, desa tetangga, dan bertumbuh menjadi sidang yang berkembang pesat. Mereka belakangan membangun Balai Kerajaan besar yang digunakan untuk kebaktian. Sekarang, ada tujuh sidang dan dua kelompok di Distrik Madang.

Sementara pekerjaan pengabaran terus bergerak maju di Madang, Jim Baird serta John dan Magdalen Endor juga memperoleh hasil-hasil yang bagus di Lae, kota pesisir yang besar sekitar 210 kilometer di sebelah tenggara. ”Kami memberikan PAR kepada kelompok-kelompok besar orang di rumah kami hampir setiap malam. Dalam waktu enam bulan, sepuluh pelajar Alkitab kami ikut berdinas,” kenang John. Belakangan pada tahun itu, lebih dari 1.200 orang menghadiri penayangan film The New World Society in Action (Masyarakat Dunia Baru Sedang Beraksi) di bioskop di Lae. Banyak di antara hadirin adalah pekerja kontrak yang membawa kabar baik sewaktu kembali ke desa-desa mereka yang terpencil di pegunungan.

Jauh di pedalaman dari Lae, para penyiar yang gigih juga bekerja dengan baik. Di Wau, Jack Arifeae, pria besar berwajah bulat yang sangat bersemangat untuk melayani Yehuwa, telah mendirikan sidang yang berkembang pesat di rumahnya. Sekitar 30 anggota suku Kukukuku​—yang dahulu suku kanibal yang ditakuti​—juga belajar Alkitab dan membuat kemajuan rohani yang baik.

Sementara itu, di Bulolo yang berdekatan, Wally dan Joy Busbridge mengabar dengan penuh semangat hingga menimbulkan kemarahan New Tribes Mission, yang menganggap kawasan itu wilayah kekuasaannya. Akibat tekanan dari misi tersebut, majikan Wally memberi dia ultimatum, ”Keluar dari agamamu, atau cari pekerjaan lain.” Wally dan Joy pindah ke Lae dan terus mengabar. Belakangan, mereka memasuki dinas sepenuh waktu dan melayani dalam pekerjaan wilayah selama bertahun-tahun.

Popondetta, sebuah kota kecil di sebelah tenggara Lae, mendengar kabar baik melalui Jerome dan Lavinia Hotota, yang pulang ke provinsi asal mereka dari Port Moresby. Jerome penuh inisiatif dan menggunakan ayat Alkitab dengan persuasif, sementara Lavinia adalah wanita yang ramah dan punya minat pribadi yang besar pada orang lain. Sebagaimana dapat ditebak, sewaktu mereka mulai memberikan kesaksian, uskup Anglikan dan segerombolan pengikutnya segera tiba di rumah mereka, menyuruh mereka berhenti mengabar. Tetapi Jerome dan Lavinia tidak terintimidasi. Mereka terus mengabar dan mendirikan sidang kecil yang bersemangat.

Tahun 1963, kabar baik telah mencapai Wewak, kota terpencil di pesisir utara Papua Nugini. Karl Teynor dan Otto Eberhardt, dua kontraktor asal Jerman, membangun rumah sakit Wewak pada siang hari dan memberikan PAR kepada lebih dari 100 peminat pada malam hari dan akhir pekan. Pengabaran mereka membuat marah imam Katolik setempat, yang mengumpulkan massa dan melemparkan sepeda motor milik Karl dan Otto ke laut. Salah seorang kaki tangan imam itu, kepala desa yang terkemuka, memiliki putra yang belakangan menjadi Saksi. Karena terkesan melihat gaya hidup anaknya yang membaik, sikap pria itu melembut, dan ia mengizinkan Saksi-Saksi mengabar di desa-desa di bawah kendalinya.

KANTOR CABANG DIDIRIKAN

Sementara kaum pemimpin agama berupaya memberangus kegiatan Saksi, saudara-saudara mengambil langkah untuk ”secara hukum meneguhkan kabar baik” pada tingkat yang tertinggi. (Flp. 1:7) Maka, pada 25 Mei 1960, Perkumpulan Siswa-Siswa Alkitab Internasional, suatu badan hukum yang digunakan oleh Saksi-Saksi Yehuwa di banyak negeri, secara resmi terdaftar pada pemerintah. Ini membuka jalan bagi saudara-saudara untuk mendapatkan tanah pemerintah guna membangun Balai-Balai Kerajaan dan fasilitas lainnya yang dibutuhkan untuk mendukung pekerjaan Kerajaan.

Belakangan pada tahun itu, kantor cabang Lembaga Menara Pengawal juga didirikan di Papua Nugini. John Cutforth dilantik sebagai hamba cabang. Namun, karena ruang sewa tidak banyak tersedia, di mana kantornya akan ditempatkan?

Ini terjawab dengan tibanya sepasang suami istri​—Jim dan Florence Dobbins. Jim pernah berdinas di Angkatan Laut AS di Papua Nugini selama Perang Dunia II. Lalu, ia dan Florence menerima kebenaran dan menetapkan tujuan untuk memperluas pelayanan mereka. ”Tahun 1958, seorang saudara dari Port Moresby berkunjung ke rumah kami di Ohio dan memperlihatkan beberapa slide tentang Papua Nugini,” kenang Jim. ”Belakangan, kami menemukan sebuah slide yang secara tidak sengaja tertinggal olehnya. Pada slide itu terdapat salah satu pemandangan terindah yang pernah kami lihat. ’Kita kembalikan saja lewat pos,’ kata istri saya. Tetapi saya menjawab, ’Tidak, kita saja yang ke sana.’”

Setahun kemudian, Jim dan Florence, serta putri mereka, Sherry dan Deborah, pindah ke sebuah rumah kecil berdinding beton di Six Mile, di pinggiran kota Port Moresby. Tak lama kemudian, Jim mulai berbicara kepada John Cutforth tentang lokasi untuk kantor cabang.

”Saya sudah mencari ke mana-mana di Port Moresby, tapi tidak ada tempat untuk kantor cabang,” keluh John.

”Bagaimana kalau rumah kami saja?” jawab Jim. ”Saudara boleh pakai tiga kamar di depan, dan keluarga saya bisa tinggal di belakang.”

Pengaturan pun segera dibuat, dan pada 1 September 1960, rumah keluarga Dobbins secara resmi terdaftar sebagai kantor cabang pertama Papua Nugini.

’LARANG SAKSI-SAKSI’

Semua kemajuan ini tidak disukai para penentang kita. Sejak 1960 dan seterusnya, gabungan kekuatan gereja-gereja Susunan Kristen, Returned Services League (RSL), dan media setempat melancarkan kampanye terpadu untuk menjelek-jelekkan dan melarang Saksi-Saksi Yehuwa.

Situasi kian memanas ketika sebuah pamflet yang menerangkan sikap kita terhadap transfusi darah dibagi-bagikan ke dokter, pemimpin agama, dan pejabat pemerintah tertentu. Seperti biasa, reaksi pertama datang dari pemimpin agama Susunan Kristen. Pada 30 Agustus 1960, South Pacific Post memuat kepala berita ”Gereja-Gereja Murka atas Pertanyaan tentang Darah”. Dalam artikel yang menyertainya, para pemimpin gereja mengecam Saksi-Saksi sebagai ”anti-Kristus [dan] musuh Gereja”.

Artikel-artikel susulan memuat dusta bahwa Saksi-Saksi Yehuwa melakukan makar dan bahwa mereka mengajar orang untuk bolos sekolah, tidak membayar pajak, mengikuti kultus kargo, dan bahkan hidup tidak higienis. Berbagai laporan lain dengan keliru menuding mereka memanfaatkan gerhana matahari untuk menimbulkan ketakutan dan ”mengontrol pikiran penduduk pribumi yang tidak terpelajar”. Sebuah editorial bahkan mengutuki Saksi-Saksi karena telah ”tinggal, makan, dan bekerja bersama orang dusun”. South Pacific Post mengecam mereka karena mengajarkan bahwa ”semua orang sederajat” dan menyatakan bahwa Saksi-Saksi adalah ”ancaman yang lebih parah daripada Komunisme”.

Akhirnya, pada 25 Maret 1962, RSL meminta pemerintah kolonial untuk melarang Saksi-Saksi. Akan tetapi, pemerintah Australia secara terbuka menolak permintaan itu. ”Pengumuman ini menghasilkan pengaruh yang positif di seluruh negeri,” kata Don Fielder. ”Orang-orang yang berpikiran terbuka dapat melihat bahwa pernyataan para penentang kita sama sekali tidak benar.”

KE DATARAN TINGGI

Pada bulan yang sama, Tom dan Rowena Kitto meninggalkan Port Moresby untuk mengadakan perjalanan yang meletihkan selama beberapa minggu. Mereka membawa kabar baik ke wilayah yang belum disentuh​—dataran tinggi Nugini yang berlekuk-lekuk.

Tiga puluh tahun sebelumnya, para pencari emas asal Australia telah memasuki dataran tinggi itu dan menemukan peradaban yang terdiri atas sekitar satu juta orang yang sama sekali terisolasi dari dunia luar. Para penduduk asli yang keheranan mengira bahwa orang kulit putih adalah roh leluhur yang kembali dari kematian.

Tak lama kemudian, misionaris Susunan Kristen juga datang. ”Sewaktu para misionaris itu mendengar bahwa kami datang, mereka memerintahkan para penduduk desa untuk tidak mendengarkan kami,” tutur Rowena. ”Tapi peringatan mereka malah menjadi iklan yang bagus. Penduduk dataran tinggi itu​—yang selalu ingin tahu​—menunggu kedatangan kami dengan antusias.”

Tom dan Rowena mendirikan toko kecil di Wabag, 80 kilometer di sebelah barat laut kota Mount Hagen. ”Pemimpin agama memerintahkan kawanan mereka agar tidak berjual beli atau berbicara dengan kami dan bahkan menekan mereka untuk meminta agar sewa tanah kami dibatalkan,” kata Tom. ”Namun, pada akhirnya, para penduduk desa melihat bahwa kami berbeda dari orang-orang Eropa lain yang mereka tahu. Yang paling mencolok, kami memperlakukan mereka dengan ramah. Bahkan, perbuatan baik kami sering membuat mata mereka berkaca-kaca, dan mereka berkata bahwa mereka ingin kami tetap tinggal di sana!”

SABAR MENGAJAR, SUBUR HASILNYA

Sejak 1963, banyak Saksi dari luar negeri pindah ke dataran tinggi untuk turut memperluas pekerjaan pengabaran. Perlahan-lahan dari timur ke barat, saudara-saudari itu akhirnya mengerjakan seluruh kawasan, mendirikan kelompok dan sidang di banyak daerah.

Di Goroka, di Provinsi Dataran Tinggi Timur, sebuah sidang kecil pertama kali berhimpun di rumah pribadi. Belakangan, mereka membangun tempat berhimpun yang sederhana dari bahan-bahan hutan. Kemudian, tahun 1967, mereka membangun Balai Kerajaan yang cantik berkapasitas 40 kursi. ”Saya berkelakar bahwa kursi-kursi itu baru terisi penuh kalau sudah Armagedon,” kenang George Coxsen, yang melayani di dataran tinggi selama sepuluh tahun. ”Betapa kelirunya saya! Dalam waktu 12 bulan, ada begitu banyak orang yang berhimpun sampai-sampai kami harus membentuk sidang kedua!”

Lebih jauh ke arah timur, dekat Kainantu, Norm Sharein memberikan pelajaran Alkitab kepada lebih dari 50 penduduk desa yang datang ke pondoknya setiap hari. Perintis Berndt dan Erna Andersson belakangan mengurus kelompok ini selama dua setengah tahun. ”Orang-orangnya jarang mandi, berpakaian minim, sama sekali buta huruf, dan menganut demonisme,” kenang Erna. ”Namun, dengan bantuan yang sabar dan pengasih, sebagian dari mereka segera dapat mengucapkan dan menjelaskan 150 ayat di luar kepala.”

Berndt dan Erna menjalin hubungan yang erat dengan kelompok itu. ”Ketika kami ditugaskan ke Kavieng, para wanitanya berkumpul mengelilingi saya dan menangis, ya, bahkan meraung-raung!” kata Erna. ”Mereka bergantian mengusap-usap lengan dan wajah saya sambil bercucuran air mata. Berulang kali, saya masuk ke pondok saya untuk menangis sementara Berndt berupaya menghibur mereka, tetapi mereka tidak juga terhibur. Ketika kami akhirnya berangkat, sekumpulan besar orang berlari menuruni gunung di belakang kendaraan kami, seraya para wanitanya meratap di sepanjang jalan. Saya masih sulit melukiskan perasaan pilu saya hari itu. Rindu sekali rasanya untuk bertemu orang-orang yang kami kasihi itu di dunia baru!” Para perintis lainnya meneruskan pekerjaan Berndt dan Erna, dan sebuah sidang yang bagus didirikan di Kainantu.

MENABURKAN BENIH KERAJAAN MENGHASILKAN BUAH

Pada awal 1970-an, sebuah kelompok kecil Saksi telah terbentuk di Mount Hagen, sekitar 130 kilometer sebelah barat Goroka. Kota ini terkenal dengan pasar mingguannya yang besar, yang menarik ribuan penduduk desa yang tinggal berkilo-kilometer di sekitarnya. ”Kami menempatkan ratusan lektur di pasar ini,” kata Dorothy Wright, seorang perintis yang berani. Ketika orang-orang kembali ke desa mereka, berita Kerajaan terbawa bersama mereka, menembus daerah-daerah terpencil yang tidak bisa dicapai para penyiar kala itu.

Belakangan, putra Dorothy, Jim Wright, dan rekan perintisnya, Kerry Kay-Smith, ditugaskan ke Banz, distrik penghasil teh dan kopi di Lembah Wahgi yang indah di sebelah timur Mount Hagen. Di sini, mereka menghadapi tentangan keras dari berbagai misi gereja, yang menghasut anak-anak untuk melempari mereka dengan batu dan mengusir mereka dari desa-desa. Sewaktu Kerry dipindahtugaskan ke daerah lain, Jim tetap tinggal di Banz, merintis sendirian. Ia mengenang, ”Saya sering terjaga di malam hari di gubuk kecil saya sambil berdoa, ’Yehuwa, mengapa saya ada di sini?’ Baru bertahun-tahun kemudian, saya mendapat jawabannya.

