PERPUSTAKAAN ONLINE Menara Pengawal
PERPUSTAKAAN ONLINE
Menara Pengawal
Indonesia
  • ALKITAB
  • PUBLIKASI
  • PERHIMPUNAN
  • g94 8/5 hlm. 31-32
  • Apakah Salah untuk Berdukacita?

Tidak ada video untuk bagian ini.

Maaf, terjadi error saat ingin menampilkan video.

  • Apakah Salah untuk Berdukacita?
  • Sedarlah!—1994
  • Subjudul
  • Bahan Terkait
  • Mereka Berdukacita
  • ’Jangan Berdukacita seperti Orang-Orang Lain Lakukan’
  • Meskipun Berdukacita, Kita Memiliki Harapan
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1995
  • Apakah Berkabung Itu Salah?
    Sedarlah!—2001
  • Harapan yang Pasti bagi Orang Mati
    Bila Seseorang yang Anda Kasihi Meninggal
  • Jutaan Orang yang Sekarang Mati Akan Hidup Kembali
    Menara Pengawal Memberitakan Kerajaan Yehuwa—1990
Lihat Lebih Banyak
Sedarlah!—1994
g94 8/5 hlm. 31-32

Pandangan Alkitab

Apakah Salah untuk Berdukacita?

”SAYA SANGAT PERCAYA AKAN HARAPAN KEBANGKITAN, DAN SAYA PIKIR BAHWA ADALAH SALAH UNTUK MEMPERLIHATKAN KESEDIHAN SAYA DI HADAPAN ORANG LAIN SEHINGGA DENGAN DEMIKIAN SAYA MEMBERI MEREKA ALASAN UNTUK MERAGUKAN APAKAH SAYA MEMPUNYAI HARAPAN YANG KUAT. SAYA RASA JIKA SAYA BENAR-BENAR MEMPERCAYAI KEBANGKITAN, SAYA TIDAK AKAN MERASA SANGAT KEHILANGAN.”​—CHARLENE, SEORANG KRISTEN YANG TELAH DIBAPTIS SELAMA LEBIH DARI 21 TAHUN.

PADA waktu seseorang yang Anda kasihi meninggal, perasaan dan sikap yang Anda tidak harapkan mungkin tampak​—ketakutan, kemarahan, perasaan bersalah, dan depresi. Bagi orang-orang Kristen janji yang menghangatkan hati dari Alkitab mengenai kebangkitan orang-orang mati kepada kehidupan firdaus di bumi di bawah pemerintahan Kerajaan Allah dapat meringankan perasaan terpukul. (Yohanes 5:28, 29; Kisah 24:15; Wahyu 21:1-4) Tetapi, sebagaimana diperlihatkan kata-kata Charlene, jika seseorang yang dikasihi meninggal, ada orang-orang Kristen yang memikul beban yang tidak semestinya​—perasaan bahwa berkabung itu salah, bahwa dukacita dalam satu atau lain cara menyingkapkan kurangnya iman akan janji Alkitab mengenai kebangkitan.

Akan tetapi, apa yang Alkitab katakan mengenai berdukacita? Apakah salah untuk berkabung sewaktu seseorang yang kita kasihi meninggal?

Mereka Berdukacita

Iman Abraham sangat terkenal. Ketika diuji, Abraham ”mempersembahkan [putranya] Ishak”. (Ibrani 11:17; Kejadian 22:9-13) Jelaslah, belum pernah ada kebangkitan sebelumnya, tetapi Abraham memiliki iman bahwa, jika diperlukan, ”Allah berkuasa membangkitkan [anaknya] sekalipun dari antara orang mati”. (Ibrani 11:19) Kira-kira 12 tahun setelah iman Abraham diuji, istrinya, Sarah, meninggal. Bagaimana reaksi pria yang beriman itu? Alkitab menjelaskan bahwa ia ”datang meratapi dan menangisinya”.a (Kejadian 23:2) Benar, seorang pria yang memiliki iman bahwa Allah sanggup membangkitkan orang mati, berdukacita secara terang-terangan. Walaupun begitu, Abraham adalah teladan yang menonjol dari iman.​—Ibrani 11:8-10.

Salah satu contoh yang paling mengharukan dari dukacita yang terang-terangan karena kehilangan seseorang yang dikasihi adalah Yesus Kristus sendiri. Mengenai kematian Lazarus, seorang teman dekat Yesus, kita membaca, ”Setibanya Maria di tempat Yesus berada dan melihat Dia, tersungkurlah ia di depan kakiNya dan berkata kepadaNya: ’Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati.’ Ketika Yesus melihat Maria menangis dan juga orang-orang Yahudi yang datang bersama-sama dia, maka masygullah hatiNya. Ia sangat terharu dan berkata: ’Di manakah dia kamu baringkan?’ Jawab mereka: ’Tuhan, marilah dan lihatlah!’ Maka menangislah Yesus.”​—Yohanes 11:32-35.

Sangatlah menghangatkan hati melihat Putra Allah yang sempurna tidak malu-malu memperlihatkan dukacita yang terang-terangan. Bahasa asli dari kata yang diterjemahkan ”mengeluarkan air mata” (da·kryʹo) berarti ”menitikkan air mata dengan diam-diam”. Yang sangat luar biasa ialah bahwa Yesus sebelumnya membangkitkan dua orang​—putra seorang janda dari Nain dan putri Yairus​—dan ia benar-benar bermaksud membangkitkan Lazarus. (Lukas 7:11-15; 8:41, 42, 49-55; bandingkan Yohanes 11:11.) Beberapa saat sebelumnya, ia telah mengatakan kepada Marta, ”Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepadaKu, ia akan hidup walaupun ia sudah mati.” (Yohanes 11:25) Namun, emosi yang begitu dalam dari Yesus menyebabkan air matanya tak terbendung lagi.

