PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • Bagian 10: 537 S.M. dan seterusnya—Masih Menantikan Seorang Mesias
    Sedarlah!—1990 (No. 33) | Sedarlah!—1990 (No. 33)
    • Mengejar Harapan kepada Mesias

      Menurut The Concise Jewish Encyclopedia, pada masa inilah konsep mengenai seorang Mesias berkembang, ”raja yang ideal untuk masa depan yang bukan hanya seorang penguasa ’terurap’ seperti yang lain-lainnya melainkan penguasa yang akan menghancurkan musuh-musuh Israel dan menciptakan suatu era damai yang sejati dan sempurna”.

      Pada abad keempat S.M., melalui penaklukan, Iskandar Agung mengumpulkan orang-orang Yahudi di bawah kekuasaannya. Namun ia jelas bukan Mesias yang sedang mereka nantikan, sekalipun imperiumnya mempunyai pengaruh yang luar biasa atas negeri, kebudayaan, dan agama mereka.

      Setelah kematian Iskandar, Palestina tetap berada di bawah kekuasaan orang Yunani, pertama-tama di bawah dinasti Ptolemy dari Mesir dan kemudian di bawah dinasti Seleucid dari Siria, dua dinasti yang didirikan oleh pengganti-pengganti Iskandar. Seraya pengaruh Yunani bertambah, orang-orang Yahudi yang terkemuka dan para bangsawannya mulai memandang tradisi dan adat-istiadat Yahudi sudah ketinggalan zaman. Sebagai pimpinan adalah keluarga Tobiad, yang mengangkat Menelaus yang ternyata adalah saudara mereka, menjadi imam besar selama pemerintahan Raja Antiokhus IV Epifanes dari dinasti Seleucid (175-164 S.M.). Hal ini mereka lakukan, sekalipun Menelaus secara turun-temurun bukan dari keluarga imam Zadok, imam besar di bait Salomo. Pengaruh Yunani menjadi begitu kuat sehingga perayaan-perayaan agama Yahudi dilarang dan bait Allah dijadikan kuil Yunani!

      Pada tahun 167 S.M., imam Yahudi Matatias dan kelima putranya, yang umumnya disebut orang-orang Makabe, atau Hasmonaea, memberontak. Pemberontakan Makabe, yang pada mulanya bersifat keagamaan, segera menjadi perjuangan politik dari orang-orang Yahudi untuk bebas menentukan nasib sendiri. Pada tahun 165 S.M., bait Allah direbut dan ditahbiskan kembali. Peristiwa ini setiap tahun dirayakan oleh orang-orang Yahudi dewasa ini di seluruh dunia dalam pesta cahaya selama delapan hari yang dikenal sebagai Hanukkah. Namun seorang Mesias masih belum muncul.

  • Bagian 10: 537 S.M. dan seterusnya—Masih Menantikan Seorang Mesias
    Sedarlah!—1990 (No. 33) | Sedarlah!—1990 (No. 33)
    • Dalam kenyataannya, setiap kelompok agama Yahudi menentang Yohanes Pembaptis dan pribadi yang ia umumkan sebagai Mesias. Sebaliknya dari mempercayai berita Yohanes, banyak dari para imam, kata Yosephus, berpaling kepada orang-orang Zelot, suatu kelompok kaum revolusioner Yahudi yang bertekad untuk menentukan nasib sendiri. Selama puluhan tahun kelompok-kelompok seperti ini menentang dominasi Roma yang menggantikan Yunani pada tahun 63 S.M. dan melakukan kegiatan teroris. Akhirnya pada tahun 66 M., mereka memberontak secara terang-terangan. Ini mengakibatkan kehancuran bait Yahudi dan imamat mereka. Harapan kepada Mesias menjadi suram.

  • Bagian 10: 537 S.M. dan seterusnya—Masih Menantikan Seorang Mesias
    Sedarlah!—1990 (No. 33) | Sedarlah!—1990 (No. 33)
    • Harapan kepada Mesias dalam Diaspora

      Bahkan sebelum tahun 70 M., jutaan orang Yahudi tinggal di luar Palestina, terutama di Siria, Asia Kecil, Babel dan Mesir. Namun, setelah tahun 70 M., orang-orang Yahudi yang masih hidup semua pindah bersama keluarga mereka, tersebar untuk tinggal di diaspora, kata Yunani untuk ”tersebar”. Bahkan di tempat-tempat demikian, banyak yang mempertahankan harapan untuk dapat menentukan nasib sendiri di bawah seorang Mesias yang akan datang. Pemimpin Yahudi Bar Kokhba ternyata seorang mesias palsu, yang gagal memimpin pemberontakan melawan Roma pada tahun 132 M. Menurut The Jewish Encyclopedia, ada 28 mesias palsu seperti itu yang muncul antara waktu itu dan tahun 1744 M.