”Tahun 2007, saya pergi dari Australia ke Banz untuk menghadiri kebaktian distrik,” Jim meneruskan. ”Dekat lokasi gubuk saya yang dahulu, berdiri Balai Kerajaan baru yang sewaktu-waktu dapat diperluas menjadi Balai Kebaktian berkapasitas 1.000 kursi. Ketika saya memasuki lokasi itu, seorang saudara berlari ke arah saya, memeluk saya, dan mulai menangis di bahu saya. Setelah ia akhirnya berhasil menenangkan diri, saudara itu, Paul Tai, menjelaskan bahwa saya memberikan PAR kepada ayahnya 36 tahun yang lalu. Paul belakangan membaca buku-buku pelajaran ayahnya dan menerima kebenaran. Ia memberi tahu saya bahwa ia melayani sebagai penatua.

”Pada kebaktian itu, saya diwawancarai di panggung dan menceritakan penganiayaan yang kami alami pada masa-masa awal di Banz,” kata Jim. ”Hampir semua hadirin menangis. Setelah acara itu, beberapa saudara datang, memeluk saya, dan dengan terisak-isak memohon maaf. Sewaktu masih anak-anak, merekalah yang mengusir saya dari desa mereka sambil melempari saya dengan batu dan mencaci maki. Selain itu, salah seorang dari mereka, Mange Samgar​—kini penatua​—adalah mantan Pastor Lutheran yang memprovokasi anak-anak itu! Kebaktian itu sungguh suatu reuni yang menakjubkan!”

BENIH BERTUNAS DI DAERAH TERPENCIL

Meski banyak orang di Papua Nugini belajar kebenaran melalui kontak langsung dengan Saksi, yang lainnya mendapatkannya melalui benih-benih kebenaran yang mencapai daerah-daerah terpencil. (Pkh. 11:6) Misalnya, sekitar tahun 1970, kantor cabang mulai menerima laporan dinas lapangan secara rutin dari seseorang yang tidak dikenal di sidang yang tidak terdaftar di desa yang tidak diketahui di Sungai Sepik yang terpencil. Kantor cabang meminta Mike Fisher, pengawas wilayah, untuk mengusutnya.

”Untuk mencapai desa itu, saya naik kano bermotor selama sepuluh jam mengarungi sungai sempit menembus hutan rimba yang penuh nyamuk,” tutur Mike. ”Akhirnya, saat saya tiba sore hari, saya bertemu dengan pengirim misterius itu, seorang pria yang telah dipecat bertahun-tahun sebelumnya di daerah lain. Ia telah pulang ke desanya, bertobat dari dosa-dosanya, dan mulai mengabar. Lebih dari 30 orang dewasa di desa itu menyebut diri mereka Saksi-Saksi Yehuwa, beberapa darinya memenuhi syarat untuk dibaptis. Tak lama kemudian, pria yang telah bertobat itu diterima kembali, dan kelompok itu secara resmi diakui oleh kantor cabang.”

Tahun 1992, pengawas wilayah lain, Daryl Bryon, mendengar ada desa terpencil di pedalaman yang penduduknya konon berminat pada kebenaran. ”Untuk mencapai desa itu, saya mengendarai mobil ke pedalaman sejauh 80 kilometer, berjalan menembus hutan rimba yang lebat selama satu setengah jam, lalu mengayuh kano ke hulu selama satu jam,” Daryl menjelaskan. ”Saya terkejut ketika melihat bahwa di tepi sungai itu, dikelilingi gunung-gunung yang menjulang, terdapat bangunan baru yang bertanda ’Balai Kerajaan Saksi-Saksi Yehuwa’.

”Sekitar 25 peminat berkumpul di balai itu setiap hari Minggu untuk mempelajari buku Saudara Dapat Hidup Kekal dalam Firdaus di Bumi. Karena mereka menyatakan diri sebagai Saksi, saya bertanya apakah mereka mengunyah buah pinang. ’Oh, tidak,’ jawab mereka. ’Kami berhenti melakukannya setahun lalu ketika kami masuk kebenaran!’ Tentu saja, saya senang ketika kantor cabang menambahkan kelompok itu ke rute wilayah saya.”

LONJAKAN UTUSAN INJIL

Selama tahun 1980-an dan 1990-an, kegiatan di ladang Papua Nugini meningkat pesat seiring dengan kedatangan sejumlah utusan injil Gilead, lulusan Sekolah Pelatihan Pelayanan, dan perintis istimewa dari Amerika Serikat, Australia, Filipina, Finlandia, Inggris, Jepang, Jerman, Kanada, Selandia Baru, Swedia, dan negeri-negeri lain. Hal ini sering terbukti menjadi berkat ganda, karena beberapa dari para penginjil ini belakangan menikah dan berdinas bersama teman hidup yang tidak kalah semangatnya.

Saat tiba di negeri ini, kebanyakan pendatang baru itu mengikuti kursus bahasa Tok Pisin dan Hiri Motu selama dua atau tiga bulan. Mereka belajar bahasa setiap pagi lalu mempraktekkannya dalam dinas pengabaran setiap sore. Berkat pelatihan ini, banyak dari mereka memandu pelajaran Alkitab yang efektif dan menyampaikan khotbah beberapa bulan kemudian.

Dengan belajar bahasa baru, mereka juga terbantu untuk bersabar dan berempati sewaktu mengajar orang yang tidak bisa membaca atau menulis. Dengan demikian, mereka membantu banyak peminat menguasai keterampilan dasar yang diperlukan untuk membaca Firman Allah. (Yes. 50:4) Selanjutnya, jumlah penyiar bertumbuh dari 2.000 pada 1989 menjadi sekitar 3.000 pada 1998, peningkatan sebesar 50 persen hanya dalam waktu sembilan tahun!

Meskipun banyak dari para penginjil itu belakangan harus meninggalkan Papua Nugini karena alasan kesehatan atau yang lainnya, mereka meninggalkan warisan yang langgeng. Sesungguhnya, orang-orang yang dikasihi itu masih terus dikenang karena kesetiaan dan perbuatan mereka yang pengasih.​—Ibr. 6:10.

PEKERJAAN PEMBANGUNAN MEMPERCEPAT KEMAJUAN

Seraya penyiar Kerajaan bertambah, begitu pula kebutuhan akan Balai Kerajaan, Balai Kebaktian, dan fasilitas cabang yang lebih besar. Bagaimana ini dipenuhi?

Sebelum 1975, pemerintah melalui Departemen Pertanahan secara rutin menyediakan blok-blok tanah baru untuk tujuan keagamaan. Gereja-gereja yang berminat mendaftar untuk memperoleh jatah dan mengajukannya ke hadapan Dewan Tanah yang dibentuk pemerintah. Gereja yang disetujui menerima lahan secara cuma-cuma tetapi harus mendirikan bangunan di situ dalam jangka waktu yang masuk akal.

Tahun 1963, kendati ada tentangan sengit dari pemimpin agama Susunan Kristen, Perkumpulan Siswa-Siswa Alkitab Internasional memperoleh hak guna atas sebidang tanah yang bagus di Port Moresby. Tanah di lereng bukit itu memiliki pemandangan yang memukau, yakni pasar Koki dan Laut Koral yang biru. Belakangan, kantor cabang dua lantai dan Balai Kerajaan dibangun di lokasi ini. Tanah-tanah hibah selanjutnya di Port Moresby digunakan untuk membangun Balai Kerajaan di Sabama, Hohola, Gerehu, dan Gordon.

Lokasi di Gordon, yang letaknya mencolok dekat pusat kota, awalnya diperuntukkan sebagai lokasi katedral Anglikan yang akan dibangun. ”Namun, dalam acara dengar pendapat, ketua Dewan Tanah memberi tahu rohaniwan Anglikan bahwa dewan tidak senang dengan cara gereja itu mengumpulkan lahan dan sering menyalahgunakannya untuk tujuan komersial,” jelas Ron Fynn, yang melayani di Papua Nugini selama 25 tahun. ”Ketua menambahkan bahwa gereja Anglikan tidak akan menerima lahan lagi sampai dewan yakin bahwa mereka menggunakan jatah yang sekarang untuk tujuan yang semestinya.

”Setelah mengatakan itu, ketua menoleh ke saya dan bertanya tentang lahan yang kami butuhkan. Saya mengatakan bahwa pilihan pertama kami adalah blok ’katedral’ di Gordon itu. Rohaniwan Anglikan itu langsung berdiri untuk mengajukan keberatan, tetapi ketua dengan tegas menyuruh dia duduk kembali. Saya melanjutkan presentasi hingga selesai. Semua yang hadir takjub ketika panitia menghibahkan tanah itu kepada sidang kami.”

Balai Kerajaan dan kantor empat lantai dibangun di lokasi ini. Fasilitas cabang yang baru ini ditahbiskan pada 12 Desember 1987. Lokasi yang sebelumnya di Koki dijual. Antara 2005 dan 2010, sebuah gedung tempat tinggal empat lantai, sebuah Balai Kerajaan, dan sebuah kantor penerjemahan ditambahkan ke fasilitas cabang. Bangunan-bangunan ini ditahbiskan pada 29 Mei 2010.

Sekarang, ada 89 Balai Kerajaan dan tempat pertemuan lainnya di seantero negeri. Di banyak daerah pedesaan, bahan bangunan untuk tempat pertemuan masih diambil dari hutan. Namun, di kota-kota yang lebih besar, digunakan bahan bangunan modern. Banyak dari balai-balai yang baru ini telah dibangun lewat program untuk negeri-negeri yang sumber dayanya terbatas, yang telah beroperasi di Papua Nugini sejak 1999.

BERTEKUN MESKI ADA TANTANGAN

Berbagai agama yang beroperasi di Papua Nugini memiliki kesepakatan tidak resmi mengenai di mana setiap misi boleh beroperasi. Setiap kelompok gereja memiliki wilayahnya sendiri dan agama-agama lain diharapkan untuk tidak memasukinya. Tentu saja, Saksi-Saksi Yehuwa membagikan kabar baik kepada semua yang mau mendengar, di mana pun mereka tinggal. Sikap ini, dan tanggapan positif dari banyak orang yang mendengarkan kebenaran, membuat pemimpin agama marah.

”Setelah saya pindah ke pulau kecil Kurmalak, New Britain Barat, yang pertama-tama mendatangi saya adalah seorang pendeta Anglikan,” kenang Norm Sharein. ”’Kamu tidak berhak memberi kesaksian di wilayahku,’ katanya. ’Mereka sudah Kristen!’

”Belakangan, saya melihat seorang pelajar Alkitab saya dengan panik mengayuh kanonya ke pantai di tengah hujan lebat dan ombak besar. Sebetulnya, ia mempertaruhkan nyawanya dalam cuaca seperti itu. Ia menarik kanonya ke pantai dan, sambil terengah-engah, memberi tahu saya bahwa satu perahu penuh orang Katolik, yang dipimpin seorang katekis, sedang dalam perjalanan untuk menghajar saya. Saya tidak bisa lari ke mana pun, dan saya berpaling kepada Yehuwa meminta hikmat dan kekuatan.

”Ketika perahu itu tiba, sekitar 15 orang turun, dan wajah mereka dicat merah​—tanda yang jelas bahwa mereka berniat mencelakai saya. Ketimbang menunggu mereka mendekati saya, saya berjalan menyongsong mereka. Awalnya, saya memang takut, tetapi sekarang tidak lagi. Seraya saya mendekat, mereka mencaci maki saya, berharap saya akan membalas sehingga mereka punya alasan untuk memukul saya, tetapi saya tetap tenang.

”Di sana ada juga seorang pelajar Alkitab saya lainnya, seorang pria tua yang adalah pemilik pulau itu. Dengan niat baik, ia mengatakan kepada mereka, ’Saksi-Saksi Yehuwa tidak pernah berkelahi. Coba saja pukul dia!’

”’Di pihak siapa sih dia?’ kata saya dalam hati, berharap dia sebaiknya diam saja.

”Setelah bertukar pikiran dengan pria-pria itu selama beberapa menit, saya mempersilakan mereka pergi, dan sebagai tanda iktikad baik, saya mengulurkan tangan kanan untuk menyalami pemimpin mereka. Dia terkejut, lalu menoleh ke teman-temannya, yang juga menatap dia. Lalu, dia menyalami saya. Suasana pun tidak tegang lagi, dan kami semua bersalam-salaman. Setelah itu, mereka pergi, dan betapa leganya saya! Saya langsung teringat kata-kata Paulus kepada Timotius, ’Seorang budak dari Tuan tidak perlu berkelahi, melainkan lembut terhadap semua orang, . . . menahan diri menghadapi apa yang jahat.’”​—2 Tim. 2:24.

Berndt Andersson mengenang bahwa di salah satu desa dataran tinggi, pastor Lutheran dan segerombolan 70 pria dari desa lain mencoba mengusir Saksi dan menghancurkan Balai Kerajaan. Berndt mengejutkan gerombolan itu dengan pergi ke luar desa untuk menemui mereka. Ia mendekati sang pastor dan bertanya mengapa misi Lutheran mengatakan nama Allah adalah Anutu, nama setempat yang digunakan sebagian misionaris Susunan Kristen. Pastor mengatakan bahwa nama itu ada di Alkitab, jadi Berndt bertanya di mana. Pastor itu membuka Alkitab-nya, dan ketika ia jelas-jelas tidak bisa menemukan ayatnya, Berndt mengundangnya membaca Mazmur 83:18. Setelah dibantu menemukan buku Mazmur, sang pastor membaca dengan suara keras. Ketika membaca sampai nama Yehuwa, ia menutup Alkitab-nya dan berteriak, ”Itu dusta!” Terlambat, ia sadar bahwa ia baru saja mengutuk Alkitab-nya sendiri. Setelah peristiwa itu, banyak pengikutnya berubah sikap terhadap Saksi.

Adakalanya, para penentang religius berhasil membakar habis Balai Kerajaan, seperti di desa Agi, Provinsi Milne Bay. Namun, dalam peristiwa ini, salah seorang pembakar, yang sedang mabuk saat melakukannya, sangat menyesali perbuatannya. Malah, ia belakangan mendekati saudara-saudara, menerima PAR, dan menjadi perintis. Selain itu, ia ditawari menggunakan rumah perintis di samping balai yang dibangun kembali. Jadi, ia sekarang memelihara balai yang tadinya ia bakar!