Ada sesuatu yang jauh lebih penting. Yesus adalah ”cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah”. (Ibrani 1:3) Perasaan Yesus yang lembut dan dalam sewaktu kehilangan seseorang yang dikasihi dalam kematian melukiskan suatu gambaran yang menyentuh hati tentang Bapa surgawi kita, Yehuwa. Hal-hal itu menggambarkan Allah merasakan kesedihan mendalam yang menyayat hati karena dukacita hamba-hamba-Nya.​—Bandingkan Mazmur 56:9.

Maka, jelaslah, tidak salah untuk berdukacita sewaktu seseorang yang Anda kasihi meninggal. Abraham meratapi kematian Sarah. Yesus berdukacita secara terang-terangan sewaktu Lazarus meninggal. Allah Yehuwa mengerti penderitaan kita sebab ”Ia yang memelihara” kita.​—1 Petrus 5:7.

Namun, bagaimana dengan harapan orang Kristen? Apakah ada bedanya?

’Jangan Berdukacita seperti Orang-Orang Lain Lakukan’

Sewaktu beberapa orang dalam sidang Kristen abad pertama di Tesalonika berdukacita karena kehilangan rekan-rekan seiman, rasul Paulus berupaya menghibur mereka. Ia menulis, ”Selanjutnya kami tidak mau, saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal, supaya kamu jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan.” (1 Tesalonika 4:13) Ya, mereka yang memiliki kepercayaan akan janji Allah untuk menghidupkan yang mati jauh lebih baik keadaannya daripada mereka yang tidak mempunyai harapan kebangkitan.b Mengapa demikian?

Dalam menghadapi kematian, orang-orang yang tidak memiliki harapan kebangkitan berada dalam keputusasaan. Sekalipun mereka mengaku percaya adanya semacam kehidupan di alam baka, sedikit yang benar-benar mendapat penghiburan nyata dari hal ini. Bagi banyak orang lainnya, kesedihan mereka disebabkan bukan hanya karena orang-orang yang mereka cintai dipisahkan dari mereka oleh kematian tetapi dari kenyataan bahwa bagi mereka perpisahan ini bersifat permanen. Tanpa pengertian yang jelas akan kebangkitan, mereka menguburkan harapan mereka sewaktu mereka menguburkan orang-orang yang mereka kasihi; sejauh yang mereka ketahui, mereka tidak akan pernah bertemu orang-orang tersebut lagi.​—Bandingkan 1 Korintus 15:12-19, 32.

Namun, halnya berbeda bagi orang Kristen yang sejati. Kematian, ulas Paulus, sama seperti tidur​—bukan hanya merupakan suatu keadaan tidak sadarkan diri yang menyerupai tidur yang sangat lelap akan tetapi juga karena adalah mungkin untuk dibangunkan kembali melalui kebangkitan. (Mazmur 13:4; Pengkhotbah 9:5, 10) Harapan yang berdasarkan Alkitab membuat perbedaan.

Sewaktu kehilangan seorang yang dikasihi dalam kematian, seorang Kristen mempunyai perasaan yang sama kuatnya seperti orang yang tidak seiman atas persahabatan yang lenyap, kehilangan wajah yang dikenal, ketiadaan akan suara yang dicintai. Harapan kebangkitan tidak akan membuat hati tidak berperasaan. Namun, hal itu akan memperlunak atau membuat seimbang sikap berkabung. Tidak, harapan itu tidak menghapus perlunya berdukacita, tetapi itu dapat membuat rasa sedih jauh lebih mudah ditanggung.

[Catatan Kaki]

a Berkenaan dengan kata Ibrani yang diterjemahkan ”meratapi”, Theological Wordbook of the Old Testament menyatakan, ”Semua orang yang merasa kehilangan seseorang karena meninggal, akan datang untuk berbagi dukacita mereka dengan anggota keluarga . . . . Menangis dengan keras atau meraung-raung selalu menyertai perkabungan.” Mengenai kata Ibrani untuk ”menangis” buku yang sama menerangkan, ”Air mata dihubungkan dengan mata, sedangkan menangis dihubungkan dengan suara; Orang-orang Yahudi tidak menangis tanpa suara, tetapi dengan meraung. . . . Dalam seluruh P[erjanjian] L[ama] menangis adalah ekspresi yang wajar dan spontan dari emosi yang kuat.”

b Orang-orang Kristen abad pertama yang menerima surat Paulus memiliki harapan kebangkitan ke surga tempat mereka akan melayani sebagai rekan penguasa bersama Kristus. (1 Tesalonika 4:14-17; bandingkan Lukas 22:29, 30.) Paulus dengan demikian menganjurkan mereka untuk saling menghibur dengan harapan bahwa pada kehadiran Yesus, orang-orang yang setia yang telah meninggal dari antara mereka akan dibangkitkan dan akan dipersatukan dengan Kristus serta satu sama lain. Namun, bagi kebanyakan dari mereka yang mati, Alkitab mengulurkan suatu harapan kebangkitan ke dalam firdaus yang dipulihkan di bumi.​—Yohanes 5:28, 29; Wahyu 21:1-4.

[Keterangan Gambar di hlm. 31]

Jean-Baptiste Greuze, Le fils puni, Louvre; © Photo R. M. N.

    Publikasi Menara Pengawal Bahasa Indonesia (1971-2025)
    Log Out
    Log In
    • Indonesia
    • Bagikan
    • Pengaturan
    • Copyright © 2025 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
    • Syarat Penggunaan
    • Kebijakan Privasi
    • Pengaturan Privasi
    • JW.ORG
    • Log In
    Bagikan