      Maka, mungkin dapat dimengerti bahwa harapan kepada Mesias menjadi berantakan. Encyclopædia Judaica menerangkan, ”Ideologi Yahudi pada Abad Pertengahan tidak mewarisi dari zaman dahulu konsep yang masuk akal dan mempersatukan tentang Mesias . . . dan kepustakaan talmud serta berbagai Midrashim memuat banyak pandangan yang saling bertentangan.” Sudah sejak awal abad ke-12, filsuf Yahudi Moses Maimodes menyatakan bahwa pemerintahan Mesias mungkin hanya merupakan gambaran dari bentuk masyarakat yang lebih tinggi. Pada abad ke-19, orang-orang Yahudi Reformasi ”menggantikan kepercayaan kepada suatu zaman mesias dengan kepercayaan kepada seorang pribadi Mesias . . . Harapan mesias diputuskan dari hubungan-hubungan tradisionalnya dengan kembalinya orang-orang yang diasingkan ke Zion”.

      Tidak lama sebelum ini, gerakan Haskalah (Penerangan) di Eropa lebih mengacaukan masalah tersebut. Kelompok ini menganjurkan Yudaisme yang bersedia menyesuaikan diri dengan jalan hidup Barat. Gerakan ini ikut memecah-belah orang-orang Yahudi menjadi kelompok yang memandang penentuan nasib sendiri di tanah air orang Yahudi yang telah dibentuk kembali di bawah Mesias, sebagai prioritas utama, dan kelompok lain yang merasa bahwa integrasi dalam kehidupan dari negeri tempat kelahiran merupakan hal yang lebih penting.

      Perkembangan ini, ditambah dengan bangkitnya anti-Semitisme, membuka jalan bagi lahirnya Zionisme modern, yang didirikan oleh Theodor Herzl pada akhir abad ke-19. Dewasa ini, pada bulan Mei 1989, 41 tahun dari bulan setelah didirikannya Negara Israel, orang-orang Yahudi menikmati kemerdekaan mereka sebagai masyarakat Yahudi di tanah air Yahudi yang didambakannya. Apakah harapan mereka kepada Mesias telah terwujud?

      Jika demikian, mengapa ada orang Yahudi yang, menurut The Times dari London, melihat ”dalam Zionisme sesuatu yang tidak pantas yang menjadi kenyataan dengan terbentuknya Israel”? Mengapa sejarawan Theodore H. White, almarhum, yang adalah seorang Yahudi, dengan terus terang mengakui, ”Jumlah sekte-sekte Yahudi yang berlainan, yang bertengkar satu sama lain, . . . hampir sama banyaknya dengan sekte-sekte di kalangan Protestan?” Mengapa majalah Time yang pada tahun 1987 menarik perhatian kepada kelompok-kelompok agama yang saling bertengkar dalam badan politik Israel yang terdiri dari 120 anggota, yaitu Knesset, menulis, ”Jalan keluar yang dapat bertahan harus ditemukan agar Israel . . . tidak menjadi sebuah rumah yang terbagi-bagi secara fatal sehingga mencelakakan dirinya sendiri?”

      Gagasan modern dari orang Yahudi untuk menentukan nasib sendiri tidak menawarkan banyak harapan untuk masa depan. Dengan mempercayai politik manusia untuk mewujudkan harapan mereka kepada Mesias, Yudaisme telah mengabaikan kata-kata dari tulisan-tulisan suci mereka sendiri, ”Lebih baik berlindung pada TUHAN dari pada percaya kepada manusia. . . . Janganlah percaya kepada para pangeran, atau kepada anak manusia yang tidak dapat memberikan keselamatan.”—Mazmur 118:8; 146:3, The Holy Scriptures, diterbitkan oleh Masyarakat Penerbit Yahudi di Amerika.

      Bertentangan dengan kesulitan yang dialami oleh banyak orang Yahudi dewasa ini untuk menyatukan harapan mereka kepada Mesias, banyak dari nenek moyang mereka pada abad pertama M. dulu tidak mendapat kesulitan apapun. (Lihat Yohanes 1:41.) Mereka menjadi pengikut dari Pribadi yang mereka terima sebagai Mesias, menjadi pendukung yang bergairah dari sebuah agama yang dengan tepat dapat kita sebut ”Jalan dari Iman, Harapan, dan Kasih”.

Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
Log Out
Log In
  • Indonesia
  • Bagikan
  • Pengaturan
  • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
  • Syarat Penggunaan
  • Kebijakan Privasi
  • Pengaturan Privasi
  • JW.ORG
  • Log In
Bagikan