Sekarang, hampir tidak ada lagi penindasan agama. ”Kami telah memasuki masa kedamaian,” kata Craig Speegle. ”Tapi ada problem lain yang berkembang​—aksi kekerasan, sering kali oleh para berandalan dan pencuri, yang dijuluki raskol. Maka, sewaktu mengabar di daerah berbahaya, saudara-saudara bekerja dalam kelompok dan saling memerhatikan.”

”Dikenal sebagai Saksi sangat bermanfaat,” kata utusan injil Adrian dan Andrea Reilly. ”Entah kami sedang berbelanja atau mengabar, bijaksana untuk membawa lektur,” kata Adrian. ”Memang, ini bukan jaminan keselamatan, tetapi ini bisa bermanfaat karena hal itu memperkenalkan kita sebagai rohaniwan Yehuwa. Sekali peristiwa, mobil saya mogok di daerah berbahaya di Lae. Saya sendirian, dan tak lama kemudian, sekelompok anak muda yang berwajah garang mengerumuni saya. Berkat pembahasan Alkitab yang kami adakan baru-baru ini, dua dari mereka mengenali saya. Hasilnya, mereka membela saya. Yang membuat saya terkejut sekaligus lega, bukannya merampok atau melukai saya, seluruh geng itu mendorong mobil saya yang mogok sejauh hampir satu kilometer ke rumah utusan injil.”

Dalam peristiwa lain, seorang saudari sedang berada di pasar ketika para raskol yang bersenjatakan pisau berbisik kepadanya, ”Serahkan tasmu.” Ia langsung menyerahkannya, dan mereka lari. Beberapa menit kemudian, mereka kembali, meminta maaf, dan mengembalikan tas itu berikut semua isinya. Mengapa? Setelah membuka tas dan melihat Alkitab serta buku Bertukar Pikiran, mereka jadi merasa bersalah.”

METODE PENGABARAN YANG BERAGAM

”Kami mengabar di mana pun kami menemukan orang,” kenang Elsie Thew, yang melayani di Papua Nugini bersama suaminya, Bill, dari 1958 sampai 1966. ”Kami berbicara kepada orang-orang di desa mereka, di rumah mereka, di kebun mereka, di pasar, dan di sepanjang jalan hutan. Kami berbicara kepada nelayan di pantai dan pinggir sungai. Pada masa-masa awal, kami juga membawa peta dunia sehingga kami dapat memperlihatkan dari mana kami berasal kepada orang-orang di daerah terpencil. Ini penting karena kadang kami tiba dengan pesawat terbang, dan penduduk desa, yang tidak mengetahui dunia luar, mengira kami jatuh dari langit! Jadi, kami memperlihatkan kepada mereka bahwa kami sebenarnya datang dari bagian lain di dunia ini juga.”

Satu-satunya cara untuk mencapai banyak desa yang bertebaran di garis pesisir Papua Nugini dan sejumlah besar pinggir sungai adalah dengan perahu atau kano. Steve Blundy mengenang, ”Saudara Daera Guba, dari Hanuabada, Port Moresby, adalah pria lansia yang sudah banyak makan asam garam dalam soal perahu. Ia punya dua gelondong kayu yang dilubangi di bawah rumahnya, jadi rekan perintis saya dan saya membantunya memperoleh kayu yang ia butuhkan untuk membuat puapua, semacam perahu berbadan kembar, atau katamaran. Layarnya dibuat dari kain kanvas. Bersama Daera sebagai kapten dan dua atau tiga saudara lainnya dari Hanuabada sebagai awak, kami melakukan cukup banyak perjalanan ke desa-desa pesisir dekat Port Moresby.”

Pada pengujung 1960-an, Berndt Andersson melayani di New Ireland, sebuah pulau indah sekitar 650 kilometer di sebelah timur laut daratan utama. Berndt menulis, ”Orang datang dari pulau-pulau kecil tetangga, meminta kami mengunjungi mereka. Namun, untuk melakukannya, kami butuh perahu, yang bagaikan angan-angan mengingat penggantian ongkos bulanan kami sangat kecil. Kami memang punya beberapa papan di gudang, tetapi tidak cukup untuk membuat perahu. Jadi, kami berdoa kepada Yehuwa tentang hal ini. Tahu-tahu, seorang saudara di Lae mengirimi kami 200 dolar Australia untuk membantu kami mengunjungi pulau-pulau luar. Kami pun bisa membuat perahu, yang kami namai Pioneer (Perintis). Tetapi, perahu itu tidak bermesin. Sekali lagi, saudara itu menyediakan dana yang dibutuhkan, kali ini untuk membeli motor tempel kecil. Sekarang, kami bisa mengunjungi pulau-pulau yang cantik itu!”

Sekitar 1990, seorang pengawas wilayah, Jim Davies, bersama tiga saudara lain, membuat rencana untuk mengabar di sebuah kamp pengungsi di hulu Sungai Fly dekat perbatasan Indonesia. Untuk pemondokan, saudara-saudara itu telah menghubungi seorang wanita peminat yang suaminya adalah orang kedua yang bertanggung jawab di kamp itu. ”Perjalanan ke hulu Sungai Fly memakan waktu hampir dua jam dengan kano bermotor,” kata Jim. ”Sekitar pukul sembilan pagi, kami tiba di sebuah tanah lapang di hutan, dan di sana kami melihat ada jalan tanah menuju kamp yang jauh itu. Kami menunggu transportasi di sana.

”Akhirnya, pukul lima sore, sebuah mobil muncul. Kami memasukkan perlengkapan kami, naik ke mobil itu, dan berangkat. Namun, baru saja mobil itu bergerak beberapa ratus meter, mekanisme kemudinya patah! Dengan kalem, si pengemudi mencari tahu masalahnya, mengambil kawat, masuk ke kolong mobil, dan mengikat bagian-bagian yang terlepas. ’Sebentar lagi pasti lepas,’ pikir saya. Tapi saya keliru. Kawat itu bertahan sampai lima jam, sekalipun kami terus mengaktifkan tuas penggerak-empat-roda mengingat situasi jalan yang berat. Berkali-kali kami terperangkap di lumpur dan harus mendorong mobil itu ke luar. Kami tiba pada pukul sepuluh malam, capek dan penuh lumpur.

”Selama tiga hari, kami mengabar di kamp itu, yang mencakup daerah yang luas di hutan, dan menempatkan semua lektur kami. Kami juga bertemu seorang pria yang telah dipecat yang menyatakan keinginan untuk kembali kepada Yehuwa. Belakangan, kami senang saat mendengar bahwa ia benar-benar kembali. Selain itu, istri dan beberapa anaknya sekarang berada dalam kebenaran. Begitu pula dengan wanita peminat dan suaminya yang dengan baik hati memberi kami pemondokan.”

PEKERJAAN KELILING DI SUNGAI SEPIK

Sungai Sepik, yang panjangnya sekitar 1.100 kilometer, bagaikan ular besar berwarna cokelat yang meliuk-liuk dari dataran tinggi ke laut. Di beberapa tempat, sungai itu begitu lebar sehingga sulit melihat sisi seberangnya. Sungai itu adalah jalan raya besar, yang rutin digunakan oleh saudara-saudara, termasuk pengawas keliling dan istrinya. Mari bergabung dengan seorang pengawas wilayah dan istrinya yang sedang mengunjungi sidang-sidang di sepanjang sungai besar ini.

Warren Reynolds menulis, ”Pagi-pagi sekali, saya dan istri, Leann, berangkat dari kota Wewak dengan membawa perahu aluminium berukuran 3,5 meter yang dipasang pada atap mobil kami. Setelah tiga jam berkendara, sebagian besar dengan mengaktifkan tuas penggerak-empat-roda, kami memarkir kendaraan kami di sisi sungai selama beberapa hari sementara kami berperahu ke hulu untuk mengunjungi kira-kira 30 penyiar di empat desa di sepanjang anak-anak sungai Sepik.

”Setelah memasukkan barang-barang ke perahu kami yang lantainya datar, kami menghidupkan motor tempelnya yang berkapasitas 25 tenaga kuda dan bergerak ke hulu. Sejam kemudian, kami berbelok ke Sungai Yuat, anak sungai Sepik, dan menyusurinya selama dua jam lagi sebelum tiba di desa Biwat. Di sana, kami dengan hangat disambut oleh saudara-saudara dan para pelajar Alkitab, yang beberapa darinya menggotong perahu kami ke tepian dan menaruhnya di salah satu rumah mereka. Setelah menyantap pisang dan air kelapa, kami semua berangkat dan berjalan selama dua jam melewati hutan rawa, dengan dipandu para penyiar yang juga membantu mengangkut barang-barang kami. Akhirnya, kami tiba di desa kecil yang disebut Dimiri, di mana kami memuaskan dahaga kami dengan air kelapa dan memasang kelambu dan tempat tidur di rumah panggung yang dibuat dari bahan-bahan hutan. Akhirnya, setelah menyantap gembili yang dimasak, kami tidur.

”Empat belas penyiar tinggal di daerah ini di tiga desa. Selama beberapa hari kemudian, kami mengabar ke setiap desa dan menemukan banyak peminat. Kami juga senang melihat dua pelajar Alkitab mengesahkan perkawinan mereka dan disetujui untuk melayani sebagai penyiar Kerajaan. Penyiar lainnya menyediakan jamuan pernikahan sederhana berupa gembili, sagu, dedaunan yang bisa dimakan, dan dua ekor ayam.

”Pada hari Minggu, kami senang sekali melihat 93 penduduk desa menghadiri khotbah umum! Setelah perhimpunan, dengan ransel terisi penuh, kami berangkat pada tengah hari untuk kembali ke Biwat, di mana kami menitipkan barang kami di rumah seorang pelajar Alkitab dan mulai mengabar. Beberapa orang menerima lektur; dan beberapa lagi mau belajar Alkitab. Malam itu, di rumah seorang pelajar Alkitab, kami makan di sekeliling api unggun agar terhindar dari serbuan gerombolan nyamuk yang takut pada asap api.

”Keesokan paginya, kami kembali ke perahu, mendorongnya ke sungai, dan berangkat menembus kabut pagi, sambil terpukau melihat burung dan ikan yang berkecipakan di air. Rakit-rakit bambu berisi keluarga yang membawa dagangannya ke pasar melewati kami dengan senyap ke arah berlawanan.

”Sewaktu kembali ke kendaraan, kami mengisi ulang tangki bahan bakar perahu dan air minum serta persediaan lain. Lalu, kami kembali menyusuri sungai, kali ini untuk mengunjungi ke-14 penyiar di Kambot. Kami tiba dua jam kemudian dalam keadaan basah kuyup akibat hujan badai tropis. Dari Kambot, kami menuju ke hulu​—kali ini dengan perahu penuh penyiar​—ke sebuah desa besar yang berada di kedua sisi sungai. Kami mengabar kepada orang-orang yang penuh penghargaan di sana hingga senja. Dalam perjalanan pulang, kami mengabar kepada orang-orang yang berdiri di dermaga apung dari bambu. Karena telah melihat kami pergi ke hulu pada pagi hari, mereka menunggu kepulangan kami. Karena uang langka di daerah terpencil ini, penduduk desa mengungkapkan rasa terima kasih atas kunjungan kami dan atas risalah yang telah kami bagikan dengan menyumbangkan makanan​—kelapa, labu, ikan asap, pisang. Saat matahari terbenam, kami sudah kembali di Kambot, memasak bahan-bahan makanan itu.

”Di Kambot, tempat berhimpunnya berupa rumah panggung, sebagaimana lazimnya rumah-rumah di daerah itu. Di musim hujan, saat seluruh daerah itu banjir, orang mengayuh kanonya hingga persis di tangga tempat berhimpun. Kunjungan kami diakhiri dengan khotbah umum yang dihadiri 72 orang, termasuk beberapa yang berjalan lima jam untuk tiba di sini.

”Setelah tiba lagi di kendaraan yang kami gunakan untuk pekerjaan keliling dan memasang perahu di atapnya, kami melakukan perjalanan pulang selama tiga jam. Di perjalanan, kami memikirkan saudara-saudari yang kami kasihi yang tinggal di tepi Sungai Sepik. Kami juga memikirkan kasih Yehuwa kepada mereka, yang tecermin dalam upaya organisasi-Nya untuk memastikan bahwa mereka diberi cukup makanan rohani. Sungguh luar biasa hak istimewa kami untuk menjadi bagian dari keluarga yang menakjubkan demikian!”

BERGULAT DENGAN ROH JAHAT

Meski kebanyakan penduduk Papua Nugini mengaku Kristen, banyak juga yang berpaut pada kepercayaan tradisional, termasuk penyembahan leluhur dan ketakutan terhadap roh jahat. Dan belakangan ini, menurut sebuah buku panduan, ”ilmu hitam dan sihir kembali marak”. Maka, orang sering mengatakan bahwa penyakit dan kematian terjadi gara-gara dukun atau roh leluhur.

Dalam iklim demikian, kebenaran Alkitab telah memerdekakan banyak orang. Malah, beberapa dukun telah mengakui kuasa Firman Allah, meninggalkan praktek-praktek mereka, dan menerima ibadat sejati. Perhatikan dua contoh:

Soare Maiga tinggal di desa sekitar 50 kilometer dari Port Moresby dan sangat ditakuti karena kekuatan gaibnya. Tetapi, ia penasaran dengan kepercayaan Saksi-Saksi Yehuwa dan mulai menghadiri kelompok pelajaran Alkitab. Tak lama kemudian, ia menerima kebenaran dan meninggalkan kehidupan lamanya. Tetapi, ketika ia berupaya membuang pernak-pernik spiritismenya, secara misterius barang-barang itu selalu kembali lagi! Meskipun demikian, Soare bertekad untuk ’melawan Iblis’, maka pada suatu hari ia memasukkan semua barang itu ke dalam karung, memberatinya dengan batu, dan melemparkannya ke lepas pantai Port Moresby. (Yak. 4:7) Setelah itu, barang-barang tersebut tidak kembali lagi. Kemudian, pria yang berani ini menjadi Saksi yang bersemangat dari Allah yang benar, Yehuwa.

Kora Leke menggunakan jampi dan jamu untuk menyembuhkan orang sakit. Tetapi, ketika ia mulai belajar Alkitab, ia berjuang keras untuk membebaskan diri dari suatu roh yang telah membantunya mendalami ilmu sihir. Seperti Soare, Kora bertekad mengakhiri keterlibatannya dengan hantu-hantu​—dan dengan bantuan Yehuwa, ia berhasil. Belakangan, ia melayani sebagai perintis biasa lalu perintis istimewa. Bahkan ketika ia sudah tua dan kakinya sudah lemah, saudara yang loyal ini terus membagikan kabar baik kepada sesamanya.

Bagaimana Kora datang ke lokasi pengabaran favoritnya? Saudara-saudara membawanya dengan gerobak, sarana paling praktis yang ada. Belakangan, seorang saudara yang panjang akal di kantor cabang dengan baik hati membuatkan dia kursi roda dengan menggunakan rangka baja kursi biasa, roda sepeda, dan kain kanvas sebagai tempat duduk. Berkat sarana transportasi yang baru ini, Kora menjadi lebih mandiri, dan ia memanfaatkannya sebaik mungkin! Ya, sungguh menggugah pengalaman saudara-saudara lansia demikian, dan Yehuwa pasti sangat bersukacita!​—Ams. 27:11.

MENGAJAR ORANG MEMBACA DAN MENULIS

”Segala perkara yang ditulis dahulu kala ditulis untuk mengajar kita,” kata Roma 15:4. Jelaslah, Allah ingin umat-Nya bisa membaca. Maka, sebagaimana telah kami sebutkan, Saksi-Saksi Yehuwa di Papua Nugini telah mengerahkan upaya yang besar untuk mengajar orang caranya membaca dan menulis.

Tentu, belajar membaca dan menulis bisa jadi tidak mudah, terutama bagi lansia, tapi jika si pelajar rela belajar, ia biasanya akan berhasil. Sesungguhnya, Firman Allah dapat berpengaruh besar atas diri orang yang sangat sederhana dan tidak terpelajar.

Contohnya Save Nanpen, pemuda dari hulu Sungai Sepik. Sewaktu Save pindah ke Lae, ia untuk pertama kalinya menghadapi perbedaan kebudayaan yang mencolok, termasuk hal-hal dari dunia Barat. Selain itu, ia bertemu Saksi-Saksi Yehuwa, yang membagikan harapan Kerajaan kepadanya. Hati Save tersentuh, ia mulai berhimpun, dan tak lama kemudian, ia memenuhi syarat sebagai penyiar belum terbaptis. Tetapi, ia ragu untuk mengambil langkah berikutnya​—baptisan. Mengapa? Ia telah berjanji kepada Yehuwa bahwa ia tidak akan dibaptis sampai ia bisa membaca sendiri Alkitab. Jadi, ia belajar dengan rajin dan mencapai cita-cita rohaninya.

Dewasa ini, buta huruf masih umum, tetapi sekolah-sekolah sekuler telah didirikan di sejumlah daerah, dan anak-anak Saksi bersekolah di sana. Bahkan, anak-anak muda kita sering kali menjadi teladan melek huruf​—yang tak lepas dari peran orang tua dan pelatihan di perhimpunan, seperti Sekolah Pelayanan Teokratis.

KEBENARAN ALKITAB MENGUBAH KEHIDUPAN

Rasul Paulus menulis, ”Senjata-senjata peperangan kami tidak bersifat daging, tetapi penuh kuasa oleh karena Allah, untuk merobohkan perkara-perkara yang dibentengi dengan kuat.” (2 Kor. 10:4) Kadang-kadang, satu ayat saja bisa besar sekali pengaruhnya, seperti yang dialami seorang wanita bernama Elfreda. Setelah nama Allah ditunjukkan kepada Elfreda dalam Alkitab bahasa Wedau miliknya, ia membuka-buka ensiklopedia, yang meneguhkan apa yang Alkitab katakan tentang nama Allah. Ia berpikir, ’Saksi-Saksi Yehuwa mengajarkan kebenaran.’ Tetapi, suaminya, Armitage, tidak suka berurusan dengan Saksi. Ia suka mabuk, merokok, mengunyah buah pinang, dan gampang marah.

Setelah pensiun dari pekerjaannya di Lae, Armitage, bersama Elfreda, pindah ke Alotau di Provinsi Milne Bay, di mana tidak ada Saksi waktu itu. Sementara itu, Elfreda berlangganan Menara Pengawal dan Sedarlah! serta belajar lewat surat dengan Kaylene Nilsen, seorang perintis. ”Elfreda dengan setia mengirimi saya jawaban tertulis setiap minggu,” kata Kaylene.

Belakangan, lulusan Gilead Geordie dan Joanne Ryle ditugaskan ke Milne Bay, dan mereka mengunjungi Elfreda untuk menguatkan dia dan berdinas bersamanya. ”Armitage meminta saya untuk mengajarnya Alkitab,” kenang Geordie. ”Mengingat reputasinya, saya bertanya-tanya apa sebenarnya motif dia. Tapi, setelah satu bulan mengajarnya, saya tahu bahwa ia tulus. Belakangan ia dibaptis lalu menjadi hamba pelayanan.” Sekarang, tiga generasi keluarganya berada dalam kebenaran, dan cucunya, Kegawale Biyama, yang dikutip sebelumnya, melayani sebagai anggota Panitia Cabang di Port Moresby.

Sewaktu merintis di Hula, Don dan Shirley Fielder memulai pelajaran Alkitab bersama Alogi dan Renagi Pala. ”Alogi adalah pencuri dan selalu berkelahi,” tulis Don. ”Ia menderita sejenis penyakit tropis yang membuat kulitnya kelihatan sangat jelek, dan sebagian mulutnya habis digerogoti borok tropis. Ia dan istrinya juga mengunyah buah pinang, sehingga celah di antara gigi-gigi mereka yang hitam sering kali berwarna merah darah. Tampaknya, Alogi tidak bakal tertarik pada kebenaran. Namun, ia dan istrinya berminat pada kebenaran dan ikut berhimpun, duduk dengan senyap di belakang.

”Sekitar enam bulan kemudian,” kenang Don, ”kami menyaksikan transformasi yang mencengangkan dalam diri Alogi. Ia tidak lagi mencuri, berkelahi, dan bertengkar, dan ia serta Renagi membersihkan diri mereka secara jasmani dan mulai berpartisipasi dalam perhimpunan. Mereka juga mulai membagikan kabar baik kepada orang lain. Malah, mereka dan segelintir orang lainnya menjadi penyiar pertama di daerah Hula.”

Abel Warak tinggal di New Ireland dan menderita kusta. Akibatnya, tangan dan kakinya mati rasa. Sewaktu pertama kali mendengar kebenaran, Abel nyaris tidak bisa berjalan dan tidak punya semangat hidup lagi. Namun, kebenaran betul-betul mengubah sikap dan pandangannya, memberinya sukacita dan semangat baru. Akhirnya, ia bahkan menjadi perintis. Untuk melengkapi menu makannya, Abel biasa mencari ikan, tetapi karena kakinya mati rasa, ia tidak bisa lagi berjalan di terumbu. Jadi, saudara-saudara membelikan dia sepatu bot karet setinggi lutut. Ia juga belajar naik sepeda, sehingga bisa mengabar ke daerah yang lebih jauh. Sesungguhnya, ia kadang-kadang mengayuh sepedanya sejauh 100 kilometer untuk mengunjungi peminat, dan sekali peristiwa, ia bersepeda sejauh 145 kilometer sekali jalan untuk mengundang seorang peminat ke Peringatan.

Adakalanya, ”pengetahuan akan Yehuwa” membantu bahkan orang-orang yang berwatak seperti binatang buas untuk membuat perubahan yang besar. (Yes. 11:6, 9) Misalnya, tahun 1986, sekitar 60 orang dari dua desa di dekat Banz datang ke kebaktian distrik di Lae dan duduk di barisan depan. Para penduduk dataran tinggi ini adalah musuh bebuyutan yang sering berperang satu sama lain. Tetapi, setelah mendengar kabar baik dari para perintis istimewa, mereka memutuskan untuk hidup bersama dengan damai. Pengalaman demikian mengingatkan kita pada kata-kata di Zakharia 4:6, ”’Bukan dengan pasukan militer, ataupun dengan kekuatan, tetapi dengan rohku,’ kata Yehuwa yang berbala tentara.” Roh yang sama juga telah mendorong banyak orang yang tulus untuk menyelaraskan diri dengan standar moral Alkitab.

MENGHORMATI KARUNIA ALLAH BERUPA PERKAWINAN

Di banyak negeri, adat istiadat setempat serta gereja Susunan Kristen biasanya mengabaikan pandangan Alkitab tentang perkawinan. (Mat. 19:5; Rm. 13:1) Situasinya tidak berbeda di Papua Nugini. Maka, untuk menyenangkan Yehuwa, banyak pasangan yang hidup bersama di luar nikah atau berpoligami telah membuat perubahan besar dalam kehidupan mereka. Perhatikan contoh Francis dan istrinya, Christine.

Ketika Francis mengundurkan diri sebagai tentara, ia dan istrinya berpisah. Christine dan dua anak mereka pulang ke kampung halaman Christine di Pulau Goodenough, Provinsi Milne Bay, sedangkan Francis kembali ke Mount Hagen. Di sana, Francis akhirnya mulai hidup bersama wanita lain dan anak-anak wanita itu. Mereka menghadiri Gereja Sidang-Sidang Jemaat Allah. Belakangan, wanita tersebut dihubungi Saksi dan mulai belajar Alkitab. Francis juga berminat, dan tak lama kemudian, keduanya menghadiri perhimpunan Kristen.

Francis ingin menjadi penyiar Kerajaan, yang berarti ia harus membenahi situasi perkawinannya. Setelah berpikir masak-masak dan berdoa, ia membahas masalah itu dengan pasangannya. Wanita tersebut dan anak-anaknya kemudian pindah ke rumah lain, dan Francis menemui Christine, yang sudah berpisah dengannya selama enam tahun. Dapat dimaklumi, Christine dan keluarganya terperanjat melihat Francis. Dengan menggunakan Alkitab, Francis dengan ramah menjelaskan kepada mereka semua bahwa ia ingin melakukan apa yang benar di mata Yehuwa. Ia kemudian meminta istri untuk ikut ke Mount Hagen bersama anak-anak mereka dan kembali menjadi satu keluarga. Semuanya takjub dengan perubahan Francis. Christine menerima ajakan suaminya, dan Francis memberikan kompensasi finansial kepada kerabat istrinya untuk semua yang telah mereka lakukan bagi keluarganya selama enam tahun itu.

Setelah Christine tiba di Mount Hagen, ia juga mulai belajar Alkitab, yang juga berarti belajar membaca. Sementara itu, ia berhenti mengunyah buah pinang dan tidak lagi merokok. Pasangan ini sekarang adalah hamba Yehuwa yang berbakti.

ANAK-ANAK YANG MENGHORMATI PENCIPTA MEREKA

Karena berani berpaut pada hati nurani yang dilatih Alkitab, banyak anak-anak di Papua Nugini memberikan kesaksian yang bagus. Misalnya, pada awal 1966, seorang guru sekolah dasar memberi tahu tujuh anak Saksi setempat bahwa mereka harus memberi salut kepada bendera dalam upacara yang akan diadakan pekan berikutnya. Ketika waktunya tiba, di depan sekitar 300 siswa, ketujuh anak itu semuanya tidak mau memberi salut. Akibatnya, mereka dikeluarkan, meskipun orang tua mereka telah mengajukan permohonan tertulis agar anak mereka dikecualikan dari upacara. Seorang penatua di sidang setempat menyampaikan masalah itu ke para pejabat pemerintah di Papua Nugini maupun Australia.

Tanggal 23 Maret, Administrator Australia untuk Papua Nugini menelepon pihak sekolah, menginstruksikan mereka untuk segera menerima kembali anak-anak itu. Ibadat sejati telah memperoleh kemenangan kecil di bidang hukum. Dewasa ini, pemerintah Papua Nugini terus merespek hak anak-anak untuk tidak memberi salut kepada bendera karena alasan hati nurani.

”Kanak-kanak dan anak-anak yang masih menyusu” dapat memuji Yehuwa dengan cara lain juga. (Mat. 21:16) Perhatikan contoh Naomi dari dataran tinggi, yang orang tuanya, Joe dan Helen, tidak dalam kebenaran. Sewaktu Naomi berusia sekitar tiga tahun, ia tinggal kurang lebih setahun di Lae bersama kakak perempuan Helen, seorang Saksi yang bersemangat. Tante itu secara rutin membawa Naomi mengabar, sering kali menggendongnya dalam tas yang diikatkan ke bahunya. Naomi pun mengenal harapan Kerajaan, apalagi karena tantenya memanfaatkan baik-baik gambar-gambar dalam Buku Cerita Alkitab.

Sewaktu Naomi pulang ke orang tuanya, ia mengambil sebuah publikasi Saksi, melangkah ke luar rumah, lalu mengetuk pintu keras-keras. ”Ayo masuk lagi,” panggil orang tuanya. Si gadis kecil melangkah masuk dan mengatakan, ”Halo. Saya Saksi Yehuwa, dan saya datang untuk bicara dengan Ibu tentang Alkitab.” Saat Joe dan Helen menatap keheranan, Naomi melanjutkan, ”Kata Alkitab, Firdaus akan datang ke negeri ini; dan satu Raja, Yesus, akan memerintah atas kita. Semua yang kita lihat di sekitar kita dibuat oleh Yehuwa.”

Joe dan Helen tercengang. ”Apa kata tetangga!” seru Joe ke istrinya. ”Besok kamu kunci dia di rumah saja.”

Keesokan harinya, selagi orang tuanya duduk di luar rumah, Naomi mengetuk keras-keras pintu kamar tidurnya. ”Ayo keluar,” kata Joe. Naomi keluar dan mulai memberikan presentasi lagi, ”Halo. Saya Saksi Yehuwa, dan saya datang untuk mengabar kepada Bapak. Orang baik akan hidup selama-lamanya di bumi. Tapi, orang yang marah dan melakukan hal-hal buruk tidak akan ada di Firdaus.” Karena sangat kebingungan, Helen menangis, sedangkan Joe lari ke tempat tidur.

Malam itu, karena penasaran, Joe membuka-buka Alkitab King James tua miliknya dan tanpa sengaja menemukan nama Yehuwa. Keesokan paginya, ia tidak pergi bekerja tetapi menulis surat ke Saksi-Saksi lalu berkendara sejauh 40 kilometer ke Mount Hagen untuk menitipkannya di Balai Kerajaan.

Saudara-saudara pergi ke rumah Joe dan Helen dan membuat pengaturan untuk PAR secara rutin. Mereka juga mengajar Helen membaca. Akhirnya, Joe dan Helen dibaptis, dan Helen dapat membantu para pelajar Alkitab lainnya belajar membaca​—semua ini berkat gadis kecil yang sangat bersemangat memuji Yehuwa!

UPAYA UNTUK MENGHADIRI PERTEMUAN KRISTEN

Di beberapa bagian dunia, saudara-saudara harus melewati jalan raya yang padat dan tercemar atau kereta bawah tanah yang penuh orang demi mencapai tempat perhimpunan dan kebaktian. Tetapi di Papua Nugini, sering kali masalahnya adalah tidak ada jalan dan alat transportasi yang bagus. Akibatnya, banyak keluarga harus menempuh sebagian perjalanan dengan berjalan kaki atau naik kano atau dua-duanya. Contohnya, para penyiar, bersama anak-anak mereka, rutin berjalan sejauh lebih dari 160 kilometer melewati pegunungan yang jalannya licin dan curam guna menghadiri kebaktian distrik tahunan di Port Moresby. Mereka melakukan perjalanan selama seminggu yang meletihkan itu menyusuri Jalur Kokoda, lokasi banyak pertempuran yang getir pada Perang Dunia II. Mereka membawa makanan, alat masak, pakaian, dan barang lainnya untuk kebaktian.

Saudara-saudara di Atol Nukumanu yang terpencil biasanya menghadiri kebaktian tahunan di Rabaul, 800 kilometer ke arah barat. ”Agar bisa tiba di sana tepat waktu,” kata Jim Davies, ”mereka kadang-kadang berangkat enam minggu di muka mengingat jasa perahu tidak bisa diandalkan. Perjalanan pulang juga tidak bisa dipastikan. Pernah, satu-satunya perahu menuju Nukumanu dikirim ke Australia untuk diperbaiki, lalu para pemiliknya menghadapi masalah finansial. Akibatnya, saudara-saudari itu baru bisa pulang lebih dari enam bulan kemudian! Memang, ini kasus yang ekstrem, tapi penundaan selama berminggu-minggu sudah biasa, sehingga para penyiar yang telantar terpaksa menginap di rumah sesama Saksi atau kerabat.”

TELADAN PARA UTUSAN INJIL

Melayani di negeri asing di mana standar kehidupan mungkin lebih rendah daripada di negeri asal membutuhkan penyesuaian yang besar bagi para utusan injil. Namun, sebagaimana telah dipertunjukkan oleh banyak utusan injil, penyesuaian itu tidak mustahil dan sering kali dihargai oleh penduduk setempat. Seorang wanita di Papua Nugini mengatakan tentang dua saudari utusan injil yang memberinya pelajaran Alkitab, ”Kulit mereka putih, tetapi hati mereka seperti hati kami.”

Beberapa utusan injil melayani dalam pekerjaan keliling. Guna mengunjungi sidang-sidang, mereka mungkin harus mengadakan perjalanan dengan sarana transportasi apa adanya. Ini yang dialami Edgar Mangoma. Wilayah yang ia layani mencakup Sungai Fly dan Danau Murray. ”Sewaktu melayani kedua sidang di danau itu, saya menggunakan kano​—kadang-kadang bermotor, kadang-kadang tidak. Kalau kanonya tidak bermotor, butuh waktu hingga delapan jam untuk pergi dari satu sidang ke sidang lainnya. Biasanya, tiga atau empat saudara menemani saya, dan mereka tahu bahwa mereka harus mendayung lagi dalam perjalanan pulang setelah menurunkan saya. Saya sungguh menghargai mereka!”

Teladan para utusan injil, termasuk kerendahan hati dan kasih mereka kepada orang-orang, telah menghasilkan kesaksian yang sangat bagus. ”Para penduduk desa terkesima melihat saya tinggal bersama para peminat di rumah mereka dan makan bersama mereka,” tulis seorang pengawas wilayah. ”Sesungguhnya, beberapa penduduk setempat telah mengatakan kepada saya, ’Ibadat Bapak kepada Allah memang tulus. Tidak seperti Bapak, pastor kami tidak bergaul dengan kami.’”

Apakah saudari-saudari asing merasa sulit untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di Papua Nugini? ”Selama beberapa bulan pertama, sangat sulit,” kenang Ruth Boland, yang menemani suaminya, David, dalam pekerjaan keliling. ”Sering kali rasanya ingin menyerah saja. Tapi syukurlah, saya tidak menyerah, karena saya menghargai dan mengasihi saudara-saudari. Saya dan suami semakin sedikit memikirkan tentang diri kami dan semakin banyak memikirkan tentang orang lain. Sukacita yang mulai kami rasakan sungguh tak ada duanya. Secara materi, kami tidak punya apa-apa, tapi secara rohani, kami kaya. Dan kami melihat Yehuwa turun tangan dalam banyak kejadian​—bukan hanya dalam hal memajukan kabar baik, melainkan juga dalam kehidupan kami sendiri. Saat kita tidak punya apa-apa secara materi​—saat itulah kita benar-benar bersandar kepada Yehuwa dan menyaksikan berkat-berkat-Nya.”

PERANG SIPIL DI BOUGAINVILLE

Tahun 1989, di Pulau Bougainville, gerakan separatis yang bagaikan api dalam sekam akhirnya memicu perang sipil berskala besar. Selama konflik yang berlangsung 12 tahun itu, sekitar 60.000 orang mengungsi, dan 15.000 orang tewas. Di antara para pengungsi terdapat banyak penyiar, yang sebagian besar kemudian menetap di bagian lain Papua Nugini.

Tak lama sebelum meninggalkan pulau, Dan Ernest, seorang perintis, ditangkap oleh Tentara Revolusi Bougainville (BRA) dan dibawa ke sebuah gudang besar. Saudara Dan mengenang, ”Di dalam ada jenderal BRA yang mengenakan seragam dengan berbagai medali dan sebilah pedang di pinggang.

”’Kamu yang namanya Dan Ernest?’ tanya dia.

”’Ya,’ jawab saya.

”’Saya dengar kamu mata-mata Pasukan Pertahanan Papua Nugini,’ katanya.

”Saya mulai menjelaskan bahwa Saksi-Saksi Yehuwa tidak melibatkan diri dalam konflik negara mana pun, tetapi ia memotong dan mengatakan, ’Kami tahu! Kami mengamati kalian. Agama-agama lain mendukung siapa pun yang kelihatannya bakal menang. Agama kalian satu-satunya yang benar-benar netral.’ Lalu, ia menambahkan, ’Rakyat kami sedang kalut selama perang ini dan mereka butuh berita penghiburan dari kalian. Kami ingin kamu tinggal di Bougainville dan terus mengabar. Tapi, kalau kamu memang harus pergi, saya akan memastikan agar semua barangmu keluar dengan aman.’ Dua minggu kemudian, ketika saya dan istri dipindahkan ke daerah tugas perintis yang baru di Pulau Manus, sang jenderal menepati janjinya.”

Kantor cabang berupaya keras menjaga kontak dengan para penyiar di daerah yang terimbas perang dan, sekalipun ada blokade angkatan laut, berhasil mengirimkan makanan, obat-obatan, dan lektur kepada mereka. Seorang pengawas wilayah yang berkunjung melaporkan, ”Dampak perang ada di mana-mana, tetapi saudara-saudari masih sibuk mengabar dan berhimpun. Ada banyak juga pelajaran Alkitab yang diadakan.”

Akhirnya, pada 2001, pihak-pihak yang bertikai mencapai kesepakatan damai yang menetapkan Bougainville dan pulau-pulau sekitarnya sebagai kawasan otonomi. Saat ini, tidak ada Saksi yang tinggal di Pulau Bougainville, tetapi di pulau tetangganya, Buka, ada sidang yang bagus dengan 39 penyiar.

GUNUNG BERAPI MEMUSNAHKAN RABAUL

Kota Rabaul memiliki pelabuhan besar yang sebenarnya adalah kawah sebuah gunung berapi kuno. Bulan September 1994, terjadi letusan di sisi seberang pelabuhan itu yang menghancurkan Rabaul dan mengubah kehidupan penduduk di provinsi itu. Balai Kerajaan dan rumah utusan injil di sampingnya hancur, tetapi tidak ada saudara yang tewas. Namun, seorang saudara mengalami problem jantung dan meninggal sewaktu melarikan diri dari letusan itu. Semua saudara pergi ke tempat yang sudah ditentukan yang jauhnya berkilo-kilometer, mengikuti rencana evakuasi yang sudah beberapa tahun ditempelkan pada papan pengumuman di Balai Kerajaan.

Kantor cabang langsung bergerak untuk menolong para korban dan mengorganisasi bantuan kemanusiaan. Sumbangan berupa pakaian, kelambu, obat-obatan, bensin, solar, dan barang-barang lain dikirim, berikut nasi dan talas dari sidang yang berdekatan. Bahkan, kegiatan kemanusiaan itu berlangsung sedemikian rapinya sampai-sampai para pejabat setempat dan berbagai pihak lain menyampaikan komentar yang positif.

Akhirnya, Sidang Rabaul lenyap. Dua hari setelah letusan, sekitar 70 penyiar dan anak-anak mereka berkumpul di sebuah sekolah kejuruan yang kosong. Sewaktu para penatua tiba, para penyiar itu bertanya, ”Jam berapa pelajaran buku sidang dimulai?” Ya, sekalipun mengalami kesukaran, mereka tidak pernah mengabaikan perhimpunan dan pekerjaan kesaksian. (Ibr. 10:24, 25) Sebagian besar saudara pindah ke kelompok-kelompok terdekat dan alhasil, salah satunya menjadi sidang.

Pemerintah provinsi berjanji bahwa semua agama yang kehilangan properti akan mendapat tanah hibah di kota Kokopo, sekitar 24 kilometer dari Rabaul. Agama-agama lain mendapat tanah, sedangkan Saksi-Saksi tidak. Lalu, sekitar tujuh tahun setelah letusan, seorang saudara dari Afrika mulai bekerja untuk departemen tata kota. Ketika mengetahui perlakuan tidak adil terhadap Saksi, ia segera mencari sebidang tanah yang cocok di Kokopo dan membantu saudara-saudara mengajukan permohonan, yang disetujui. Sebuah tim relawan konstruksi membantu pembangunan Balai Kerajaan dan rumah utusan injil. Sebenarnya, ketidakadilan tersebut justru terbukti sebagai berkat. Mengapa? Tanah yang dihibahkan kepada gereja-gereja berada di lereng bukit yang curam. Tetapi, properti yang diberikan kepada saudara-saudara berada di lokasi yang ideal di pusat kota.

KEMAJUAN DALAM PENERJEMAHAN

”Di negeri yang memiliki lebih dari 800 bahasa, sangatlah penting untuk memiliki satu atau beberapa bahasa umum sehingga masyarakat bisa saling berkomunikasi,” kata Timo Rajalehto, anggota Panitia Cabang dan pengawas Departemen Penerjemahan. ”Bahasa-bahasa dagang sederhana, seperti Tok Pisin dan Hiri Motu, ideal untuk tujuan itu. Kedua bahasa ini relatif mudah dipelajari sebagai bahasa kedua, dan keduanya cocok sebagai sarana komunikasi dalam urusan sehari-hari. Tapi, bahasa-bahasa itu tidak ideal untuk menyampaikan konsep yang rumit. Akibatnya, para penerjemah kami sering kali menghadapi kesulitan menerjemahkan istilah tertentu.

”Misalnya, kami mendapati bahwa tidak ada kata dalam bahasa Tok Pisin yang memadai untuk menerjemahkan kata ’prinsip’. Jadi, penerjemah kami menggabungkan dua kata Tok Pisin untuk menciptakan kata stiatok (dari bahasa Inggris steer talk), yang melukiskan cara kerja prinsip, yakni ’menyetir’ orang ke arah yang benar. Istilah ini lalu bermunculan di media massa dan kini digunakan oleh banyak penutur bahasa Tok Pisin.”

Menara Pengawal mulai terbit dalam bahasa Motu pada 1958, dan dalam Tok Pisin pada 1960. Artikel pelajaran dicetak di Sydney, Australia, pada lembaran-lembaran kertas terpisah yang distaples dan dikirimkan ke Port Moresby. Tahun 1970, majalah ini ditambah menjadi 24 halaman, dan oplahnya melonjak hingga lebih dari 3.500. Sedarlah! setebal 24 halaman diterbitkan pertama kali dalam bahasa Tok Pisin pada Januari 1972. Sekarang, kantor cabang mempersiapkan Menara Pengawal tengah bulanan dan Sedarlah! tiap triwulan dalam bahasa Tok Pisin serta edisi pelajaran Menara Pengawal bulanan dan edisi pelajaran tiap triwulan dalam bahasa Hiri Motu.

”Belum lama ini, kami menerjemahkan risalah tertentu ke dalam sejumlah bahasa baru, termasuk Enga, Jiwaka, Kuanua, Melpa, dan Orokaiva,” kata Timo Rajalehto. ”Mengingat para pengguna bahasa-bahasa itu juga menguasai Tok Pisin atau Inggris atau keduanya, mengapa hal ini dilakukan? Kami ingin melihat tanggapan orang-orang terhadap berita Kerajaan dalam bahasa ibu mereka. Apakah itu akan memicu minat mereka akan kebenaran dan menciptakan sikap positif terhadap Saksi-Saksi?

”Jawabannya adalah ya! Sesungguhnya, banyak komentar positif telah disampaikan oleh masyarakat. Banyak pelajaran Alkitab dimulai, dan bahkan beberapa bekas penentang berubah sikap terhadap Saksi. Sewaktu orang menerima publikasi dalam bahasa ibunya, dampaknya sangat besar.”

Saat ini, Departemen Penerjemahan memiliki 31 staf, yang mencakup tim penerjemahan Hiri Motu dan Tok Pisin. Bulan Desember 2009, semuanya sangat senang untuk pindah ke kantor penerjemahan yang baru.

SEKOLAH DINAS PERINTIS BERMANFAAT BAGI BANYAK ORANG

Bagi banyak hamba Yehuwa, Sekolah Dinas Perintis merupakan titik penting dalam kehidupan mereka. Sekolah itu tidak hanya membantu para perintis bertumbuh secara rohani tetapi juga memperlengkapi mereka menjadi perintis yang lebih cakap. Perhatikan komentar beberapa orang yang telah mengikuti sekolah ini.

Lucy Koimb: ”Sekolah ini telah membantu saya melihat bahwa salah satu hal terbaik yang dapat saya lakukan dalam hidup ini adalah ikut serta dalam dinas sepenuh waktu.”

Michael Karap: ”Sebelum sekolah, saya punya banyak kunjungan kembali tetapi tidak punya PAR. Sekarang, saya punya banyak PAR!”

Ben Kuna: ”Sekolah ini mengajar saya untuk berpikir lebih selaras dengan cara berpikir Yehuwa.”

Siphon Popo: ”Belum pernah saya belajar sekeras itu seumur hidup saya! Dan, saya belajar untuk tidak terburu-buru sewaktu belajar.”

Julie Kine: ”Sekolah ini mengajar saya untuk memiliki pandangan yang sepatutnya terhadap hal materi. Yang kita butuhkan sebenarnya tidak sebanyak anggapan orang-orang.”

Dan Burks, anggota Panitia Cabang, mengamati, ”Kalau para perintis lebih produktif, mereka juga lebih bahagia dan lebih bersemangat. Kami yakin Sekolah Dinas Perintis akan senantiasa bermanfaat bagi ratusan perintis di negeri ini. Tentu saja, manfaat ini juga akan menjangkau para penyiar dan peminat di daerah.”

TUMBUH BERSAMA DALAM KASIH

Yesus Kristus mengatakan, ”Semua orang akan tahu bahwa kamu adalah murid-muridku, jika kamu mempunyai kasih di antara kamu.” (Yoh. 13:35) Di Papua Nugini, kasih Kristen telah menjembatani segala macam jurang pemisah: perbedaan bahasa, keragaman ras, budaya kesukuan, dan kesenjangan ekonomi. Sewaktu orang berhati jujur melihat kasih seperti itu, mereka tergugah untuk mengatakan, ”Allah ada bersama kalian.”

Itulah yang dirasakan Mange Samgar, pemilik bus dan bekas pastor Lutheran dari Banz, yang disebutkan sebelumnya. Mengapa ia berkesimpulan seperti itu? Untuk menghadiri kebaktian distrik di Lae, sidang setempat menyewa salah satu bus Mange. ”Karena penasaran tentang Saksi, ia ikut dalam perjalanan itu,” kata Steve dan Kathryn Dawal, yang berada di lokasi kebaktian sewaktu bus itu tiba. ”Mange sangat terkesan oleh pengorganisasian dan persatuan ras serta suku di antara umat Yehuwa. Ketika tiba saatnya ia pulang bersama rombongan Saksi, ia yakin bahwa ia telah menemukan kebenaran. Belakangan, ia dan putranya menjadi penatua Kristen.”

Hoela Forova, saudari muda yang menjanda dan menjadi perintis biasa sekaligus merawat ibunya yang juga menjanda, sangat membutuhkan rumah baru. Dua kali ia berhasil mengumpulkan uang dengan susah payah, tetapi semuanya raib setelah ia memberikannya ke kerabatnya untuk membeli kayu. Sewaktu mengetahui keadaannya yang mengenaskan, Saksi-Saksi setempat membangun kembali rumahnya hanya dalam tiga hari. Sepanjang tiga hari itu, Hoela berulang kali menangis, tak kuasa menahan haru karena kasih saudara-saudari. Proyek itu juga menghasilkan kesaksian yang mencolok. Seorang diaken gereja setempat berseru, ”Bagaimana mungkin orang-orang yang tidak meminta-minta uang dan hanya berjalan keliling membawa tas buku bisa membangun rumah dalam tiga hari!”

Rasul Yohanes menulis, ”Anak-anak kecil, marilah kita mengasihi, bukan dengan perkataan ataupun dengan lidah, melainkan dengan perbuatan dan kebenaran.” (1 Yoh. 3:18) Berkat kasih seperti itu, yang diungkapkan dalam banyak cara, pekerjaan di Papua Nugini terus mengalami kemajuan. Sesungguhnya, ke-3.672 penyiarnya memandu 4.908 pelajar Alkitab dan 25.875 orang menghadiri Peringatan kematian Kristus pada 2010​—bukti yang kuat akan berkat Yehuwa yang berkesinambungan!​—1 Kor. 3:6.

Sekitar 70 tahun yang lalu, hanya ada segelintir saudara-saudari yang berani mengambil risiko untuk masuk ke negeri yang memukau serta misterius ini, dan membawa kebenaran yang memerdekakan orang. (Yoh. 8:32) Puluhan tahun kemudian, banyak Saksi lain​—ekspatriat dan penduduk setempat​—ikut dalam pekerjaan itu. Di hadapan mereka terbentang rintangan yang tampaknya tak tertanggulangi: hutan rimba yang lebat, rawa-rawa penuh nyamuk malaria, dan jalan yang jelek atau malah tidak ada, serta kemiskinan, kekerasan antarsuku, spiritisme yang merajalela, dan adakalanya tentangan yang penuh kekerasan dari pemimpin agama Susunan Kristen berikut pendukungnya. Saudara-saudara juga harus mengatasi masalah buta huruf dan tantangan mengabar ke ribuan komunitas suku yang menggunakan lebih dari 800 bahasa! Sumbangsih mereka yang tidak mementingkan diri untuk pekerjaan pengabaran Kerajaan sangat dihargai oleh orang-orang yang datang setelah mereka dan membangun di atas fondasi yang telah mereka letakkan.

Namun, banyak dari tantangan ini masih dihadapi hamba-hamba Yehuwa di Papua Nugini. Tapi, bagi Allah, tidak ada hal yang mustahil. (Mrk. 10:27) Jadi, dengan sepenuhnya mengandalkan Dia, saudara-saudari di negeri yang beragam ini yakin bahwa, kepada lebih banyak lagi orang yang cenderung pada keadilbenaran, Yehuwa akan mengaruniakan perubahan ”ke suatu bahasa yang murni, supaya mereka semua berseru kepada nama Yehuwa, untuk melayani dia bahu-membahu”.​—Zef. 3:9.

[Catatan Kaki]

a Grinlandia adalah pulau terbesar di dunia. Australia dianggap sebagai benua, bukan pulau.

b Di sepanjang kisah ini, kita akan menggunakan nama yang sekarang, Papua Nugini, bukan istilah-istilah yang sebelumnya.

c Diterbitkan oleh Saksi-Saksi Yehuwa tetapi kini tidak dicetak lagi.

[Blurb di hlm. 88]

”Bobogi, di mana kamu belajar mengerjakan semua ini?”

[Blurb di hlm. 100]

’Ia setuju untuk menayangkan film kita tanpa biaya’

[Blurb di hlm. 104]

”Keluar dari agamamu, atau cari pekerjaan lain”

[Blurb di hlm. 124]

Sewaktu melihat isi tasnya, mereka jadi merasa bersalah

[Blurb di hlm. 149]

”Kulit mereka putih, tetapi hati mereka seperti hati kami”

[Kotak/​Gambar di hlm. 80]

Sekilas tentang Papua Nugini

Negeri

Papua Nugini menempati bagian timur pulau Nugini. Negeri ini mencakup 151 pulau yang lebih kecil dan luasnya mirip dengan Provinsi Papua di Indonesia. Pegunungan mendominasi bagian dalamnya; hutan hujan yang lebat dan rawa berjejer di pesisirnya.

Penduduk

Dari 6,7 juta penduduk, 99 persennya adalah orang Papua dan Melanesia. Selebihnya orang Polinesia, Tionghoa, dan Eropa. Kebanyakan mengaku Kristen.

Bahasa

Papua Nugini adalah negeri yang paling kompleks di dunia jika ditinjau dari segi bahasa, karena memiliki 820 bahasa yang unik​—12 persen dari total bahasa dunia. Selain bahasa-bahasa pribumi, kebanyakan penduduk berbahasa Tok Pisin, Hiri Motu, atau Inggris.

Mata Pencaharian

Sekitar 85 persen penduduknya menjalani gaya hidup tradisional, mengurus kebun sayur kecil di desa-desa kecil. Kopi dan teh ditanam di dataran tinggi untuk dijual. Perekonomian juga ditopang oleh mineral, gas, dan minyak, serta hasil hutan.

Makanan

Makanan pokok mencakup ubi jalar, talas, singkong, sagu, dan pisang, yang dimakan mentah atau dimasak. Sayur, buah tropis, dan daging serta ikan kalengan juga populer. Daging babi dimakan pada peristiwa khusus.

Iklim

Ada dua musim​—hujan dan agak hujan. Karena Papua Nugini terletak dekat khatulistiwa, iklimnya tropis di pesisir, tetapi lebih sejuk di dataran tinggi.

[Kotak/​Gambar di hlm. 83, 84]

’Saya Tidak Pemalu Lagi’

ODA SIONI

LAHIR 1939

BAPTIS 1956

PROFIL Perintis setempat pertama di Papua Nugini. Ia kini melayani sebagai perintis istimewa di Sidang Hohola Motu, Port Moresby.

◼ KETIKA kakak perempuan saya melihat Tom dan Rowena Kitto mengabar di jalan-jalan kayu di desa Hanuabada, ia meminta saya untuk menghadiri pertemuan mereka guna mencari tahu tentang ”agama baru” ini. Saat itu, perhimpunan diadakan di rumah Heni Heni Nioki, pelajar Alkitab setempat.

Saya baru berusia 13 tahun dan sangat pemalu. Saya pergi ke rumah Heni Heni, di mana sekitar 40 penduduk desa telah berkumpul, dan duduk diam di belakang sambil bertopang dagu. Saya senang dengan apa yang saya dengar dan terus datang kembali. Tak lama kemudian, Heni Heni meminta saya menerjemahkan bahasa Inggrisnya Tom Kitto ke dalam Motu, bahasa yang digunakan oleh sebagian besar hadirin.

Beberapa tahun kemudian, sewaktu saya mulai bekerja di rumah sakit setempat untuk mendapat pelatihan menjadi dokter, John Cutforth mengajak saya bicara dan dengan ramah bertukar pikiran dengan saya, katanya, ”Kalau kamu menjadi dokter, kamu bisa membantu orang secara jasmani, tapi kalau kamu menjadi ’dokter’ rohani, kamu bisa membantu mereka memperoleh kehidupan kekal.” Pekan itu juga saya mulai merintis.

Daerah tugas pertama saya adalah Wau. Saya sudah pernah mengunjungi kota tersebut dan menemukan beberapa peminat. Seorang pria, Jack Arifeae, mengundang saya untuk berceramah di gereja Lutheran setempat. Saya memilih hukum Allah tentang darah sebagai pokok bahasan. Ke-600 hadirin di gereja itu memberikan perhatian penuh, karena kebanyakan dari mereka percaya bahwa meminum darah seseorang bisa membuat roh orang itu merasuki tubuh mereka. Si pendeta marah besar dan memberi tahu jemaat agar menjauhi saya. Tetapi, banyak yang senang dengan pembahasan itu dan membuat kemajuan rohani lebih lanjut.

Sekitar setahun kemudian, saya ditugasi ke Manu Manu, kira-kira 50 kilometer sebelah barat laut Port Moresby. Di sana, saya bertemu dengan kepala suku Tom Surau, yang mengundang saya mengabar di desanya. Setelah memberikan PAR kepada para penduduk desa itu selama tiga hari, mereka memotong-motong patung kayu Perawan Maria mereka dan membuangnya ke sungai.

Orang-orang yang tinggal di hilir mengumpulkan sisa-sisanya dan membawanya ke para imam Katolik, sambil berteriak, ”Mereka telah membunuh Maria!” Dua imam datang menghadapi saya. Salah seorang langsung berjalan ke arah saya dan menonjok wajah saya sampai pipi saya sobek karena cincinnya. Ketika penduduk desa setempat berdatangan untuk membela saya, kedua imam itu melarikan diri.

Saya melakukan perjalanan ke Port Moresby agar luka saya dijahit dan melaporkan peristiwa itu ke polisi. Kedua imam itu belakangan didenda dan diberhentikan. Sementara itu, saya kembali ke desa itu dan membentuk sebuah kelompok terpencil. Dengan bantuan Yehuwa, saya tidak pemalu lagi.

[Gambar]

Perhimpunan pertama diadakan di rumah Heni Heni

[Kotak di hlm. 86]

Sistem Wantok

Istilah wantok, artinya ”satu ucapan” dalam bahasa Tok Pisin, berkaitan dengan pertalian budaya yang sangat kuat di antara orang-orang dari kelompok etnik yang sama dan menggunakan bahasa yang sama. Pertalian itu mencakup kewajiban dan hak tertentu. Misalnya, orang-orang diharapkan untuk mengurus kebutuhan materi para wantok (orang-orang yang sebahasa dengan mereka) yang sudah tua atau yang tidak memiliki pekerjaan atau tidak dapat bekerja. Ini merupakan bantuan yang besar di negeri yang tunjangan sosialnya terbatas.

Sistem ini ada sisi negatifnya juga. Misalnya, ketika seorang pelajar Alkitab berpihak pada kebenaran, anggota keluarga lainnya mungkin menolak mereka. Dalam situasi demikian, para peminat baru harus berpaling kepada Yehuwa meminta bantuan seandainya mereka kehilangan pekerjaan atau karena alasan lain mengalami kekurangan secara materi. (Mz. 27:10; Mat. 6:33) ”Sistem wantok juga dapat membuat saudara-saudara berada di bawah tekanan yang cukup besar untuk bergaul secara tidak perlu dengan para kerabat non-Saksi, termasuk yang dipecat,” kata anggota Panitia Cabang Kegawale Biyama. ”Selain itu, selama pemilihan umum, para kerabat Saksi dari para kandidat sering ditekan untuk berkompromi dalam hal kenetralan Kristen.” Tentu saja, mereka tidak berkompromi.

[Kotak/​Gambar di hlm. 91]

Ia Disayangi Banyak Orang

Selama dinas utusan injilnya, di Papua Nugini, John Cutforth disayangi banyak orang. Perhatikan penuturan beberapa rekan utusan injil dan orang lain yang pernah bekerja sama dengannya.​—Ams. 27:2.

Erna Andersson: ”John memberi tahu kami, ’Seorang utusan injil yang sejati menjadi segala sesuatu bagi segala macam orang. Jika orang memberimu tunggul untuk duduk, duduklah di situ; itu sudah yang terbaik yang dapat mereka berikan. Jika mereka memberimu tempat tidur yang tidak rata, tidurlah di situ; itu telah dibuat dengan kebaikan hati. Jika mereka memberimu makanan yang aneh, makanlah itu; itu telah dimasak dengan kasih.’ John adalah contoh luar biasa utusan injil yang rela berkorban.”

Awak Duvun: ”Pada masa pemerintahan kolonial, John tidak hanya meruntuhkan prasangka antara orang kulit hitam dan kulit putih tetapi menghancurkannya! ’Orang hitam, orang putih​—tidak ada bedanya!’ ia sering berseru. Ia mengasihi semuanya.”

Peter Linke: ”Suatu sore, setelah melakukan perjalanan sepanjang hari, John tiba di rumah kami di Goroka, kotor dan penat. Namun, setelah makan malam, ia berkata, ’Saya belum melakukan apa-apa untuk orang lain hari ini’, lalu ia mengunjungi dan menguatkan sebuah keluarga setempat meski hari sudah gelap. Ia selalu memikirkan orang lain. Kami semua sayang kepadanya.”

Jim Dobbins: ”John mengajar kami untuk hidup sederhana dan mengajar dengan sederhana, menggunakan ilustrasi yang bisa dipahami orang, seperti yang dilakukan Yesus. Hal ini memungkinkan kami berkomunikasi dengan orang-orang yang tidak bisa membaca atau menulis.”

[Kotak/​Gambar di hlm. 101]

’Kita Tidak Akan Pernah Menyerah’

KALIP KANAI

LAHIR 1922

BAPTIS 1962

PROFIL Salah seorang yang pertama menerima kebenaran di daerah Madang. Sebagaimana dikisahkan oleh putranya Ulpep Kalip.

◼ AYAH saya orang yang rendah hati dan pemikir yang serius. Saat menghadapi masalah, ia mendengarkan baik-baik dan menganalisis masalahnya sebelum akhirnya mengutarakan pendapatnya.

Sewaktu saya berusia 15 tahun, saya diopname di rumah sakit di Madang karena seekor hiu mencaplok kaki saya tepat di bawah lutut. Sewaktu mengunjungi saya, Ayah bertemu dengan John Davison. ”Di dunia baru,” kata John, ”Yehuwa bisa memberi putra Anda kaki yang baru.” Minat Ayah timbul, ia pun mulai belajar Alkitab dengan sungguh-sungguh, dan tak lama kemudian ia mengembangkan iman yang kuat.

Karena Ayah dan kerabatnya telah meninggalkan Gereja Katolik, polisi dihasut untuk mengusir kami dari rumah kami. Ke-12 rumah kami, yang dikelilingi oleh kebun bunga yang subur, baru dibangun kurang dari setahun. Polisi melemparkan obor-obor yang menyala ke atap rumbia rumah-rumah kami, sehingga terbakar. Kami bergegas menyelamatkan barang kami, tetapi bara api dan asap memaksa kami keluar rumah. Kami menangis seraya rumah kami terbakar menjadi abu.

Dengan berat hati, kami berjalan ke Bagildig, desa tetangga, dan di sana sang kepala desa dengan baik hati mengizinkan kami pindah ke sebuah pondok kecil berkamar satu. Di sana, Ayah mengingatkan kami, ’Yesus dianiaya. Jadi kita bisa dianiaya juga, tetapi kita tidak akan pernah menyerah dan meninggalkan iman kita!’

[Kotak/​Gambar di hlm. 107, 108]

Ia Bersyukur Karena Ikut Sekolah yang ”Salah”

MICHAEL SAUNGA

LAHIR 1936

BAPTIS 1962

PROFIL Menjadi perintis istimewa pada September 1964 dan telah melayani sebagai perintis istimewa lebih lama daripada siapa pun di Papua Nugini.

◼ TAHUN 1959, saya pindah ke Rabaul untuk melanjutkan pendidikan. Sewaktu mendengar bahwa Saksi-Saksi memiliki sekolah, saya pergi ke rumah ”bapak guru”, Lance Gosson, mengira bahwa saya akan ikut sekolah kejuruan. Lance mengundang saya ikut pelajaran Alkitab yang diadakan setiap Rabu. Terlepas dari kesalahpahaman itu, saya menerima undangan tersebut. Saya sangat menghargai apa yang saya pelajari, terutama bahwa nama Allah adalah Yehuwa dan bahwa akan ada ”langit baru dan bumi baru”. (2 Ptr. 3:13) Saya dibaptis pada pagi 7 Juli 1962, dan sangat bersyukur karena telah ikut sekolah yang ”salah”.

Pada hari yang sama, saya menghadiri pertemuan bagi saudara-saudari yang berminat akan dinas perintis. Sang pemandu, John Cutforth, seorang pengawas distrik, menandaskan bahwa ladang sudah putih dan siap dipanen dan bahwa lebih banyak pekerja dibutuhkan. (Mat. 9:37) Segera setelah saya sanggup, saya mendaftar sebagai perintis libur, sebutan kala itu untuk perintis ekstra. Bulan Mei 1964, saya menjadi perintis biasa, dan bulan September, perintis istimewa.

Saya ingat satu peristiwa ketika saya mengabar di dekat Rabaul. Seorang pria asal Tolai bertanya apakah ia boleh memegang Alkitab saya untuk membaca sendiri sebuah ayat. Saat saya memberinya Alkitab itu, ia merobek-robeknya menjadi serpihan kecil dan membuangnya ke tanah. Saya tidak marah, tetapi melaporkan hal itu ke komandan polisi, yang langsung mengutus seorang petugas untuk menangkap orang tadi. Komandan mengatakan kepada pria itu, ”Kamu orang jahat. Kamu melanggar hukum Allah dan hukum pemerintah. Kamu harus membelikan Alkitab baru untuk Bapak ini, kalau tidak, kamu akan kami penjarakan.” Komandan lalu meminta saya datang ke kantor polisi pada jam 10 keesokan paginya untuk mengambil uang guna membeli Alkitab. Ketika saya tiba, uang itu sudah menunggu. Sejak itu, banyak orang Tolai masuk kebenaran.

Pada kesempatan lain, saya bersama sekelompok Saksi membagikan risalah Berita Kerajaan di sebuah daerah di sebelah barat Wewak. Yang lainnya bekerja di depan saya. Namun, seorang kepala desa setempat yang melihat hal itu mengumpulkan risalah-risalah yang telah dibagikan. Ia pasti tahu saya akan lewat situ, karena ia sudah menunggu saya di tengah jalan sambil berkacak pinggang dan memegang risalah-risalah Berita Kerajaan di salah satu tangan. Saya tanya apakah ada masalah. Ia mengacungkan risalah tersebut dan mengatakan, ”Saya yang bertanggung jawab di sini, dan saya tidak mau kamu membagikan ini.”

Saya mengambil risalah-risalah itu dari tangannya. Sementara itu, penduduk desa telah berkumpul. Melihat mereka, saya bertanya, ”Kalau kalian ingin bekerja di kebun atau mencari ikan, apakah kalian perlu mendapat izin resmi?”

”Tidak!” kata seorang wanita.

Lalu saya bertanya, ”Apa kalian mau membaca ini?”

”Ya,” kata mereka. Jadi, saya membagikan kembali Berita Kerajaan tanpa ditentang. Namun, belakangan, saya harus membela diri saya di depan sebuah pertemuan bersama sekitar 20 kepala desa. Syukurlah, kecuali dua orang, semuanya mendukung pekerjaan pengabaran kita.

[Kotak/​Gambar di hlm. 112]

’Apakah Mereka Sudah Memakan Jantungmu?’

AIOKOWAN

LAHIR 1940

BAPTIS 1975

PROFIL Salah satu orang Enga pertama yang belajar kebenaran.

◼ KETIKA Tom dan Rowena Kitto datang ke Wabag, Provinsi Enga, misi-misi Susunan Kristen setempat menyebarkan cerita palsu tentang mereka. Misalnya, mereka menyatakan bahwa Tom dan Rowena menggali mayat dan memakannya. Cerita-cerita itu benar-benar membuat saya takut.

Pada suatu hari, Tom menanyakan ayah saya apakah ada wanita muda yang ia kenal yang bisa membantu istrinya melakukan pekerjaan rumah tangga. Ayah saya menunjuk saya. Saya ketakutan, tetapi ayah saya memaksa saya menerima pekerjaan itu.

Belakangan, Tom dan Rowena menanyakan saya, ”Menurut kamu, apa yang terjadi dengan orang mati?”

”Orang baik akan pergi ke surga,” jawab saya.

”Apakah kamu membacanya di Alkitab?” tanya mereka.

”Saya belum pernah ke sekolah, jadi saya tidak bisa membaca,” jawab saya.

Mereka mulai mengajar saya membaca, dan lambat laun saya mulai memahami kebenaran Alkitab. Ketika saya tidak hadir lagi di Gereja Katolik, seorang pemimpin gereja menanyai saya, ”Mengapa kamu tidak datang lagi ke gereja? Apakah suami istri kulit putih itu telah memakan jantungmu?”

”Ya,” jawab saya, ”jantung hati saya kini bersama mereka karena saya tahu mereka mengajar saya kebenaran.”

[Kotak/​Gambar di hlm. 117]

”Beri Saya Ayam, dan Itu Buat Kamu”

AWAIWA SARE

LAHIR 1950

BAPTIS 1993

PROFIL Belajar kebenaran di daerah terpencil. Kini hamba pelayanan di Sidang Mundip.

◼ SEWAKTU bertandang ke seorang teman, saya melihat buku Kebenaran yang Membimbing kepada Hidup yang Kekal. Saya membaca beberapa pasal dan menanyakan apakah saya boleh memiliki buku itu. ”Beri saya ayam, dan itu buat kamu,” jawabnya.

Barter dilakukan, dan saya membawa pulang buku itu lalu membacanya dengan cermat. Tak lama kemudian, saya memberi tahu orang lain tentang hal-hal menakjubkan yang telah saya pelajari, meskipun saya dua kali dipanggil menghadap para pemimpin gereja, yang menyuruh saya berhenti mengabar!

Tak lama kemudian, saya menyurati kantor cabang untuk menanyakan cara mengontak Saksi-Saksi Yehuwa setempat. Mereka menghubungkan saya ke Alfredo de Guzman, yang mengundang saya ke kebaktian distrik di Madang.

Saya tiba dengan pakaian usang yang biasa saya kenakan di hutan dan janggut hitam yang lebat. Namun, semua orang memperlakukan saya dengan ramah dan respek. Selama acara, saya mulai menangis karena apa yang saya dengar menyentuh hati saya. Besoknya, saya hadir dengan wajah sudah dicukur bersih.

Usai kebaktian, Alfredo datang ke desa saya​—perjalanan dua jam dengan truk dan lima jam jalan kaki dari Madang. Keluarga dan teman-teman saya menghujaninya dengan pertanyaan, dan ia menjawab setiap pertanyaan dengan Alkitab.

Sekarang, Sidang Mundip memiliki 23 penyiar, dan perhimpunan dihadiri lebih dari 60 orang.

[Kotak/​Gambar di hlm. 125, 126]

”Kamu Mau Bilang Apa Lagi Sekarang?”

MAKUI MAREG

LAHIR 1954

BAPTIS 1986

PROFIL Ia merintis sendirian selama bertahun-tahun di sebuah pulau dan tidak ada Saksi lain.

◼ TAHUN 1980, saya menerima sebuah risalah dari perintis di Madang dan membawanya pulang ke Pulau Bagabag, enam jam perjalanan dengan perahu. Saya suka isinya dan menyurati kantor cabang untuk meminta lebih banyak informasi. Tak lama kemudian, saya menerima sepucuk surat dari Badam Duvun, saudari perintis di Madang, yang mengundang saya menghadiri kebaktian distrik. Saya mengunjungi dia selama dua minggu dan mulai belajar Alkitab. Saya juga menghadiri semua perhimpunan di Balai Kerajaan setempat. Sewaktu pulang ke rumah, saya melanjutkan pelajaran, tetapi lewat surat.

Tak lama kemudian, saya mulai memberikan pelajaran Alkitab kepada 12 keluarga lain di Pulau Bagabag. Kami berhimpun secara teratur di rumah paman saya, mengikuti pola pelajaran Alkitab secara berkelompok yang saya lihat di Madang. Ini menimbulkan kemarahan ayah saya, seorang anggota terpandang Gereja Lutheran. ”Saya kenal Yahweh, tapi saya tidak kenal Yehuwa,” bentaknya. Saya membuka Alkitab Tok Pisin saya dan menunjukkan catatan kaki di Keluaran 3:15, yang membahas nama ilahi. Ayah saya terdiam.

Tiga kali ia menyuruh saya menghadap para pemimpin gereja untuk membela iman saya. Salah satu pertemuan ini diadakan di gedung gereja terbesar di pulau. Lebih dari seribu orang memadati gedung. Suasananya tegang. ”Kamu mau bilang apa lagi sekarang?” kata sang ketua dengan nada mengancam. ”Saya cuma mengikuti Matius 6:33 dan mendahulukan Kerajaan Allah,” jawab saya sambil memegang Alkitab saya erat-erat. Ayah langsung berdiri. ”Kamu mau menggurui kami?” ia berseru penuh amarah. Seorang paman saya bangkit untuk memukul saya, tetapi kerabat lain segera membela saya. Pertemuan itu menjadi kacau-balau. Akhirnya, saya diperbolehkan pergi.

Tetapi, masalah saya sama sekali belum tuntas. Sungguh tragis, seorang wanita yang menghadiri pertemuan itu memiliki bayi yang sakit dan kemudian mati. Beberapa anggota masyarakat menuding saya sebagai biang keladinya, mengatakan bahwa itu terjadi gara-gara saya mengajar ibu itu suatu agama baru. Sambil memegang sebatang besi, Ayah mengusir saya dari rumah keluarga kami. Saya lari ke Madang bersama tante saya, Lamit Mareg, yang juga menerima kebenaran. Tak lama kemudian, kami berdua dibaptis.

Belakangan, Ayah sakit parah. Saya membawanya ke rumah saya di Madang dan merawatnya sampai kematiannya. Kala itu, hatinya melunak terhadap agama saya. Sebelum meninggal, ia mendesak saya untuk pulang ke Pulau Bagabag dan mengabar ke penduduknya. Saya melakukannya pada 1987. Kerabat saya dengan baik hati membangun rumah kecil untuk saya, dan selama 14 tahun, saya satu-satunya Saksi di sana. Selama 12 tahun di antaranya, saya melayani sebagai perintis biasa.

Lalu, saya pulang ke Madang untuk merintis bersama Lamit. Pada 2009, enam orang dari Pulau Bagabag datang ke Madang untuk menghadiri Peringatan tahunan kematian Kristus. Saya tidak pernah menikah, dan saya bersukacita karena bisa menggunakan kelajangan saya untuk melayani Yehuwa sepenuhnya.

[Kotak/​Gambar di hlm. 141, 142]

Yehuwa Menerima Saya

DORAH NINGI

LAHIR 1977

BAPTIS 1998

PROFIL Ia belajar kebenaran sewaktu masih kecil dan dikucilkan keluarganya. Belakangan, ia mulai merintis dan kini melayani di kantor cabang.

◼ SEWAKTU saya berusia 17 tahun, saya menemukan buku Saudara Dapat Hidup Kekal dalam Firdaus di Bumi. Saya segera sadar bahwa saya telah menemukan sesuatu yang sangat istimewa. Saya tahu buku itu berasal dari Saksi-Saksi Yehuwa karena sewaktu saya berusia empat tahun, dua Saksi berbicara dengan saya tentang janji Allah akan Firdaus di bumi.

Tak lama setelah menemukan buku Hidup Kekal, orang tua angkat saya mengatakan bahwa karena mereka sendiri punya lima anak, saya harus kembali ke keluarga saya, yang tinggal di kota pesisir, Wewak. Ketika tiba di sana, pertama-tama saya tinggal dengan adik ayah saya.

Karena sangat ingin bertemu Saksi, saya mencari jalan menuju Balai Kerajaan dan tiba persis sewaktu nyanyian penutup diumumkan. Meski demikian, seorang utusan injil asal Amerika Serikat bernama Pam mengatur untuk memberi saya pelajaran Alkitab. Saya sangat menikmati apa yang saya pelajari, tetapi baru tiga kali belajar, saya ditentang paman saya.

Sewaktu saya berjalan pulang setelah perhimpunan hari Minggu, saya melihat asap membubung dari halaman depan rumah paman saya. Ia sedang membakar semua barang saya, termasuk alat bantu belajar Alkitab saya. Sewaktu melihat saya, ia berteriak, ”Kalau kamu mau beribadat dengan orang-orang itu, biar mereka yang urus kamu.” Karena tidak diterima lagi di sana, saya tidak punya pilihan selain pulang ke rumah orang tua kandung saya, yang tinggal di sebuah desa sejauh dua jam perjalanan dengan mobil dari Wewak.

Sewaktu saya mendekati Ayah, ia mengatakan ke adik-adik saya di depan saya, ”Siapa gadis ini? Kita tidak kenal dia. Kita sudah buang dia saat dia tiga tahun.” Saya mengerti bahwa ia pun tidak menginginkan saya; jadi saya pergi dan tinggal di mana saja.

Sekitar dua tahun kemudian, dua saudara perintis istimewa menemui saya di desa orang tua saya. Saya berkata, ”Tolong beri tahu Pam bahwa saya belum melupakan apa yang ia ajarkan, tetapi saya tidak bisa bertemu dia.” Namun, tak lama kemudian, saya bisa bertemu Pam di Wewak dan melanjutkan pelajaran. Selama waktu itu, saya tinggal bersama tiga keluarga yang berbeda, tapi karena saya bergaul dengan Saksi, saya diusir dari tiap rumah. Pam dengan baik hati mengatur agar saya tinggal bersama sebuah keluarga Saksi di Wewak. Saya dibaptis tahun 1998 dan mulai merintis biasa bulan September 1999. Saya diundang ke Betel tahun 2000 dan mendapat hak istimewa bekerja dengan tim penerjemahan Tok Pisin.

Meski keluarga saya sendiri telah membuang saya dan membuat saya sangat sakit hati, saya mendapat berkat yang jauh lebih besar berupa keluarga rohani saya. Salah satu ayat favorit saya adalah Mazmur 27:10, yang berbunyi, ”Apabila bapakku sendiri dan ibuku sendiri meninggalkan aku, Yehuwa akan menerima aku.”

[Gambar]

Lektur berbahasa Tok Pisin

[Kotak/​Gambar di hlm. 147, 148]

”Yehuwa Adalah Guru Terbesar Kita”

JOHN TAVOISA

LAHIR 1964

BAPTIS 1979

PROFIL Sewaktu kecil, ia ditindas dengan kejam oleh guru dan anak-anak sekolah serta terpaksa keluar dari sekolah hanya dua tahun kemudian. Ia kini melayani sebagai pengawas keliling.

◼ SAYA lahir di desa Govigovi di Provinsi Milne Bay. Ayah mulai belajar Alkitab sewaktu saya berusia tujuh tahun, dan ia mengajar saya hal-hal yang ia pelajari.

Sekitar waktu itu, saya mulai masuk sekolah negeri. Ketika dua guru saya, yang beragama Anglikan, tahu bahwa saya bergaul dengan Saksi-Saksi, mereka mulai menindas saya. Teman-teman sekolah juga menindas saya, bahkan menyerang saya dengan tongkat. Akibatnya, saya terpaksa meninggalkan sekolah hanya dua tahun kemudian.

Kira-kira setahun kemudian, saya melihat salah seorang guru di pasar. ”Kamu ini anak pintar yang sebenarnya bisa berprestasi di sekolah,” kata dia. ”Tapi, gara-gara agamamu, kamu hanya akan jadi pembantu teman-teman sekolahmu.” Ketika saya memberi tahu ayah saya kata-kata guru itu, jawabannya menghangatkan hati saya. ”Jika dunia tidak mau mendidik kamu,” katanya, ”Yehuwa yang akan mendidikmu.”

Ayah dan seorang saudara perintis istimewa membantu saya meraih pendidikan yang paling berharga​—pengetahuan yang membimbing kepada kehidupan abadi. (Yoh. 17:3) Bahasa ibu saya Dawawa, tapi mereka mengajar saya Alkitab dalam Hiri Motu, yang menjadi bahasa kedua saya, dan Tok Pisin, yang menjadi bahasa ketiga saya. Saya dibaptis pada usia 15 tahun. Dua tahun kemudian, saya mulai merintis.

Tahun 1998, saya diundang menghadiri Sekolah Pelatihan Pelayanan. Saat itu, bahasa Inggris saya terbatas. Jadi, sebagai persiapan untuk sekolah itu, kantor cabang menugaskan saya untuk melayani di sidang berbahasa Inggris di Port Moresby. Alhasil, Inggris menjadi bahasa keempat saya.

Sewaktu lulus, saya ditugaskan ke Sidang Alotau di Provinsi Milne Bay. Enam bulan kemudian, saya sangat terkejut​—dan senang​—karena dilantik menjadi pengawas wilayah. Wilayah pertama saya mencakup New Britain, New Ireland, Pulau Manus, dan pulau-pulau tetangga. Pada 2006, saya menikahi Judy yang saya kasihi dan kami menjadi perintis istimewa selama satu tahun sebelum kembali ke pekerjaan keliling.

Sewaktu mengunjungi sidang-sidang, saya sering memberi tahu saudara-saudara muda, ”Yehuwa adalah Guru terbesar kita. Jadi, biarkan Dia mengajar kalian, karena Dia dapat memperlengkapi kalian untuk benar-benar sukses dalam kehidupan.” Itulah pelajaran terpenting yang saya dapatkan.

[Gambar]

Bersama istri saya, Judy

[Tabel/​Gambar di hlm. 156, 157]

LINTAS SEJARAH​—Papua Nugini

1930

1935 Para perintis di kapal Lightbearer milik Lembaga mengabar di Port Moresby.

1940

1950

1951 Tom dan Rowena Kitto tiba di Port Moresby.

1956 Para perintis pindah ke New Ireland dan New Britain.

1957 John Cutforth membuat khotbah gambar.

1960

1960 Perkumpulan Siswa-Siswa Alkitab Internasional didaftarkan.

1962 Tom dan Rowena Kitto pindah ke dataran tinggi Nugini.

1965 Kantor cabang dibangun di Koki, Port Moresby.

1969 Kebaktian Internasional ”Damai di Bumi” diadakan di Haima, Papua.

1970

1975 Papua dan Nugini bergabung menjadi Papua Nugini.

1977-1979 Massa yang beringas menghancurkan Balai Kerajaan di Provinsi Milne Bay.

1980

1987 Penahbisan kantor cabang yang baru.

1989 Perang sipil meletus di Pulau Bougainville.

1990

1991 Menara Pengawal diterbitkan dalam Tok Pisin dan Hiri Motu secara simultan dengan edisi Inggris.

1994 Panitia Penghubung Rumah Sakit mulai beroperasi.

1994 Letusan gunung menghancurkan Rabaul, New Britain.

1999 Bagian Pembangunan Balai Kerajaan dibentuk di cabang.

2000

2002 Balai Kebaktian dibangun di Gerehu, Port Moresby.

2010

2010 Gedung tambahan di kantor cabang ditahbiskan.

2020

[Grafik/​Gambar di hlm. 118]

(Untuk keterangan lengkap, lihat publikasinya)

Jumlah Penyiar

Jumlah Perintis

3.500

2.500

1.500

500

1955 1965 1975 1985 1995 2005

[Peta di hlm. 81]

(Untuk keterangan lengkap, lihat publikasinya)

PAPUA NUGINI

PORT MORESBY

Wewak

Sungai Sepik

Kambot

Dimiri

Biwat

Sungai Yuat

Wabag

Gunung Hagen

Banz

Lembah Wahgi

DATARAN TINGGI NUGINI

Danau Murray

Sungai Fly

Basken

Talidig

Bagildig

Madang

Goroka

Kainantu

Lae

Bulolo

Wau

Kerema

Savaiviri

Teluk Papua

Popondetta

Jalur Kokoda

Hula

Agi

Govigovi

Alotau

LAUT KORAL

Pulau Manus

Kepulauan Bismarck

LAUT BISMARCK

Pulau Bagabag

New Britain

Rabaul

Kokopo

Pulau Kurmalak

New Ireland

Kavieng

LAUT SOLOMON

Pulau Goodenough

Pulau Buka

Pulau Bougainville

Atol Nukumanu

Khatulistiwa

Haima

Six Mile

Hanuabada

Pelabuhan Port Moresby

Pasar Koki

Plato Sogeri

Ioadabu

[Gambar penuh di hlm. 74]

[Gambar di hlm. 77]

”Lightbearer”

[Gambar di hlm. 78]

Para penyiar setempat yang pertama, kiri ke kanan: Bobogi Naiori, Heni Heni Nioki, Raho Rakatani, dan Oda Sioni

[Gambar di hlm. 79]

Desa Hanuabada dengan latar belakang Port Moresby

[Gambar di hlm. 82]

Shirley dan Don Fielder tepat sebelum kedatangan mereka

[Gambar di hlm. 85]

Balai Kerajaan pertama di negeri ini di Haima, Port Moresby

[Gambar di hlm. 87]

John Cutforth

[Gambar di hlm. 89]

Reproduksi khotbah gambar

[Gambar di hlm. 90]

Kanan: John Cutforth mengajar dengan gambar; bawah: seorang saudara membawa papan gambar untuk mengabar di desa pedalaman

[Gambar di hlm. 92]

Alf Green, David Walker, dan Jim Smith

[Gambar di hlm. 93]

Kiri: Shirley, Debbie, dan Don Fielder; kanan: Don dan kanonya

[Gambar di hlm. 96]

Jim Smith dan Glenn Finlay

[Gambar di hlm. 97]

Stephen Blundy menyeberangi Teluk Kerema

[Gambar di hlm. 99]

Rosina dan Ken Frame

[Gambar di hlm. 102]

Matthew dan Doris Pope

[Gambar di hlm. 103]

Rumah Magdalen dan John Endor adalah tempat berhimpun pertama di Lae

[Gambar di hlm. 109]

Dataran tinggi

[Gambar di hlm. 110]

Tom dan Rowena Kitto di depan toko kecil dan rumah mereka di Wabag

[Gambar di hlm. 113]

Erna dan Berndt Andersson

[Gambar di hlm. 114]

Kerry Kay-Smith dan Jim Wright

[Gambar di hlm. 115]

Mike Fisher di Sungai Sepik

[Gambar di hlm. 123]

Balai Kerajaan di Agi dibakar habis oleh musuh tetapi dibangun kembali dan diperluas

[Gambar di hlm. 127]

Elsie dan Bill Thew

[Gambar di hlm. 128]

”Puapua” sedang berlayar

[Gambar di hlm. 128]

Kapal ”Pioneer” buatan Berndt Andersson

[Gambar di hlm. 131]

Menyusuri Sungai Sepik

[Gambar di hlm. 132, 133]

Kiri: Pengawas wilayah Warren Reynolds dan istrinya, Leann, mengunjungi desa Biwat; atas: khotbah umum sewaktu ia berkunjung ke desa Dimiri

[Gambar di hlm. 135]

Kora Leke

[Gambar di hlm. 135]

Soare Maiga

[Gambar di hlm. 136]

Save Nanpen

[Gambar di hlm. 139]

Geordie dan Joanne Ryle

[Gambar di hlm. 145]

Beberapa anak ini dikeluarkan dari sekolah karena tidak memberi salut kepada bendera

[Gambar di hlm. 152, 153]

Kiri: Rabaul dengan gunung berapi Tavurvur di kejauhan; bawah: Balai Kerajaan Rabaul yang hancur pada 1994

[Gambar di hlm. 155]

Tim penerjemahan, 2010

[Gambar di hlm. 161]

Kantor Cabang Papua Nugini

Panitia Cabang: Dan Burks, Timo Rajalehto, Kegawale Biyama, Craig Speegle

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan